#31 Husttt

Kadang ada banyak hal yang tidak harus diumbar.
Rindu, cemburu, perjuangan, dan cinta. Semua punya kotak penyimpanannya masing-masing.

-G

Hari ini Jakarta kembali diguyur hujan. Rintik demi rintik perlahan turun dan hilang di dalam genangan. Menciptakan suara yang entah sejak kapan ia sukai. Suara yang selalu mengingatkannya dengan gadis pecinta hujan di ujung sana. Butir butir bening itu bergemelatuk di atas atap. Beradu menjadi satu dengan suara hembusan angin dan gemuruh guntur.

Ia mencintai hujan, tapi kadang juga benci. Karena hujan selalu saja mengingatkannya pada seseorang. Merasa ada tangan yang harus ia genggam, ada tubuh yang harus didekap untuk mencari hangat. Namun sayang, tubuh itu juga sedang berada di dekapan orang lain. Dekapan sahabatnya sendiri.

Jauh dari kebencian itu, rasa cintanya pada hujan ternyata lebih besar. Bukan hanya hujan, namun juga sang pecinta hujan itu sendiri. Percuma ia berusaha lari mencari tempat berteduh apabila ternyata tubuhnya lebih memilih basah kuyup di bawah tumpahan air dari langit. Berlarian dibawah sana dengan rentangan tangan yang bahagia. Padahal justru sebaliknya.

Ia menghembuskan nafas berat. Gadis itu suka hujan, tapi kenapa ia tidak mencoba bermain ke hatinya? hatinya sedang dilanda hujan lebat sekarang. Gemuruh dimana-mana, petir menyambar sahut menyahut dan angin pun mengoyak semua yang dilalui. Ah dia tau, gadisnya hanya suka hujan. Bukan hujan badai seperti yang terjadi dalam perasaannya saat ini. Makanya ia pergi, meninggalkan sesuatu yang sedang badai untuk mencari senja di tepi pantai. Lebih indah kan? tenang dan hangat.

Ia menengadahkan telapak tangannya menampung hujan, menghayati setiap tetes yang jatuh. Tenang, lalu kembali menyayat saat kenyataan kembali menamparnya, semua telah berbeda. Dulu dia yang terpaku melihat gadis ini menatap hujan, tapi sekarang ia yang justru dibuat terpaku saat harus melihat hujan sendirian. Tanpa siapapun.

"Gue kangen."

Ia terkesiap, sadar akan gumamannya sendiri yang dengan lancang keluar begitu saja. Cowok itu menurunkan tangan dan memasukkannya ke dalam saku celana seragam. Menunggu hujan reda memang terasa sangat lama, langit bahkan tidak ada tanda-tanda akan berhenti menangis. Kamu kenapa? sedang ada masalah dengan laut? atau bertengkar dengan senja? mmm, mungkinkah kamu sedang rindu pada bintang dan bulan? entah, langit bahkan lebih memilih terdiam dalam kebisuan.

Ia menoleh, menelan salivanya dengan kasar saat melihat gadis yang baru saja ia pikirkan berlindung di bawah jaket hitam sahabatnya. Ia tersenyum tipis, sekedar untuk menenangkan hati bahwa semua akan segera baik-baik saja. Seluruh luka pasti akan terlupa saat rindu tak lagi menjadi candu. Jadi saat ini, mungkin semua masih butuh waktu untuk kembali pada masa masa sebelum semuanya bertemu dengan hati. Lalu akhirnya tersakiti.

"Bagus deh kalau lo bahagia, walaupun bukan sama gue."

Marcell bergumam pelan saat melihat Lauren tertawa sambil menyipratkan air dari tangannya ke wajah Gazza. Gadis itu tertawa lebar saat Gazza menggelitiki perutnya, seolah semua beban selama ini telah hilang. Seolah Marcell memang tidak pernah ada, dan seolah semua kenangan itu berhasil dilupakan. Nyatanya ternyata tidak semudah itu.

"Jomblo nggak usah lihat orang pacaran." ucap Meika menendang pelan pantat Marcell dengan kakinya.

Cowok itu menoleh, memicing tajam pada gadis berambut coklat gelap yang sengaja digerai berantakan. Meika mengangkat satu alis menatap Marcell sebelum melirik ke belakang punggung cowok itu. Hatinya bergemuruh cemburu saat melihat pemandangan itu. Kekanakan sekali, padahal ia tau bahwa itu hanya Lauren. Sahabatnya, tapi kenapa tetap sesakit ini?

Pernah nggak cemburu waktu liat doi lebih deket sama temen sendiri? walaupun udah yakin nggak papa, hati tetep kenapa kenapa kan? ya itu yang lagi gue rasain.

"Belum pulang?"

Meika menggeleng, "Ke multimedia aja, disana ada anak-anak."

"Nggak."

"Ck, daripada disini, jomblo liat Dilan aja bisa mati, apalagi liat doi sama orang lain."

Marcell mengedikkan bahu dan melangkah pelan meninggalkan tempatnya berdiri tadi. Cowok itu perlahan melirik Meika yang saat ini sedang kesusahan membuka botol minuman dingin di tangannya. Marcell menahan lengan gadis itu, mengambil alih botol tadi sebelum menyerahkannya kembali dengan keadaan tutup yang sudah terbuka.

"Lemah!"

"Tangan gue basah bego."

"Mei,"

Meika menoleh, begitu juga Marcell. Disana berdiri Lauren dengan Gazza yang ada di belakangnya. Cowok itu membuang pandangan ke halaman sekolah, memfokuskan netranya ke arah rintik hujan yang belum juga reda. Jam sudah menunjukkan pukul 2, artinya sudah satu jam mereka terjebak nikmat tuhan yang akhir-akhir ini turun dengan tak terkira.

"Maaf soal kemarin."

"Udah nggak usah dibahas."

"Lo maafin gue kan?"

Meika mengangguk, "Kalau ada yang lagi emosi, jangan dibales emosi juga. Kasian orang lain yang liat, nanti mereka nggak bisa bedain."

Lauren tersenyum, Meika tetap seperti dulu. Ia selalu dewasa dengan apa yang ia hadapi. Hanya satu yang membuat Lauren bingung, kenapa untuk masalah yang satu itu ia justru takut untuk bersikap dewasa. Mungkin, Meika punya alasannya sendiri. Lauren melirik ke arah Marcell yang juga sedang menatapnya, menatap sebentar manik hijau itu sebelum akhirnya mengalihkan pandangan.

"Ayo Za."

Gazza mengangguk, membuat gadis itu berbalik dan mengurungkan langkah saat sebuah suara mengintrupsi gerakannya. Ia berbalik, menatap Marcell dan berusaha setenang mungkin untuk menjawab panggilan cowok itu.

"Kenapa?"

"Gue sayang sama lo." Diarrrr

Suara itu teredam, tepat disaat langit kembali berteriak kesal hingga menelan suaranya yang memang dibuat sepelan mungkin. Jika saja guntur tak menyaut, mungkin kata-kata itu akan meluncur jelas masuk ke dalam indra pendengaran gadis itu. Tapi sayang, semuanya memang sudah diatur oleh sang pemilik hati dan kehidupan. Bahkan Meika yang disampingnya pun ikut menoleh dan mengernyit bingung, suaranya tak terdengar.

"Lo ngomong apa tadi?" tanya Lauren membuat Marcell terdiam.

"Tali sepatu lo lepas."

Marcell tetaplah Marcell, matanya bergerak cepat dan spontan mengatakan sesuatu yang memang selalu berhasil menutupi apa yang ia rasakan. Tali sepatu Lauren memang sungguhan lepas di waktu yang tepat, dan menjadi alasan paling pas untuk membuatnya bersembunyi.

"Oh, makasih."

Marcell mengangguk dan segera berbalik meninggalkan Meika. Gadis itu pun akhirnya berpamitan pada kedua orang tadi sebelum ikut berbalik mengikuti si pemilik iris hijau. Ia yakin bukan itu yang tadi dikatakan Marcell. Tapi apa?

***

"Marcell!!! sini duduk, gantiin gue dulu, mau pipis."

Marcell mengangguk, mengambil stik PS yang tadi dipegang Rian dan mulai fokus pada game yang ada di laptop Arsen. Cowok itu kali ini diam, mungkin Arsen sedang sariawan. Atau bisa jadi dia salah makan obat hari ini.

"Arsen kenapa?" tanya Marcell menoleh sekilas pada Nadia yang sedang duduk di bangku sebelahnya sambil terfokus pada film.

"Kemungkinannya kesambet, sakit, sawan, uang jajan dipotong, kalau nggak anjing kesayangannya lagi sakit. Bisa juga rumahnya kebakar."

"Bacot!"

"Lo kenapa sih?"

"Hamil!" jawab Arsen dengan sinis dan tetap mengimbangi gerakan permainan Marcell yang lumayan gesit.

"Lo PMS ya Sen?" tanya Rian yang baru saja masuk dan memberikan minuman dingin kepada Nadia.

"Gue kesel, masa iya telur buat sarapan gue tadi dimakan sama kucing."

"Buset deh, gue kira lo udah waras." Rian menepuk jidat dan memilih duduk di meja belakang mereka.

Menurut Marcell, Arsen itu unik. Hidupnya memang tidak pernah bermasalah, hanya saja ia yang justru selalu membuat masalah. Dia lahir dari keluarga berada, orang tuanya sering kerja keluar kota dan meninggalkan Arsen di rumah hanya dengan abangnya. Cowok itu asik, ia lebih tengil dari Nathan, lebih santai dari Dilan, tapi bisa lebih romantis dari mereka berdua. Hanya jika otaknya nyambung.

"Eh Mei, anterin gue ke depan yuk." ajak Seva menyampirkan tas ke bahunya dan menarik narik tangan Meika setelah mengetikkan pesan pada kakaknya untuk menunggu.

"Males, Nadia aja."

"Nanggung, tunggu gue selesai, bentar lagi kelar filmnya."

"Ihhhh, kakak gue yang jemput, dia keburu kencan nih. Ayo dongg anterinnn."

"Sama gue aja." Arsen beranjak dan mengambil jaketnya. Ia menyampirkan jaket itu ke arah Seva dan berjalan mengambil kunci motor di atas bangku Rian.

"Loh, terus lo gimana?"

"Gue nanti balik lagi."

"Nggak usah deh, hujan tau, ntar lo basah semua."

"Kan yang basah gue bukan lo, yang penting lo nggak papa dan cepet pulang."

"Sen, lo pake aja deh."

"Pake aja, ntar kalau gue sakit, lo yang rawat, simple kan? udah ayo, kasian kakak lo nunggu lama."

"Beneran nih?"

"Kapan sih gue main-main kalau sama lo. Makanya terima dong, lama banget digantungnya."

Seva terdiam, membuat Arsen terkekeh dan mengacak pelan rambut pirang gadis itu. "Nggak usah dipikir, gue tetep nunggu."

Cowok itu menarik tangan Seva keluar dari kelas membuat suasana hening seketika. Yang terdengar hanya suara pelan dari film yang tadi ditonton Nadia. Mereka yang ada disana sukses dibuat bengong dan terpaku dengan Arsen. Kenapa dia jadi terlihat menakutkan saat seperti itu?

"Udah gue bilang, tuh anak kayaknya habis nonton Dilan." saut Rian menepuk nepuk pipinya untuk meyakinkan bahwa yang ia lihat tadi itu nyata.

Mereka masih terdiam dengan saling berpandangan, bahkan Meika yang tadi merebahkan kepala ikut bengong dengan kejadian tadi. Hal itu berlangsung sangat lama dan bahkan masih bertahan saat Arsen sudah kembali ke kelas. Arsen melirik mereka satu persatu dan mengernyit bingung.

"Kalian ngapain? habis makan kolor?"

"Lo sehat Sen?"

"Punya mata nggak? lihat gue sehat bugar masih aja nanya."

"Tumben lo rela basah-basahan cuma buat nganterin Seva."

"Soalnya itu Seva bukan lo." ucap Arsen dan duduk di depan AC untuk mengeringkan bajunya.

Rian turun dari bangku dan mendekati Arsen yang sedang menyisir rambut pirangnya ke belakang. "Lo udah waras Sen?"

"Nanti kalau dia kedepan sendirian, bisa jadi kenapa-napa."

"Terus?"

"Ya gue mau pastiin dia baik baik aja."

"Gaes, bentar lagi Jakarta turun salju." ucap Rian masih terbengong heran dengan Arsen, si manusia gila yang kali ini berpura-pura normal.

"Gue heran aja waktu cara gue nunjukin cinta sama dia beda, ternyata dianggep bercanda. Pas gue lagi serius merjuangin, kalian ngira gue gila. Emang salah kita berjuang buat perasaan? semua orang berhak kali sob."

"Tapi lo beda abis Sen."

"Gue masih Arsen, bisa gila sewaktu waktu, cuma gue lagi nunjukin ke kalian sisi gue yang lain. Nggak salah kan?"

"Gila gila, keren bangettt."

"Tapi lo jadi basah Sen." saut Nadia membuat cowok itu menoleh.

"Merjuangin itu yang sederhana aja, nggak usah muluk muluk. Jadi kalau nggak direspon nggak bakal sakit juga."

"Gue nyerah deh." ucap Meika datar dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Gue aja yang mustahil diterima nggak nyerah. Udah lah, misal ya, kalau lo suka dia ya suka aja, dibales atau nggak, itu hak dia. Tugas kita kan cuma suka bukan maksa."

Up! Kini Marcell tau bahwa Arsen tidak segila itu. Benar kan dugaannya? dia bahkan bisa lebih romantis daripada tokoh pembuat baper para jomblo. Sepertinya dia tau bahwa ada seseorang yang lebih pantas untuk menjadi tempat berbagi cerita. Ada yang lebih dewasa dari Meika, orang yang selama ini bahkan terlalu dianggap hidup dengan penuh candaan.

"Gilaaa, bagus banget gue, udah cocok main film nih. Ayo casting aja yuk, si pitung mengejar putri duyung." ucap Arsen membuat Marcell memutar bola mata malas dan menyesali pikirannya.

Ternyata benar, memang tidak ada jerawat yang terlihat cantik di waktu tertentu.

***

Motor besar Gazza berhenti di depan rumah Lauren. Cowok itu menolehkan kepala dan menepuk tangan Lauren yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu sepertinya lelah hingga ketiduran di atas motor seperti ini.

"Bangun Ren."

Gadis itu menggeliat, perlahan mengernyipkan mata untuk menyesuaikan cahaya. Lampu jalan memang begitu cerah, sepertinya barusan diganti. Ia menguap dengan mata memerah, melengok kesana kemari untuk mengenali sekitarnya. Oh, dia sudah sampai rumah.

"Udah nyampek?"

"Belum."

"Ih." ucap Lauren memukul pelan lengan Gazza dan segera bergerak turun dari atas motor.

"Gue pulang ya."

Lauren mengangguk, "Hati-hati Za, nggak usah ngebut, licin."

"Ren."

"Apa?"

Gazza menarik gadis itu ke dalam pelukan dan mendekapnya erat. Lauren terdiam, jantungnya seperti berhenti mendadak saat Gazza memeluknya erat. Astaga, dia sedang tidak jatuh cinta kan?

"Gue pulang." ucap Gazza setelah melepas pelukan dan segera menyalakan mesin untuk menuju tempat tujuan berikutnya.

Motornya bergerak membelah jalanan Jakarta yang lumayan padat. Aspal malam ini lumayan licin karena habis diguyur hujan. Tetes tetes sisa hujan tadi sore pun masih terasa sampai sekarang, mengiringi laju jalannya sampai berhenti di depan sebuah gedung tua yang terletak di sebuah kawasan bekas ruko.

Gazza mematikan motor, turun dari atas sana dan berjalan pelan masuk ke dalam gedung. Ia mengeluarkan ponsel untuk menerima telfon dari seseorang. Dengan gerakan tenang, Gazza mendengarkan suara dari seberang sana sambil melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

Suara langkah kaki menuruni tangga mulai terdengar. Gazza memasukkan ponsel ke dalam saku dan bersandar di dinding sambil sibuk mengunyah permen karet. Ia menatap beberapa pasang kaki bersepatu hitam itu dengan raut wajah tenang. Seolah ia yang punya tempat ini dan yang berperan menjadi bos mereka.

"Tepat waktu juga."

"Mana bos lo?"

"Waduh, nantangin nih?"

"Cuma nanya." jawab Gazza lalu meletupkan balon dari permen karet yang ia makan.

Setelah beberapa saat ia menunggu, turunlah orang yang tadi menelfonnya. Laki-laki berkacamata itu turun dengan satu tangan membawa botol minuman keras dan tangan yang lain memeluk pinggang seorang wanita berpakaian minim. Pelacur kah?

"Jadi ini yang namanya Marcell?"

.

.

.

.

.

.

.

"Iya."

Selamat membaca. Maaf baru up, soalnya lagi sibuk dan ribet banget sama tugas-tugas. Semoga suka dan penasaran ya. Setelah ini bakal semakin terbuka kenapa Gazza milih buat balik ke Lauren. Penasaran? ikutin terus. Terimakasihhh. ❤



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top