#36 Jangan pergi
Ketika segalanya telah terkumpul pada titik lelah, kemunafikan datang hanya untuk memaksa agar menjauhi kata menyerah.
Tatap itu tak lagi mampu menusuk kata. Kelopaknya terpejam rapat, menolak untuk sekedar dilirik walau sekilas. Ia bilang dia lelah, ingin istirahat.
Baiklah, istirahatlah.
Tumpahkan segala hal yang membuatmu ketakutan. Yang membuatmu kesakitan. Curhatkan semuanya pada bayangan hitam yang mungkin sedang menemanimu di lain tempat, jauh tak terjangkau, sebuah latar yang bahkan tak mampu juga kupijaki.
Namun bila aku boleh meminta, tolong jangan pergi dan membuatku berteman dengan sepi. Jangan buat aku sendirian dalam sesal dan renung malam.
Iya, kamu bukanlah senja.
Kamu bukan sosok yang manis dan selalu memberikan cahaya terang memabukkan. Kamu hanya kamu, seperti hujan, menurutku. Tapi seperti kabut, menurutmu.
Kamu ada, namun kadang tak dianggap ada. Kamu hadir, namun kadang diharapkan pergi lalu diusir. Kamu nyata, tapi bersikap seolah kamu datang dari dimensi maya. Hingga kadang aku sulit melihatmu, sulit mengartikan keping-keping artian tatapan yang berantakan. Kamu terlalu jauh untuk disentuh, kamu terlalu dekat untuk dilihat.
Ibaratkan kabut yang kau sematkan pada sosokmu, kamu menutupi segala tentang siapa dirimu. Kamu menyembunyikan keindahan lainnya dengan dinginnya hawa. Kamu datang memberi rintihan pada semua orang. Lalu kamu pergi membawa tangis mereka pula. Maumu apa?
"Mama, bajuku basah."
"Kena kabut ya, kebiasaan kalau pagi emang gini. Hujan sama kabut sama aja, cuman beda bentuk."
Lihat? semua orang selalu menyamakanmu dengan hujan. Tapi faktanya kamu beda, dari sudut yang beda pula. Aku menamaimu hujan, karena aku tau ada banyak hal yang ingin kamu beri dibalik jatuhmu. Kamu ingin memberikan sesuatu dengan caramu sendiri. Dengan hal yang kadang tidak diingini. Banyak yang berdecak kesal saat lagi lagi kamu membanjiri ibu kota.
"Hujan lagi hujan lagi."
Mereka tidak menyukai caramu berkorban. Mereka enggan mengerti bagaimana caramu membahagiakan. Karena kamu memang tidak pandai dalam hal tunjuk menunjukkan. Kamu hanya ingin melakukan sesuatu yang kau anggap berguna. Tapi tidak bisakah kau melihat keadaanmu, sudah baikkah kamu? Sehatkah kamu melakukan itu?
Ini yang kubenci, kamu rela jatuh tanpa pernah mengerti bagaimana sulitnya bangkit. Kamu terlalu betah tinggal di lorong sempit di bawah tebing curam dan gelap. Kamu tenang dalam sepi. Bagimu, dikasihani lebih buruk daripada dibenci orang yang sedang kau kasihi. Karena bagimu, kasihi berbeda jauh dari kasihani. Namun bisakah kamu kembali melihat apa yang kau perbuat?
Tanpa menjelaskan sekeping bagian kronologi, kamu justru memilih pergi. Tanpa mengucap penjelasan dalam tatap, kau enggan untuk kembali menetap. Tanpa bercuap tentang tujuan, kamu pergi begitu saja membekaskan kenangan. Jika memang aku alasanmu pergi, bisakah juga, apabila aku meminta, kamu akan kembali?
Kembalilah,
Kembalilah untukku dan yang lain.
Kembalilah untuk memberiku kesempatan mengucapkan penyesalan.
Maaf,
Maaf untuk keseribu luka yang tanpa sengaja memang kuukir diam-diam.
Dan kesekian kali, dengan caraku sendiri, aku ingin kau kembali. Disini. Ditempat dimana kita bisa saling mengumbar tawa.
***
Bau khas obat dan antiseptik langsung menguar saat pertama kali kedua pasang kaki itu melangkah masuk tergesa-gesa. Banyak orang berlalu lalang, banyak sosok berpakaian putih berjalan kesana kemari. Ada yang membawa beberapa botol obat, ada yang membawa peralatan medis, ada yang membawa brankar, ada pula yang mendorong kursi roda dan pengantar makanan.
Mereka tidak peduli.
Yang terfokus saat ini hanya satu ruang di lantai dua. Mereka masuk ke dalam lift, berbaur dengan beberapa orang yang menatapnya dalam diam. Saat pintu terbuka, tidak ada lagi keinginan untuk peduli pada sekitar. Mereka berdua menerobos keluar lift dan berlarian menyusuri lorong. Semakin pelan saat keduanya menangkap sosok yang begitu terlihat berantakan.
Ia duduk di ruang tunggu, menanti suatu keajaiban yang bisa membuatnya sedikit tenang dan menebar senyum. Di depannya ada beberapa orang yang belum mereka kenal, semuanya asing, kecuali dua orang yang salah satunya terlihat tak kalah berantakan. Perempuan itu, si gadis cantik yang sempat ia temui di sekolah.
"Marcell?"
Wajah tegas itu menoleh pelan dengan raut dinginnya. Mata elang yang biasanya terlihat bersinar kini seluruhnya berkabut. Dibawah matanya muncul lingkaran hitam dengan kelopak mata sayu. Matanya merah, penuh sesal dan amarah. Dari iris hijau yang menatap lurus ke arah mereka itulah, ia bisa menangkap ada ketakutan yang tak terdefinisikan.
Ia takut kehilangan, lagi.
"Gazza gimana?"
Marcell menggeleng, menjawab secara langsung bahwa si pemeran yang sedang ditanyakan sedang tidak baik-baik saja. Meika mendongak menatap lampu merah yang masih menyala terang. Pemeriksaan dan pengobatan sedang berlangsung di dalam. Pilihannya ada dua, antara menyelamatkan atau merelakannya tidur tenang.
Marcell spontan bangkit saat lampu mati dan dokter keluar setelah pintu terbuka. Laki-laki itu melepas masker dan kacamatanya, mengusap peluh yang mungkin sejak tadi telah membanjiri pelipis. Semua orang juga ikut menatap seseorang yang dianggap mampu menyelamatkan. Dokter menghembuskan nafas, menarik pundak Marcell untuk menjauhi mereka.
"Bagaimana dok? Bagaimana keadaan Gazza?"
"Ada dua informasi disini, baik dan buruk."
"Sampaikan semuanya."
"Baiknya, Gazza bisa selamat. Buruknya, dia koma, kepalanya terbentur beton cukup keras, resiko terburuk dia bisa amnesia. Selain itu, bila dalam waktu 1 bulan dia tidak juga sadar, saat bangun nanti, 80% bisa mengalami kelumpuhan. Ada beberapa saraf yang membutuhkan terapi untuk bisa kembali berfungsi, penyebab terbesarnya adalah luka pukul di beberapa bagian tubuh korban tidak main-main, mereka melakukan hal itu cukup keras."
"Dia bisa sembuh kan dok?"
"Kita tunggu dulu dia sadar, kalau dalam 2 bulan tak kunjung sadar, pihak rumah sakit harus melepas semua alat bantu dalam tubuhnya."
Seluruh otot dalam tubuh Marcell seketika melemas. Ia mengusap kasar wajahnya dan menunduk dalam-dalam. Ia malu pada Gazza, ia malu pada dirinya sendiri. Bukan cowok itu yang seharusnya ada disana, tapi dia. Dia yang bahkan sempat ingin membenci penyelamatnya.
"Saya permisi dulu, doa adalah yang terpenting disini. Jika ada apa-apa, segera panggil saya atau suster." Dokter menepuk sekilas pundak Marcell dan segera berjalan pergi melepas jas kerjanya.
"Marcell bagaimana?"
"Dia koma, dia bisa amnesia, dia bisa lumpuh, dia bisa meninggal. Satu-satunya yang bisa kita perbuat, cuma berharap dia cepet sadar dan berdoa biar semua kemungkinan itu nggak jadi kenyataan."
Penjelasan itu cukup.
Semuanya telah jelas dan berhasil membuat mereka mematung seketika. Caca menangis dalam pelukan Danel. Meta pun sama, Gilang yang biasanya bercanda dalam situasi tegang pun, kini diam. Anaknya sedang berjuang keras di dalam sana. Ia diam, namun tatapannya mengiris tajam tembok tembok rumah sakit. Ia benci pada dirinya sendiri yang tidak mengerti apa saja yang sedang dilakukan anaknya.
Lauren menoleh pada Meika yang sedang terduduk lemas dengan pandangan kosong. Tidak ada lagi bulir kesedihan yang mampu ia keluarkan. Ini terlalu sakit, rasanya sama saja seperti saat ia kehilangan ayahnya. Ia trauma pada penjelasan dokter yang mengatakan untuk tenang dan menunggu orang di dalam sana sadar. Buktinya, penantian itu harus berakhir dengan pengikhlasan.
"Salah satu keluarga pasien boleh masuk,"
Marcell menerima baju steril rumah sakit yang disodorkan suster. Cowok itu menghembuskan nafas berat, ia menoleh pada Meika. Mendekati gadis itu dan menyerahkan baju yang ia pegang pada seseorang yang dianggapnya lebih berpengaruh untuk tubuh Gazza yang sedang kehilangan jiwa. Marcell menepuk pundak Meika sekilas, melirik pada Lauren, lalu berjalan menjauh melintasi lorong.
Bunyi alat alat itu bagaikan nyanyian sekarang. Sebelum masuk tadi, Meika sempat menawarkan giliran masuk pertama pada mereka yang disana. Tapi semuanya menolak, memilih untuk lebih dulu menghilangkan air mata. Alhasil, sekarang dia yang masuk kesini. Menatap secara langsung tubuh berbalut perban dan selang selang pembantu.
"Hai,"
Hening. Meika menarik satu kursi di samping Gazza. Bergerak pelan menggenggam tangan rapuh yang bahkan terlihat kehilangan sisi beringasnya.
"Capek ya? jangan lama lama tidurnya."
"Lo ditungguin banyak orang."
Hening.
"Maafin gue, maaf nggak bisa ngertiin lo sebagai temen."
"Lo tau nggak, semua orang lagi nangis, mereka kangen sama lo. Walaupun lo jarang ngomong, lo tetep berharga buat mereka. Lo harus bangun, lo harus bikin mereka seneng."
"Kalau lo pengen buat kita seneng, buka mata lo Za. Bilang ke dokter kalau lo baik-baik aja."
"Gue sayang sama lo, bangun ya."
Meika mengangguk, mungkin Gazza sedang sariawan. Mungkin Gazza sedang sakit tenggorokan. Mungkin Gazza sedang malas mengobrol dengannya. Semua kemungkinan itu nyatanya hanya untuk menghibur diri, meyakinkan bahwa segalanya akan kembali seperti semula. Walaupun terkadang harapan bisa saja mematahkan.
Disisi lain, Marcell masih berkutat dengan kopi hitam yang barusan ia pesan di kantin rumah sakit. Tidak ada alasan khusus untuk dia menoleh bertemu dengan Gazza. Ia hanya enggan untuk menjadi tamu pertama. Dirinya terlalu tidak pantas. Cowok itu memijit keningnya yang mulai pusing. Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam, dan sampai saat ini matanya belum beristirahat barang sedetik pun.
Sekali lagi dia menyesap kopi hitamnya. Rasa pahit seketika menjalar hingga ke tenggorokan. Semua luka seperti ditutup tutupi oleh rasa pahitnya. Ia sengaja lari kesini, ia ingin ada tempat pelampiasan tanpa harus melibatkan orang-orang. Ia ingin tenang, ia ingin berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ini hanya sementara. Sebentar lagi Gazza akan bangun, dia akan meminta maaf, dan mereka akan baik-baik saja. Secepat itu, semoga.
"Marcell,"
Cowok itu menoleh sekilas, menggeser tubuhnya untuk mempersilahkan gadis itu duduk disana. Lauren pun duduk, sama sama diam menatap kolam yang berada di samping kantin rumah sakit. Disana ada beberapa playground anak anak juga. Tapi sepi kalau jam segini.
"Kita semua disini sama-sama merasa bersalah,"
"Gue, lo, dan Meika. Gazza berusaha nyelametin kita."
"Tapi awal masalahnya itu karena gue." balas Marcell tanpa menoleh.
"Gazza berkorban buat kita, dan gue yakin, bukan kayak gini yang dia harepin. Dia pasti nggak mau kita justru nyalahin diri sendiri terus."
"Lo bisa tinggalin gue sendiri?"
Lauren menoleh, matanya bersitatap langsung dengan manik hijau milik Marcell yang terlihat lelah. Gadis itu mengangguk, lalu bangkit dan merapatkan jaketnya. Udara di jam seperti ini memang selalu menusuk tulang.
"Oh ya,"
Gadis itu mengaduk isi tasnya untuk mencari sesuatu. Dari dalam sana, ia mengeluarkan dua bingkisan yang dibungkus rapi. Lauren tersenyum dan menyerahkan benda itu pada Marcell yang masih bingung.
"Ini dari Gazza, jauh sebelum dia jalan sama adik kelas waktu itu. Gue lupa ngasih, nanti yang ini lo kasih Meika ya, gue mau pulang soalnya. Bilangin maaf ke mereka karena nggak bisa tidur sini, nyokap gue kayaknya pulang."
"Makasih."
"Sama-sama, sorry Cell."
Marcell menerima dua bingkisan dari Lauren. Gadis itu tersenyum dan berjalan pelan menjauhi cowok itu. Namun belum sampai ia melewati pintu keluar kantin, langkahnya terhenti saat tiba-tiba ada seseorang yang menggandeng tangannya melewati lorong.
"Gue anter."
"Bukannya lo lagi pengen sendiri?"
"Gazza pernah bilang, gue harus jagain lo."
Lauren diam, kemudian tersenyum kecut. Matanya menangkap punggung Marcell yang berjalan di depannya. Gadis itu menatap genggaman tangan cowok itu dan bergumam dalam hati.
Makasih Za, lo bikin gue bahagia lagi.
***
Hidup ini indah Cell, kalau lo bisa nikmatin setiap detiknya. Jadi, saat gue nggak ada, itu juga indah, kalau lo ngerti maksud gue. Gue cuma pengen lo bahagia, gue cuma pengen lo kangen sama gue, bukan ke Lauren doang.
Jagain dia ya, dia pernah jadi orang yang gue suka. Jagain Meika juga, dia masih tetep jadi orang yang gue sayang.
Gazza
Marcell tersenyum tipis dan beralih menatap Gazza di brankar rumah sakit. Cowok itu telah dipindahkan ke kamar rawat hari ini, menunggu ia sadar dari komanya. Marcell bangkit dan berjalan mendekati Meika yang tertidur di samping tempat tidur Gazza.
"Mei, bangun."
Gadis itu bergerak pelan dengan mata yang masih menutup. Ia baru bisa tidur jam 5 tadi, jelas saja masih mengantuk. Marcell menghembuskan nafas dan menoleh pada Gazza yang tetap setia memejamkan mata. Cowok itu memandang miris sahabatnya, Gazza benar-benar buruk.
"Jangan songong, katanya sayang, kok masih ngebiarin dia tidur disini."
"Mei, pindah dulu sana." Gadis itu melirik sekilas Gazza dan berjalan mengikuti Marcell menuju sofa rumah sakit. Ia merebahkan diri disana, menarik selimut dan kembali memejamkan mata.
"Kita mimpi kan Cell?"
Marcell menoleh pada Meika yang menghadap punggung sofa, "Iya, kita ada di mimpi buruk lo."
"Gue harap mimpi ini cepet selesai."
"Pasti, tidur aja dulu."
Marcell mengepalkan tangannya menahan amarah. Dia berjalan mendekati Gazza, menatap tubuh ringkih itu dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia selesaikan, dan harapannya, semoga semua dapat terselesaikan.
"Bangun!"
"Gue bilang bangun!"
"Marcell,"
Cowok itu menoleh, lingkaran hitam di bawah mata itu semakin ketara. Ia belum tidur sampai jam segini. Ditatapnya Gilang, Meta, Caca, Arsen, dan Rian satu persatu. Tidak tersisa lagi raut main-main, semuanya hanya terpaku dengan kepasrahan. Rian maju, meletakkan tas sekolah disofa dan memeluk Marcell yang berdiri lunglai di samping tempat tidur.
"Lo kuat, bukan kayak gini Marcell yang gue kenal."
Arsen ikut melangkah mendekati, "Dia, yang lagi sok sok an tidur itu, juga pasti muak liat kita cengeng kayak banci komplek gini."
"Dia butuh semangat kita, Cell." tambah Arsen dan duduk di kursi tempat Meika duduk tadi.
"Marcell, bisa kamu jelasin ke om kenapa semua jadi kayak gini?"
Marcell menghapus air mata dan mengangguk, "Marcell sama Gazza pernah ikut balapan motor di arena balapnya papa. Waktu itu, Marcell ditantang main sama adiknya Max. Tiba-tiba, sebelum sampai finish motor adiknya oleng. Marcell nggak tau kenapa bisa kayak gitu om. Dan sampai sekarang adiknya koma, karena memang waktu itu dia ada di kecepatan tinggi."
"Karena itulah, Max dendam sama Marcell. Tapi karena dia nggak tau Marcell yang mana, nggak tau gimana caranya Gazza justru bilang kalau dia itu Marcell. Sejak saat itu, Max mengincar Gazza. Juga orang terdekatnya, makanya Gazza berusaha bikin kita semua benci sama dia."
Gilang terdiam, Meta yang saat itu sedang mengupas buah untuk Rian dan Arsen pun terpaku sejenak. Matanya melirik ke arah Gazza. Diamnya Gazza berbahaya. Cowok itu terkadang merasa bahwa lebih baik dia yang pergi daripada mereka orang yang dia sayang harus pergi. Cara mencintainya berbeda, ia menyayangi orang lain dengan caranya sendiri. Tanpa aba-aba, tanpa rekayasa.
"Maafin Marcell om, maaf udah nggak becus."
"Udah Cell, lo lebih baik pulang dulu, istirahat. Biar kita yang gantian jagain Gazza."
"Iya Cell bener kata Rian, lo kayaknya otak lo udah panas ini, butuh yang adem adem."
"Bener, lebih baik kamu tidur dulu, biar fresh." saut Meta dan berjalan ke arah mereka sambil menyerahkan mangkuk berisi buah.
"Mata lo udah item semua kayak abis ditonjok tuh."
"Nggak, gue disini aja."
Gilang mengepalkan tangannya ke arah Marcell dengan wajah tegas, "Pulang atau om jegurin kamu di bak mandi."
Marcel tersenyum tipis, Arsen dan Rian pun tertawa. "Iya, Marcell pul..."
Titttt titttt titttt titttt
Mereka serentak menoleh ke arah Gazza dan beralih pada mesin pendeteksi jantung. Garis itu mulai tidak karuan, refleks Marcell melepas pegangan tangan Rian dan segera keluar kamar untuk mencari dokter.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Dokter!!"
Please, jangan susul Agatha, Za.
Selamat membaca semuanya. Semoga suka, jangan nangis ya. Gazza semoga aja cepet sadar. Maafin typo yang bertebaran. Love you ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top