2. Pertemuan Kedua.
Cerita ini juga ada di KBM app, ya. Judulnya, 'Mengejar Restu Mertua'
Gratis, kok sampai tamat. Sudah ada 16 bab.
Kalau berkenan, bisa follow akunku di KBM app ya.
Happy Reading
*****
"Sorry, ya, Wan. Aku beneran lupa gara-gara nyariin anak manja satu ini." Ilyas melirik Olivia yang menyuguhkan jus jeruk buatannya.
Sahabat si sulung sejak masih anak-anak itu mencoba menahan tawa ketika Ilyas berkata, apalagi melihat reaksi olivia. Sekilas, Ridwan melirik minuman yang disajikan si bungsu. Ternyata dia tak pernah lupa minuman kesukaannya. Segelas jus jeruk rasanya memang pas di tengah panas mentari saat ini.
"Seterahmu mau ngomong apa, Bang," jawabnya jengkel, Olivia kemudian berlalu meninggalkan keduanya.
"Adikmu ndak berubah dari dulu, Yas." Ridwan tertawa setelah si bungsu pergi. Namun, pandangannya masih terus mengikuti langkah Olivia.
"Jaga pandangan! Jangan dilihat terus, makin terpesona aku yang repot," seloroh Ilyas.
"Hilih sok tau. Ngobrol di kamarmu bisa 'kan? Agak gimana gitu rasanya kalau kita bahas kerjaan di sini." Ridwan memegang gelas jus jeruk, bersiap pindah.
"Bilang aja kamu enggak fokus karena ada dia di sana," tunjuk Ilyas pada Olivia yang duduk di ruang keluarga bersama Aliyah.
"Opo sih, Yas? Kerja yang bener baru halalin anak orang. Belum tentu juga dia mau." Kalimat terakhir yang Ridwan ucapkan sengaja dia katakan dengan lirih.
"Beneran kamu mau halalin adikku?" Bola mata Ilyas membulat sempurna.
"Anak orang, belum tentu juga adikmu. Aneh," jawab Ridwan santai. Mereka berdua sudah berjalan menuju kamar.
"Enggak usah macam-macam! Awas aja kalau sampai adikku kamu permainkan." Ilyas mulai emosi hingga sengaja membuka pintu dengan keras. Segala hal yang menyangkut perempuan di keluarganya akan selalu menjadi prioritas dalam hidup Ilyas.
"Opo, sih? Lanjut kerjaan, ojo bahas lainnya," ucap Ridwan mengalihkan, "jadi, gimana besok? Kamu setuju 'kan penggantikan aku ikut seminar itu?"
"Ya, tapi ingat, jangan lama-lama. Kerjaanku sendiri juga banyak. Bunda sepenuhnya sudah menyerahkan tanggung jawab resto padaku sekarang."
"Siap, Bos," jawab Ridwan disertai gerakan tangan memberi hormat pada Ilyas.
Sebagai partner kerja Ridwan, tentu Ilyas harus profesional. Menggantikan posisi saat sahabatnya itu tidak bisa menghadiri suatu acara. Selama ini keduanya cukup apik menyinkronkan urusan masing-masing agar tak berbenturan satu sama lain.
Diskusi mereka berlanjut sampai panggilan Aliyah terdengar, mengingatkan keduanya untuk segera melaksanakan kewajiban pada Sang Pencipta. Ilyas gegas membuka pintu kamar dan memberitahu pada ibunya akan segera berangkat ke musala.
Tepat ketika mereka berpamitan, Aliyah meminta Ilyas agar salat berjemaah di rumah saja. Alasannya mereka sudah lama tak melakukan hal itu. Olivia sudah menunggu di ruangan yang dijadikan tempat menunaikan kewajiban oleh keluarga Haidar.
"Gimana, Wan. Apa enggak masalah?" tanya Ilyas.
"Sesekali ndak popo, Yas. Ayo keburu habis waktu asarnya!" ajak Ridwan.
Olivia tersenyum saat melihat kedatangan mereka, niat hati memberikan senyum tulus pada si Abang, malah salah sasaran. Ilyas tak menengok pada adiknya itu, tetapi Ridwan yang terus menatapnya. Ketika menyadari senyum itu dibalas oleh orang yang salah, Olivia segera membuang muka.
*****
Pukul tujuh tepat, Ilyas sudah berpamitan pada ibu dan juga ayahnya. Sejak Sania, Bunda dari Haidar berpulang. Pemuda itu meminta restu Hazimah untuk tinggal bersama dengan Aliyah dengan alasan Ibu dan adiknya tidak ada yang menemani ketika Haidar tak bersama mereka.
"Abang pagi sekali berangkat. Apa ada masalah di Resto?" tanya Haidar yang masih duduk tenang dengan sarapan bubur di depannya.
"Enggak, Yah. Abang ada seminar, menggantikan Ridwan. Abang duluan, nggeh, Yah. Adik biar diantar sama Mas aja. Abang dah info dia semalam. Sebentar lagi pasti Mas datang," terang Ilyas.
"Ya sudah. Hati-hati, semoga sukses seminarnya, Bang." Haidar memberi semangat.
Sampai di gedung seminar, Ilyas sudah disambut dengan pemandangan yang cukup membuat jantungnya berlompatan keluar. Gamis berwarna baby pink dengan jilbab yang salah satu ujungnya tersampir ke kanan, aksen blazer di bagian depan membuat gadis itu semakin mempesona di mata Ilyas. Ragu dia menyapa, takut si gadis lupa.
Namun, asumsinya salah. Nafeeza justru datang mendekati Ilyas dan menyapa terlebih dahulu. "Assalamualaikum. Abangnya Frida, 'kan?"
"I-ya." Mendadak Ilyas gagap.
"Ikut seminar juga?" Nafeeza tanpa canggung berkata.
"Iya. Kamu juga?" Ilyas mulai bersikap cuek.
"Harusnya Afrida, tapi kerjaannya masih banyak banget. Jadi, atasan kami nyuruh aku menggantikan," jelasnya tanpa diminta oleh Ilyas.
"Oo, gitu. Aku duluan, ya." Pemuda itu pergi begitu saja setelah berkata.
Berbincang dengan Nafeeza membuat kesehatannya terganggu. Dua kali bertemu dengan gadis itu, gerakan jantung Ilyas berdetak tak beraturan. Gelengan kepala dia lakukan, mencoba mengusir bayangan pemilik senyum termanis menurut versinya yang mulai menari-nari dalam angan.
Sementara Nafeeza berdiri mematung di tempat semula, heran dengan sikap Ilyas. Denting notifikasi dari ponsel menyadarkan gadis itu, sebuah chat masuk dari sahabatnya.
"Udah sampai belum?" tulis Afrida.
Cepat jari-jari Nafeeza membalas. "Sudah. Aku ketemu saudaramu. Dia sedikit aneh, ya?"
Sambil menunggu balasan dari sahabatnya, Nafeeza masuk ke gedung seminar. Melebarkan penglihatan untuk mencari kursi yang masih kosong. Bibir gadis berjilbab itu terangkat ke atas saat mengetahui kursi kosong yang dia temukan di sebelah Ilyas.
"Hai, Bang! Ketemu lagi. Aku duduk di sebelah sini, boleh?" tunjuk Nafeeza dengan indera penglihatannya pada kursi di sebelah Ilyas.
Bukannya melarang, tetapi ada sesuatu yang ingin Ilyas hindari saat berdekatan dengan Nafeeza. "Terserah saja," putus Ilyas.
Kening Nafeeza mengerut, ekspresi pemuda di depannya kentara sekali jika tak ingin berdekatan. "Kok jawabnya kayak kepaksa gitu, sih, Bang. Ikhlas nggak nih?"
"Duduk saja! Kenapa mesti bawa-bawa ikhlas?" Ilyas memalingkan mukanya.
"Ya, kalau nggak ikhlas 'kan gimana,Bang." Nafeeza mendaratkan tubuhnya di kursi itu sekalipun kata-katanya masih belum dijawab.
"Heran sama semua cewek di dunia ini. Omongannya apa, tindakannya apa," gumam Ilyas, tetapi masih jelas terdengar oleh indera Nafeeza.
"Aku dengar lho, Bang. Makanya, cowok itu harus tegas. Kalau nggak boleh bilang aja terus terang. Jangan ngasih harapan palsu." Nafeeza memutuskan berdiri. Mencari kursi lain agar tak duduk berdekatan dengan Ilyas. Namun, dia tidak dapat menemukannya.
Ilyas melirik Nafeeza sekilas, lalu berkata, "Makanya, jangan suka nge-judge orang lain dengan asumsi sendiri. Kalau enggak terbukti, malu mau balik lagi."
"Kali ini, aku ngalah. Besok aku bakalan datang lebih pagi. Biar nggak duduk di sebelahmu lagi." Terpaksa sangat terpaksa Nafeeza duduk kembali.
Ilyas menutup mulut, berusaha agar suara tawanya tak sampai terdengar oleh gadis itu. Ide jahil muncul di benak Nafeeza, segera dia merogoh saku gamisnya dan mengeluarkan ponsel. Satu foto Ilyas berhasil diabadikan. Ketika Nafeeza hendak mengambil kembali, objek kamera ponselnya melirik dan di saat bersamaan materi seminar sudah dimulai.
Sejuta tanya dalam pikiran Ilyas, apa yang dilakukan gadis tadi?
*****
Semoga suka dengan cerita ini.
Jangan lupa vote dan komennya!
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 13 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top