#32 (1)
Seandainya saja.
Seandainya langkah ingin diputar balik, mungkin semua juga percuma.
Aku dan dia hanya berada di persimpangan beda arah.
Jadi, meski aku berbalik untuk menyamai arahnya, aku tetap tidak bisa menyusul langkah.
Dia terlalu jauh di depan, enggan berbalik meski hanya untuk melirik.
Bila dikatakan lupa, pasti susah lah ya. Apalagi jika dia orang yang pernah membuatmu lupa akan goresan yang disebut luka. Lalu, harus apakah kita? menunggunya berbalik atau kita saja yang melangkah perlahan untuk menjauh?
Mungkin itu yang terbaik, mengambil langkah mundur dari jarak ini. Mengikis temu agar tak lagi tercipta rindu. Jika suatu saat dia menemukan cahayanya di ujung sana, haruskah aku tersenyum dan mengucapkan selamat? Munafik ya, aku bersikap seolah bahagia disaat perasaanku bahkan masih menuju ke arah satu nama. Dia, orang istimewa yang tak lagi sama.
Perlu kamu tau, selama ini aku memalsukan kematian perasaanku. Tergopoh menghilangkannya dari peradaban, mencoba mencari sesuatu yang baru hanya sekedar untuk menutup pilu. Tapi semua tak ada guna, saat aku berusaha lari mencari tempat perlindungan lain. Lilin redup di sudut hatiku justru terus menawarkan kehangatan.
Dia masih menyala, meski terlihat semu dan tak seterang biasanya. Dia dekat, tapi sangat jauh. Dia ada, tapi terlalu mustahil untuk kusebut nyata. Dia masih hidup, tapi terasa mati. Karena yang tersisa hanya sakit, sesal, dan kenangan. Segala sesuatu yang tak akan bisa kembali terulang seperti dulu. Hanya bisa ditutup, dihapus, kemudian dihilangkan. Lenyap.
Bila ditanya rela, aku rela. Telah kulepas dan kubiarkan begitu saja dia bahagia. Dia memang senjaku, tapi dia juga senja semua orang. Dia istimewa untukku, tapi mungkin juga bisa jadi istimewa buat orang lain. Dia membuatku jatuh, jatuh pada pesonanya yang mungkin juga membuat orang lain jatuh.
Bila dia memang menemukan orang baru, aku yang akan paling bahagia. Karena aku yakin dia hebat, dia akan baik-baik saja lalu bangkit dan menemukan yang lebih baik. Semesta sendiri yang bilang padaku, aku terlalu egois dengan melepasnya begitu saja. Karena tanpa kusadari, aku sedang memberi peluang orang lain untuk merasakan bagaimana dijadikan istimewa oleh dia, orang yang masih berada di titik sama di kehidupanku.
Dia sempat bilang bahwa ia cinta senja. Ternyata benar, dari senja aku mendapat cerita beda. Dia indah, sangat indah. Tapi sayang, hadirnya hanya untuk menyapa, membuat terpana, lalu hilang dengan membawa rasa. Namun saat kita mulai lupa dengan warna jingganya, dia kembali datang setiap sore. Menawarkan tenang lalu menghadirkan hening setelahnya.
Sendirian, sepi dan sunyi. Ini yang tidak aku sukai dari malam. Dia mengambil segala terang, mengambil beberapa berkas cahaya dan menyimpannya hingga pagi tiba. Meniupkan dingin yang ternyata begitu pekat, membawa rindu untuk mengikat segala ingatan dalam memori masa lalu.
Oh astaga!
Hujan!
Hujan lagi,
Aku bahagia sebenarnya, tapi lagi-lagi hujan kali ini membawa cerita yang sedikit membuat ulu hati terasa mati. Dingin, malam ini sungguh dingin. Apalagi saat kenyataan membuatku sadar bahwa senjaku telah, kamu telah pergi. Digantikan malam dan hujan kemudian.
Tidakkah kamu ingin menyukai hujan sepertiku? jika suatu saat kamu berminat, cobalah main main lagi ke hatiku. Disana sedang dilanda hujan badai berkepanjangan. Tapi aku jamin, setelah kamu datang, aku akan menjanjikan pelangi untuk ikut datang. Bukan lagi hujan, tapi segala sesuatu yang indah namun hadir hanya sementara, seperti pelangi dan senja. Seperti kesukaanmu.
Hei!
Tidakkah kamu mendengar aku yang telah berbicara panjang lebar seperti ini?
Berbaliklah!
Lihat aku!
Atau mungkin hatimu terlalu ramai hingga kedatanganku tidak terdengar? ah aku tau, aku mungkin tak lagi pantas untuk berada di dalam sana. Kamu membenciku bukan?
Senja,
Bila tuanmu sedang mengurung di dalam kamar, katakan padanya untuk keluar sejenak. Aku hanya ingin melihatnya, meski dari jarak pandang sejauh ini. Bisakah kamu membantuku? aku ingin mengatakan sesuatu yang mungkin hanya bisa terucap dari kebisuan pita suara.
Aku masih rindu.
***
"Nggak ke kantin?"
Gadis itu menoleh ke arah pintu kelas dan spontan meletakkan pensilnya saat melihat Gazza. Cowok itu berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat, tak lupa rambut serta seragam yang selalu berantakan membuatnya sangat terlihat mencolok. Bukan itu yang sedang menjadi fokus Lauren saat ini, tapi ada hal lain.
Beberapa sudut wajah Gazza terlihat memar. Parah, ini bukan hanya ada di dua atau tiga bagian, ini terlihat sampai lima tempat berbeda. Kedua sudut bibir, tulang hidung yang diperban, dahi, dan pelipis sebelah kanannya juga berdarah. Hanya saja darah itu sudah mengering. Meninggalkan jejak merah hati yang terlihat begitu menyakitkan.
"Mingkem!"
"Kenapa bisa luka?!"
"Jatuh."
"Ngebut pas hujan ya?" Gazza mengangguk, membuat Lauren hanya mendengus lelah tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
Gazza terlalu sering jatuh, maka dari itu ia tidak akan merasa aneh jika lagi-lagi cowok itu menggunakan jatuh sebagai alasan. Lagian Lauren juga pasti tidak akan bisa membedakan mana luka akibat jatuh dan mana luka akibat disengaja. Tidak masalah.
"Duduk!"
"Nggak kantin?"
"Bawa bekel, udah sini duduk!" Lauren menyeret tangan cowok itu ke bangkunya dan mulai mengeluarkan kotak putih dari dalam tas.
"Mau ngapain?"
"Ngemis!"
"Oh gue...Auh! Sakit!"
"Diem anteng bisa nggak?" tanya Lauren menekan kembali luka di sudut bibir Gazza dengan kapas yang telah dilumuri alkohol.
"Pelan-pelan mbah."
"Mbahmu wi!"
Gazza terkekeh samar dan mengacak kesal rambut Lauren yang digelung sebelum akhirnya menarik gelungan itu hingga rambut pirangnya tergerai indah.
"Jangan dilepas!"
"Nggak boleh umbar harta."
"Umbar harta gimana, gerah iya!"
Gazza tidak bergeming, membuat Lauren akhirnya pasrah dan kembali melanjutkan pengobatannya dengan hati-hati. Dia melirik sekilas iris biru yang sedang menatapnya dalam. Berusaha untuk tidak lagi tenggelam pada manik sebening lautan yang bisa membuat depresi siapa saja. Ia harus kuat, tujuannya sekarang adalah melupakan bukan kembali menyerahkan perasaan.
Sayang kan kalau begitu, baru saja ia beli perasaan baru di pasar loak kemarin sore. Dalam keadaan rapuh dan mudah rusak, ia berusaha hati-hati meletakkan hal sensitif itu pada kehidupannya. Mencari tukang reparasi untuk menempelkan plester dan mengguyur betadine di sana sini. Tujuannya hanya sederhana, sembuh dan lupa.
"Gue mau ngasih tebak-tebakan."
Lauren terseret kembali ke dunia nyata, "tebak-tebakan apa?"
"Kau cinta pertama dan terakhirku." Gazza menyanyikan sepenggal lirik lagu tersebut, "Mana yang special dari situ?"
Lauren berfikir sejenak, "Cinta pertama dan terakhir."
"Bukan."
"Terus apanya yang spesial? jangan bilang orang yang bikin."
"Bukan juga."
"Terus?"
"Kata pertamanya."
"Kau?"
Gazza mengangguk, "Iya, lo yang special."
Buat seseorang.
Dilain sisi, Marcell yang awalnya ingin masuk ke dalam kelas Lauren untuk mengambil charger ponsel Rian yang tertinggal memutuskan berhenti. Dia berdiri di ujung jendela saat melihat kedua orang itu duduk berhadapan. Arsen memang bilang bahwa katanya Gazza baru saja jatuh dari motor, hatinya juga sudah bilang bahwa Lauren bukan lagi sang penghuni hati. Tapi kenapa rasanya masih saja sakit?
Bodoh!
Ia menoleh dan sedikit tersentak saat melihat gadis berambut coklat gelap itu berjalan menuju ke arahnya. Dengan earphone yang bertengger di kedua telinga, gadis itu melangkah pelan dengan kepala sedikit bergerak mengikuti alunan musik. Marcell menoleh ke arah pintu kelas, menatap sekilas Gazza yang baru saja mengacak rambut Lauren sebelum akhirnya pergi dari situ. Tangannya menyambar pergelangan tangan Meika untuk membawanya pergi sejauh mungkin.
Gadis itu melepas earphone, menatap Marcell dengan pandangan bertanya sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu. "Lo ngapain sih?"
"Temenin gue makan."
"Makan angin?"
"Makan ati."
Meika mengangguk dan mengikuti langkah Marcell yang sedang menaiki tangga menuju rooftop. Gadis itu berhenti saat Marcell juga berhenti. Disana ada satu cangkir kopi hitam pekat yang masih tersisa setengah, di sampingnya tergeletak ponsel hitam milik seseorang yang sangat Marcell kenal. Ponsel itu milik Gazza. Berarti ia tadi sempat kesini sebelum menuju kelas Lauren.
Marcell duduk di samping cangkir tadi, meluruskan kaki dan menghembuskan nafas lelah. Siang ini udaranya lumayan cerah, awan awan yang terlihat selembut dakron mulai tertata rapi di atas birunya langit. Lumayan indah daripada hujan, pikirnya.
"Punya siapa nih?"
"Gazza."
Meika diam, bibirnya terkatup saat ia mulai mencari posisi nyaman untuk ikut duduk disana. Hening, tidak ada pembicaraan diantara kedua manusia itu. Mereka sama sama sibuk bergelut dengan pikiran dan angan masing-masing. Berusaha mengumpulkan angin sebanyak mungkin untuk membantu menyapu rindu. Semoga rasa itu segera sirna dan berganti status menjadi 'baik-baik saja', semoga, secepatnya.
"Awannya bagus."
Marcell tidak menoleh, ia sadar Meika barusan memuji sesuatu. Lumayan langka, karena setau dia, gadis itu tidak pernah memuji sesuatu secara gamblang. Hanya dipendam, pendam, pendam, dan akhirnya hilang. Mungkin tujuannya memang seperti itu, mengagumi sesuatu untuk kemudian terpaksa dihilangkan. Daripada menyakiti yang lain, lebih baik tidak kan?
"Kesantet awan? tumben muji?"
"Bagus aja."
"Jelek, putih doang. Paling hitem juga kalau lagi mendung."
"Tapi dia keren."
"Kayak gue dong?" Meika melirik Marcell dengan muka datar. Cowok itu pun hanya mengedikkan bahu sok keren.
"Iuh."
"Keren gimana?"
"Keren aja, dari jauh dia ada, tapi waktu di deketin gk bisa digapai."
Marcell memutar bola mata malas, "Keren dimana, nyakitin iya!"
"Keren lah, bisa bikin orang lain sayang tapi endingnya harus nerima kenyataan kalau nggak bisa milikin."
"Bego!"
"Lo lebih, masih aja sayang sama orang yang udah pergi."
"Lo lebih bego! sayang kok sama orang yang sayang sama orang lain."
Meika menendang kaki kanan Marcell dengan perasaan kesal. Tapi jangan tanya bagaimana ekspresinya, Meika bukan Seva, jadi sekesal apapun dia, wajahnya tetap sedatar kertas HVS putih.
"Nggak usah terlalu jujur!"
"Kalau mereka jadian, mau ngasih selamat nggak?"
"Iyalah."
"Cih, munafik banget."
"Ngaca!"
Marcell merebahkan tubuhnya sambil menutup mata. Sama, dia juga munafik. Berpura pura seolah lupa padahal hati masih memuja. Bersandiwara seolah tak peduli, padahal hati masih menganggapnya berarti. Bersikap seolah semua hanya angin lalu, padahal hati masih terus dirundung rindu. Mereka sama, sama sama munafik soal perasaan.
"Seva kenapa nggak masuk?"
"Sakit."
"Arsen bolos buat jagain Seva?"
"Hmm."
"Sampek segitunya."
Marcell membuka mata dan menatap lurus ke arah rambut coklat gelap Meika yang saat ini terurai indah.
"Arsen itu gila, tapi nggak munafik. Kalau dia sayang ya bakal diperjuangin, kalau dia nggak suka ya nggak suka. Walaupun hidupnya bercanda mulu, kalau lagi serius dia bisa tulus banget."
"Oh ya?"
Marcell mengangguk dan bangkit, "Dari dia gue belajar, kalau sayang sama orang itu jangan berlebihan."
"Tapi tampangnya nggak meyakinkan, bilang sayang tapi ngata-ngatain orang yang dia sayang."
"Ya gitu cara dia sayang sama orang, sederhana. Tapi tujuannya cuma satu, bikin orang yang dia sayang bahagia."
Meika kembali mengalihkan pandangan ke arah langit. Ini dunia nyata, bukan cerita fiksi remaja yang akhirnya harus berujung bahagia. Dunia tidak semudah seperti penulis menorehkan pena. Ada yang mengatur, ada pula yang diatur. Mereka hanya tokoh yang harus menjalankan skenario yang telah dibuat secara profesional. Mungkin semua kisah memang tidak harus berakhir saling memiliki, kadang ada yang harus merelakan, ada yang harus pergi, n banyak yang bersikap seolah tak lagi mengenal. Ini hidup, semua bisa berubah tanpa harus sesuai dengan rencana dari mahkluk hidupnya.
Ting!
Bunyi ponsel di sebelah Marcell memecah keheningan. Cowok itu menoleh, mengangkat benda pipih itu sebelum matanya bergerak membaca tulisan yang dikirim oleh deretan nomor tak dikenal. Cowok itu mengerutkan dahi bingung, berusaha mencerna baris kata yang tidak ia mengerti maksudnya.
+62581.....
2 hari lagi balik, kalau nggak ada yang bakal jadi mainan gue dan lo kalah.
Marcell mengedikkan bahu, mungkin ini hanya dari teman balapan Gazza. Meski sudah tidak lagi kesana setiap malam, ia tau kalau pemilik iris biru itu masih sering kesana saat ada masalah. Entahlah, bukan kapasitas Marcell untuk terlalu ikut campur.
"Gue balik,"
Marcell menoleh dan mengangguk saat Meika bangkit dan berjalan meninggalkannya seorang diri. Cowok itu terdiam lama disana, hingga akhirnya ada suara langkah seseorang yang mendekat. Gazza datang, mengambil posisi di sebelah Marcell dan melemparkan sekotak benda yang paling mereka hindari.
Rokok.
Senakal-nakalnya mereka, benda itu tetap dilarang keras untuk masuk dalam kehidupan. Prinsip mereka berdua sama, kalau tubuh sendiri nggak bisa dijaga, gimana mau jagain anak orang?
"Dapet darimana?"
"Dimas, cowok plagiat Dilan."
"Kelas 12?"
Gazza mengangguk dan menginjak kotak berisi 3 puntung rokok itu dengan sepatu. Isinya berceceran keluar, menguarkan bau tembakau yang begitu pekat di indra penciuman.
"Ponsel lo."
Ting
Gazza mematung, tangannya bergerak merebut ponsel tersebut sebelum akhirnya membaca pesan yang barusan masuk. Sudah dia duga, itu dari seseorang yang ia temui kemarin malam.
+62581...
Gue tunggu lo, Marcell!
Cowok itu tidak berekpresi, ia hanya diam kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Gazza menoleh pada Marcell, tersenyum tipis kemudian bangkit dan menepuk bahu sahabatnya.
"Za,"
Gazza menghentikan langkah dan menoleh, "Apa?"
"Lo balapan lagi?"
Keningnya mengerut bingung, pasalnya sudah satu bulan terakhir ini dia tidak turun ke arena balap. Tapi kenapa Marcell bertanya seperti itu?
"Tadi ada sms dari temen lo."
Gazza baru paham, Marcell salah mengartikan pesannya, untung saja. "Nggak kok, tenang aja."
"Terus barusan apa?"
Cowok itu menghembuskan nafas kasar dan mengacak rambutnya sedikit frustasi. Marcell itu hampir sama dengan Kak Caca, berhenti bertanya apabila pertanyaan sedetail apapun sudah selesai dijawab.
"Bukan apa-apa."
"Yakin?"
Gazza mengangguk, "Gue lagi main perang-perangan, misi penyelamatan."
"Game online?"
"Anggep aja gitu, udah gue mau pulang."
Marcell mengangguk, membuat Gazza bisa bernafas tenang dan akhirnya melangkah pergi. Namun sebelum itu, ia menoleh dan memanggil Marcell yang ternyata masih memperhatikan kepergiannya.
"Apa?"
"Ada sesuatu yang nanti harus gue jelasin."
"Soal?"
"Lauren."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Sorry, Cell."
❤ Hujan,lagi.
Nggak papa, mending diem di rumah terus baca wattpad. Oke?
Maaf ya updatenya lama, soalnya aku juga mulai sibuk sama tugas-tugas. Jadi , sorry banget.
MAAFIN TYPO JUGA. Semoga suka :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top