Semesta 29
Beter eerst de sterren raken en een paar opmerkingen achterlaten ⭐
Better hit the ⭐ first and leave some comments
🐝🌻🐝🌻🐝🌻
Tiga bulan sudah usia pernikahan Bryan dan Hannah, masih sangat seumur jagung, masih menyesuaikan ritme kehidupan sebagai sepasang suami-istri serta meredam masing-masing ego karena dua kepala yang berbeda ini.
Sepanjang tiga bulan ini juga, Hannah selalu mendengar pertanyaan yang sama setiap kali bertemu wartawan atau bahkan orang yang bertemu dengannya di mall maupun ruang publik lainnya. Pertanyaan kapan punya momongan kerap Hannah dengar hampir setiap hari.
Tentu Hannah tak ambil pusing pada awalnya namun beberapa minggu terakhir ini Hannah mulai bosan mendengarnya. Merasa tak mungkin marah jika ditanya seperti itu, Hannah hanya melempar senyum dan minta di doakan agar segera dititipkan seorang anak yang akan menjadi kebanggaannya juga Bryan.
"Whatever they say, whatever they say..." gumam Hannah sambil terus menggambar di atas kertas yang sebentar lagi selesai.
Hannah sudah ada di butik lagi siang ini meskipun sejak tadi matanya sayu karena pusing kepala melandanya entah kenapa padahal sarapan pagi ini cukup berat karena Bryan meminta dimasakkan egg benedict serta roti dan daging.
"Pucet amat bu bos?" tanya Tiwi memperhatikan boss nya itu meski Hannah sedang menunduk menghadap kertasnya.
"Pucet kenapa sih, Wi? Nggak apa-apa..." jawab Hannah tak menatap asistennya itu.
"Ya lain aja bos... Biasanya udah make up gini makin kinclong kan..."
Hannah terdiam, tak lagi menyangkal ia juga sedikit menyadari pulasan rias di wajahnya nampak kurang, tidak seperti biasanya tapi karena Hannah hanya stay di butik dan tidak keluar-keluar jadinya ia biasa saja tak mempedulikan tampilan wajahnya.
"Nanti touch up. Hari ini bener nggak ada apa-apa kan?" tanya Hannah pelan sambil merubah posisi duduknya karena merasa perutnya bergejolak seperti ingin memuntahkan sesuatu.
"Nggak ada bu bosss..." jawan Tiwi sekali lagi karena pertanyaan tadi sudah muncul sejak shubuh tadi pagi.
"Uuukkk..." Hannah bangun dari kursinya segera masuk ke toilet dan memuntahkan semua makan paginya.
Berulang kali Hannah muntah sampai akhirnya tak ada lagi yang keluar, hanya air hingga Hannah lemas dan harus dibopong Tiwi keluar dari toilet.
Wajah Hannah semakin pucat dan matanya nampak sayu, ia bersandar pada bantal sofa sambil Tiwi mengoleskan minyak hangat ke atas perut Hannah.
"Nggak sarapan ya bu?"
"Sarapan Wi, bapak nggak akan ngebolehin saya skip makan pagi." jawab Hannah setengah bergumam.
"Wi anter ke rs ya bu? Ibu pucet banget, nanti kalau kenapa-kenapa saya yang disalahin bapak..." rayu Tiwi tapi Hannah terus menggeleng menolak ajakan asistennya itu untuk ke rumah sakit.
Sampai akhirnya Hannah kembali lari ke toilet dan tinggal air yang bisa Hannah muntahkan hingga ia terduduk di lantai tak sanggup untuk berdiri dan berjalan keluar.
Tanpa banyak bertanya lagi, Tiwi membantu Hannah berdiri lagi dan pelan-pelan menuruni tangga dibantu beberapa karyawan butik lainnya lalu masuk ke dalam mobil dan segera menuju rumah sakit.
Setengah sadar Hannah dalam perjalanan hingga tiba di UGD, beberapa petugas UGD yang di panggil Tiwi mengenali Hannah dengan sigap langsung membawanya masuk dan dibaringkan pada bed yang kosong.
Hannah sudah familier dengan aroma khas rumah sakit yang langsung menusuk indera penciumannya ketika pertama kali ia membuka mata. Aroma wangi karbol bercampur dengan obat-obatan juga antiseptik.
"Ugh..." gumam Hannah sambil memijat pelipisnya ketika kesadarannya mulai kembali meski belum sepenuhnya.
"Bagaimana mbak Hannah? Masih terasa mualnya?"
Hannah mengangguk. "Dok, jangan panggil dr. Bryan ke sini ya?" pinta Hannah.
Dokter jaga UGD mengerutkan dahinya mendengar permintaan Hannah, bahkan tanpa aba-aba pun para suster jaga sudah ada yang memanggil Bryan untuk datang ke UGD karena Bryan wajib tahu.
"Maaf mbak Hannah, tapi dr. Bryan baru saja dipanggil oleh suster untuk datang ke sini dan mengecek sendiri keadaan mbak Hannah." jawabnya membuat Hannah pasrah dengan apa yang akan Bryan lakukan setelah ini.
Benar saja, Bryan muncul beberapa menit kemudian dan Hannah yang mendengar suara Bryan langsung memejamkan matanya tak ingin mendengar apapun dulu saat ini.
"Gimana keadaan Hannah, dr. Irsyad?" tanya Bryan, suaranya terdengar khawatir.
"Menurut keterangan asistennya Mbak Hannah dan dari beliau sendiri katanya baru saja muntah-muntah dok. Indikasi saat ini ada masalah dengan lambung Mbak Hannah, setelah ini ada dr. Nia dari interna, datang untuk periksa Mbak Hannah ya, dr. Bryan."
Bryan menganggukkan kepalanya lalu mengucapkan terima kasih. Ia segera menuju bed di mana Hannah sedang beristirahat, nampak wajah putih Hannah terlihat amat pucat.
Usapan tangan Bryan di kepala Hannah tidak mengganggu tidurnya sama sekali. Bryan bingung kenapa istrinya ini padahal tadi pagi nampak baik-baik saja bahkan terlihat sakit pun tidak.
"Kenapa bisa begini sayang?" gumam Bryan sambil mengusap kepala Hannah.
Dr. Nia datang langsung memeriksa keadaan Hannah tanpa ada intervensi dari Bryan sedikit pun. Bryan hanya menjawab apa yang ia tahu tentang kondisi Hannah hari ini sebelum muntah-muntah seperti tadi.
"Sepertinya ini bukan dari lambung, dr. Bryan." dr. Nia lantas tersenyum saat ia menyampaikannya. "Ada indikasi lain sepertinya." lanjut dr. Nia.
"Maksudnya dok?" Bryan heran.
"Saya kok curiga sesuatu. Saya coba rujuk ke poli Obsgyn ya. Siapa tahu nanti di sana ketemu jawabannya." ujarnya membuat Bryan mengangguk nampak sedikit bingung.
Dalam hati, Bryan tak menampik jika kemungkinan itu ada namun ia harus siap dengan segala sesuatu untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi karena ini baru saja kecurigaan.
Hannah terbangun lalu hanya menatap Bryan tanpa mengucap sepatah katapun. Ia masih tergolek lemas saat Bryan tersenyum di hadapannya, Hannah paham setelah ini pasti dirinya akan diceramahi habis-habisan oleh suaminya ini.
"Dr. Bryan, kursi rodanya sudah siap. Mbak Hannah bisa dibawa ke poli Obsgyn sekarang." ujar salah satu suster sambil membawa kursi roda yang siap Hannah duduki.
"Oh, iya." jawab Bryan. Dibantu suster tadi, Hannah pindah duduk ke kursi roda. Ia masih belum mendengarkab sepenuhnya perkataan suster tadi karena ia terlalu lemas untuk sekedar menanggapi susternya ini.
🐝🌻🐝🌻🐝🌻🐝🌻🐝
"Permisi dr. Nadia..." ucap suster sambil membuka ruangan dr. Nadia yang tak lain adalah Oma dari Bryan sendiri yang masih kuat praktik di usianya yang tak lagi muda.
"Ya, silakan."
Beliau hanya geleng-geleng kepala setelah membaca semua diagnosa yang tertera dalam medical record yang sampai lebih dulu padanya sebelum Bryan dan Hannah ke sini.
"Hannah masih terasa mual ingin muntahnya?" tanya Oma Nadia, Hannah hanya menggeleng pelan karena rasa itu hilang begitu saja namun moodnya jadi berantakan.
"Sebenarnya Hannah ini kenapa, Oma?" tanya Bryan penasaran.
"Kita periksa aja yuk. Bryan bantu Oma baringkan Hannah ya."
Bryan lantas menuruti perintah Omanya lalu membawa Hannah berbaring pada bed periksa. Lagi-lagi untuk kali Ini Bryan membiarkan ahilnya untuk mengecek keadaan istrinya memastikan semua baik-baik saka termasuk kemungkinan jika Hannah tengah mengandung saat ini.
Tirai periksa sudah tertutup dan Bryan tidak diperbolehkan untuk melihat dahulu. Dengan cemas Bryan menunggu di kursi pasien sambil sesekali mengusap wajahnya perlahan.
"Tarik napas ya, Han."
Hanya itu yang Bryan bisa dengar, selebihnya ia hanya menunggu dan menunggu saja sampai pemeriksaan selesai dan Hannah duduk di bed periksa dengan wajahnya yang masih pucat.
"Gimana Oma?" tanya Bryan penasaran ketika Hannah sudah kembali duduk di sampingnya lalu Bryan mengambil tangan Hannah dan mengusap punggung tangannya.
"Hmm, kalian ini. Hannah nggak sadar ya bulan ini tidak menstruasi? Setelah nikah sempet mens kan?" tanya Oma serius.
"Sempet Oma. Setelah menikah Hannah menstruasi kok seperti biasa." jawab Hannah meski pelan.
"Bulan ini?" tanya Oma lagi, Hannah diam sejenak menghitung berapa lama ia tidak mendapat tamu bulanannya.
"Sudah ada penebalan dinding rahim juga sudah ada kantung kehamilannya." jawab Oma Nadia tiba-tiba.
Bryan dan Hannah terdiam bingung.
"Dan usianya sudah 4 minggu lebih dua hari, selamat ya, Hannah. Harusnya kamu bisa lihat perubahan di tubuh Hannah, Mas."
"MasyaAllah. Alhamdulillah..." Bryan lantas memeluk Hannah di sampingnya yang juga sama-sama bahagia.
"Tapi Hannah nggak merasakan apapun, Oma. Kebetulan Hannah juga pikir kalau telat biasa karena perubahan siklus." jawab Hannah setelah Bryan melepaskan pelukannya.
"Iya selama kamu dan calon janinmu nggak ada masalah, it's okay. Setelah ini harus dijaga ya, Hannah, Bryan. Kurangi aktivitas fisik yang melelahkan, karena masih rentan dan rawan." pesannya.
"Iya makasih Oma. Maafin Mas, ke depan mamas lebih perhatian ke Hannah."
"Sebaiknya istirahat di rumah dulu kalau Hannah masih muntah-muntah seperti tadi. Takutnya kalau Hannah memaksakan diri untuk bekerja akan bahaya ke Hannah dan janinnya. Kamu mas, jaga istrimu."
Oma Nadia segera menuliskan resep beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh Hannah selama masa kehamilannya.
"Sekitar 3 minggu lagi cek up ya. Di minggu ke 8 detak jantung biasanya sudah ada, nanti kita cek ya. Mas Bryan, sekalian puasa dulu ya." Oma Nadia mengerlingkan matanya sambil menahan tawa, Hannah pun.
"Puasa apa Oma?"
"Ah masa gitu aja nggak paham..."
Hannah masih menahan tawanya saat melihat ekspresi Bryan yang wajahnya nampak memerah karena malu diingatkan untuk puasa hal yang satu itu.
"Walaupun mual, makan ya Han. Apapun, buah atau makanan lain yang Hannah suka ya." pesan Oma Nadia sekali lagi saat mereka berdua akan pulang sambil mengusap-usap perut Hannah yang masih nampak datar.
"Iya. Makasih Oma." ujar Hannah.
"Kami pamit dulu." pamit Bryan.
Jantung Hannah semakin terpacu cepat setelah keluar dari ruangan Oma Nadia. Sesekali ia melirik Bryan di sampingnya, memang, Bryan menggandeng tangannya tapi wajahnya masih nampak sedikit kesal, entah karena apa. Sepanjang jalan menuju parkiran pun tak ada satu kata yang keluar, hanya diam dan Hannah pasrah jika setelah ini Bryan akan memarahi dirinya karena teledor dengan tidak mengetahui kehamilannya sendiri.
"Kamu beneran nggak nyadar kalau lagi hamil?" tanya Bryan dingin begitu mereka duduk di dalam mobil.
"Enggak, Mas, maaf." Hannah menggeleng polos menjawab pertanyaan suaminya.
"Aku nggak suka ya. Kamu terlalu sibuk dengan kerjaan sampai lupa diri sendiri." lanjut Bryan, Hannah hanya bisa menunduk dan diam-diam matanya basah menahan air mata yang akan meluncur keluar. Mood Hannah sedang sensitif.
"Aku mau minta jadwal show kamu ke Tiwi." titah Bryan tak bisa lagi Hannah menolak.
"I.. Iya Mas."
"Aku mau minta cancelin yang nggak penting-penting."
"Tapi..."
"Apa?"
Hannah menggeleng kan kepalanya cepat-cepat dan menyimpan lagi alibinya.
"Apa Hannah? Bilang!"
"Ng.. Nggak Mas, maaf. Ayo kita pulang,"
"Aku juga nggak suka kalau mau ngomong terus nggak jadi. Katakan apa?"
"Lusa.. Lusa aku ada janji. Boleh ya aku pergi?"
"Sama?"
"Mbak Dian. Soal project waktu itu."
"Reschedule aja. Kamu denger kan Oma bilang apa? Untung ketahuan. Coba kalau nggak? Ckckck..."
"Iya, aku minta tiwi reschedule nanti." Hannah semakin menunduk dan hanya bisa mengusap perutnya perlahan merutuki kebodohannya.
"Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, Hannah. Please, kali ini lebih sayang ke kamu dan anak kita. Ini bukan cuma soal kamu, sekarang ada nyawa lain di perutmu, amanah dari Allah. Tolong lihat orang - orang yang sedang mendambakan hal ini tapi masih sulit."
"Maafin aku. Aku beneran nggak sadar sampai tadi aku merasa pusing dan mual, Mas."
"Ya sudah, yang penting dia nggak apa-apa. Kamu juga udah nggak apa-apa. Habis ini beneran bedrest."
Hannah mengangguk dan ia baru menyadari juga bahwa Bryan membawanya pulang ke rumah ibu mertua, bukan ke apartment mereka di Kemang.
"Kenapa nggak pulang ke apartment mas?" tanya Hannah.
"Nggak apa-apa, biar ada yang jaga kalau aku jaga malam. Biar kamu ada temennya, ada Bryna, ada Mom, ada bibik."
Hannag hanya mengangguk-angguk lalu mengusap wajahnya dengan tissue dan memakai lipstick agar wajahnya tidak tampak pucat seperti orang sakit.
Tak tega sebetulnya Bryan memarahi Hannah seperti tadi tapi ini benar-benar kelewatan sampai Hannah tidak tahu perubahan apa yang terjadi dalam tubuhnya bahkan ada nyawa lain yang sedang berusaha untuk berkembang di dalam rahimnya. Tangan Bryan terulur lalu mengusap kepala Hannah perlahan berharap semoga usapannya itu meredakan sedih di hati Hannah yang sedang sensitif ini.
Mereka turun dan masuk ke dalam rumah, kebetulan memang hari ini Mommy mereka sedang ada di rumah karena si bungsu manja sedang sakit ingin di temani Mommynya.
"Assalamualaikum, mom."
"Lho, kalian kok jam segini udah pulang?"
"Iya mom, Hannah habis dari KMC."
Aliya mengerutkan dahinya. "Kamu kenapa?"
"Kami habis dari Oma Nad mom. Hannah nggak sadar mom, Ternyata ada penebalan rahim juga kantung kehamilannya sudah ada, Alhamdulillah Hannah hamil." jawab Bryan.
Ucapan Hamdallah terdengar dari mulut Aliya. "Hmm.. Ya wajar karena baru hamil pertama kali toh? Ya mungkin dengan cara Hannah muntah tadi si adik kasih sinyal, kamu juga salah mas, kenapa nggak perhatikan haidnya Hannah? Kamu kan setiap hari ketemu."
Skak. Bryan terdiam.
"Hehehe, iya mom. Tapi so far so good kok nggak ada masalah apa-apa, cuma tadi mual muntah aja." jawab Hannah malu-malu.
"Ya sudah nggak apa-apa, yang penting kamu sehat, janin juga sehat. Mas Bryan jangan dimarahin Hannah nya."
Bryan hanya mengangguk dan segera membawa Hannah ke kamarnya untuk istirahat tapi Bryan harus kembali ke rumah sakit lagi untuk menyelesaikan shift nya dan pulang malam nanti.
"Aku harus balik ke KMC, kamu sendiri dulu nggak apa-apa ya?"
Hannah mengangguk. "Iya nggak apa-apa."
Kecupan hangat mendarat di kening Hannah sebelum Bryan kembali berangkat ke rumah sakit dan Hannah istirahat di rumah lalu pelukan hangat menyergapnya.
"Maaf ya sayang," ujar Bryan sambil memeluk Hannah.
"Maafin aku juga Mas, sebenernya udah dua kali aku test pack waktu bulan pertama dan kedua kita menikah aku telat tapi semua hasilnya negatif dan aku nggak mau bilang ke kamu soal itu karena aku takut kamu kecewa. Dan di saat aku pasrah nggak mau kecewa sama diriku sendiri untuk ketiga kalinya, lalu semua orang menanyakan hal yang sama, Allah titipkan dia di sini." jujur Hannah sambil menatap Bryan penuh harap.
Bryan merangkum wajah Hannah dan menempelkan keningnya ke kening Hannah lalu satu tangannya mengusap perut Hannah lagi. "Apapun itu aku nggak akan kecewa. Kita sama-sama berusaha dan berencana, Allah yang menentukan. Alhamdulillah sudah ada jawabannya dan sekarang dijaga, tiga minggu lagi kita dengar detak jantungnya ya."
Hannah mengangguk, matanya berair lagi lalu kembali memeluk Bryan erat. Buncah bahagia tak bisa lagi ditutupi, sungguh Hannah memang mendamba hal ini namun dua kali kecewa di awal membuatnya tak berharap banyak dan pasrah saja kapan Allah akan memberinya kepercayaan untuk mengandung.
🌻🐝🌻🐝🌻🐝🌻
Good morning!!!! Ahoyyy genkssss Akhirnya aku kembalii YUHUUU! Vote dan komennya jangan lupa yaaa panjang bener ini partnya hahahah met baca!
#dahgituaja
#awastypo
Au revoir
Dudui
Merci
Danke,
Ifa 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top