#37 Hati-hati

Hati-hati untuk yang
pergi dan akan pergi.

Pagi itu, matahari tidak juga muncul meski ia yakin waktu telah lewat tengah hari, langit tertutup awan dan kabut tebal. Dari sini, yang terdengar hanya gemericik air dan hembus angin. Tidak ada siapa-siapa. Tempat ini asing, menyisakannya sendiri dengan sudut-sudut luka dalam kenangan.

Ia tolehkan lagi kepalanya ke kiri. Dari sini, remang-remang ia bisa melihat pohon besar tumbuh diantara hamparan rumput dengan lavender yang menggantung di dinding rumah kayu tepat di sebelahnya. Ada orang. Bisa dilihat dari terawatnya tempat serta tumbuhan di sekitar rumah. Ia ingin kesana, sekedar bertamu dan menanyakan alamat, atau hanya mengobrol sambil minum teh. Menikmati senja nanti sore.

Matanya mengeryip, difokuskan pandangan saat netranya menangkap seseorang keluar dari sana. Siluet itu milik wanita. Tingginya semampai dengan rambut panjang yang digerai asal. Gadis itu membawa beberapa batang lavender dan bergerak duduk di ayunan. Ia terdiam, gadis itu pun sama. Mereka seolah saling tatap diantara hamparan kabut yang enggan menyingkir.

"Siapa?" tanya gadis itu bangkit dari ayunan dan berdiri diam disana.

Ia menoleh lagi, tidak ada siapapun disini. Tidak ada apa-apa yang terlihat, akankah gadis itu hidup sebatang kara? Di tempat yang menurutnya saja sudah asing, tak bernyawa. Ia melangkah, memijak jalan setapak yang mengarah tepat ke rumah di atas sana.

"Siapa?"

Gadis itu mengulang pertanyaan. Ia berhenti melangkah, takut gadis itu mengira ia penjahat. Jantungnya berdegup kencang, suara ini pernah ia dengar sebelumnya. Matanya bergerak kesana kemari mengingat sesuatu, namun nihil, pandangannya kabur. Ia memegangi dadanya, ada yang berdetak aneh di dalam sana. Dan perasaan ini, kejadian ini sama persis ketika seseorang itu memanggilnya. Seseorang yang memilih pergi tanpa alasan.

"Agatha?"

"Kamu..kamu siapa?"

Dugaannya benar, gadis itu Agatha. Gadis masa kecil yang menjadi alasannya menutup hati untuk orang baru. Perasaan lama yang menjadi dasar mengapa ia menolak cerita orang baru. Mengelak perasaan sama yang menjelma menjadi sosok lain. Gadis itu, ada disini. Di tempat aneh yang ia sendiri tidak tau bagaimana caranya bisa sampai kesini.

"Agatha, ini Gazza."

Ia melangkah, mendekat ke arah siluet yang berdiri kaku diatas sana. Kabut yang tadi tebal kini memudar. Kedua netra beda warna itu bersitatap tanpa penghalang. Kilatan memori yang telah lalu semakin terlihat jelas saat posisi Gazza semakin dekat. Dan benar, gadis itu adalah Agathanya. Agathanya dan Marcell.

"Gazza?"

Ia diam, tak mampu berucap atau sekedar mendekat. Posisinya berjarak beberapa langkah dari si gadis cantik itu. Agatha tumbuh besar disini, rambutnya tebal dan bergerak indah tertiup angin. Bulu matanya lentik dengan lesung pipi yang masih sama. Ia tersenyum, membuat dunianya seolah berhenti untuk sekejap. Ternyata, rasa itu masih ada. Hanya saja sengaja dihilangkan agar tak membebani perasaan.

"Disini sama siapa?"

"Agatha sendiri, Gazza kenapa bisa ada disini?"

"Selama ini kemana aja?"

"Maaf dulu nggak pamitan."

Gazza menghembuskan nafas dan mendekat. Jantungnya bergerak lebih cepat dari biasanya. Takdir memang selalu bercanda dengan hidupnya, jika kamu tau itu. Dulu, saat perasaan itu muncul, saat ada getaran aneh yang merambat seiring berjalannya waktu, ia ingin mengungkap. Namun langkahnya berat untuk hanya sekedar mengucap.

Dia sadar telah menjatuhkan hati pada Agatha, mengaku kalah. Tetap mengagumi meski tak terbatas. Tetap memperjuangkan meski tak terbalas. Dari situ, ia mulai percaya pada cerita dongeng mamanya. Bahwa malaikat tak bersayap itu memang ada di dunia. Buktinya, gadis itu memberikan fakta pada Gazza. Bahwa suatu hal yang membuatnya terpaku memang kadang tak berhak juga untuk diaku.

Apalagi saat Agatha bilang ia suka pada seseorang. Membuatnya mematahkan harapan tanpa alasan. Bukan, bukan dia orang itu. Tapi Marcell, orang yang sejak kecil juga hadir dalam cerita persahabatan mereka bertiga. Klise memang, tapi itu faktanya. Gazza akhirnya mencintai Agatha dengan sederhana, membiarkannya pergi dengan rasa yang dulu sempat membara dan kini tinggal menyisakan lara.

Hingga waktu itupun tiba, mungkin Agatha benci berada di antara dua cinta yang serba salah. Ia pergi, menyisakan pedih dan luka yang semakin mengisi hati. Kepergian tanpa perpisahan yang membuat semuanya berubah. Marcell benci disentuh karena kejadian yang ia anggap kesalahannya, kepergian Agatha karena kecelakaan mobil. Gazza menjadi dingin pada sekitar, menutup diri dan hati pada orang yang memaksa hadir. Ia hanya ingin Agathanya kembali, meski pada akhirnya bukan dia yang memiliki.

"Gazza? kok nglamun?"

Gazza terkesiap, menggeleng ragu dan memilih duduk disana menatap hamparan rumput di bawah bukit. Agatha menyusul disampingnya. Tersenyum sekali lagi pada Gazza hingga kembali menjadikan lesung pipi itu sebagai narkotika sederhana. Candu yang selalu mengundang rindu.

"Tata kira, Gazza udah lupa sama Tata."

"Gimana bisa lupa,"

"Gazza kenapa kesini? Meika lagi nungguin Gazza."

Gazza masih terdiam, matanya bergerak mengamati Agatha yang sedang memainkan bunga lavendernya.

"Kamu tau Meika?"

Gadis itu mengangguk, "Tau, orang yang lagi Gazza perjuangin dalam diam kan?"

"Gazza kenapa sih mau berkorban kayak gitu? Gazza nggak mungkin bisa nyelametin ketiganya sekaligus."

"Buktinya sekarang bisa."

"Coba jelasin ke Tata alasan Gazza kayak gitu."

"Maafin Gazza ya Ta, gara-gara dulu Gazza sengaja pergi karena cemburu, kamu jadi hilang. Harusnya Gazza jagain kamu. Selain kamu, Gazza cuma punya Marcell, makanya sebisanya aku lakuin buat lindungin dia."

"Terus?"

"Aku takut, kalau aku sama Meika, dia juga bakal kena. Akhirnya Gazza datang ke Lauren buat bikin Meika benci. Berhasil kan, tapi akhirnya Gazza juga takut Lauren kena. Walaupun dia pacar Marcell, dulu cewek itu juga sempet masuk ke hati Gazza. Lucu kan? Kayaknya aku sama Marcell selalu ditakdirin suka sama orang yang sama."

Agatha terkekeh lagi hingga matanya menyipit, lesung pipi itu semakin menusuk dalam. "Gazza sayang sama mereka ya?"

Cowok itu mengangguk. "Terus kenapa Gazza masih disini? pulang sana, tuh jalan pulangnya."

Gazza menoleh pada arah yang ditunjuk Agatha. Disana, di antara kabut dan tanaman lavender, ia bisa melihat pintu coklat yang tertutup rapat. Agatha kembali menoleh dengan senyum yang tak kunjung pudar juga.

"Agatha sayang sama Gazza, aku yakin apapun yang kamu lakuin selalu punya alasan buat orang lain. Itu kenapa dulu Agatha nggak mau jatuh cinta ke Gazza, Agatha takut nggak pantes buat kamu. Agatha takut kehilangan Gazza yang selalu bisa jadi pelindung."

"Aku nggak mau pulang,"

"Gazza sayang sama Agatha nggak?"

"Sayang,"

"Kalau Gazza sayang, Gazza harus pulang. Tata mau nitip salam buat Marcell, bilang ke dia buat suruh cepet baikan sama Lauren."

Gazza diam lagi, jika dia pergi maka masa lalunya akan sendirian. Jika dia enyah, maka masa lalunya akan jengah. Ia sendirian, tanpa hiburan apa-apa disini. Bagaimana jika ada sesuatu yang membuatnya dalam bahaya?

"Sebentar lagi senja, Tata mau pulang dan Gazza juga harus pulang."

"Kamu nggak tinggal disini?"

Agatha menggeleng tegas, "Disini dingin, rumah baru Agatha disana, di balik awan."

"Gazza mau ikut,"

"Jangan! belum waktunya Gazza ke rumah Agatha, masih berantakan."

"Gazza!"

Cowok itu menoleh saat namanya dipanggil seseorang dari pintu coklat di ujung sana. Itu suara Meika, lalu disahut dengan suara Marcell yang terdengar samar-samar. Cowok itu menoleh pada Agatha dan tersenyum saat gadis itu mengulurkan tangannya agar bangkit.

"Gazza harus pulang."

"Gazza bakal ikut Agatha."

***

"Gazza!"

"Gazza bangun!!!"

"Mei Mei, tenang dulu." Arsen dan Rian yang menahan tangan gadis itu berusaha menenangkan.

Dokter sedang memeriksa kondisi Gazza saat ini, Marcell yang berdiri resah di samping tempat tidur terus berkomat kamit membaca doa untuk keajaiban tuhan. Ia tidak ingin kehilangan lagi, ditinggal saat sedang nyaman-nyamannya bukan suatu hal yang mudah. Bukan persoalan sepele, ini berat.

"Marcell, bisa ikut saya sebentar?"

Marcell mengangguk dan berjalan mengikuti dokter keluar ruangan. Meika mendekati Gazza, menggenggam tangan cowok itu sambil terus berharap ia bangun. Semua orang disana memilih pergi, memberi waktu pada Meika yang sepertinya butuh bicara empat mata pada di empunya rindu.

"Lo marah sama gue?"

"Bilang! jangan diem aja."

"Gue nggak suka dateng ke rumah sakit Za, lo harus cepet bangun, jangan disini terus."

Meika menatap kelopak mata cowok itu yang masih terlihat tenang, ia memperhatikan pula alat pendeteksi detak jantung yang menampilkan garis-garis lambat. Diciumnya tangan Gazza sebelum ia letakkan kepalan itu pada dahinya. Ia ingin amnesia.

"Lo mau apa? gue bakal turutin, asal lo bangun, Za. Banyak yang pengen lihat lo buka mata."

"Za, lo kangen Lauren ya? gue suruh dia kesini sepulang sekolah ya? tapi lo janji harus bangun."

"Meika,"

Gadis itu menoleh dengan mata sembab. Ia melihat Marcell, Arsen, dan Rian satu persatu. Tidak ada jejak harapan baru disana. Pintu kembali terbuka, menampilkan Gilang dan Meta yang sama-sama bungkam. Gadis itu bangkit dari duduknya, melangkah mendekati Marcell dan menerima uluran map coklat dengan logo rumah sakit.

"Ini apa?"

"Baca dulu."

Meika mengeluarkan surat itu dari dalam map, membacanya dalam hati dengan jantung berdetak kencang. Belum selesai membaca, gadis itu sudah menyerahkan kembali amplop tersebut pada Marcell. Ia angkat tangan, menggeleng keras untuk menolak penawaran apapun yang tertulis di dalam sana.

"Gue nggak akan rela!"

"Om Gilang bilang lo yang berhak tanda tangan atas surat ini, kita percaya sama keputusan lo Mei."

"Sekali gue bilang nggak, ya nggak." ucap Meika mendesis dan menyambar tasnya di sofa sebelum pergi dari ruangan Gazza. Gadis itu butuh tempat lain.

Perhatian orang-orang di lorong rumah sakit tidak lagi dihiraukan. Gadis itu menyetir mobil tanpa tujuan. Ponselnya yang bergetar dengan nama Arsen disana tidak lagi digubris. Pikiran gadis itu sedang kalut. Ia menyetir mobilnya menuju ke sembarang tepat. Hingga rem itu mendecit keras di area penyimpanan gerbong kereta dengan lukisan mural dimana-mana. Tempatnya sering berkeluh kesah dengan semesta.

"Gue cuman pengen lo tetep ada."

"Gue nggak mau lo pergi."

Gadis itu membenturkan kepalanya berkali-kali pada setir mobil. Ia terdiam, spontan bergerak mencari sesuatu dari dalam tasnya saat pikiran itu tertuju pada bingkisan titipan Gazza. Ia membuka kotak itu dengan air mata yang masih terus mengguyur deras di tengah panasnya Kota Jakarta.

Di dalam kotak itu terdapat sebuah note book dengan amplop dan beberapa foto yang telah dicetak. Ada pula miniatur kue dan gembok koper. Selain benda benda kecil itu, Meika juga mendapati amplop besar yang sedikit tebal. Entah berisi apa. Gadis itu menghapus jejak air mata sebelum membuka note book bersampul abu-abu dengan tali hitam sebagai sekatnya.

Jakarta, 23:58 WIB

Malam,
Selamat ulang tahun Mei.
Sorry gue nggak bisa ngasih apa-apa.
Anggep aja miniatur itu kue beneran.
Mungkin saat lo buka kotak ini, gue udah nggak ada.
Lo nggak boleh nangis, lo adalah alasan gue senyum, jadi tolong jangan bikin gue sakit juga.
Maaf udah bikin lo kecewa, gue tau gue pengecut. Tapi lo harus tau, gue cuma nggak mau lo kenapa napa.

Lo pernah cerita kan soal keluarga lo, di amplop tebel itu ada bukti kalau nyokap lo ternyata nggak serendah yang lo kira. Lo harus liat, setelah itu lo harus baikan sama nyokap lo. Sebagai kado, lo pernah bilang pengen banget ke Silvaplana kan? kota tentram di Swiss yang gue juga bingung apanya yang lo suka. Di amplop warna putih, ada tiket kesana, lo bisa berangkat bulan Juni nanti, disana mungkin bakal musim salju, salah satu kesukaan lo. Tiket itu gue dapet gara-gara menang balapan, jadi harus dipake. Cuma itu hadiah terakhir gue.

Gembok kopernya jangan lupa dibawa, jaga diri baik-baik Mei. Di dalam amplop putih itu juga, ada kartu nama tante gue. Lo bisa hubungin dia, dan beliau yang bakal nemenin lo selama disana. Gue sayang sama lo, lebih daripada gue sayang sama Lauren. Gue cuma nggak mau lo sakit, jangan nangis, gue baik-baik aja.

Gazza.

Gadis itu membuka amplop putih yang dimaksud, dan benar, disana ada selembar tiket liburan ke Silvaplana. Kota yang pernah direncanakannya bersama sang ayah. Kota yang ingin ia pijaki untuk menikmati salju. Kota yang ternyata menjadi persembahan seseorang yang ia rindukan. Gadis itu menghapus kasar air matanya, disampirkannya rambut coklat gelap berantakan itu di salah satu telinganya. Ia semakin ingin menangis saja.

Lembar selanjutnya cuma khusus buat rasa bahagia! selamat liburan, hati-hati Mei.

"Bodoh!"

"Gimana bisa gue bahagia kalau keadaan lo kayak gini?"

Gadis itu menoleh saat ponselnya kembali bergetar. Kali ini nomor Marcell yang tertera di layar. Ia menghembuskan nafas lalu menutup kotak pemberian Gazza sebelum tangannya bergerak mengangkat telfon dari seberang.

"Apa?"

"Gazza, Mei." suara Rian yang terdengar, bukan Marcell.

"Gazza..Gazza kenapa?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Detaknya hilang, dokter nggak bisa lakuin apa-apa lagi, peralatan harus dilepas secepatnya, Mei."

Penasaran? Kepo? Baper? Baca terus 2 chapter terakhir yang akan datang. Semangat!!!!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top