Part 1
Makan malam yang sudah direncanakan dari jauh hari telah berjalan dengan lancar. Dari kedua belah pihak sudah setuju untuk menjodohkan putra dan putri mereka.
"Untung saja Aileen dan Edric bersekolajh di SMA yang sama, jadi mereka bisa lebih saling mengenal satu sama lain." Alfred Hugo tertawa senang seraya mengedarkan pandanganya ke arah calon besannya, Samantha dan Arthur Berenice.
"Tapi apakah Edric setuju dengan perjodohan ini?" Samantha menatap Edric dengan sedikit rasa takutnya. Ia tak ingin jika pria muda di hadapannya ini terpaksa menikahi putri kesayangannya.
"Tentu saja Edric sangat menyetujui perjodohannya dengan Aileen. Tak ada gadis lain yang bisa lebih pantas menjadi pendamping Edric selain Aileen," ucap Alfred.
Mendengar ucapan Alfred membuat Aileen menjadi senang hingga tersenyum malu. Ia merasa jika calon ayah mertuanya ini sangat menyukainya dan pastinya untuk ke depan akan selalu mendukungnya. Ia sudah mulai membayangkan bagaimana bahagianya dirinya saat sudah resmi menjadi sitri Edric Hugo.
"Tapi aku melihat jika Edric sejak tadi tak tersenyum sama sekali. Kupikir Edric tak menyukai pertemuan ini atau perjodohannya dengan Aileen," ucap Samantha.
Mendengar ucapan ibunya, senyuman Aileen mendadak luntur. Ia lalu mengamati wajah Edric yang kaku dan melihat bibir Edric yang memang tak ada senyuman di bibir pria itu.
Alfred menyenggol lengan Edric, membuat Edric menoleh ke arah sang ayah. "Jangan salah paham Nyonya Berenice. Edric ini baru saja pulang dari kegiatan rutinnya di luar sekolah, jadi mungkin saja Edric merasa tubuhnya sedikit lelah. Edric belum sempat beristirahat tapi langsung menghadiri pertemuan ini," ucap Alfred. Ia tak ingin memberikan kesan buruk tentang putranya kepada keluarga Berenice karena dirinya sangat menginginkan perjodohan ini bisa berlangsung dengan lancar.
"Kegiatan rutin di luar sekolah?" gumam Arthur. "Kegiatan apa itu?" tanya Arthur kembali.
"Eemm Edric ini sangat perduli dengan orang yang kurang beruntung, jadi dia sering mengunjungi panti asuhan untuk memberikan perhatiannya dalam bentuk sumbangan." Kali ini Danae yang angkat bicara untuk membuat nama putranya menjadi semakin baik di mata keluarga Berenice.
Aileen tersenyum mendengar ucapan Danae, begitu juga dengan Arthur dan Samantha. Mendengar hal itu, mereka merasa sangat beruntung karena telah mengenal keluarga Hugo. Selain keluarga mereka dengan keluarga Hugo sepadan dalam segi hal apapun, ternyata keluarga Hugo juga memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Jadi bagaimana kelanjutan hubungan Aileen dengan Edric? Kapan sebaiknya mereka akan melangsungkan pertunangan?" tanya Arthur.
"Menurutku lebih baik jika mereka langsung bertunangan setelah mereka lulus dari SMA," sahut Alfred.
"Ayah, apa itu tak terlalu cepat?" protes Edric.
Alfred melirik Edric dengan lirikan tajamnya. Hal itu membuat Edric sadar dan sedikit merasa takut dengan sang ayah.
"Eemm maksudku, bukankah aku dan Aileen juga baru berkenalan hari ini dan kami berdua juga harus berkuliah bukan?!" sambung Edric.
"Kau tak perlu cemas, Nak. Setelah lulus SMA kalian hanya akan bertuangan, setelah itu kalian bisa kuliah seperti yang kalian inginkan," ucap Arthur.
"Ya, itu benar. Aku setuju akan hal itu," sahut Alfred.
"Tapi—" Edric terpaksa menghentikan ucapannya setelah melihat wajah Alfred yang berubah menyeramkan.
***
Edric langsung berjalan meninggalkan Alfred dan Danae begitu mereka sampai di rumah. Dengan tergesa ia masuk ke kamarnya. Ia membanting pintu kamarnya dengan sangat keras.
Edric merasa sangat marah karena tak bisa menolak dari perjodohan ini. Ia masih ingin bebas dan bersenang-senang, ia masih ingin menikmati masa mudanya. Tapi semuanya kacau setelah tiba-tiba ayahnya bersikukuh ingin menjodohkannya dengan gadis yang tak ia kenal.
"Sial!" Edric melemparkan jasnya di lantai. Dadanya naik turun karena amarah yang sedang ia rasakan.
"Edric."
Edric menolehkan kepalanya begitu ia mendengar suara Alfred yang memanggil namanya.
"Kau ini apa-apaan?" tegur Alfred.
"Ada apa dengan Ayah?! Kenapa Ayah tiba-tiba menjodohkan aku dengan gadis yang sama sekali tak kukenal? Aku bahkan belum lulus SMA!" Edric memandang ayahnya dengan sorotan mata yang penuh amarah.
"Kalian satu sekolah, mana mungkin tak kenal satu sama lain," sahut Alfred dengan santainya.
"Aku memang benar-benar tak mengenalnya, Ayah. Aku dan dia tak pernah saling bertemu dan bicara. Lagipula aku tak tertarik padanya," ucap Edric.
"Jangan seperti itu, Edric. Ini semua demi kebaikanmu. Tak ada gadis lain yang sebanding dengan kekayaan dan kehormatan keluarga kita selain keluarganya. Soal cinta itu gampang, kalian akan bisa saling mencintai jika kalian sudah sering bersama. Apalagi jika kalian sudah menikah, cinta itu pasti akan datang dengan sendirinya," ucap Alfred.
Edric tak bisa lagi membantah ucapan Alfred. Mereka berdua ayah dan anak yang keras kepala. Edric tak bisa membuat ayahnya membatalkan perjodohannya dengan gadis yang tak ia harapkan. Sedangkan Alfred juga tak bisa membuat Edric bisa menerima Aileen.
Edric keluar meninggalkan Alfred yang masih berdiri di kamarnya. Ia tak mungkin bisa mengusir ayahnya dari kamarnya, untuk itulah lebih baik dirinyalah yang pergi meninggalkan kamarnya.
Alfred hanya membiarkan putranya pergi, ia pikir jika saat ini putranya itu memang sedang ingin sendiri.
"Edric, kau mau ke mana, Sayang?" Danae bertanya pada Edric begitu ia melihat Edric menuruni anak tangga dengan tergesa.
Edric diam karena ia sedang malas meladeni orangtuanya. Menurutnya ayah dan ibunya sama saja, sama-sama selalu memaksakan kehendak mereka terhadap dirinya.
"Edric ...." Danae berjalan membuntuti Edric karena putranya itu tak memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Edric, jangan seperti ini, Sayang. Ini kami lakukan demi dirimu. Ayah dan Ibu sangat menyayangimu," sambung Danae.
"Aku menolak perjodohan ini, Ibu. Jika Ibu menyayangi aku, maka bicaralah kepada Ayah untuk menghentikan perjodohan ini." Edric berjalan meninggalkan Danae. Ia mengemudikan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah mewah orangtuanya ini.
"Edric!" seru Danae.
"Sudah, biarkan saja. Dia butuh sendiri untuk menanagkan pikirannya." Ucap Alfred yang tiba-tiba berdiri di belakang Danae.
Danae membalik tubuhnya menghadap Alfred. "Tapi aku mencemaskannya. Edric putra kita satu-satunya."
"Aku akan mengurus semua, kau tenanglah saja."
Berbeda dengan situasi di rumah keluarga Hugo yang terasa tegang, di keluarga Berenice tampak begitu tenang. Bahkan Arthur dan Samantha merasa senang karena melihat Aileen yang terus saja menghiasi bibirnya dengan senyuman setelah pulang dari makan malam bersama dengan keluarga Hugo.
"Sepertinya putri kita menyukai Edric," ucap Samantha.
"Ya, kurasa juga begitu," sahut Arthur.
"Apa tidak apa jika kita menjodohkan Aileen secepat ini? Kita hanya memiliki Aileen sebagai putri kita satu-satunya, Sayang. Jika kau menjodohkannya secepat ini, maka waktuku dengan Aileen sudah tak banyak lagi." Ucap Samantha dengan raut wajah yang murung.
"Pernikahan mereka masih beberapa tahun lagi, Samantha. Selama itu kau bisa menghabiskan waktumu dengan putri kita. Lagipula sepertinya Edric adalah pria yang tepat untuk putri kita," ucap Arthur.
"Ini salahku. Kenapa aku hanya memiliki satu putri. Harusnya aku memiliki banyak putri dan juga putra agar di hari tuaku tak kesepian." Samantha mulai merajuk.
Arthur hanya bisa diam mendengarkan rajukan istrinya. Dulu dirinya memang tak mengizinkan Samantha kembali mengandung karena ia tak tega dan takut jika ia harus kembali melihat istrinya meregang nyawa. Karena saat melahirkan Aileen, saat itu Samantha menderita eklampsia. Dan hal itulah yang membuat dirinya trauma dengan kehamilan Samantha.
***
Semarang, 9 Maret 2022
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top