#30 Hilang

Kadang yang hilang
belum tentu sudah hilang.

-Mei

Meika kaget, ia melepas pelukan Marcell dan segera mengejar gadis itu keluar dari apartemen. Ia menarik tangan kiri Lauren yang sedang menenteng kantung kresek, menyuruhnya berbalik dan berdiri berhadapan sambil masih mengatur nafas karena mereka tadi berlarian.

"Jangan salah paham."

Lauren tersenyum dan mendekat, "gue ngerti, lagian gue juga nggak punya hak buat ngelarang kalian."

"Ren, ini nggak seperti yang lo lihat."

"Iya, udahlah nggak usah dibahas," Lauren tersenyum dan menyerahkan kantung kresek itu pada Meika. "Ini buat lo, bagi sama Marcell juga nggak papa."

Meika diam, ia tidak menerima kantung itu saat melihat air mata mulai mengalir dari sudut mata Lauren. Gadis itu meluruh, masih dengan menggenggam tangan Meika yang berdiri di hadapannya. Ia menunduk, bahunya bergerak naik turun. Lauren terisak.

"Jangan turun, gue nggak mau lo lihat gue nangis."

"Ren, gue minta maaf."

"Mei, siapapun yang lo suka, siapapun yang nanti bakalan sama lo, gue harap bukan Marcell. Lo tau kan, berat kalau harus ngasih ucapan selamat ke temen yang pacaran sama mantan kita."

Meika diam, jujur saja ia tidak pernah berpikiran untuk menjalin hubungan dengan melibatkan hati bersama Marcell. Bukan seperti itu. Mereka itu hanya teman, mempunyai luka sama, dan butuh sandaran untuk menyembuhkan luka bersama-sama. Tapi bukan untuk berusaha membentuk cinta atau rasa semacamnya.

"Gue minta maaf sama lo. Gue tau gue salah udah cemburu, tapi gue belum bisa lupain dia Mei. Jadi mohon, jangan bikin gue benci sama lo dan bikin persahabatan kita hancur."

"Gue sayang sama lo, kalaupun suruh milih antara lo atau Marcell, gue pasti milih lo. Jadi tolong, jangan pernah bikin gue kecewa."

"Gue nggak pernah punya niat gitu." ucap Meika dengan ekspresi datar.

"Iya, gue percaya soal itu. Gue cuma mau lo ngerti, gue sakit karena orang tua gue pisah, jadi gue nggak mau pisah lagi sama orang yang gue sayang. Lo nggak akan ngerti kan gimana rasanya waktu kita suruh milih harus ikut siapa, lo nggak akan paham."

"Lauren!!!!"

Gadis itu mendongak, ekspresi Meika berubah tajam. Ia mengepalkan tangan dan menarik genggaman itu dari tangan Lauren. Keluarga adalah bahasan yang sensitif, dan kenapa Lauren harus mengatakan itu disaat emosinya sedang tidak stabil seperti ini.

"Gue tau emang gue nggak bakal ngerti apa yang lo alamin. Tapi lo juga nggak akan ngerti sama apa yang gue alamin selama ini. Udah berapa kali gue bilang nggak usah bawa bawa keluarga, dan ternyata lo bahas itu malem ini."

"Emang kenapa? bener kan? lo masih punya orang tua Mei, sedangkan gue punya tapi kayak nggak. Lo nggak akan tau gimana rasanya nggak dianggap anak."

"Ren!! kita hidup di dunia punya ceritanya masing-masing. Gue dengan masalah gue, lo dengan masalah lo, kita nggak akan saling mengerti. Jadi tolong, nggak usah bersikap seolah lo adalah orang yang punya masalah paling berat. Dunia nggak sesempit itu."

Lauren diam, ia terpaku saat melihat Meika menangis untuk pertama kali di hadapanya, "Lo kenapa?"

"Lo harusnya bersyukur sama hidup lo, masalah itu jadi pelajaran biar lo kuat bukan buat diumbar dan nunjukin kalau beban hidup lo paling berat. Setiap orang punya kapasitas kuatnya masing-masing."

Meika menghapus kasar air matanya dan menghembuskan nafas besar. Bukan maksudnya membentak Lauren, hanya saja ia tidak suka dengan bahasan yang mengarah kesana. Itu membuatnya muak.

"Lauren! apa-apaan?"

Meika menatap lurus sosok yang ada di ujung sana. Cowok itu menatapnya tajam sambil berjalan cepat menuju ke arah mereka. Sudah jelas Gazza marah, ia mengira Lauren berlutut karena Meika. Ya begitulah, terkadang kesalahpahaman adalah belati paling mematikan.

"Bangun!"

Lauren berbisik, "ayo pulang."

Gazza mengatupkan rahangnya dengan perasaan kesal. Mata Lauren sembab, ia baru saja menangis dan sepertinya Gazza tau siapa orang yang membuat gadis itu menitikkan air mata. Ia menoleh pada Meika, menggengam erat tangan Lauren dan menyuruh gadis itu berdiri di belakangnya.

"Lo apain dia?"

"Gue cuma ngasih tau kalau cerita orang itu beda beda, gue cuma nggak mau dia terlalu terpuruk sama masalahnya."

"Omong kosong."

Meika diam, ia mendengus geli dan menghembuskan nafas lelah sekali lagi. "Gue rebut Marcell, puas lo?"

"Mei.."

Lauren menyela tapi ditahan oleh Meika. Ia tau gadis itu berbohong, ia tau bagaimana sorot mata Meika saat tidak berbicara sungguh-sungguh. Sama seperti jika ia mengatakan akan membunuh orang atau memutilasi Kenzie. Raut wajahnya mungkin bisa menipu orang lain, tapi tidak untuk Lauren.

"Udah gue duga lo murah, Mei." Gazza menatap tajam gadis itu membuat Meika tidak juga mengalihkan pandangannya, ia juga menatap Gazza sama tajamnya.

"Lo kotor!"

"Gazza!!"

"Lauren diem!!" Gazza menyentak Lauren, ia marah kali ini. Bagaimana bisa Lauren harus berlutut di hadapan gadis seperti itu?

"Makasih, makasih pujiannya."

Meika berbalik dan berjalan meninggalkan mereka. Ia tidak ingin bertengkar malam-malam. Namun saat gadis itu akan masuk ke dalam apartemen, Marcell justru keluar dari sana. Ia yakin, sebentar lagi gedung ini akan menjadi podium pertandingan tinju oleh dua orang itu. Astaga.

"Lo nggak murah, nggak usah dipikirin."

"Cell, pergi dari sini, gue nggak mau di hari ulang tahun lo, lo harus dapet lebam dari Gazza."

Marcell menggeleng, "gue cowok Mei, masalah nggak boleh dihindari kayak gini."

Marcell menoleh, ia menatap Gazza yang sedang memandangnya tajam diujung sana. Bersama seseorang yang membuatnya merasa terbuang percuma, Lauren. Gadis itu, gadis yang naasnya masih menempati hatinya yang sudah lagi tak terbentuk.

"Gue pulang ya, sana masuk."

Meika mengangguk, masuk ke dalam apartemen hingga menyisakan mereka bertiga. Marcell menghembuskan nafas lalu berjalan pasti mendekati mereka. Mengulurkan tangan berniat untuk berjabat tangan dengan Gazza.

"Gue udah rela, apapun yang terjadi sama lo dan Lauren, gue dukung."

Lauren diam, begitu juga Gazza. Emosinya menurun, rahangnya mulai terkatup tenang, ia tidak lagi marah. "Maksud lo?"

"Lo pasti ngerti."

***

Hari itu kelas kosong, guru sejarah sedang mengikuti kunjungan dengan guru yang lain. Alhasil itu membuat kelas mereka tidak lagi seperti kelas. Meja tidak tertata rapi, kursi bercecer dimana-mana dengan papan tulis yang tidak seputih pagi tadi. Ada yang bermain PS, ada yang menonton film, ada yang main bola, ada yang ngobrol di depan sana, ada juga yang sibuk main kartu. Ribut.

"GUE BARU INGET!"

"Nggak usah teriak!" sentak Nadia saat Seva menggebrak meja mereka hingga membuat tumpukan kartu disana sedikit bergeser.

"Lo jadian sama Rian, Nad?"

"Ha?"

"Jawab woe, lo jadian kan? iya, pasti iya."

"Kalau lo jawab sendiri, mending nggak usah tanya deh Sev." saut Lauren sambil mengeluarkan kartu berbentuk hati.

"Ihhh, abis dia nggak mau cerita. Jadian nggak?" tanya Seva menyenggol lengan Nadia sambil menaik turunkan alis.

"Hmm."

"SUMPAH DEMI APA?"

"Lauren dicari!" Seseorang dari depan pintu berteriak memanggil Lauren, membuat gadis itu mendongak dan bangkit untuk menuju pintu kelas. Ia berhenti, menoleh pada bangku di sebelahnya dan terdiam sebentar.

Meika kemana?

Di depan kelas, ia melihat Gazza bersender di tembok dengan tangan sibuk memainkan ponsel. Saat Lauren datang, ia memasukkan benda pipih itu ke dalam kantong. Ia tersenyum tipis dan segera menarik gadis itu untuk pergi dari sana. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan.

Warung Pak Amir adalah yang terbaik, warung yang dibangun di taman belakang ini bukan menjual makanan. Tapi hanya minuman dan beberapa makanan ringan serta kue kue yang baunya selalu menggunggah selera. Gazza memilih bangku di bawah pohon setelah membeli sekotak kue dan dua botol minuman dingin.

Dari sini mereka bisa melihat anak-anak bermain basket. Lauren menelanjangi seluruh isi lapangan dan berhenti menatap saat matanya menangkap sosok berambut coklat dengan seragam basket bewarna merah. Cowok itu dibanjiri keringat, mulutnya terkatup rapat dengan rambut berantakan yang membuatnya terlihat mempesona.

Ia sadar, menatapnya terlalu lama terasa tidak sopan, itu bukan kapasitasnya. Ia menoleh lagi pada Gazza yang sedang membalas pesan dari seseorang. Lauren mengernyit dan mengetuk meja di hadapan Gazza hingga membuat cowok itu mendongak, membiarkan ponselnya terdiam di atas meja.

"Lagi nggak ada masalah kan?"

Gazza menggeleng, "nggak ada."

Gadis itu mengangguk lega, ia menganbil kue dan segera mencomotnya satu sambil masih mengamati anak-anak yang bermain bola. Berusaha untuk tidak menoleh ke sebelah kanan dan mendapati Marcell, lagi.

"Kenapa nggak lihat sana?"

"Gazza udah deh, bantuin gue move on! jangan malah diingetin terus."

"Nggak usah move on Ren, susah."

"Emang! lebih susah daripada hafalin sejarah satu buku!"

Gazza berpindah tempat duduk di samping Lauren, ia menghadap gadis itu dengan pandangan sulit diartikan. Lauren yang melihat itu hanya bisa diam dan menunggu sampai mulut si manusia es mengatakan sesuatu.

"Apa yang lo rasain kalau deket gue?"

Lauren meletakkan tangan di dagunya seraya berfikir, "Mmm, nyaman."

"Boleh gue ngomong sesuatu?"

"Apa?"

"Gue masih sayang sama lo."

Hening, Lauren terdiam hingga menghentikkan gerakan tangan yang tadinya ingin memasukkan kue brownies ke dalam mulutnya. Ia menatap Gazza, tepat di manik biru yang terlihat menggelap entah karena apa. Mungkin karena posisi mereka sedang berada di bawah pohon dan tidak terkena sinar matahari. Bisa jadi.

"Maaf udah bikin lo nyaman."

"Lo..lo bercanda kan?"

Gazza menggeleng, "Gue belum pernah seserius ini."

"Kalau gue nggak ada, jaga diri baik-baik."

"Lo mau pergi juga?"

Gazza tersenyum tipis, sangat tipis. "Nggak ada yang tau nanti bakal terjadi apa aja kan? gue cuma mengantisipasi."

"Jangan pergi Za, Meika sayang lo."

"Gue sayang lo Ren."

Tapi sebatas itu.

Mereka sama-sama diam dengan saling melempar pandangan. Berusaha menyelami manik mata masing-masing tanpa peduli ada dua hati yang terluka di ujung sana. Satu dengan wajah datar dan berusaha tidak peduli, dan satu lagi memilih pergi dan seolah tidak pernah ada pada momen seperti ini.

"Gue nggak maksa lo lupain Marcell. Gue sendiri yakin, Marcell lebih sayang sama lo."

"Dia risih kalau ada gue!"

Lo belum kenal dia, Ren.

"Kalau gue nanti nggak ada, buka kotak yang kemarin gue kasih ya."

Lauren mengangguk, entah kenapa ia khawatir saat ini. Ada sesuatu yang membuatnya takut kehilangan lagi. Takut kehilangan sandaran dan kembali bangkit sendiri. Ia sudah terlalu lelah, mencoba untuk menjadi ada di saat tidak pernah dianggap nyata. Itu sulit.

"Lauren! awas!"

Gazza menoleh, refleks memeluk gadis itu saat matanya menangkap lambungan bola yang menuju ke arah mereka. Disana semua seolah berhenti, yang terdengar hanya hembusan angin dan saut-sautan dari orang orang, antara menyalahkan si penendang bola juga mengagumi Gazza yang punggungnya direlakan terkena bola hanya untuk melindungi Lauren.

"Lo nggak papa?" tanya Gazza berniat melepaskan pelukan itu namun ditolak oleh Lauren.

"Biar gini dulu aja."

"Kenapa?"

"Nggak tau, gue takut kehilangan lo. Rasanya ucapan lo tadi kayak ucapan selamat tinggal."

Gazza mengusap pelan rambut gadis itu untuk menenangkan. Ia memang tidak tahu apa yang nanti akan terjadi. Tapi begitu ia sudah pamit, jika memang ia akan pergi, setidaknya sudah pernah ada ucapan selamat tinggal kan?

"Gue mau lo janji."

"Apa?"

"Jangan pergi, jangan luka."

Gazza diam, jika jangan pergi pasti akan ia usahakan. Tapi jika jangan luka, sepertinya dia tidak bisa. Apalagi jika mengingat pesan-pesan itu. Pesan yang membuatnya harus mengucapkan perpisahan dan membuat luka di beberapa hati orang yang ia sayang.

"Ren, Tulus aja bikin lagu pamit, apalagi gue yang nggak tulus, bisa pamit sewaktu-waktu. Gue..."

"Gue mau lo janji!"

Gazza melepas pelukan Lauren dan menatap gadis itu dengan kedua tangan yang bertengger di pundaknya. Ia menghembuskan nafas dan menatap manik hijau keabuan yang sepertinya sedang takut. Apa yang kamu takutkan? yang terbaik pasti akan datang lagi, mungkin bukan sekarang. Bisa jadi kita dipertemukan di episode berikutnya. Dengan perasaan yang sama atau justru sudah beda.

"Gue..takut ingkar janji."

"Nggak mau tau! lo nggak boleh pergi Za."

Gazza mengangguk, "gue usahain."

Tanpa mereka sadari ada dua hembusan nafas berat di sisi lain. Marcell menyusul Meika, membuat gadis itu menoleh dan tersenyum tipis. Ia menepuk pundak Marcell lalu menyuruh cowok itu duduk di tribun lapangan.

"Bukan hak kita."

Marcell mengangguk dan mendongak dengan keringat bercucuran, "Mei, lucu ya, sampai sekarang gue masih aja takut kehilangan sesuatu yang udah hilang."

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kadang yang hilang belum tentu udah hilang."

"Lo nggak akan hilang kan?"

"Belum tentu, karena yang berjanji buat ada, kadang nggak bisa selalu ada. Sama, kadang yang janji buat nggak hilang, bisa sewaktu-waktu hilang."

"Lo bener, kata-kata kadang nggak setulus sorot mata."

MAAFKAN TYPO YAA!!!
SEMOGA SUKA
SELAMAT HARI MINGGU.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top