3. Inikah Cinta?
Happy Reading
*****
"Mukanya biasa aja," ucap seorang pemuda di dalam mobil.
"Mas, itu ngeselin dari dulu." Olivia membuka pintu mobil, kaki kanannya sudah menginjak tanah. Namun, pegangan dari pemuda itu mampu mengentikan langkah si bungsu. "Apalagi, sih, Mas. Katanya dah telat."
"Mas, janji kalau proyek ini berhasil apa pun yang Adik mau tak turuti." Kedua tangannya mengatup, meminta maaf pada Olivia.
"Oke ... oke, tapi janjinya nggak boleh ingkar kayak yang sudah-sudah," kata gadis bergamis maroon dengan kerudung berwarna senada, jari telunjuknya yang diacungkan ke wajah sang pemuda seolah menegaskan.
"Insya Allah, cantik. Senyum dong!" Pemuda itu mengayunkan tangan kanannya, mengingatkan si bungsu untuk mencium.
"Lupa, Mas. Hati-hati, nggeh. Semoga berhasil proyeknya," ucap Olivia tulus pada Alfi Fauzi, saudara lelakinya.
Kecupan penuh kasih sayang Alfi berikan pada gadis yang selalu dianggap masih kecil oleh keluarganya, meskipun kini dia sudah dewasa. Bagi Haidar sekeluarga, Olivia akan tetap seorang anak kecil yang harus dijaga dengan sangat baik.
"Mas, ih. Jangan cium-cium Adik sembarangan. Ada yang lihat 'kan malu. Dah, Adik turun, masih jauh ini jalannya." Cepat Olivia keluar mobil.
Alfi tersenyum, Olivia kini malu saat dicium pipinya seperti tadi. Padahal dulu dia yang sering minta diperlakukan dengan sayang oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Andai tak ada janji dengan kliennya, pemuda dengan bulu tipis di bawah bibir itu pasti akan mengantar si bungsu sampai depan gerbang kampus. Namun, si klien tak mau menunggu sebentar saja dengan alasan apa pun dari pemuda beralis tebal itu.
*****
Ilyas menatap lurus gadis di hadapannya. "Sedang apa dia di sana?" ucapnya lirih.
Beberapa menit pemuda itu menunggu, memastikan keadaan Nafeeza. Namun, sampai hampir setengah jam berlalu, gadis itu masih belum beranjak dari tempat duduknya di sebuah bangku yang terbuat dari beton semen di pinggir jalan. Beberapa kali Nafeeza tampak menghubungi seseorang. Tak tega dengan situasi di depannya, Ilyas memberanikan diri mendekat.
"Assalamualaikum," salamnya dengan suara sedikit gugup.
Nafeeza menengok. "Waalaikumsalam. Kenapa, Bang?" tanyanya.
"Kamu lagi nunggu siapa?"
"Papa, Bang." Fokus Nafeeza masih pada ponsel.
"Memangnya kamu enggak bawa kendaraan sendiri? Terlalu lama kamu nunggu juga enggak baik. Ini sudah lewat setengah jam kamu di sini."
"Kok Abang tahu kalau aku dah nunggu lebih setengah jam?" tanya Nafeeza heran karena sedari tadi dia duduk tak terlihat pemuda itu sedikitpun.
"Mas itu yang ngomong," tunjuk Ilyas pada salah satu peserta yang mengikuti seminar dengannya tadi. Jelas dia malu jika ketahuan mengamati Nafeeza.
"Masak, sih? Aku nggak lihat dia dari tadi. Emange Abang kenal sama masnya?" Telak, perkataan Nafeeza membuat Ilyas gelagapan.
Pemuda itu menyugar rambut, gugup dan bingung. Alasan apa lagi kini yang harus dia katakan. "Rumahmu daerah mana? Aku antar pulang. Di sini enggak aman untuk perempuan sepertimu."
Demi apa pun, Nafeeza melongo dengan ucapan Ilyas. Angin apa yang membuatnya berniat seperti itu. "Yakin mau nganter aku, Bang?" tanyanya masih dengan segala keraguan.
"Ya, sudah kalau enggak mau. Aku duluan, ya. Hati-hati! Di sini sering terjadi perempokan dan penjambretan," Ilyas berbalik arah, tetapi bibirnya sedikit terangkat ketika muka masam Nafeeza terlihat takut akibat perkataannya.
"Bang, tunggu!" teriak Nafeeza.
"Apalagi?"
"Tawarannya masih berlaku, 'kan? Papa barusan ngasih kabar, kalau urusannya masih agak lama, jadi aku suruh nunggu," terang Nafeeza memelas.
"Masih. Ayo! Mobilku ada di sana," tunjuk Ilyas pada sebuah kendaraan roda empat berwarna silver.
Nafeeza berjalan mendahui Ilyas. Entah mengapa sejak perkataan pemuda itu, ngeri menyelimuti jiwa. Pikirannya mengembara ke mana-mana, membayangkan jika gadis berbaju baby pink itu mengalami hal serupa. Namun, sampai dirinya sudah berada di depan mobil yang ditunjuk, si empunya masih berdiri mematung di tempat semula.
Gadis itu menengok dan berkata sedikit berteriak. "Bang, mau nganterin aku pulang nggak?"
Tersadar dari lamunannya, Ilyas berjalan setengah berlari mendekati Nafeeza. "Iya. Kenapa semua cewek itu enggak sabaran, ya?" Memasukkan kunci mobilnya.
Nafeeza berjalan berseberangan dengan Ilyas, lalu membuka pintu depan. Saat kaki kanan telah siap memasuki mobil. Suara Ilyas mengurungkan niatnya.
"Kamu mau apa?" tanya Ilya dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Nafeeza.
"Ya, duduk, Bang." Nafeeza melirik pemuda di sampingnya.
"Duduknya di belakang saja. Kursi ini, hanya untuk orang spesial." Kalimat Ilyas sukses membuat gadis yang memiliki tahi lalat di bawah bibir sebelah kiri itu melongo.
Abangnya Afrida memang aneh. Biasanya juga kalau ada dua orang naik mobil, ya, duduk bersebelahan di depan. Kenapa malah aku disuruh duduk di belakang, 'kan berasa dia sopirku, ya. Nafeeza tersenyum simpul.
"Ntar kalau Abang dikira sopir angkutan online emang ndak masalah?" tanyanya meyakinkan.
"Jangan banyak protes. Cepet naik atau aku tinggal!"
Nafeeza semakin tak mengerti dengan sikap Ilyas. Namun dia tetap menuruti perintah pemuda itu. Saat kaki kanannya melangkah masuk, dia sengaja menghentakkan sedikit keras, meluapkan segala emosi.
Dalam hati, Ilyas berkata. Aku belum bisa memastikan rasa ini karena terlalu dini untuk disimpulkan, tapi yang jelas suatu saat nanti kamu pasti tahu mengapa aku melarangmu duduk di sini.
Perlahan Ilyas menjalankan kendaraan menuju alamat yang diberikan si gadis. Sesekali dia melirik dari kaca di depannya. Jantung itu kian berdenyut kencang melihat bibir Nafeeza yang tampak cemberut.
Astagfirullah, buang jauh pikiran kotor ini, Ya Allah.
Waktu berjalan lambat bagi kedua insan yang fokus dengan pemikiran masing-masing.
"Setelah lampu merah itu ada gang, turunin aku di sana, ya, Bang," instruksi Nafeeza.
"Kenapa mesti turun di jalan? Lebih baik aku antar kamu sampai depan rumah. Nolong orang itu harus sampai selesai, enggak boleh setengah-setengah." Ilyas menengok ke belakang.
"Maksudku, biar Abang nggak kerepotan. Gang rumahku cuma bisa dilewati satu mobil aja. Ntar juga Abang kesusahan beloknya," terang Nafeeza tanpa jeda.
"Sudah, ngomongnya?" Ilyas mempertegas ucapan dan mimik mukanya.
"Hu um. Emang kenapa?"
"Aku dah masuk gang. Enggak terlalu sempit menurutku. Jadi, yang mana rumahmu."
Nafeeza memandang kaca, perkataan Ilyas benar sekali. Mereka sudah ada di gang tanpa dia sadari. Gadis itu memanyunkan mulutnya.
"Jadi, mana rumahmu?" ulang Ilyas.
"Rumah yang berpagar kuning di sebelah kanan," tunjuk Nafeeza pada sebuah rumah yang tak jauh dari pandangan mereka.
Beberapa detik kemudian. "Sudah sampai. Bener ini 'kan rumahmu?" Ilyas menghentikan kendaraannya di depan rumah yang disebutkan.
"Ya," jawab Nafeeza. Tangannya sudah meraih gagang pintu, bersiap keluar.
"Maaf, aku enggak bisa mampir. Titip salam buat keluargamu, ya." Ilyas melihat Nafeeza sebentar saat gadis itu sudah turun, gegas dia melajukan kendaraannya tanpa berpamitan lagi.
Di depan gerbang rumahnya, gadis dengan tinggi sekitar 150 sentimeter itu terdiam. Kamu salah satu lelaki teraneh yang pernah aku temui, Bang. Gimana istrimu nanti, ya?
Suara panggilan dari mamanya, membuat si gadis cepat-cepat memasuki rumah.
*****
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 16 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top