Bagian 3 - Mencairkan Batu

Mungkin ini skenario tuhan, membuatku mengenalmu lebih jauh.



Walaupun, Mentari tahu Abang Langit tetap saja galak.

🌤🌤🌤

Selesai makan, Mentari memesan makanan kembali. Sepertinya tidak salah mencoba pendekatan dengan Langit siapa tahu galaknya Langit mereda dan hatinya luluh untuk menerima Mentari magang di perusahaannya.

"Kamu pesan makanan untuk siapa?" tanya Awan heran.

"Abang Langit."

Awan tersenyum, "sepertinya Abang tahu rencana kamu."

Mentari hanya terkekeh.

Sambil menunggu pesanan datang Mentari menanyakan banyak hal kepada Awan tentang mekanisme magang di perusahaan Langit dan Awan. Setidaknya saat magang nanti, sudah ada hal yang Mantari persiapkan. Ya walaupun Mentari belum tentu diterima, apalagi, harus mencairkan batu macam Langit.

"Mentari bolehkan ikut ke kantor, Abang?" tanya Mentari memohon.

"Boleh, apapun untuk Mentari."

Jika seperti ini saja Awan mensepesialkan Mentari. Apalagi, nanti jika sudah menjadi istri? Pikiran Mentari semakin kemana-mana. Sepertinya, lampu hijau semakin didepan mata, Mentari sangat menanti hari itu tiba.

Pesanan datang, Awan menuju kasir untuk membayar. Mentari masih memperhatikan Awan dengan senyum yang tidak berhenti mengembang.

🌤🌤🌤

Tatapan tajam itu masih fokus pada layar monitor, dengan saksama membaca teks demi teks yang ada didalamnya. Sesekali pemilik tatapan tajam menyesap air yang tersedia, bahkan ia melewatkan jam makan siangnya.

Ketukan pintu tidak membuatnya beralih, hanya ucapan dingin yang ia lontarkan, "masuk."

Tanpa berdosa seorang gadis menyembul dari balik pintu sambil tersenyum dengan manisnya.

"Abang Langit main yuk," ucap gadis itu sambil terkekeh.

Langit yang mendegar itu, mencoba menenangkan dirinya ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin si lambe turah ada disini. Memang iya, tadi ia sempat memikirkan gadis itu, tetapi, demi apapun ia tidak pernah meminta adanya gadis itu.

Sambil terus beristighfar Langit melihat ke arah pintu, betapa terkejutnya ternyata benar itu si lambe turah. Jika ada yang beri Langit satu permintaan, Langit meminta hilangkan Mentari sekarang juga, bisa-bisanya dia ada disini.

"Ini kantor, lo udah gila ya ada disini," ucap Langit sewot.

Bukannya menjawab Mentari masuk dengan santai, "jangan suka marah-marah, enggak kasihan gadis unyu begini di marahin terus."

"Siapa yang mempermudahkan akses lo untuk datang kesini?" tanya Langit memastikan.

"Abang Awan," jawab Mentari enteng sambil membuka makanan yang memang sengaja dibawakan untuk Langit.

"Awannn!"

"Huts, Abang Langit jangan berisik. Ini Mentari bawain makan siang untuk Abang, Mentari tau Abang belum makan siang, kan? Ini sebagai kompensansi."

Setelah selesai, berkutat dengan makanan untuk Langit. Mentari menghampiri Langit dengan membawa mangkuk plastik beserta sendoknya.

"Satu langkah lagi lo maju, gue panggilan satpam," ancam Langit.

Mentari hanya tersenyum, ia tidak boleh takut dengan ancaman Langit apalagi wajah sangarnya itu. Demi bisa magang di perusahan ini.

Betapa terkejutnya Langit, saat Mentari menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Ini udah jam berapa, tetapi, Abang Langit belum makan siang. Memangnya enggak laper apa? Jangan geer ya, ini Mentari cuma bantuin aja supaya Abang Langit enggak sakit," ucap Mentari.

"Sengaja Mentari beliin makanannya yang pakai sayur, biar Abang Langit makin sehat walafiat," lanjut Mentari.

Mentari masih menyuapi Langit dan Langit hanya menerima dengan mendegarkan wejangan Mentari, "sepertinya, Mentari harus bawa bekal double. Satu untuk calon suami dan satu lagi untuk calon kakak ipar."

Saat Mentari ingin menyuapinya lagi, Langit menahanya. Stop! Ini sudah keterlaluan. Sebelum emosinya meledak Langit menghabiskan air tanpa sisa.

"Mundur," titah Langit.

Mentari menaruh mangkuk di atas meja kerja Langit lalu menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Satu," ucap Langit mulai menghitung.

"Atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka," lanjut Mentari.

Mimpi apa semalam Langit bisa kedatangan tamu di kantor macam Mentari.

"Intinya apa tujuan lo kesini?" tanya Langit sudah pusing dengan kelakuan super ajaib Mentari.

"Mau minta persetujuan magang sekaligus minta restu."

"Sepertinya lo sakit, ayo gue anter ke rumah sakit."

"Mentari sehat-sehat aja kok, Mentari beneran mau magang disini."

"Enggak!"

"Boleh ya?" pinta Mentari memohon.

"Enggak!"

"Abang Langit, jangan galak-galak ya sama Mentari. Emang enggak takut kena Azab?" tanya Mentari.

"Lo kebanyakan asupan sinetron."

"Kalau gitu, lanjutkan makannya ya. Mentari tunggu jawabannya. Terima Mentari ya," ucap Mentari langsung buru-buru meninggalakn ruangan Langit, sepertinya bom akan segera meledak melihat tatapan Langit yang tidak seperti biasanya.

Setelah pintu ruangan tertutup Langit mengembuskan napasnya, selain emosinya yang dibuat meningkat ternyata detak jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya, apa iya orang seaneh Mentari dapat membuatnya seperti ini?

"Kalau terima kamu jadi istriku bagaimana?" lirih Langit tanpa sadar.

🌤🌤🌤

Mentari tertawa sambil menutup mulutnya, masuk ke kandang macan sepertinya tidak begitu menyeramkan apalagi macannya modelan Lagit. Saat memasuki lift Mentari masih tertawa, tawanya terhenti saat melihat Awan di lift yang sama tengah tersenyum.

"Abang Awan," lirih Mentari.

"Baru ingin jemput kamu," ucap Awan masih dengan senyumnya.

"Takut kamu kenapa-napa," lanjut Awan seakan tahu bahwa Mentari akan menjadi santapan melejatkan bagi Langit.

Mentari kembali terkekeh, Awan mengkhawatirkannya hanya karena Mentari bersama Langit. Langit tidak semeyaramkan itu kok, ya walaupun tetap saja galak.

"Abang Awan enggak perlu khawatir, Mentari aman," ucap Mentari tersenyum memastikan bahwa ia baik-baik saja.

"Kelihatannya sih begitu, lalu bagaimana magang kamu? Diterima?"

"Abang Langit memang tega, tetapi, Mentari enggak akan nyerah gitu aja."

Awan tersenyum seraya memberi semangat kepada Mentari. Tak lama dari itu lift terbuka, Awan dan Mentari keluar bersamaan. Lobi memang selalu ramai, banyak karyawan ataupun pengunjung yang berlalu lalang. Tak heran banyak yang tersenyum atau menyapa Awan, tetapi, melihat Mentari di samping Awan membuat mereka heran dan bertanya-tanya karena ini kali pertama atasannya membawa seorang gadis.

"Aku antar kamu pulang ya?" tawar Awan padahal saat di restauran Mentari bilang jika pulang nanti dia bisa naik ojek online.

"Enggak bisa nolak," jawab Mentari sambil terkekeh.

Sebelum mengucapkan ini Awan menarik napasnya dalam-dalam seraya mengucapkan bismillah dalam hati, "kalau menikah denganku bagaimana?" tanyanya.

Mentari yang sedang memainkan ponsel tidak fokus akan ucapan Awan, "hah, Bang Awan ngomong apa tadi? Mentari enggak dengar."

"Bukan apa-apa, kalau gitu Abang ambil mobil dulu," ucap Awan meninggalkan Mentari seraya mengembuskan napasnya. Ternyata mengungkapan perasaan tidaklah mudah, sekalinya berani mencoba ternyata waktu dan tempatnya tidaklah tepat. Mungkin lain waktu mencoba kembali dan mempersiapkan tempat yang lebih romantis. Walaupun, bagi Awan bukan masalah waktu dan tempatnya, tetapi, keberaniannya dan bagaimana kelak menjadi pasangan halal yang di ridhoi-Nya.

🌤🌤🌤

27 Mei 2020 | Ramadhan yang telah berlalu🤭

🌻Jadikan Al-Qur'an Bacaan Utama🌻

Jazakillah sudah berkenan mampir, semoga terhibur dan memberikan manfaat lebih. Mengisi waktu #Dirumahaja dengan membaca Langitku Surgaku.

Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf lahir batin🙏🏻

100 komentar langsung update lagi🤭

See you next chapter💜

Jalin silaturahmi melalui instagram @poppytaayunrs & @imajinasipy_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top