#END
Tidak semua cerita dongeng berakhir indah, apalagi realita.
Tapi, tidak semua realita juga akan berakhir buruk, seperti tragedi.
Semua ada pada jalannya masing-masing. Termasuk hati.
Seiring dengan air mata itu mulai mengering, langit bergantian menumpahkan sedih. Meneteskan bulir demi bulir anugrah Tuhan. Ada yang sedang dipendam langit sendirian. Ada yang ingin ia tumpahkan, berteriak marah, tapi apa daya. Dirinya hanya sebatas bayangan yang tak pernah mampu mengungkap rasa.
Langit tersenyum dalam air matanya yang semakin mendesak jatuh. Membuat seseorang di bawah sana mendongak dan berdecak. Hujan datang lagi, bukan, lebih tepatnya gerimis datang lagi. Membasahi yang semula kering, mengusir rindu yang sengaja disimpan untuk dilepas pada waktu yang tepat. Sayangnya, pencipta rindu itu sedang lelah, tak ingin waktu santainya diusik oleh seorang ahli penahan rindu sepertinya.
Gadis itu menaikkan tudung jaketnya sebelum bangkit dan melangkah pergi dari sana. Ia tersenyum pada laki-laki yang masih setia menikmati pekatnya secangkir kopi dengan setumpuk kenangan. Gadis itu berhenti di depan kran air, menyalakannya dan membasuh kedua tangan sebagai syarat. Agar segala yang buruk tidak terbawa pulang.
Tak lupa ia membasuh muka, menyegarkan segala gundah yang tiba-tiba menyerang sepotong hati dan logika. Gadis itu termenung menikmati aliran air yang menetes melewati ujung rambut depannya. Air itu jatuh, tak terlihat ketika menyentuh tanah. Dibenci karena membuat basah, dan dirindukan saat kering membawa gerah.
Benar kata Gazza, segala hal yang bahagia kadang membawa sakit. Tapi setidaknya ada rasa yang masih bisa dikenang, meski sepenuhnya hanya terlihat sakit. Setidaknya sakitlah yang menyadarkan bahwa kenangan itu pernah ada, bahwa memang pernah ada harapan yang menjadi nyata meski tak selamanya. Ah, Gazza lagi. Bagaimana kabar manusia es itu? Baik-baik saja kah? Atau sudah bertemu dengan berjuta bidadari di jauh sana?
"Udah, Mei?"
Meika mengangguk dan menurunkan tudung jaketnya, "Ayo pulang."
"Iya, kalian berdua harus cepetan siap-siap buat acara nanti malem, jangan telat, cewek kan kalau dandan lama."
"Diem aja deh! kamu bisa ngomong gitu karena nggak ngerti susahnya pake eyeliner, susahnya maduin warna buat mata, susahnya nata rambut."
"Iya serah, orang juga sama aja."
"Marcell!!"
"Iya, maaf."
"Siapa yang salah disini?"
"Aku."
Meika menggeleng heran melihat tingkah mereka berdua. Marcell yang kadang cuek dan tidak peduli, Marcell yang kadang bisa romantis tiba-tiba, Marcell yang galak, harus bertemu dengan Lauren yang juga sama labilnya. Mereka yang dulu pernah dekat dan menjadi asing, lalu kembali dekat dan merangkai 'saling'. Hidup terus berputar, jika memang yang diharapkan belum datang, mungkin bukan saatnya, atau memang bukan orangnya.
"Dianter kemana nih?"
"Rumah gue aja. Mei, siap-siapnya di rumah gue aja ya."
Meika mengangguk, membuat Lauren tersenyum dan menoleh pada Marcell yang sedang fokus pada jalanan. Gadis itu mengusap wajah Marcell sedikit kasar dan beralih mengucir rambutnya yang mulai berantakan.
"Nyetir apa ikut ujian nasional, serius amat."
"Mulut apa knalpot motor, nggak bisa diem ya?"
"Enak aja!"
"Udah nyampek, sana turun!"
Lauren berdecih dan meninju pelan lengan Marcell sebelum turun dari mobil diikuti Meika. "Siapa lo masih disini? sana pulang!"
"Dasar miring."
"Bodo!"
Gadis itu tersenyum lebar saat mobil yang dikendarai Marcell telah melaju meninggalkan rumahnya. Gadis itu membuka pagar dan menyuruh Meika langsung masuk seperti biasa. Ia berjalan ke dapur, mengambil air minum dan mulai rebahan di karpet ruang tengah. Sedangkan Meika sibuk dengan komik koleksi Lauren, gadis itu memilih diam di sofa dan bertapa pada bacaan di dalam buku kecil itu.
"Mama lo apa kabar, Mei?"
Meika mendongak sekilas sebelum kembali berkutat pada komiknya, "Sama aja, masih ngerjain desain baru buat pemotretan model pilihannya."
"Lo udah baik-baik aja kan?"
"Baik, cuma ya canggung. Namanya juga jarang ketemu, pasti nggak bisa langsung deket."
"Mama lo udah jengukin makam papa lo belum?"
Meika menutup komiknya dan ikut duduk sambil makan cemilan, "Belum Ren. Gue sadar, seharusnya gue nggak sejahat itu dulu sama mama. Mungkin, sakit juga ada di posisi mama waktu papa masih hidup."
"Gue nggak ngerti kalau ternyata dulu papa nggak berharap gue hadir di rumah tangga mereka. Gue baru sadar setelah lihat bukti yang pernah dikasihin Gazza. Kalau mama ternyata pernah sampai berencana tinggal di California buat nyelametin gue dari papa."
"Bukan mama yang jahat, tapi papa."
"Mei,"
"Gue pernah ngatain dia jalang, Ren! Gue sekejam itu jadi anak. Gue cuma menyimpulkan suatu hal yang baru sekali gue lihat. Waktu papa pulang jemput gue, dan di rumah kita lihat mama meluk orang lain. Gue nggak pernah tau kalau itu sahabat lama mama yang bantuin nyelametin gue."
"Nggak ada penjelasan yang pernah coba gue denger, gue tuli. Gue malu ketemu mama, seolah-olah gue nggak tau balas budi sedikitpun."
"Mei Mei, mama lo pasti ngerti kok. Beliau juga paham kalau waktu itu lo nggak pernah tau yang sebenarnya. Sekarang, mumpung masih ada kesempatan, diperbaikin lagi."
Meika mengusap kasar air matanya dan memeluk Lauren. "Iya."
"Udah nggak usah nangis." Lauren menepuk punggung Meika berusaha menenangkan.
"Kadang memaafkan itu cara terbaik buat bikin hidup kita lebih bahagia, Mei."
"Banyak orang baik di dunia ini, tapi sedikit banget orang yang bisa maafin orang lain segampang dia ngedipin mata, lo harus jadi salah satunya."
"Makasih."
"Iya, udah yuk siap-siap. Nanti Marcell ngamuk-ngamuk lagi kalau suruh nunggu lama."
Gadis itu tersenyum sambil mengangguk dan bangkit untuk menuju kamar Lauren di lantai atas. Saatnya bersiap-siap untuk bahagia dan melupakan segala sakit yang pernah ada. Semoga.
***
Malam itu gedung yang tadi pagi telah didekor berubah menjadi penuh dengan keramaian tamu undangan. Lampu lampu serta musik menjadi perpaduan paling menarik untuk menemani kebahagiaan malam ini. Langit kembali cerah, menampilkan butiran bintang dengan tambahan sepotong bulan sabit yang memang sedikit tidak sesempurna visual dongeng. Malam ini langit ikut berbahagia atas pasangan itu. Danel dan Caca.
Hari ini Marcell menggunakan kemeja putih dengan kerah hitam serta lengan yang sengaja digulung. Meski ini acara yang tergolong rapi, rambutnya tetap dibiarkan berantakan. Cowok itu sedang menikmati buah dengan Lauren di sampingnya. Gadis itu juga berpenampilan berbeda malam ini. Kaus dengan jeans dan paduan sneakers itu berganti menjadi gaun putih selutut dengan rambut pirangnya yang bergelombang. Polesan make up tipis pun tak luput dari perhatian, semuanya memang sedang ingin memberikan kesan berbeda pada acara malam ini.
Di singgasana, dua manusia itu terlihat semakin mempesona. Bak raja dan permaisurinya, mereka benar-benar menjadi pusat perhatian malam ini. Marcell dan Lauren sudah selesai dari sana, memberi ucapan selamat dan sekedar berfoto untuk kenang-kenangan. Berbeda dengan Meika, gadis itu memilih menjauh dari keramaian.
Ramai yang sepi, itu yang sedang ia rasakan. Kini tempat tujuannya menghabiskan waktu hanya di taman samping gedung. Di bangku putih dekat parkiran itu ia duduk sekarang. Menatap langit yang tak kalah ramai dengan acara di dalam. Ia ingin sekali naik ke singgasana menemui Danel dan Caca. Tapi entah mengapa, rasanya ada yang tertinggal. Rasa itu masih ingin kesana bersamanya.
"Sendirian aja?"
Meika spontan menoleh, antara terkejut dan panik. "Kamu?"
"Aku pulang."
Gadis itu menutup mulutnya tak percaya, matanya pun ikut berkaca-kaca seolah menghiperbolakan. Ada rindu yang membucah ingin dikeluarkan. Ada rasa senang yang memaksa untuk diteriakkan. Dan malam ini, di bawah ribuan bintang dan rembulan yang bersedia menjadi saksi. Meika jujur, dia senang, dia bahagia dengan permainan takdir.
"Gazza, katanya nggak jadi pulang, kok bisa?"
"Kejutan."
Gazza melangkah mendekati Meika, memeluk gadis itu erat-erat demi melayani keinginan rindu yang sejak beberapa bulan ini menuntut temu. Gazza tidak pergi, tepatnya tidak jadi pergi. Ia memilih bertahan untuk orang-orang yang menangisi niat kepergiannya.
Tiga tahun lalu, ceritanya panjang, mungkin akan jadi novel jika harus diungkap satu persatu. Yang jelas, dalam detik-detik terakhir ia memutuskan pamit, Meika datang dengan tangisan. Dokter memaksa untuk melepas alat bantu, tapi Meika menolak. Gadis itu yakin Gazza akan bangun, mungkin terdengar klise, tapi memang benar, cowok itu memang ditakdirkan untuk tetap hidup. Hingga pada akhirnya, detaknya kembali normal dan ia bangun 2 minggu kemudian. Melakukan beberapa terapi dan akhirnya bisa dikatakan sembuh.
Setelah itu, hidup harus kembali berjalan normal. Gazza sembuh dan kembali melanjutkan sekolah. Keluar masuk ruang BP seperti biasa dan akhirnya selesai menempuh ujian nasional. Setelah itu harus kembali menerima jalan bahwa memang butuh jarak untuk mencapai impian masing-masing. Disitulah, Gazza memutuskan untuk kuliah di Inggris, meraih mimpinya untuk menjadi seorang fotografer. Dia bebas, benci dikekang, dan seorang fotografer adalah orang yang masuk dalam kriteria itu, selain seniman lain.
---
"Hai,"
"Kamu apa kabar, Za?"
"Kamu nggak pengen bangun? lihat aku deh, bentar lagi mau ujian, ada acara tahunan di sekolah kita malam ini. Marcell sama Lauren gue suruh pergi, toh kalau gue kesana, percuma kan? lo nggak ada."
Gadis itu tersenyum sambil mengusap tangan cowok itu dengan gerakan pelan. Ia ingin manusia esnya bangun, ia ingin Gazzanya kembali bersikap dingin padanya. Menatap tajam manik abunya, atau sekedar berkata 'Ya' dan berangsur pergi. Tidak papa, ia hanya ingin Gazza bangun, itu saja.
"Gue bakal pergi sesuai permintaan lo, tapi gue berharap nanti lo ada buat nemenin gue."
"Lo nggak boleh sejahat ini, Za. Semua orang pengen lo bangun, semua orang pengen lihat lo sembuh."
"Lo capek ya? lo marah sama kita? pliss, lo boleh lakuin apa aja asal lo mau buka mata. Dokter bilang gue udah gila karena terus mempertahankan lo, tapi gue tau lo cuman butuh waktu. Jadi tolong, untuk kali ini aja, lo bangun demi gue."
Gadis itu menghembuskan nafas berat, mengambil kertas note bewarna merah dan mulai mengambil bolpoin yang ada di atas nakas. Disana ia kembali menorehkan apa yang ingin ia sampaikan pada Gazza. Segala hal yang hanya mampu dituliskan, segala hal yang hanya mampu dilampirkan dalam sebuah kata-kata.
Hari ke-11
Apa kabar?
Apa sih yang bikin lo betah disana? disini rumah lo Za, lo harus pulang. Seindah-indahnya tempat rantauan, pulang adalah pilihan yang paling baik. Gue tunggu lo disini.
Gue kangen.
---
"Dok, tolong dok, sekali ini saja."
"Sudah hampir dua minggu dia belum bangun, satu minggu lagi, maka akan sangat fatal akibatnya."
"Dia pasti akan bangun dok! Saya yakin."
Dokter pergi, meninggalkan Meika yang saat itu sedang menjaga Gazza sendirian. Gadis itu mengusap kasar wajahnya, berusaha menelfon Marcell yang mungkin baru saja pulang sekolah. Ia tidak ingin Gazza pergi, permintaannya sesederhana itu. Tapi kenapa rasanya terlalu sakit saat orang-orang selalu menganggap bahwa hal sederhana itu adalah suatu kemustahilan.
"Angkat dong!"
"Mei,"
Dunia berhenti, detak jarum jam dan suara mesin pendeteksi pun rasanya lenyap seiring degupan jantung yang suaranya lebih mendominasi. Tangan gadis itu bergetar saat air matanya memutuskan jatuh. Ia menoleh, menatap manik biru itu dengan mata penuh. Air matanya lolos lagi, membuatnya bungkam dan terpaku pada waktu yang bersamaan.
Detik itu pula, ia bersumpah, bahwa dunianya telah kembali.
---
"Jangan ngelamun terus,"
Meika mengerjapkan matanya dan melepas pelukan Gazza. Gadis itu tersenyum, membuat Gazza ikut menarik kedua sudut bibirnya. Ternyata benar, pulang adalah pilihan terbaik yang pernah ada. Disana, segalanya terasa tenang. Semilir angin pun tau bahwa hatinya menyukai rumah ini, rumahnya untuk pulang dan kembali.
"Aku udah sembuh, nggak usah mikirin yang dulu-dulu."
"Tadi kamu dari mana?"
Meika mendongak, "Dari makam papa."
"Nggak papa kan?"
"Nggak papa, cuma aku belum bisa maafin papa dan diri aku sendiri seutuhnya. Semuanya terlalu salah buat mama."
"Mei, mama kamu juga pasti ngerti kok."
Gadis itu mengangguk, menghembuskan nafasnya lagi sebelum tersenyum pada Gazza. Cowok itu kembali memeluknya, melampiaskan segala rasa yang sempat tertahan. Ia berterimakasih kepada Tuhan yang telah berbaik hati membangunkannya, memaksa matanya terbuka, dan menuntut nafasnya untuk terus menderu. Ia bersyukur pada segala hal yang telah Tuhan berikan.
Gazza melepas pelukannya dan mengambil sesuatu dari saku kemeja."Aku punya sesuatu buat kamu."
"Apa?"
"Buka dulu deh."
Gadis itu membuka amplop putih itu dengan hati-hati, mengambil secarik kertas undangan dari dalam sana. Ia terkejut, matanya berbinar saat membaca kertas itu satu persatu. Lagi-lagi manusia esnya penuh kejutan.
"Galeri pertama aku bakal dibuka, kamu harus dateng kesana sama mama. Itu undangan VVIP lo, jarang yang aku kasih begituan."
"Wow, selamat ya." Gadis itu tersenyum.
"Aku bakal dateng,"
"Mei, lo keman...GAZZA?!"
Keduanya menoleh dan terkekeh saat Lauren menjatuhkan pudingnya di rumput ketika melihat Gazza sudah berada di Indonesia. Pasalnya, semua keluarga mereka tau kalau Gazza tidak bisa datang karena ada ujian. Tapi, bagaimana bisa?
"Nanti, ceritanya panjang, masuk dulu aja."
Mereka bertiga masuk dengan Lauren yang masih tidak percaya. Gazza dan Meika berjalan naik ke pelaminan, membuat Danel dan Caca serta orang tua mereka juga menatap bingung. Bagaimana bisa manusia es itu tiba-tiba ada disini?
"Selamat ya kak, lo harus lebih baik lagi, sekarang udah jadi istri orang, jangan bandel."
"Gue nitip dia ya, Bang."
Danel mengangguk, mereka berfoto dan pergi dari sana untuk kembali bergabung dengan teman-temannya yang lain.
"Ayang guee!! darimana aja sih ilang-ilangan nggak ada kabar?"
"Arsen, malu-maluin tau!"
"Bentar Sev, reuninya belum selesai."
"Bodo amat, serah lo deh."
"Kok lo bisa disini, Za? bukannya lagi ujian?" tanya Lauren yang memang pertanyaannya belum mendapat jawaban sejak tadi.
"Kayak nggak ngerti Gazza aja,"
"Sulit ditebak." lanjut Marcell meneruskan ucapan Rian. Gazza tersenyum dan mengangguk setuju dengan ucapan kedua temannya itu. Setelah itu, ia beralih pada Marcell yang sedang menyenderkan tubuhnya di punggung kursi.
"Jadi kapan lo?"
"Kayaknya dia belum siap deh."
"Gue juga jadi ragu."
"Bener, gue takut ada salah satu diantara kita yang gagal."
Arsen memukul meja lumayan keras, membuat orang di bangku sebelah mereka menoleh bingung. "Kalian lagi ngapain sih? kita kayak orang bego tau dari tadi cuma lihat-lihatan."
"Ngomongin apa sih?" tanya Nadia membuat yang lainnya ikut menatap Marcell dan Gazza bergantian.
"Sekarang, Cell?"
Cowok itu menghembuskan nafas pelan, "Ayo."
Kedua cowok itu bersamaan mengeluarkan kotak kecil bewarna hitam. Gazza menoleh pada Lauren, sedangkan Marcell bangkit dan berjalan mendekati Meika. Kotak itu sama-sama dibuka dan sama-sama menampilkan sebutir cincin dengan permata yang sederhana. Simple dan elegan. Jujur mereka semua bingung, terutama Lauren dan Meika. Apa maksud Marcell dan Gazza?
"Ini bukti komitmen Gazza buat lo, Mei."
"Ini bukti kalau Marcell serius sama lo, Ren."
"Permintaan terakhir kita, jangan nolak!"
Seiring dengan tetesan air mata haru dari Meika dan Lauren, pesta kembang api pun dimulai. Marcell dan Gazza bertukar posisi, tersenyum pada pasangan masing-masing dan memeluk mereka lumayan erat.
"Ini bukan cincin tunangan, bukan sesederhana ini."
"CIELAHHHHHH!!!!!"
"Arsen diem!"
"Iya maaf nyonya."
Marcell menyuruh Lauren mendongak menatap langit, atap gedung itu terbuka lebar, menampilkan kembang api yang terlihat indah meski dibatasi kaca tebal tembus pandang. Semuanya pun ikut menatap langit, tersenyum pada taburan bintang yang berbaur dengan pernak pernik kembang api. Malam ini indah dan meriah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"I'm yours."
THE END
"Eh ada yang liatin kita!"
Mereka menoleh bersamaan ketika Arsen menunjuk pada layar, "Tuh, siapa sih?"
"Kalian ngintipin kita selama ini?"
"Lah, malah pada diem. Jawab atuh."
"Katrok banget sih lo, Sen."
Arsen menoleh pada Rian, "Enak aja!"
"Mereka pembaca."
"Ohhhhh, Hai kalian, gue Arsen, ini di sebelah gue Seva, cewek paling jelek yang pernah gue pacarin, bercanda sayang."
"Makasih ya udah baca, maafin kalau kita bikin kesel atau bikin kalian nunggu lama." Nadia menyahut, membuat Gazza yang di belakang sana mengangkat tangan.
"Apalagi sama gue, maaf ya gaes."
"Maafin gue juga ya, pernah bikin kalian kesel, dikira gue ngerebut semuanya." Lauren ikut menambahi membuat Marcell pun juga mengangkat tangannya.
"Intinya maafin kita, kita sayang sama kalian, makasih udah korbanin waktu buat ngintip kehidupan kita semua."
"Oh ya, jangan ngintip aja, sini dateng ke nikahan gue, enak aja ngintip doang." Caca tiba-tiba datang dan mencium pipi Marcell serta Gazza bergantian.
"Oh shit, lipstick nya kak!"
"Selamat juga buat kalian berdua."
Arsen menoleh lagi pada layar dengan muka menyebalkan. "Udah ya, daripada kalian bengek lihat yang beginian. Apalagi buat yang jomblo, mending gue tutup dulu, cukup sampai disini. Bye semuanya!!"
Selesai.
Makasih semuanyaaaa.
Makasih udah baca.
Maafin typo yang bertebaran yaaa, gue nggak ngerti lagi harus ngomong apa sama kalian, yang jelas kalian terbaik semuanyaaaa.
Gue sayang sama kalian.
See you di cerita yang lainnya. ❤❤
Love
Salam, Setiase.
Marcell
Gazza
Lauren
Meika
Arsen
Rian
Seva
Nadia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top