#9 Takut

Gue takut nyakitin siapapun,
terutama lo.

-M

Sampai rumah, cowok dingin bermata biru itu menghempaskan tubuhnya ke sofa sambil menutup mata. Tanpa melepaskan sepatu dan seragam yang masih dipakainya, Gazza menggelepar lelah di sofa rumahnya yang memang semakin sepi semenjak Cassie, kakak perempuan satu-satunya melanjutkan studi ke Paris.

Di rumah sebesar ini, ia memang hanya tinggal bersama kedua orangtuanya dan beberapa pembantu serta supir. Namun hari ini orang tuanya memang ada acara diluar rumah, sepertinya sedang menjenguk sahabat mereka yang baru saja melahirkan. Gazza tidak terlalu paham, dia hanya mengangguk saat kedua orang tuanya membicarakan hal itu semalam.

Teringat akan sesuatu, ia bangkit lalu segera merogoh ponselnya untuk mencari sesuatu. Sebuah kontak seseorang yang mungkin akan membantunya mencairkan atmosfer beku yang selama ini masih melekat. Semua es bisa mencair jika ada media pencairnya kan? mungkin, inilah saatnya Gazza akan mulai mencari media pencairnya sendiri.

Gerakan tangannya berhenti, ia mengamati kontak itu sambil memikirkan sesuatu. Ragu, satu kata yang masih membuatnya enggan untuk menentukan satu hal sampai saat ini. Ia menyukai senyuman dan sorot mata hijau keabuan milik gadis itu, namun belum ada hal lain yang membuat getaran itu ada. Getaran itu masih normal, semakin normal saat mata abu lain justru membuatnya merasa nyaman.

Gazza A : Gue jemput lo jam 7.

Gazza A : Kita jalan.

Cowok itu mengangkat tipis sudut bibirnya lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar. Ia butuh istirahat, apalagi luka lebamnya memang belum sembuh total. Lukanya belum sembuh, sedangkan ia bahkan tidak tau kalau sebentar lagi mungkin dialah yang menjadi penyebab luka itu.

Di tempat lain, Marcell yang sedang memukuli samsak di belakang rumah belum juga beranjak meski Liona sudah beberapa kali memanggilnya. Bukannya tuli, cowok itu hanya tidak mendengar teriakan mamanya karena suara dentuman tangan dengan samsak yang memang sengaja ia keraskan dari tadi. Ada sesuatu yang ia rasa perlu dikeluarkan, sesuatu yang terlalu berat untuk dikatakan, hingga pada akhirnya harus memaksa ia untuk mundur dengan cara baik-baik.

Keringat yang mengucur hingga membuat bajunya basah tidak lagi ia hiraukan, suasana hatinya sama sekali belum membaik. Semua kenangan dan kejadian itu berkumpul menjadi satu dalam otaknya, salah satu alasan ia ragu sampai saat ini hanyalah karena itu, ia takut, takut semuanya akan terulang dan kembali menyakiti.

"MARCELLL!!! Mama daritadi udah teriak sampek suara mau habis gini, kamu malah asik mukulin guling gendut itu, ibu kamu dia atau mama?"

Mendengar suara cerewet dari mamanya, ia menoleh dan memegangi samsak untuk menahan gerakan yang mungkin saja bisa mengenai mamanya. Dari jarak sekitar 1 meter dari tempatnya berdiri, dilihatnya Liona sedang menatapnya nyalang sambil menggandeng Lili yang sedang menggenggam boneka rubah mini bewarna putih.

"Malah diem aja, kuping dikasih tuhan buat apa kalau bukan dengerin maknya ngomong?"

"Maafin Marcell ma, kenapa?"

"Gandeng Lili bentar dong, mama mau bikinin susu dulu sekalian motongin buah."

Marcell terdiam kaku mendengar permintaan tolong dari Liona, jantungnya berdebar kencang dengan diiringi langkah kaki yang justru mundur menjauh seperti menghindari sesuatu.

"Marcell, kamu masih takut soal kejadian waktu itu?" tanya Liona saat melihat respon Marcell yang masih sama. "itu bukan salah kamu, percaya sama mama."

"Susternya Lili kemana?"

"Marcell stop! mama minta tolongnya sama kamu bukan suster," ucap Liona menatap sendu ke arah anak pertamanya sebelum akhirnya menyerah. "oke fine, cukup jagain adik kamu di taman, bisa kan?"

Cowok itu akhirnya mengangguk, ia berjalan masuk ke dalam rumah dan membawa kereta dorong besar untuk Lili yang baru saja diletakkan oleh Liona ke dalam sana. Tanpa mengucapkan apa-apa, Marcell berbalik dan mendorong kereta tersebut ke halaman samping. Ia hanya tidak mau adik satu-satunya bahaya, ia hanya ingin berusaha menjaga Lili meski ada keinginan hatinya untuk menyentuh gadis kecil itu.

Marcell, mama harap kamu bisa cepet sembuh ya, Nak.

Marcell membawa Lili ke samping rumah untuk melihat taman dan anjing kecil papanya yang sering dilepas jika sudah sore seperti ini. Gadis kecil itu terlihat beberapa kali terkekeh saat Marcell sedang sibuk menghindar dari kejaran dua hewan yang dimatanya mungkin sama seperti boneka. Hanya saja yang ini bisa bergerak dan mengeluarkan suara menggemaskan. Bahkan, Lili tertawa saat tau kakaknya mengguling di rerumputan dengan diikuti anjing putih di dekatnya.

"Ayo turun." ucap Marcell membelit kedua tangannya dengan kain sebelum mengangkat tubuh gadis kecil itu dari kereta. Setidaknya masih ada jarak antara kulitnya dengan kulit Lili.

"Duduk sini ya."

"Acel, Lili jak boleh kecana?" tanya Lili dengan suara cadel sambil mengedipkan kedua mata membuat Marcell tersenyum tipis.

"Nanti Lili dikejar anjing terus jatuh, diem disini aja ya."

Gadis kecil itu mengangguk dan hanya terdiam dengan mata tetap fokus memperhatikan Marcell yang sedang berjalan mendekati kedua anak anjing bewarna putih di rerumputan.

"Acelll..Acelll"

"Lili jangan gerak gerak, nanti anjingnya gigit." Marcell bersuara sambil menoleh ke arah Lili yang sepertinya tertarik untuk turun dari anak tangga terakhir samping rumah.

"Marcell, Lili diajak masuk, mama udah selesai." teriak Liona dari dalam rumah membuat Marcell bangkit dan berjalan ke arah Lili.

Zalyra Kimberly Elkarino (Lili)

Langit yang tadinya biru, berubah menggelap diringi dengan kedatangan bintang dan bulan yang bermaksud meramaikan malam ini. Marcell yang baru saja berjalan menuruni tangga sedikit terkejut saat berpapasan dengan Danel. Cowok itu berlari naik ke lantai atas dengan terburu-buru hingga tidak menyadari keberadaan Marcell.

"Bang Danel mau kemana, Ma?" Liona mematikan kompor dan menuju kulkas tanpa menoleh ke arah Marcell.

"Mau jemput Caca di Bandung."

"Kak Caca pulang?" tanya Marcell membuat Liona mengangguk dan berbalik ke arahnya.

"Kamu pikir siapa yang bisa bikin bocah tengil itu kelimpungan kalau bukan Caca sama orang tuanya sendiri?"

Marcell tersenyum tipis lalu mengambil puding di kulkas sebelum kembali duduk di meja makan. Tangannya bergerak sibuk di atas layar ponsel sambil menyuapkan potongan puding mangga buatan mamanya ke dalam mulut.

"Tanteeeee, mana cukurannya Om Devan?" teriak Danel membuat Marcell menoleh dan menatap mamanya dengan alis mengerut.

"Kamar mandi!!!" balas Liona lalu menatap Marcell dengan senyum lebar. "Dia takut kena omelan Caca kalau sampai lihat kumis tipisnya itu belum bersih, kamu nanti juga gitu kalau punya cewek."

"Kenapa aku jadi kena?"

"Bener tau, dulu Om Varo aja yang kakunya kayak kanebo kering gitu bisa luluh terus kelimpungan juga waktu udah sama Tante Vina."

"Papa juga gitu dong?" tanya Marcell membuat Liona menoleh cepat.

"Kalau papa kamu itu spesies beda."

Marcell menggeleng heran lalu menoleh ke arah Danel yang sudah turun dari tangga dengan gerakan cepat. Cowok itu bahkan melewati dua tangga sekaligus agar segera sampai di lantai bawah.

"Kejengklak sakit."

"Diem Cell, gue lagi mau jemput anak orang nih."

"Dari kapan Kak Caca disana?"

"Udah lama, gue juga udah kesana sih, tapi ini gue mau jemput buat ajak dia ke Jakarta."

"Hati-hati." Danel berjalan ke arah pintu sambil mengacungkan jempol, namun gerakannya terhenti lalu kembali berbalik menatap Marcell yang baru saja akan fokus menatap ponsel.

"Cell, nanti bilangin ke Gazza kalau kencan jangan pulang malem-malem, tadi Tante Meta nitip pesen gitu ke gue."

"Kencan?"

"Iya, sama siapa ya tadi dia bilangnya di telfon, Siren? eh bukan, La..."

"Lauren, Bang?" potong Marcell membuat Danel menjetikkan jari sambil mengangguk. "itu maksud gue, nanti bilangin dia ya, gue berangkat dulu."

Marcell terdiam sebentar sebelum mengedikkan bahunya acuh. Matanya kembali fokus menatap ponsel dan membuka pesan dari Gazza yang baru saja masuk. Panjang banget giginya, baru juga diomongin.

Gazza A : Tlg ambil motor gue di tmpt biasa.

Gazza A : Meika pingsan.

Marcell : Lauren gimana?

Gazza A : Dia masih di cafe.

Marcell : Lo tinggal?

Gazza A : Anter dia ya.

Marcell : Lo gila?

Gazza A : Bct! cepetan!

Tanpa membalas pesan terakhir dari Gazza, cowok itu beranjak mengambil jaket dan menyalimi tangan Liona sebelum berlari keluar rumah. Dia melirik jam tangannya dan semakin menambah kecepatan larinya saat melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh menit.

Ia berhenti dengan nafas tak beraturan saat sudah tiba di depan sebuah kedai cafe. Gazza sedang berdiri gusar di samping motor sambil terus melihat ke arah ponselnya. Cowok itu terlihat berantakan dengan rambut acak-acakan serta kedua bola mata biru yang menyorotkan kekhawatiran. Ada yang beda dengan Gazza malam ini.

"Za."

Ia menoleh dan segera melemparkan kunci motor ke arah Marcell tanpa berbicara sepatah katapun. Langkahnya tergesa masuk ke dalam mobil hitam yang tidak Marcell ketahui milik siapa.

"Lo mau kemana?" tanya Marcell membuat cowok itu berbalik mendekati sepupunya sebelum akhirnya menarik kencang tangan Marcell mendekati pintu mobil.

"Meika?"

"Dia pingsan." Gazza menutup kembali pintu belakang mobil dan menoleh ke arah Marcell yang masih berdiri dengan tatapan bingung.

"Gue harus ke rumah sakit, jadi tolong bawa motor gue ya Cell."

"Gimana ceritanya?"

"Panjang, ntar aja."

Gazza bicara panjang.

Gazza khawatir.

Gazza panik.

Gazza kenapa?

Sebelum Marcell sempat kembali bertanya, cowok itu sudah menghilang masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan beroda empat tersebut meninggalkan Marcell dengan penuh tanda tanya.

Ia mengusap frustasi wajahnya sebelum masuk untuk menemui seseorang di dalam sana. Ia terdiam, gadis itu ada di sana, menggunakan kaus hitam tipis dan sedang sibuk menyesap hot cappucino dengan pandangan lurus menatap ponsel.

Marcell mendekat, tangannya refleks mengambil jaket jeans di pangkuan Lauren dan menyampirkan ke pundak gadis itu hingga membuatnya mendongak. Marcell duduk tepat dihadapan Lauren membuat gadis itu bergerak sebentar mencari seseorang lalu menoleh lagi ke arahnya dengan pandangan sebal.

"Kok Gazza bisa berubah jadi lo?!"

"Gazza harus pulang, ada urusan."

"Urusan apa?" tanya Lauren membuat Marcell hanya mengedikkan bahu seolah tidak tahu. Ia tidak ingin menyakiti siapapun, itu saja.

"Terus lo ngapain disini?"

"Gue anter pulang."

"Nggak usah, gue bisa sendiri."

"Ren." Marcell berucap lembut membuat gadis itu terdiam dan akhirnya mengangguk pasrah.

"Ayo."

Sampai rumah, Lauren tidak juga turun, ia mengerutkan alis saat melihat pintu gerbang rumahnya terbuka dan menampilkan mobil abu-abu yang tidak pernah ia kenal. Degup jantungnya sudah tidak beraturan saat sebuah nama masuk dalam kemungkinan pembawa mobil ini.

"Masuk dulu, gue tunggu."

Lauren menatap punggung Marcell dan pintu rumah bergantian. Entah kenapa, mendengar Marcell berbicara bahwa dia akan menunggu seketika membuatnya merasa tenang. Ada sesuatu yang membuatnya berani turun dari motor dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dugaannya benar, sepatu hitam itulah yang menjadi bukti bahwa pemiliknya memang berada di rumah ini sekarang.

"Ada urusan apa?"

"Habis kemana aja kamu jam segini baru pulang?"

"Bukan urusan papa." gadis itu menatap tajam papanya yang sudah berbalik dan berjalan mendekat.

"Lauren, papa butuh bicara."

"Apa lagi? papa dan aku udah nggak ada urusan apa-apa, aku nggak akan ikut campur urusan papa. Jadi, mau papa nikah lagi atau nggak, itu hak papa dan nggak perlu minta restu aku lagi. Sekarang mending papa pulang, tau kan pintu keluar ada dimana?"

"Kamu berubah! sopan santun kamu mana Ren? selama nggak ada papa, diajarin kayak gini sama mama kamu?"

"Kalian yang ngajarin aku kayak gini, maka dari itu aku benci kalian! aku benci kalian dan pilihan yang egois itu!"

"Tanya mama kamu Lauren! tanya mama kamu apa yang membuat papa bilang kayak gitu!"

"Sebelum papa nyuruh aku, tanya sama diri papa sendiri! mana janji itu pa?" tanya Lauren dengan mata berkaca-kaca, ia benci situasi ini.

"Mama kamu jalan sama fotogragernya itu, Lauren!" bentak lelaki berumur 40 tahunan yang masih terlihat seperti lelaki muda berumur 30 itu.

"Papa juga selingkuh sama sekretaris papa!! kalian semua salah!!"

"Lauren, kamu..."

"CINTA KALIAN KOTOR!!"

Plak

Gadis itu terdiam dengan nafas yang memburu. Sudut bibirnya yang terluka berdenyut semakin sakit saat tau orang yang menamparnya adalah laki-laki itu, papanya sendiri. Orang yang dulu bahkan selalu menjadikan keluarga sebagai prioritas utama, dulu sebelum hari itu datang dan mengubah takdir.

"Lauren pamit, permisi." ucapnya pelan dan berlari keluar dari rumah menemui Marcell, cowok itu ternyata menepati janjinya untuk menunggu.

"Lo kenapa?" tanya Marcell yang terkejut saat melihat mata Lauren berkaca-kaca dengan sudut bibir mengeluarkan darah.

"Bawa gue pergi Cell, terserah kemana aja."

Tanpa banyak bertanya lagi, cowok itu menyalakan mesin motor dan melaju meninggalkan wilayah perumahan Lauren yang saat itu memang sudah lumayan sepi. Mungkin orang-orang lebih memilih beristirahat di dalam rumah tanpa memperdulikan keadaan luar.

Marcell menghentikan motornya di taman kota. Ia mematikan mesin lalu menyuruh Lauren untuk duduk di sebuah bangku bewarna putih yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

"Gue..gue.." gadis itu masih terisak dengan kepala menunduk agar Marcell tidak melihatnya sedang dalam keadaan menyedihkan, meski sebenarnya cowok itu sudah tau.

Melihat hal itu, Marcell mendekat dan mengambil jaket jeans Lauren sebelum melemparkan ke kepala gadis itu hingga menutupi wajahnya. Ia duduk membelakangi Lauren dan membuat gadis itu semakin tidak terlihat dari pandangan orang-orang.

"Lo ngapain sih nutupin gue?! gue tau gue jelek, jadi nggak usah balik gitu juga duduknya."

"Biar nggak ada yang tau lo nangis, termasuk gue."

"Lo udah tau ogeb."

"Gue nggak mau lebih tau lagi."

"Kenapa? jangan bilang kalau muka gue ancur, makanya lo nggak mau lihat lagi. Kenapa sih lo selalu sukses jadi moodbreaker gue?"

"Bukan."

.

.

.

.

.

.

"Gue takut nyakitin orang yang udah bikin lo kayak gini."

😁 Marcell masih ragu nggak nih? jangan ragu Cell, keburu diambil orang. Semoga suka ya ❤ maafin typo typo nakal.

Gazza kenapa ninggal Lauren?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top