#33 Luka (lagi)

Semesta memang suka bercanda.
Luka kadang didatangkan tanpa perlu penjelasan, sakit pun kadang diperlihatkan tanpa perlu diumbar.

-L

Deru motor merah itu menarik perhatian beberapa orang yang dilewatinya. Ada yang mengiringinya dengan tatapan, hembusan nafas, atau bisik bisik tak menentu. Pasalnya di atas motor itu bukan gadis itu lagi, ada gadis lain yang menaiki. Melingkarkan kedua tangan di pinggang seorang bermuka datar yang fokus menatap jalanan.

Beberapa orang sempat melirik ke arah seorang gadis yang menatap nanar pemandangan itu. Ia merapatkan jaketnya dan kembali melangkah menuju gerbang. Mencoba melupakan kejadian nyata yang terlalu sulit bila hanya untuk di bayangkan.

Saat hatinya mulai mencoba menaruh hati. Berlari dari titik terendah untuk mencoba mencari kenyamanan lain. Fase jatuh kembali hadir, menutup segala kemungkinan untuk segera bahagia dan lari dari kenangan. Benar kata semesta, berani jatuh cinta juga harus berani sakit hati. Mungkin kisah cintanya tidak bisa semulus orang biasanya. Tapi ia yakin, ada banyak cinta yang lebih terbuang sia-sia dan tersakiti dengan percuma di luar sana. Intinya, kisah hidup orang lain banyak yang lebih berat. Dia belum apa-apanya.

Gadis itu menghembuskan nafas, menyisir rambut pirangnya ke belakang karena helaian helaian itu sempat menutupi matanya tadi. Menambah hawa panas yang entah sejak kapan seakan mendesak untuk dikeluarkan. Tidak boleh, kembali kepada fakta, dia bukan siapa siapanya. Dan tentunya, cowok itu berhak memilih. Menganggapnya wanita atau teman biasa.

Lauren menoleh lagi saat suara deru motor kembali terdengar. Itu Marcell, dengan motor hitamnya yang hampir serupa dengan milik Gazza berderu pelan melewati tempatnya berdiri. Tanpa sapaan atau lirikan sedetik pun, kaca helm itu tertutup rapat. Hanya menyisakan suara bising yang semakin memelan seiring dengan bayangan motor itu yang telah menghilang di balik pagar sekolah.

Siang ini seharusnya Lauren tidak jalan. Siang ini seharusnya ia tidak naik taxi atau angkot. Siang ini seharusnya dia tidak berjalan ke arah gerbang sendirian. Siang seharusnya ia pulang bersama Gazza. Siang ini seharusnya Gazza tidak mengajak adik kelas itu pulang bareng. Dan semuanya hilang saat kata seharusnya juga hilang.

"Milea lagi nunggu angkot ya? mau pulang bareng Dilan?"

Lauren terkekeh, Arsen yang sedang duduk di motornya sambil membonceng Seva pun tersenyum dengan menampilkan deretan giginya yang rapi. Seva memberikan gadis itu coklat yang dia pegang. Tersenyum manis sebelum menepuk pundak Arsen untuk menyuruhnya segera pulang. Dia lapar.

"Semoga mood lo balik."

Lauren tersenyum dan mengangguk, "Makasih, pulang! jangan kencan mulu."

Seva mengacungkan jari tengahnya pada Lauren yang kini sedang tertawa. Berbeda dengan Arsen, cowok itu sedang senang-senangnya sekarang. Pasalnya penantian panjang selama ini akhirnya mendapat respon bagus dari Seva. Meski gadis itu terkadang masih sering jengkel karena sifat Arsen yang tidak pernah waras, tapi ia selalu menghadirkan tawa yang tulus adanya.

Tes.

Hujan kembali jatuh.

Lauren menengadah, pipinya dijatuhi buliran bening yang turun dari langit. Bulan ini musim penghujan, wajar saja jika ribuan air itu kadang bisa turun kapan saja. Entah hanya singgah atau menetap, datang dan perginya tak pernah terprediksi. Ini alasan Lauren suka hujan, melalui hujan dia belajar bahwa tidak segalanya dapat abadi menemani. Karena yang nyata pun kadang tak selamanya ada. Apalagi untuk segala hal yang belum pasti, semua bisa pergi dan meninggalkan kita dalam kesendirian. Sepi.

"Mau ojek payung ke cafe depan, Neng?"

Lauren menimang nimang, daripada ia menunggu di depan sini sendirian dalam dingin, sepertinya kesana lebih baik. Menunggu sisa tetes hujan di atas genangan air yang basah dengan secangkir kopi atau minuman hangat. Sepertinya lebih tepat daripada harus berdiri di teras pos satpam seperti ini.
"Boleh deh pak,"

"Mari."

Gadis itu menyerahkan selembar lima ribuan saat telah sampai di depan teras cafe. Ia membuka pintu, masuk ke dalam dan menarik nafas saat bau khas kopi menyeruak masuk. Langkahnya berjalan ke arah meja kasir, memesan satu cup cappucino panas dan roti bakar oreo. Ia membawa pesanan itu ke sebuah meja dekat dengan tangga. Tempat itu memang tidak seramai yang lain, namun sepertinya cukup nyaman.

Dari sini, ia bisa melihat lalu lalang kendaraan yang mulai berlomba lomba untuk segera sampai tujuan. Di bawah derasnya hujan, mereka yang memang terpaksa memilih untuk tetap menerjang basah. Menerima apabila harus tersemprot sana sini. Sudah biasa.

Gadis itu mengeluarkan note dan bolpoin hitam. Membuka buku bersampul biru itu sebelum menuliskan sesuatu di atas sana. Sedetik ia terdiam, lalu kembali menggoyangkan pena untuk menorehkan apa saja yang tak bisa ia ceritakan. Disana semua rahasia terungkap, disana pula semua keluh kesah tersampaikan.

"Dingin ya?"

Lauren mendongak dan buru buru menutup bukunya. Ia terdiam, matanya melebar dan senyumnya pun ikut merekah saat melihat gadis berambut coklat gelap yang sudah beberapa hari ini tidak ia temui. Meika tersenyum tipis, ia melepas jaket dan ikut duduk di hadapan Lauren sambil meletakkan satu cup kopinya yang masih mengepul.

"Sendirian aja? Gazza mana?"

"Udah pulang."

"Tumben nggak bareng?"

Lauren tersenyum, "Lagi males aja."

Meika mengerti, mungkin pembahasan ini bukan suatu hal yang menarik. Gadis itu menyesap kopinya dalam diam, sesekali melirik ke arah Lauren yang masih sibuk menuliskan sesuatu di sebuah buku yang ia ketahui sebagai diary. Lauren sedang butuh privasi.

"Lo kemana aja beberapa hari ini?"

"Gue di penjara 3 hari."

Lauren menghentikan tulisan tangannya dan menatap kaget ke arah Meika, "Lo gila?!!"

"Gue bikin mural di gerbong kereta api. Di bawah jembatan juga, pas lagi bikin itu di tembok belakang rusun, ketangkep deh."

"Terus?"

"Suruh manggil orang tua, tapi kan gue nggak punya. Ya udah mending di penjara aja 3 hari. Daripada ngemis ke mama biar dateng."

"Mei,"

Meika mengangkat satu alisnya bertanya. "Lo nggak pengen damai sama mama lo?"

"Nggak dulu deh Ren,"

"Tapi, lo harus dengerin penjelasannya dulu."

"Penjelasan apapun dari dia, nggak mungkin bikin papa bangun."

Lauren diam, ia mengusap sekilas tangan Meika dan tersenyum tulus. "Semangat."

Meika mengangguk, ia melepas genggaman tangan Lauren. Gadis itu pun juga kembali fokus pada buku hariannya. Sedangkan Meika, ia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu pada seseorang yang nyatanya masih peduli pada sahabatnya satu ini.

To : +628523...
Dia udah aman, nggak usah khawatir.

***

Angkasa yang tadinya terang, berubah menjingga dan akhirnya gelap. Mentari pergi membawa tirai hitam pekat yang menutupi langit. Digantikan ribuan bintang yang seharusnya datang, mungkin malam ini mereka absen. Memilih beristirahat sejenak menyaksikan riwetnya kehidupan kota. Mereka juga punya lelah, sama seperti perasaan.

Tadi Meika pulang duluan, ada sesuatu yang harus ia urus. Mungkin gadis itu bertemu temannya yang lain. Pembuat mural, pembalap motor, pecinta sepatu roda, atau para DJ. Meika bukan gadis rumahan, semua orang tau itu. Dibalik sifat dinginnya, banyak yang mengecap kalau dia bukan gadis baik-baik. Mereka yang mengira seperti itu adalah mereka yang hanya menilai seseorang dari sampulnya.

Meika memang bukan gadis mall, atau gadis penurut yang rela menghabiskan waktu di kamar hanya untuk belajar atau mencoba tutorial make up. Dia gadis pemberontak. Kehidupannya bebas, benci pengekangan. Kehidupan malamnya di luar hanyalah tempatnya melepas lelah. Lari dari kenyataan pait yang bisa kapan saja menghantui pikirannya. Apa salahnya berusaha lupa? toh, tidak ada yang ia rugikan selama ini.

Lauren kembali ke kenyataan, berteman dengan Meika awalnya berat. Gadis itu susah terbuka, tapi seiring berjalannya waktu. Saat satu persatu masalah mulai saling mereka ketahui, tali itu makin erat. Sampai pada akhirnya, mereka tidak menyadari sendiri bahwa keduanya sama sama berkorban pada perasaan.

Gadis itu menyesap minumannya sekali lagi. Diluar hujan tak kunjung reda, banyak orang yang masih betah ada di tempat ini sama sepertinya. Sekedar berbincang atau sedang menunggu hujan hilang, persis seperti apa yang ia lakukan sekarang. Lauren melirik ponselnya, jam sudah menunjuk pukul 6 sore. Matanya bergerak kesana kemari mengamati keadaan sekitar. Sampai pada akhirnya gadis itu bosan, ia meninggalkan uang dan bangkit untuk nekat menerjang hujan. Lelah sendirian.

Lauren menaikkan tudung jaketnya, menatap sekilas ke atas langit sebelum berjalan mendekati jalan untuk menyebrang. Mungkin menunggu taxi di halte depan lebih baik. Setidaknya disana ada tempat duduk, walau kelihatannya sedikit basah. Gadis itu menggosok kedua tangan dan menempelkannya di pipi. Udara semakin dingin, hujan masih terus jatuh tanpa peduli pada sekitar. Lauren menunduk, melihat ujung sepatunya dan tenggelam pada memori masa lalu. Masalah orang tuanya, keluarganya yang mulai berantakan, Marcell, pun Gazza ikut terpikirkan.

"Naik,"

Lauren mendongak, bibirnya terkatup rapat. Pandangan yang tadinya berkaca semakin terasa buram. Semua bergerak cepat seperti mimpi. Orang itu kini menunggunya di atas motor, menyerahkan jas hujan dengan keadaan tubuh yang basah kuyup. Dia telah kembali. Meski hatinya yakin, orang itu hanya sebatas peduli. Itu saja.

"Cepetan."

Lauren mengangguk, bergerak perlahan menerima jas hujan itu sebelum akhirnya tubuhnya telah berada di atas motor hitam milik seseorang. Gadis itu tanpa sadar tersenyum tipis. Berada di atas boncengan seseorang yang pernah ia sukai bukanlah suatu hal yang biasa. Tunggu, pernah dia sukai?

Tidak ada percakapan sama sekali. Lauren berpengangan pada ujung jaket milik Marcell dalam diam. Sedangkan cowok itu juga sama sekali tidak berniat melirik ke arah spion dan hanya fokus menatap jalanan. Mereka berdua bungkam, meski sebenarnya banyak kata yang ingin diucap dan butuh jawaban. Tapi apa daya, bibir yang niatnya terbuka hanya bisa terkatup rapat tanpa suara.

Gadis itu mengernyit, tatapannya mengarah bingung pada sebuah kedai yang lumayan sepi, mungkin karena hujan. Di balik gerobak penjualan itu berdiri seorang wanita gendut bersanggul kecil. Beliau sedang asik mengiris sesuatu dan bersenandung kecil mengikuti alunan lagu yang sedang diputar. Ini tempat apa?

"Gue butuh ganti."

Lauren menoleh dan mengangguk, langkahnya berjalan mengikuti Marcell masuk ke dalam sana. Ia duduk di salah satu bangku dan mengamati pergerakan cowok itu. Marcell menyapa penjaga kedai yang ternyata ramah, sebelum akhirnya langkah tegap itu masuk ke dalam pintu di belakang sana dan menghilang entah kemana.

Lauren mengambil ponsel dan mengirim pesan pada seseorang. Sebelum ia mengira bahwa hatinya kembali terbuka untuk orang yang barusan pergi. Walau faktanya, hati itu memang belum tertutup sepenuhnya.

To : Gazza
Gue pulang, bareng Marcell.

"Bilangin, tadi gue nggak sengaja lewat."

Lauren mendongak, ia mengangguk dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku. Matanya menelisik penampilan Marcell, ternyata cowok itu barusan ganti. Melepas kaus hitamnya dan berganti menjadi kaus bewarna biru denim dengan hiasan galaksi.

"Ini kedai langganan lo?"

"Langganan anak-anak juga."

Gadis itu mengangguk mengerti, "Gue mau makan, disini ada apa aja?"

Marcell tidak menjawab, matanya bergerak menunjuk papan menu yang ada di atas gerobak lalu kembali fokus pada ponselnya. Lauren mengerti, ia bangkit dan berjalan menuju gerobak untuk memesan makanan. Perutnya kosong sejak tadi. Ia kembali dengan sepiring nasi goreng yang baru saja matang, aromanya mengusik indra penciuman Marcell, apalagi ada tambahan potongan ayam, sosis, dan telur dadar.

Sebelum makan, Lauren mengecek ponselnya yang berbunyi. Gadis itu menghembuskan nafas dan menatap lekat balasan dari Gazza.

From : Gazza
Ok, gue mau tidur.

"Makanan lo keburu basi."

Lauren mendongak dan mengerutkan alis, "Barusan juga, jangan ngaco."

"Gazza kenapa?"

"Mau tidur katanya." jawab Lauren sambil memasukkan suapan pertama, mengundang kerutan di dahi Marcell. Gazza tidak pernah bisa tidur jam segini.

Cowok itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Tepat di sebuah toko besar tempat menjual pernak pernik yang lampunya memang menyala terang. Tempat itu berada di seberang kedai yang saat ini sedang mereka duduki. Marcell mengernyit, di lihatnya motor merah besar sedang terparkir rapi di antara motor-motor yang lain. Motor Gazza?

"Eh, habis ini anterin gue kesana dulu ya. Kayaknya gue butuh sesuatu buat beliin mama gue kado."

Gadis itu bangkit dan berniat berjalan ke toko itu sebelum Marcell menariknya. Cowok itu menggenggam pergelangan tangan Lauren hingga membuat gadis itu sempat menahan nafas. Marcell takut, yang di dalam sana benar Gazza. Marcell takut, hubungan Gazza dan Lauren harus berakhir salah paham. Ia hanya mampu melindungi mereka, dengan cara ini.

"Nggak usah, pulang aja."

Lauren melepaskan genggaman tangan Marcell, meski sebenarnya tidak rela. "Apaan sih, gue butuh cari kado. Mau nemenin nggak? kalau nggak ya udah."

"Cari tempat lain aja."

"Apaan? yang deket aja udah ada kenapa harus cari yang jauh? buang-buang waktu!"

"Jangan sekarang, Ren."

"Bodo amat."

Lauren menyebrang jalan dan segera masuk ke dalam toko itu. Belum sepenuhnya masuk ke dalam toko, gadis itu berhenti. Matanya menatap secara jelas sesuatu yang entah kenapa sedikit menyakitkan. Melihat orang yang mulai kita percaya untuk menjadi pelabuhan harus berbohong dan menggenggam tangan gadis lain bukanlah suatu perkara biasa. Ini sakit.

"Ren?"

Lauren menoleh dan menatap Marcell dalam diam, "Ini alasan kenapa lo nggak mau kesini?"

Marcell mengikuti arah yang ditunjuk Lauren. Di sudut toko, tempat berbagai boneka bersandar rapi. Ia melihat Gazza sedang menggenggam tangan seorang gadis. Ia tidak kenal siapa, yang ia tau gadis itu adalah adik kelas yang juga sempat ia lihat kemarin saat mencuci muka di wastafel depan kelas.

"Cell, gue mau pulang."

Lauren berjalan keluar membuat Marcell terdiam menatap Gazza yang barusan menoleh. "Bangsat!"

Cowok itu berjalan maju mendekati Gazza. Matanya berkilat marah, Marcell tidak mengenal siapa Gazza sekarang. Pendingin yang setia itu telah lenyap di matanya. Gazza berubah, menjelma menjadi sosok asing yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

"Apa apaan lo!"

Kepalan tangan itu mendarat tepat di ujung pelipis. Gazza mendengus sinis saat Marcell menarik kerah bajunya. Toko yang awalnya tenang berubah suasana menjadi tegang. Pemilik toko yang sebagian besar perempuan hanya mampu memekik tertahan. Begitu juga adik kelas itu, ia menutup rapat mulutnya dan bergerak berusaha melindungi Gazza. Tapi terlalu takut saat mata hijau itu menatapnya setajam belati.

"Gue relain dia biar lo bikin bahagia! tapi kenapa harus berakhir sebangsat ini!"

Emosi Marcell telah membuncah. Ia tidak peduli dengan ucapannya, tangannya berkali-kali melayangkan pukulan kepada Gazza. Gazza awalnya diam, sebelum akhirnya cowok itu ikut membalas Marcell tak kalah kuatnya. Marcell terhuyung, hidungnya mengeluarkan darah. Hanya saja tidak separah keadaan Gazza saat ini. Marcell bangkit, ia mengusap kasar darah segar itu dan menatap nyalang ke arah Gazza yang bersandar pada rak.

"Gue harap lo punya penjelasan!"

"Gue sengaja, puas lo!"

"Apa-apaan!"

Marcell ingin kembali maju, tapi tangannya ditahan oleh penjaga toko laki-laki yang barusan datang.

"Gue dulu suka Agatha, tapi dia suka lo, kalian saling suka! dan sekarang Lauren, sebentar lagi siapa?!"

Marcell diam, ia benci gadis tak berdoa itu harus dibawa-bawa, "Gue udah nggak suka sama Lauren, gue lakuin juga demi lo!"

"Ck, jangan munafik! mata lo nggak bisa bohong."

Tangan Marcell mengepal, ia terdiam dengan nafas tak beraturan menatap Gazza lalu beralih pada gadis di sebelahnya. Otot rahangnya terlihat, giginya bergemelatuk demi berusaha meredam emosi yang membuncah.

"Lo udah nyakitin dua perasaan sekaligus, Za!"

"Nggak usah ngalihin topik."

"Kalau gue masih suka sama Lauren kenapa? gue sayang sama dia, itu nyata. Gue bahagia sama dia, itu ekspetasinya. Tapi faktanya, gue nggak bisa nyatu sama dia. Semua percuma, gue berharap banyak ke lo, tapi ini yang lo lakuin?"

"Gue suka Lauren, tapi ternyata nggak. Gue suka Meika, tapi nggak mungkin kita balik. Solusinya? gue cari hati yang lain."

"Gazza!!! lo nggak pernah seanjing itu!!!"

Marcell semakin emosi, dia maju dan melepas paksa pegangan dari orang orang. Hampir saja tangannya mengenai ujung hidung mancung milik Gazza, kepalan itu berhenti di udara. Mengambang berat seiring dengan teriakan seseorang yang ternyata berpengaruh besar pada suasana hati cowok itu.

"Marcell, cukup!"

Lauren melangkah mendekati keduanya, gadis itu berhenti di antara Marcell dan Gazza. Matanya menatap si pemilik mata hijau dan beralih pada si mata biru. Gazza diam dan mengangkat satu alisnya saat gadis itu menatapnya datar. Lauren menggeleng pelan dengan air mata mengalir, kepalan tangan Marcell meluruh seiring dengan jatuhnya tiap tetes yang selalu terlihat menyakitkan baginya.

"Ini yang lo bilang sayang?"

Gazza mendengus pelan, "Sayang itu perasaan, bisa jatuh ke semua orang. Temen, anak jalanan, orang tua, saudara, dan orang lain sekalipun. Gue nggak pernah bilang kalau gue jatuh hati, gue cuma bilang sebatas sayang. Nggak lebih."

"Jadi?"

"Jadi, lo yang kebaperan."

"Gazza!"

"Marcell, stop!"

Lauren menahan tangan Marcell. Gadis itu kembali menoleh pada Gazza yang barusan menerima tisu dari adik kelas di sebelahnya. Ia diam, bertatapan dengan mata biru itu berubah menyakitkan. Seakan seluruh benci dan cinta melebur jadi satu dengan luka. Perih.

"Saat gue udah nyaman, kenapa lo justru pergi dan maksa gue hilang?"

"Karena gue ternyata nggak nyaman."

"Terus kenapa lo dateng seolah lo peduli saat gue lagi jatuh dari Marcell?"

"Gue kira lo butuh sandaran."

Lauren tertawa sinis, "Jadi, lo nggak merasa bersalah soal kejadian ini? nggak merasa bersalah setelah lo basa basi mau jagain gue?"

"Nggak."

"Udah gue kira," sebuah suara dari arah pintu masuk membuat semua orang yang ada disana menoleh. Begitu juga Gazza, Lauren, dan Marcell. Waktu memang sangat ajaib, semesta kembali bermain peran. Bisa-bisanya dia mengirim sosok itu ikut hadir menyaksikan drama klise malam ini.

"Udah gue kira kalau lo cuma main-main. Anjing gue aja yang hewan, selalu serius sama orang yang dia sayang, kenapa lo yang manusia malah tai kayak gini?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Meika?"

"Lauren, pulang. Lo nggak pantes nangisin cowok nggak tau diri!"

.

.

.

.

"Bagus, lo semua harus benci gue. Dengan gitu, gue bisa pergi dengan tenang."

Selamat sore. Tumben gue up hampir 3k kata. Semoga suka ya, semua belum terbongkar. Tunggu aja dulu, udah mulai benci siapa nih kalian? Haha. Maafin typo juga ya. Selamat membaca semuanya ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top