#32 (2)

Bagaimana jika aku kembali salah menjatuhkan hati?

-L

Jika engkau dihadapkan pada dua pilihan. Antara menunggu yang telah tiada atau menyerahkan hati pada seseorang yang belum pasti, apa yang menjadi pilihanmu? Haruskah kita tetap berhenti di persimpangan. Terdiam linglung dengan perasaan tak menentu.

Disitulah aku berdiri sekarang. Menatap dua penghujung jalan yang sama sama tertutup kabut tebal. Buram, semua yang tersisa hanya tinggal perasaan dan kemauanku untuk beranjak perlahan. Meniti langkah, membuang pedih yang masih terus datang tanpa pamrih.

Mungkin memang ini yang terbaik, akan kusimpan saja dia di dalam sana bersama tumpukan masa lalu yang berakhir pilu. Dia memang istimewa, tidak pantas diletakkan pada kotak kenangan yang penuh debu dan luka. Tapi apa boleh buat, memperjuangkan pun kita tak lagi punya hak. Apalagi melarang pergi, kita siapa? hanya secarik memori yang sudah sepantasnya ditinggal pergi.

Jangan pernah salahkan dia. Coba saja intropeksi diri, apakah kita memang sudah pantas mendampingi orang yang bahkan diharapkan oleh orang lain yang lebih sempurna? Coba kembali berkaca, apakah kita cocok mendampingi langkah sang tokoh utama yang sedang kesepian? Hei, tau diri itu perlu.

Terkadang tidak perlu membuat kita semakin sakit dengan cara menyalahkannya. Mungkin dia pergi karena kita yang membuatnya pergi. Mungkin dia pamit karena kita yang membuatnya pamit. Mungkin dia memilih yang lain karena kita tak mampu sepengertian yang lain. Semua pasti ada hubungan sebab akibatnya, bulan saja memilih pergi saat mendung memenuhi angkasa. Lalu, masih pantaskah kita menumpahkan segala salah pada mereka yang telah pergi?

Semua sudah berlalu.

Maka, aku lelah bila terus menerus berperang dengan masa lalu. Ini waktunya berdamai, perang dingin itu kuputuskan sudah usai. Hari ini juga. Detik ini, perasaanku telah kuanggap selesai. Cukup sampai disini kita mencoba untuk menjadi asing. Maka selanjutnya, mari benar-benar menjadi asing. Seolah semua kenangan itu memang tidak pernah dimulai. Dari arah manapun.

Bukan lupa, aku hanya ingin semuanya berakhir sudah. Lelah sendirian, sakit sendirian, cemburu sendirian, menunggu sendirian. Semua ingin ku akhiri. Karena memang pada dasarnya hal diatas bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Mereka membuat bosan, layaknya menunggu kereta api yang datang tanpa rel. Lama, bahkan tidak mungkin.

Terimakasih telah pergi, berkat jarak yang kau buat itu, hatiku kembali terlatih patah. Terimakasih telah menjauh, berkat rindu yang kau ciptakan itu, hatiku kembali terlatih bagaimana caranya bertahan sendirian. Dan kini, aku akan turuti apa yang pernah kamu katakan. Menjauh, untuk tidak membuatku risih. Lalu, menjatuhkan hati pada orang yang selama ini kau anggap pantas. Akan kulakukan.

Aku akan mencoba untuk tidak lagi menolehkan kepala menatap bayanganmu. Aku akan memilih jalan ini, menaruh hati pada orang yang belum pasti. Mungkin bila nanti aku kembali patah, hatiku akan terbiasa menerimanya. Sebab, penghuni lama telah memberi pelajaran bahwa bahagia akan selalu datang bersama luka. Entah kapan, yang pasti waktu itu akan datang.

Sampai jumpa!

***

"HP diliatin mulu, emang ada yang chat?"

Lauren berdecih, ia berguling di atas kasur hingga membuat tubuhnya tergelung selimut. Gadis itu menatap Nadia yang sedang mematut diri di depan cermin. Gadis itu sudah sejak beberapa jam yang lalu ada di rumah Lauren. Awalnya ingin meminjam laptop, tapi sekarang justru beralih berkutat dengan masker wajah. Ia mengucir rambutnya tinggi tinggi, berbalik dan duduk di sebelah Lauren yang sedang rebahan.

"Lo udah dapet kabar dari Meika?"

Lauren menggeleng, gadis itu menghembuskan nafas lelah dan bangkit dari rebahannya. Nadia yang sedang mengecek ponsel pun ikut menghembuskan nafas berat. Pasalnya sudah tiga hari ini Meika tidak masuk sekolah, awalnya mereka mengira gadis itu sakit. Tapi setelah kemarin Lauren memutuskan menemuinya di apartemen, dia tidak ada. Nomornya pun tidak bisa dihubungi sampai sekarang.

"Masa ke Amerika? nyusul mamanya?"

"Nggak mungkin, Meika aja nggak mau tinggal sama mamanya, masak iya sekarang malah nyusul kesana?" tanya Nadia membuat Lauren mengangguk.

"Ditunggu aja deh."

Nadia mengangguk, ia kembali berkutat dengan ponselnya untuk membalas pesan dari Rian. Cowok itu sedang berada di tongkrongan bersama Marcell dan Gazza. Arsen? eh, tumben dia nggak ada.

"Seva kemana, Ren?"

Lauren menoleh dan mengedikkan bahu, "Katanya sih lagi jalan sama Arsen."

"Sumpah demi apa? udah kebuka pintu hatinya?"

"Lo pikir apaan?"

"Abis gue bingung, Seva suka nggak sih sama si Arsen. Padahal Arsen udah kayak beneran gitu, emang sih dia bercanda mulu, tapi nggak tau kenapa gue ngerasa dia beneran deh sama Seva."

Lauren mengangguk lagi, "Udah keliatan kali dari cara dia natap Seva, beda."

"Gini nih, dimana kalau A B C temenan, pas si B nggak ada, A sama C pasti bakal ngomongin si B, ketahuan lagi gosipin gue ya kalian!!!"

"Lah, kok lo udah disini?"

Seva masuk ke dalam kamar Lauren dan ikut rebahan, "Nyewa pintu kemana ajanya Doraemon."

"Sev, lo habis jalan sama Arsen?"

Gadis itu bangkit dan mengangguk, "Gue tadi nemenin dia nyari kado buat mamanya."

Ada yang beda dari nada bicara Seva kali ini. Gadis itu menunduk, memainkan ujung selimut Lauren sebelum akhirnya menghembuskan nafas pelan dan kembali rebahan. Nadia melirik Lauren, begitu juga sebaliknya. Mereka sempat heran dengan respon Seva barusan.

"Lo kenapa?"

"Gue tanya deh sama kalian, munafik nggak sih kita nyimpen masalah dengan cara ngumbar tawa sana sini?"

"Wajar kali, semua orang punya masalah yang kadang nggak harus diumbar. Tergantung juga gimana mereka nutupinnya, ada yang diem, ada yang dingin kayak Meika, ada juga yang tawa sana sini biar nggak keliatan kalau dalemnya sakit."

Seva terdiam mendengar penjelasan Nadia, ia menoleh. "Terus kalau seandainya ya, gue punya masalah yang nggak orang lain tau. Habis itu gue bagi masalah gue sama lo, berarti tandanya gue mau dikasihani atau gimana?"

Lauren bangkit dan menggeleng tegas, "Bukan!! kalau menurut gue, itu karena lo percaya banget sama kita. Lo yakin bakal bisa lebih tenang saat terbuka sama orang yang lo anggep istimewa. Itu menurut gue sih, menurut lo?"

Nadia mengangguk menyutujui, "Gue pernah bilang kan sama kalian? bokap gue udah nggak ada, semua orang nggak tau, cuma kalian berempat doang, itu karena gue percaya banget sama lo lo pada. Ya itu contoh kecilnya, kadang mereka yang punya masalah cuma akan bagi masalahnya sama orang istimewa."

"Yahh sorry Nad, jadi bikin lo inget ini lagi." Seva bangkit dan memeluk Nadia membuat gadis itu memutar bola mata malas.

"Badan lo bau polusi tau!"

"Ih, orang bau wangi gini."

"Wangi apaan? wanginya balsem?" tanya Lauren membuat Seva mengerucutkan bibir.

Lauren terkekeh, ia melirik ponselnya yang bergetar diatas meja dan segera menggeser tombol hijau yang ada disana. Gadis itu bangkit, menjauhi Nadia dan Seva untuk mengangkat panggilan dari seseorang di seberang sana.

"Halo?"

"Nungguin gue telfon ya?"

"GR banget!"

"Ngaku aja kali."

"Kemana aja lo? Tumben ilang?"

Orang diujung sana mendengus pelan, "Cuma lagi tes aja, kangen nggak."

"Apaan sih!"

"Lauren baju dipake dulu, Ren!!" teriak Nadia membuat gadis itu mendelik kesal.

"Lauren, minumnya dihabisin cepet, rokoknya belum mati tuh!!" Sekarang gantian Seva yang berteriak.

"Bisa diem nggak kalian?!"

Mereka tertawa terbahak-bahak membuat Lauren kesal setengah mati, "Aduh masker gue pecah!"

"Bocah sinting ya?"

"Hmm, daritadi nggak pulang-pulang, bikin rame perumahan aja."

"Gue diluar, turun cepet."

Lauren mengerjapkan matanya berulang kali sebelum mengintip ke bawah. Benar saja, di bawah sudah ada motor merah Gazza lengkap dengan pemiliknya yang bersandar di sana. Gadis itu mematikan sambungan dan melangkah cepat keluar dari kamar untuk turun. Nadia dan Seva yang ditinggalkan pun saling pandang dengan heran.

Lauren menggeser pintu gerbang rumahnya dan tersenyum saat melihat Gazza barusan mendongak. Cowok itu masih menggunakan celana seragam, hanya saja atasannya sudah ganti dengan kaus hitam polos. Lauren mendekat dan mengerutkan alis saat Gazza menyerahkan kantung kresek ke arahnya.

"Laper kan? makan, gue beliin."

"Apa nih?"

"Nasi goreng sama martabak, sekalian buat tuyul yang lo pelihara."

Lauren tertawa, "Lupa kalau ada yang ngungsi."

"Mereka tidur sini?"

Lauren mengangguk membuat Gazza juga mengangguk, "Gue pulang ya?"

"Iya, hati-hati Za."

"Nggak mau peluk dulu?"

"Jijik!"

Cowok itu tersenyum tipis dan segera naik ke atas motor. Menyalakan mesin lalu menggerakkan tangan menyuruh Lauren mendekat. Gadis itu menurut, ia mendekat dan terkejut saat Gazza tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat. Seolah-olah malam ini adalah malam terakhir sebelum pagi merubah segalanya.

"Baik-baik ya, maafin gue."

***

P

agi kembali datang, membagi cahayanya ke sebagian penjuru dunia hingga terang. Meski sudah berusaha untuk bangun pagi dan tidak terlambat, lagi-lagi mereka bertiga harus berakhir dengan berdiri di depan gerbang yang sudah tertutup. Ketiganya menghembuskan nafas berat dan berjalan lunglai ke warung belakang sekolah. Menemui penjaga warung berbadan gemuk itu.

"Telat lagi?"

"Sekolahnya kepagian."

"Bilang aja kalian males bangun."

Nadia cengengesan membuat pemilik warung hanya menggeleng-gelengkan kepala heran, "Bocah jaman sekarang, telat nggak ada takut takutnya, dulu waktu jaman saya, mending pulang terus main ke kali daripada kena hukuman sama pukulan dari guru."

"Kita kan rajin Bi, tetep sekolah apapun yang terjadi."

"Rajin kok rajin telat."

"PMS Bi? sewot amat perasaan." Seva masuk ke dalam warung, mencomot tahu goreng dari piring dan mengoleskannya pada sambal petis.

"Bule beneran apa jadi jadian sih kalian itu?"

"Siluman Bule."

"Ren, Marcell." Lauren menoleh cepat saat Nadia berbisik seperti itu.

Benar saja, Marcell datang bersama motor hitamnya ke arah mereka. Cowok itu menyapa Bi Santi dan memarkir motornya di dekat warung. Ia sama sekali tidak menyapa Lauren, melirik saja tidak. Padahal Nadia yakin cowok tadi sempat melihat ke arah sini saat baru berbelok. Marcell melempar tasnya, menaiki tangga dan hilang di balik tembok. Asing, waktu benar-benar membuat semuanya berbalik ke arah yang tak seharusnya.

"Lo belum baikan?"

Lauren mengedikkan bahu, "Tau."

Seva yang baru saja menghabiskan tahunya menggebrak meja membuat kedua gadis di hadapannya sempat terkejut. Ia melirik sekilas ke tembok sebelum menatap Lauren dan mengatakan sesuatu.

"Gue rasa dia masih ada rasa ke lo, soalnya setau gue, Marcell kalau udah suka sama orang nggak mungkin bisa cepet lupain."

"Tapi.."

"Ya tapi bisa jadi emang dia lagi proses lupain lo, udah lah, udah ada Gazza juga." saut Nadia sambil mengucir rambutnya ke atas.


Lauren diam, ia kembali berkutat dengan tahu gorengnya tanpa berniat meneruskan pembicaraan ini. Ia sudah terlalu malas untuk kembali mengingat yang sudah sudah. Percuma saja, toh semua tidak akan bisa kembali seperti awal. Waktu sudah berubah.

"Mbok yo semua itu diselesain baik-baik. Kadang ya, apa yang kita lihat belum tentu sama kayak niat dia. Bisa jadi dia punya alasan sendiri yang nggak pengen dikasih tau siapapun."

"Udah beda, Bi."

"Nah itu, sebenernya semua di dunia ini tuh mudah, masalah hati juga mudah. Manusianya yang bikin ribet."

Nadia mengangguk setuju dengan omongan Bi Santi. Gadis itu bangkit dan segera menyuruh Lauren dan Seva untuk ikut bangkit juga. Kini saatnya mereka main loncat-loncatan. Siap?

Ketiga gadis itu akhirnya sampai di balik tembok. Tapi mungkin hari ini mereka sedang sial, Bu Mia dengan penggaris kayunya sudah berdiri tegap seolah menyambut kedatangan ketiga murid kesayangannya. Guru itu meletakkan kedua tangan di pinggang dengan wajah garang.

"IKUT SAYA KE LAPANGAN SEKARANG!!"

---

Disini mereka berada, tepat di bawah tiang bendera lapangan utama, ketiga gadis itu dipaksa berdiri dengan satu tangan hormat kepada sang merah putih. Berkali-kali mereka mengusap keringat, karena memang hari ini matahari bersinar cukup terik. Dari arah sini, lapangan basket terlihat jelas. Lauren yang tidak sengaja melihat ke arah sana terdiam untuk beberapa saat ketika melihat Gazza dengan pakaian basketnya sedang bertanding bersama teman sekelas.

Cowok itu kembali memasukkan bola ke dalam ring, ia bertos ria dengan anggota timnya sebelum mengacak rambut hingga terlihat makin berantakan. Mata biru itu sempat melihat beberapa saat ke arah sini beberapa detik, namun tidak bereaksi apa-apa. Aneh, Gazza hanya melirik sekilas dan bersikap seolah tidak melihat apapun.

Lauren semakin diam ketika cowok itu menerima handuk dan sebotol minuman dari gadis berambut gelap yang ia ketahui kelas X. Gadis itu terkenal sebagai yang paling cantik satu angkatan. Kulit putih dan gingsul itu membuatnya semakin terlihat cantik. Apalagi saat ini ia menggunakan seragam olahraga cheers dengan rambut hitam yang sengaja dikucir tinggi.

"Tumben Gazza nerima botol dari orang lain."

"Lo juga lihatin itu? gue daritadi diem itu juga karena heran." jawab Nadia menoleh pada Seva.

"Nanti pulang sekolah lo jadi keluar sama Gazza, Ren?"

Lauren menoleh, "Kalau nggak hujan kayaknya jadi."

"Baru juga diomongin, udah kesini aja tuh bocah."

Lauren menatap lurus Gazza yang sedang berjalan ke arah mereka sambil mengelap keringat dengan handuk. Cowok itu memang tidak melihat ke arah mereka dan hanya fokus pada jalan di depannya. Seperti ada sesuatu yang sedang menggrayahi pikiran Gazza. Saat sedang fokus menatap Gazza, Lauren justru salah fokus pada seseorang yang berdiri jauh di belakang cowok itu.

Disana Marcell sedang berdiri di samping wastafel. Ia membasuh mukanya dengan asal tanpa memikirkan jika nanti seragamnya basah. Lauren terpaku untuk sesaat, kenapa orang yang pernah ada semakin terlihat menawan saat sudah jadi mantan? Buru buru gadis itu mengalihkan perhatian saat Marcell tidak sengaja menatap ke arah sini. Lauren menoleh pada Gazza dan mengernyit bingung saat cowok itu berjalan melewatinya begitu saja.

"Kak Gazza!!"

Lauren menoleh, dilihatnya adik kelas tadi mendekati Gazza yang saat ini juga sedang mengernyit bingung.

"Nanti jadi pulang bareng?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Jadi."

❤❤ Semoga suka, sementara aku up yang ini dulu ya. Yang satunya kapan kapan aja, biar nggak cepet tamat, soalnya ini udah mulai ke klimaksnya. Selamat membaca ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top