Part 2

Aileen mempersiapkan dirinya dengan baik saat akan berangkat ke sekolah. Bahkan hari ini ia bangun lebih pagi dari pada biasanya. Kali ini ia menambah sedikit riasan di wajahnya agar wajahnya terlihat sedikit lebih cantik.

"Selamat pagi, Ayah, Ibu." Aileen menyapa orangtuanya begitu dirinya sampai di ruang makan.

"Sayang, kau berdandan seperti itu saat akan pergi ke sekolah?" tegur Samantha.

"Apa aku terlihat tak cantik, Ibu?" tanya Aileen.

"Putri Ayah sangat cantik, untuk itu di dunia ini tak akan ada yang bisa menandingi kecantikan putri Ayah," sela Arthur.

"Terima kasih, Ayah." Aileen memberikan senyum untuk Arthur.

"Bukan masalah cantik atau tidak, Sayang. Bukankah kau akan pergi ke sekolah? Siswa SMA tentu saja tak boleh berdandan yang berlebihan seperti itu," ucap Samantha.

"Apa aku terlihat berlebihan?" Tanya Aileen dengan wajah cemasnya.

"Tentu saja tidak." Arthur kembali membuka suaranya untuk memuji kecantikan putri semata wayangnya.

"Tak biasanya kau begini kan?" tanya Samantha.

Aileen menundukan kepalanya. "Aku tak tahu, Ibu. Semalam aku tak bisa tidur, lalu pagi ini aku merasa sangat bersemangat berangkat ke sekolah. Aku ingin membuat diriku tampil secantik mungkin di hadapan Edric."

Samantha dan Arthur saling memandang sebelum mereka memusatkan pandangan mereka kepada Aileen.

"Apa kau benar-benar menyukai Edric?" tanya Samantha.

Aileen sedikit menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaan ibunya.

"Kau mencintainya?" tanya Samantha lagi.

"Aku tak tahu, Ibu."

"Apa jangan-jangan kau sudah memiliki perasaan terhadapnya sebelum acara makan malam kemarin?" Samantha terus saja mengorek isi dari hati Aileen.

Aileen menggelengkan kepalanya. Ia mengangkat kepalanya agar bisa memandang ayah dan ibunya.

"Sebelumnya aku memang pernah bertemu Edric beberapa kali di sekolah, tapi kita tak pernah saling menyapa karena kami tak saling kenal. Aku tak memiliki perasaan apapun terhadapnya, tapi sejak aku mendengar bahwa aku dan Edric di jodohkan maka kupikir aku harus memberikan hatiku untuknya, bukan?"

"Putri kecil Ibu sudah berpikir dengan sangat dewasa." Samantha menatap Aileen dengan pandangan mata yang berkaca-kaca.

"Hentikan dulu obrolannya, sekarang mari kita makan," ucap Arthur.

Setelah sarapan selesai, Aileen langsung bergegas pergi ke sekolah. Aileen menaiki mobil dengan diantar oleh supir. Meskipun dirinya sudah bisa mengemudikan mobilnya sendiri, namun Arthur dan Samantha tak memperbolehkannya untuk mengendarai mobilnya sendiri ke sekolah atau ke manapun dirinya pergi. Supir akan menunggu di depan gerbang sekolah sampai jam sekolah usai.

Sampai sekolah Aileen langsung mencari keberadaan Erdic. Ia ingin menyapa calon tunangannya itu untuk yang pertama kalinya. Ia harus rela berjalan menuju ke kelas Edric karena mereka berdua memang tak pernah satu kelas.

"Kau mencari siapa?"

Aileen terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang memegang pundaknya. "Astaga!"

Aileen lalu memutar tubuhnya. "Ernest?! Mengapa kau mengagetkanku?!" Seru Aileen pada orang yang baru saja menepuk pundaknya.

"Kau mencariku?" tanya pria yang bernama Ernest.

"Tidak."

"Lalu untuk apa kau datang ke kelasku? Sebegitu tak sabarnya kau ingin segera bertemu denganku sampai kau datang sepagi ini dan langsung menuju ke kelasku."

"Aku tak ingin bertemu denganmu. Setiap hari kita sudah betemu bahkan minimal empat kali dalam sehari." Aileen memutar bola matanya menatap Ernest.

"Sebanyak itukah?" Ernest menatap Aileen dengan sorot mata tak suka. Ia juga menaikan sedikit ujung bibirnya.

"Ya! Pagi saat kau baru saja sampai di sekolah, lalu istirahat pertama kau menghampiriku untuk makan bersama, istirahat kedua juga begitu, dan terakhir saat jam pulang sekolah. Kau pasti akan mengajakku berjalan bersama sampai di depan pintu gerbang. Itu semua sangat membosankan." Aileen mendengus seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kau bilang itu membosankan?!" Seru Ernest tak terima.

"Tentu saja. Kau sudah melakukan itu sejak kita masih kelas satu," sahut Aileen.

"Itu karena aku merasa kasihan kepadamu. Jika tak ada aku, maka kau tak memiliki teman satupun. Mengingat jasaku yang begitu banyak terhadapmu, seharusnya kau mentraktirku makan malam di restoran mahal," ucap Ernest.

"Sudahlah, hentikan pembicaraan ini. Aku sedang sibuk."

"Hei, lihatlah wajahmu. Kau memakai riasan?! Kau memakai pewarna merah di bibir dan pipimu!" Ernest berseru seraya mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajah Aileen.

Aileen merasa malu mendengar ejekan dari Ernest. Ia menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan agar tak ada orang yang mendengar ucapan Ernest.

"Hentikan! Diamlah aku mohon!" Aileen merasa sangat geram kepada Ernest.

Saat Aileen akan meneruskan omelannya untuk Ernest, tiba-tiba Edric berjalan melewatinya tanpa ingin menyapa ataupun menatap ke arahnya.

"Edric." Aileen berjalan ingin mengejar Edric, namun tangan Ernest mencekal pergelangan tangannya hingga membuatnya terhenti.

"Ada apa?" Tanya Aileen seraya menatap Ernest. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Edric yang saat ini sudah duduk di bangkunya.

"Ada apa denganmu? Sejak kapan kau mengenal Edric?" tanya Ernest.

"Sejak kemarin malam." Sahut Aileen seraya tersenyum.

"Kalian berkencan?" tanya Ernes penuh selidik.

"Bukan, kami sudah dijodohkan. Sebentar lagi kami akan bertunangan." Sahut Aileen dengan nada suaranya yang terdengar sangat bahagia.

"Apa?" gumam Ernest. Raut wajahnya menampilkan raut keterkejutan.

***

"Aku dengar kau akan menikahkan putramu dengan putri dari Arthur Berenice. Apakah itu benar?" Tanya seorang pria yang tiba-tiba memasuki ruangan Alfred.

Alfred tertawa mendengar pertanyaan temannya itu. "Kau bahkan tak menyapaku terlebih dulu, Elvis. Tanpa basa-basi kau langsung menanyakan hal itu kepadaku?!"

"Ck, katakan saja." Pria bernama Elvis itu mendudukan dirinya di kursi yang ada di seberang kursi Alfred.

"Kabar cepat sekali menyebar," sahut Alfred.

"Itu berarti yang mereka katakan memang benar?"

"Ya, rencananya aku akan mengadakan pesta pertunangannya sehari setelah Edric lulus dari sekolahnya," sahut Alfred.

"Apa itu tidak terlalu dini?" tanya Elvis.

"Apa kau iri padaku?" Alfred menjawab pertanyaan temannya dengan sebuah pertanyaan.

"Apa yang katakan?!" seru Elvis.

"Bukankah kau juga memiliki seorang putra yang seumuran dengan Edric?! Ya ya ya ... jika aku menunda pertunangan Edric dengan putri dari Arthur Berenice, maka kau pasti akan mendahuluiku."

"Kau ini! Mana mungkin aku berbuat seperti itu!"

"Tunggu saja undangannya. Kau harus datang membawa istri dan putramu. Oh iya, bukankah putramu juga bersekolah di sekolah yang sama dengan sekolah putraku?!"

"Ya, mungkin saja putraku dan putri dari Arthur juga sudah saling mengenal," sahut Elvis.

"Baiklah, aku akan pulang." Elvis berdiri seraya mengancingkan jasnya.

"Secepat itu?"

"Rasa penasaranku sudah terobati, lalu untuk apa lagi aku berlama-lama ada di sini?! Masih ada banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Aku pergi dulu." Elvis berjalan meninggalkan ruangan Alfred. Ia bahkan tak menghiraukan seruan dari Alfred.

"Elvis?" Danae menyapa Elvis saat mereka berpapasan di depan pintu ruangan Alfred.

"Hai, Danae. Kau datang untuk mengunjungi suamimu?" sapa Elvis.

"Iya. Kau sudah akan pulang? Kembalilah masuk, aku membawa kue buatanku."

"Ah tidak, sayang sekali aku harus segera pergi. Jika tidak aku pasti akan menghabiskan kue buatanmu," ucap Elvis.

"Baiklah, kalau begitu nanti akan kukirimkan kue buatanku ke rumahmu."

"Baiklah, terima kasih jika begitu. Aku harus pergi," ucap Elvis.

"Baiklah. Selamat jalan."

Danae masuk ke ruangan suaminya saat Elvis berjalan meninggalkannya.

"Elvis baru saja dari sini." Ucap Danae saat ia membuka pintu ruangan suaminya.

"Iya, dia jauh-jauh ke mari hanya untuk menanyakan pertuangan putra kita dengan putri dari Arthur. Lihatlah betapa beruntungnya kita bisa mendapatkan besan yang sepadan dengan kita," ucap Alfred.

"Ya aku juga sedikit bisa menyombongkan diriku saat tadi aku berkumpul di tempat arisan. Mereka semua mengucapkan selamat padaku. Aku berharap jika Edric segera menerima perjodohan ini," ucap Danae.

"Hari kelulusan akan segera tiba. Kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin, Danae. Pilihlah perhiasan dan pakaian yang bagus untuk calon menantu kita."

"Baiklah," sahut Danae.

***

Semarang, 13 Maret 2022

Silvia Dhaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top