#38 HAP!!
Meski hatiku harus dipatahkan berkali-kali, tidak papa.
Hatiku serupa ekor cicak.
- :)
3 tahun kemudian.
Suasana riuh di gedung yang besok pagi akan digunakan untuk acara resepsi pernikahan pasangan muda itu pun masih terlihat kondusif. Pasalnya orang tua dari kedua calon pengantin ikut terjun langsung dalam proses penataan dan hal lain yang sekiranya membantu kelancaran acara sakral yang akan terjadi besok pagi di tempat ini.
Salah satu ballroom hotel yang disewa bukanlah tempat biasa. Ini adalah salah satu hotel cabang di bawah naungan perusahaan Gilang, papanya Caca. Di tempat itu para WO sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang menata meja untuk para tamu undangan, menghias singgasana pengantin, memasang lampu dan tirai tirai, dan hal lain yang masih bersangkutan.
Disisi kiri gedung, hiasan serta foto pengantin telah dipajang rapi dengan beberapa bunga lavender sebagai hiasannya. Kali ini acara pernikahan mereka bernuansa putih dengan semburat ungu dan gold yang sedikit dicampurkan sebagai pelengkap. Kemarin malam acara akad dilangsungkan di salah satu gereja di Jakarta. Karena memang mereka sepakat untuk istirahat selama sehari sebelum resepsi, maka diputuskan bahwa besok pagi resepsi baru akan digelar untuk para tamu undangan.
Vina yang biasanya hanya diam kini lebih banyak bicara, ia yang mengatur tata letak meja yang akan digunakan untuk prasmanan. Dengan pohon buatan bewarna putih, Vina mengusulkan untuk mengganti lampu yang mulanya bewarna putih dengan lampu bewarna ungu. Alhasil jika semua lampu mati, maka pohon putih di tengah meja prasmanan akan memancarkan semburat ungu layaknya senja yang ditabur pelangi.
Di bagian jalan utama menuju singgasana pengantin, Ara dan Meta sibuk mengatur tata letak kursi tamu agar terlihat elegan. Apalagi mereka juga harus menyesuaikan dengan interior gedung yang memang pada awalnya sudah bernuansa gold dengan aksen yunani yang begitu kental. Liona yang paling terlihat sibuk disini, ia bertanggung jawab mengatur pernak pernik yang dibutuhkan agar pestanya semakin terlihat meriah. Wanita itu berkali-kali keluar masuk gedung hanya untuk membantu WO membawa perlengkapan.
Jika para wanita sibuk, berbeda dengan para lelaki yang kini justru sibuk mengawasi istri mereka masing-masing. Varo sejak tadi tidak sedetik pun melepaskan pandangan dari Vina, laki-laki dengan kumis tipis serta rahang tegas itu berkali-kali menggerakkan mata demi melihat Vina yang letaknya memang berbeda dari teman-temannya yang lain. Sedangkan Tristan dan Gilang, dua laki-laki itu masih setia mengobrol panjang lebar dengan Gilang yang menggendong anak bungsunya.
"Permisi om,"
"Eh Meika, kenapa?"
Meika celingak celinguk mencari seseorang, "Lauren udah kesini?"
Gilang mengangguk, "Udah, tadi dia sama Marcell kayaknya di depan deh, coba aja kesana."
Meika mengangguk dan tersenyum tipis pada semua orang yang ada disana. Gadis itu pun pergi dari tempatnya berdiri untuk mencari keberadaan Lauren. Varo yang melihat Meika telah lumayan jauh menoleh pada Gilang yang saat ini sedang menertawakan suatu hal entah itu apa.
"Itu ceweknya?"
Gilang menoleh pada Varo, mengernyit sebentar, kemudian mengangguk. "Cantik kan? anak gue emang pinter milihnya."
"Evelyn pulang kapan, Var?"
"Kata Vina nanti malem baru nyampek sini."
Disisi lain, Meika yang sempat menyapa Meta dan Ara berjalan mendekati Lauren. Disana juga terdapat Marcell yang sibuk membantu gadis itu menata bunga lavender. Lauren menoleh, tersenyum pada Meika dan menggerakkan tangan kanannya untuk menyuruh gadis itu mendekat.
"Udah pulang?"
"Kalian nggak kuliah ya?"
"Marcell sih bolos, tapi kalau gue emang lagi nggak ada matkul."
Marcell ikut menimpali percakapan, "Paling lo juga tadi pulang duluan."
"Masa?"
"Bodo!"
Meika tersenyum dan ikut membantu mereka berdua. Tangannya sibuk memilih bunga lavender yang masih bagus dengan mata yang sesekali melirik untuk mengamati kesibukan orang-orang. Mungkin besok pagi tempat ini akan sangat meriah. Belum dimulai saja suasana sudah seriuh ini, apalagi jika besok ada lebih dari 500 tamu undangan beserta musik yang pasti menggelegar. Andai saja dia ada disini, bersama mereka. Mungkin di tempat ramai, Meika tidak lagi merasa kesepian.
"Mei?"
Gadis itu terkesiap, "Kesambet baru tau rasa!"
Marcell melempari gadis itu dengan serpihan gabus yang digunakan untuk membuat properti. Lauren terkekeh, mengacak rambut gelap Meika hingga membuat gadis itu mendecih kesal. Hanya ini yang bisa mereka lalukan untuk mengalihkan pikiran Meika tentang seseorang. Semoga membantu.
"Marcell, tolong gendongin Aurel bentar dong, om dipanggil tante."
"Biar sama aku aja, om."
"Ya udah Mei, tolong jagain dia bentar ya."
Meika mengangguk dan berdiri untuk menerima Aurel yang barusan pindah dari gendongannya Gilang. Gadis kecil itu asik dengan bola mainannya hingga mungkin tidak peduli bahwa saat ini dirinya telah berpindah tempat. Marcell dan Lauren saling pandang, ditinggal pergi dengan jarak sejauh itu mungkin bukan suatu hal yang mudah. Mereka saja yang walaupun hanya beda kampus masih sering kangen dan berantem, apalagi kalau jadi Meika, susah.
"Gue kesana ya."
Keduanya mengangguk, dengan tangan yang masih sibuk menata lavender masing-masing, tatapan mereka tertuju pada punggung Meika yang semakin menjauh. Rambut coklat itu semakin tebal, dengan bibir yang sudah mulai bisa tersenyum dan masalah yang perlahan mulai surut satu persatu. Selama 3 tahun ini, memang banyak yang terlewatkan. Dan siapapun disini, masih enggan untuk mengurai puluhan cerita itu secara runtut.
"Syukur ya Meika udah mulai banyak senyum."
Marcell menoleh dan tersenyum setuju, "Kamu ngerti nggak sih, suhu udara tuh bisa berubah kapan aja kan, sama kayak sifat manusia."
"Suhu berubah karena beberapa faktor, sama kayak sifat kita. Dan biasanya, suhu dari sifat seseorang itu bisa berubah kalau dia udah tau kemana harus pulang."
"Sebeku apapun gunung di kutub utara, kalau dia terus-terusan kena reaksi panas pasti juga bakal leleh. Tapi tergantung juga sih, tergantung siapa yang dia pilih buat ngasih reaksi panas itu."
"Lo tau Gazza kan, dia terlalu dingin untuk ukuran cowok, tapi hatinya nggak beku. Itu bedanya sifat manusia sama suhu, manusia masih punya hati, tinggal nunggu aja kapan hatinya kebuka untuk seseorang."
Lauren menggeser duduknya agar bersampingan dengan Marcell, "Tapi Gazza beda banget tau kalau perlakuin orang. Kalau sama orang tertentu dia beda gitu."
"Itu masih mending, dulu banget sebelum rumah mereka balik lagi harmonis, Gazza lebih dingin lagi. Apalagi setelah Agatha nggak ada, dia bukan Gazza yang gue kenal, lebih parah."
"Kok bisa?"
"Ya kayak yang gue bilang tadi, sifat manusia itu bisa berubah karena beberapa faktor. Dia bisa dingin karena suatu hal, dia bisa hangat juga karena suatu hal. Semua di dunia pasti ada sebab akibatnya."
"Gue heran deh, banyak banget dulu yang ngejar-ngejar Gazza sama kamu. Padahal dua-duanya sama-sama aneh."
Marcell terkekeh dan menarik tangan Lauren dalam genggamannya. "Gazza itu misterius, pasti banyak lah yang penasaran. Dia itu unik, dingin banget, tapi kalau udah terlanjur sayang sama orang, apapun pasti bakal dia lakuin, walaupun harus untuk kehilangan nyawa."
"Dia sayang banget tau sama Meika, dulu waktu kita deket, cara pandangnya aja udah beda antara lihat aku sama lihat Meika. Ada sesuatu yang dia sembunyiin, ada sesuatu juga yang dia tahan waktu Meika bilang kalau dia benci sama Gazza."
"Selama dia suka sama orang, kalau itu punya temennya sendiri, dia pasti bakal milih pergi. Tapi sekali dia dapet yang pas, selamanya nggak bakal dia lepas. Kamu tau Agatha kan, dia cinta pertama aku, tapi aku tau jauh di lubuk hati cewek itu ada Gazza. Tapi Gazza ngiranya Agatha emang beneran suka sama aku. Padahal faktanya, dia sengaja ngubur perasaan ke Gazza karena nggak mau berharap lebih dan jatuh gitu aja."
"Dia baik, tapi dia selalu pura-pura nggak baik."
Marcell tersenyum sambil mengusap pelan punggung tangan gadis itu. "Udah ah, kenapa kita jadi gosipin orang gini. Tuh pengantin baru udah dateng, kesana yuk."
Lauren bangkit dan mengikuti langkah Marcell yang berjalan menuju gerombolan keluarganya. Disana sudah ada Danel dan Caca yang baru saja datang. Kedua orang itu terlihat semakin serasi sekarang. Danel yang hanya menggenakan pakaian santai sejak tadi tidak juga melepas genggaman tangannya dari tangan Caca, mantan pacar yang kemarin telah sah menjadi istrinya.
"Bang,"
Danel menoleh dan mengedipkan sebelah matanya pada Marcell, seperti biasa. "Tumben lo mau bantuin."
"Sekali seumur hidup bantuin lo."
"Makasih ya."
Marcell mengangguk dan ikut menoleh saat suara seseorang membuat suasana menjadi semakin ramai. "Selamat hari Sabtu semuanya!"
"Farel?"
"Iya dong, gue bela-belain pulang ke indo buat lo berdua nih. Tebak gue bawa siapa!"
"Cewek baru?"
"Masih jomblo bro, santai ae."
"Terus?" Caca celingak celinguk mencari seseorang yang mungkin datang bersama cowok ini.
"Tuh mereka!"
Semua orang beralih menatap pintu utama gedung dan disana berdiri sepasang manusia yang memang tidak jauh-jauh dari Caca dan Danel. Mereka masih sama, yang berbeda hanya rambut si gadis yang terlihat lebih panjang dari masa SMA dulu.
"Maudy! Rino!"
"Cacaaaaa!!!!! selamattt yaaaaaa, tuh kan akhirnya juga bakal nikah."
Dan begitulah keadaan dimana suasana berubah seolah reuni. Mereka pun akhirnya bergabung ke tempat lain dan mengobrol sendiri sendiri untuk bernostalgia jaman SMA dulu.
"Ren,"
Lauren menoleh saat Meika memanggilnya. Gadis itu mengerutkan alis bingung, diikuti Marcell yang juga menolehkan kepala menghadap Meika yang masih menggendong Aurel. Gadis kecil itu sudah mulai sibuk meminum susu dari dotnya sambil menatap lurus ke arah Marcell.
"Mau gantian jagain Aurel nggak? gue mau pergi, keburu hujan."
Lauren mengangguk antusias, gadis itu pun menyerahkan ponselnya ke tangan Marcell dan beralih menggendong Aurel yang saat ini menggerak-gerakkan kakinya dengan lucu.
"Lo mau kemana, Mei?" tanya Marcell.
"Makam."
***
Langit mulai mendung, padahal hari masih siang dan seharusnya matahari sedang waktunya berjaga. Tapi mungkin mendung sedang ingin singgah, menghadirkan gelap hingga manusia lupa bahwa matahari masih tetap berusaha menyalurkan cahayanya, namun terhalang. Terlahang atas sesuatu yang membuatnya enggan untuk tersenyum menyapa makhluk bumi.
Tatapan itu masih mengarah keluar jendela. Menatap liar kekosongan yang membawanya memutar kembali segala kenangan yang mustahil terlupakan. Suhu dingin itu masih terasa menembus pori-pori, meski ia tau sang pemiliknya bahkan tak mungkin lagi ada disisi. Mobil itu berhenti saat lampu merah menyala terang di persimpangan. Memaksa segalanya untuk ikut berhenti meneruskan jalan.
Gadis itu menatap keramaian dengan sepi. Pantulan bayangannya pada kaca jendela tergambar buram dengan pandangan lurus tak bertuju. Angin sedang lelah, terlalu malas untuk mengusik helai rambutnya agar tersadar dari lamunan. Bodohnya, ia hanya melamun untuk hal yang sudah hilang. Hal yang bahkan tak sanggup disebut 'ada'. Haruskah ia terus masuk pada pandangan kosong tak bertuan?
"Mei, kesambet!"
Meika terkesiap, kepalanya bergerak ke arah Lauren yang saat ini menoleh ke kursi belakang. Tadi Marcell sendiri yang menawarkan untuk mengantar Meika ke makam. Mengunjungi seseorang yang membuatnya rindu akan kehangatan dalam beku.
"Jangan sering ngelamun ih!"
"Apa sih!"
"Daripada ngelamun, balesin tuh chat nya di Line, grup lagi rame banget."
Meika melirik ponselnya yang memang beberapa kali berkedip karena notif, "Pasti Seva sama Nadia doang isinya."
"Iya, pada ribet milih baju buat acara besok."
"Nggak ada yang lihatin juga paling."
Lauren terkekeh, "Panjang umur! Dia nelfon nih."
Gadis itu menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan dari Seva. Bukan mendekatkannya ke telinga, Lauren memilih untuk mengeraskan speaker agar terdengar sampai ke tempat Meika duduk. Sekaligus mengajak gadis itu agar lupa pada apa yang barusan ia pikirkan.
"Halo?"
"HALO!!"
Lauren menutup telinganya karena pengang, "Apa sih Sev? Jangan teriak-teriak bisa kan."
"Gue nggak ngerti lagi! kenapa pas baru gue mau pergi, gue selalu ngerasa kalau nggak punya baju! Bantuin gue sama Nadia dong!"
"Baju lo yang selemari penuh itu lo kemanain? lo jual di loakan?" tanya Meika membuat suara di seberang sana berdecak kesal.
"Nggak ada yang cocok tau!"
"Dasar!"
"Mei mei, gue besok minjem sepatu lo ya."
"Sandal jepit banyak."
"Ihh gue seriusss, bingung nih harus pake baju apa, mau belanja lagi bokek. Eh, disitu ada Marcell nggak?"
"Nggak!" jawab Marcell tegas, ia sudah tau jika gadis itu mencarinya pasti ada udang di balik batu.
"Marcelllll, lo baik deh, traktirin gue belanja dong!"
"Gue tonjok juga lo."
"Besok aja ke rumah gue, pilih baju sana, ribet amat perasaan."
"Beneran Ren?! Gila gilaaaaa, baik banget lo."
"Kalau ada maunya aja lo."
"Apa sih lo Mei? nyaut aja kayak kabel. Eh, kok kalian barengan, lagi mau kemana?"
"Makam," jawab Meika membuat Seva langsung terdiam.
"Oh, hati-hati ya kalian, sorry gue nggak bisa ikut."
Lauren berdehem dan mematikan sambungan telefon itu sebelum tersenyum pada Meika. Mobil Marcell berhenti tepat di belokan makam. Ia terpaksa berhenti disini, karena jalan menuju makamnya sudah tidak bisa lagi dimasuki mobil, terlalu sempit.
"Beneran nggak mau ditemenin, Mei?"
Gadis itu menggeleng dan menyampirkan tas slempangnya pada bahu sebelah kiri. Ia membuka pintu mobil dan berjalan pelan menjauh dari sana. Mulai masuk pada tempat dimana ia akan bertemu seseorang. Bertemu gundukan tanah yang pernah ia benci.
"Mei, duduk dulu atuh."
"Eh mang, tumben sendirian?"
Laki-laki bertopi penunggu makam itu mengangguk, "Lagi ditinggal beli makan."
Meika duduk disana, toh dia memang belum siap untuk bertemu lagi dengan orang itu. Orang yang sepertinya sedang tidur tenang dalam kesendirian. Gadis itu melirik cangkir kopi yang isinya tinggal setengah. Milik Mang Didin, laki-laki yang duduk di depannya dengan sebatang rokok ini memang sudah tua, tapi masih terlihat kuat dan tegar.
"Kangen ya sama yang di dalem?"
Meika tersenyum, menatap riak kopi yang sengaja Mang Didin aduk hingga menimbulkan pusaran ringan. Fokusnya tenggelam di dalam sana, menjelma menjadi bulir bulir pahit yang melenyapkan gula hingga tak terbekas. Membiarkan orang lain melupakan bahwa manis gula yang menjadikan cairan hitam itu tak terlalu pekat. Memang benar ya, kadang pengorbanan terlalu sulit untuk terlihat indra.
"Hidup itu selalu ada yang datang dan pergi."
Meika mendongak dan menatap Mang Didin yang barusan mengepulkan asap dari mulutnya, "Kita juga lagi nunggu giliran buat pergi ini mah."
"Jadi Neng, kalau orang itu pergi, ya emang udah takdirnya, skenarionya dari atas tuh begitu. Apalagi Neng pasti sering kan berdoa sama Tuhan buat ngasih yang terbaik, ya ini yang terbaik, kita itu cuma tokoh Neng, bisanya ikhlas, sabar, sama ngejalanin aja."
"Awalnya emang sulit buat ngelepas seseorang, apalagi kalau kita udah sayang. Tapi ya mau gimana lagi, bahagianya dia bukan di kita, ada yang lebih bikin dia bahagia, makanya dia pergi."
"Bukan salah dia kok, mungkin kitanya aja yang bikin dia kurang nyaman."
Meika mengangguk lagi, ia menoleh pada pintu makam yang selalu terlihat bersih dengan udara yang masih belum terlalu berkolaborasi dengan polusi. Makam ini terletak di jalanan puncak, sedikit jauh dari keramaian Ibu Kota. Maka dari itulah tadi Lauren dan Marcell memaksa untuk mengatarnya kesini, takut Meika kenapa-napa.
"Lain kali nyoba kopi Neng, dari situ teh kamu bakal tau kalau nggak selamanya yang pahit itu pahit. Pasti ada manisnya, tergantung gimana kita yang minum. Sama kayak merelakan, nggak selamanya merelakan itu sakit, pasti nanti ada leganya. Entah lega karena kita bisa bikin dia bahagia, atau entah lega karena dia memang pantas buat direlakan."
"Makasih ya Mang. Saya masuk dulu, keburu ditungguin temen."
Laki-laki itu mengangguk, Meika pun berjalan masuk ke dalam makam setelah menyalimi tangan keriput laki-laki itu. Ia melangkah pelan, berdoa dalam hati dan berhenti dengan sudut mata berkaca-kaca di depan sebuah gundukan tanah yang bertuliskan nama seseorang.
Gadis itu duduk di sebelahnya. Menaburkan bunga segar dan meletakkan setangkai mawar di dekat nisan putih yang selalu terlihat bersih. Air matanya luruh tanpa sengaja, mengalir pelan melewati pipi tanpa aba-aba. Ia menarik nafas, menghembuskannya dengan pelan sambil mengusap kasar bulir bening istimewa dari matanya.
"Jangan nangis ih, cengeng banget!"
Gadis itu tersenyum getir, tangannya perlahan menyentuh nisan itu setelah terdiam beberapa saat untuk membaca doa. Netra abunya menyiratkan kesedihan, kemarahan, dan segala hal yang teraduk dalam satu seduhan. Tak terpisah.
"Selamat siang,"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Meika kangen."
Disini hujan! bagus sekali, semoga suka ya. Bingung kan ini siapa? baca terus, yang kemarin pada nge dm tentang "kapan Danel sama Caca nikah kak?" tuh udah kan sayang. Udah sono pada kondangan, gue mau belajar lagi. Terimakasih, maafin typo ya, suka usil muncul" sendiri. Hehe.
❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top