#27 Kelabu.
Beberapa orang gemar menyakiti dirinya sendiri dengan mencintai seseorang yang tidak pernah bisa dimiliki.
Dan salah satu orang itu
adalah aku.
-M
"Gini aja lo cemburu, gue yang lihat lo dipeluk Kak Kenzie juga biasa aja."
Marcell menatap Lauren datar sebelum menundukkan pandangan. Ia lelah, salahkah bila ia cemburu saat melihat pacarnya dipeluk orang lain? dia yang salah?
"Tau darimana?"
"Nggak penting! Lo kemana aja waktu gue butuh?"
"Sorry nggak bisa langsung ada saat lo butuh."
"Tadi udah gue telfon, tapi nggak lo angkat juga." kesal Lauren membuat Marcell tersenyum tipis.
"Dering pertama HP gue bunyi dan itu dari lo. Gue langsung kesini, karena gue tau kalau lo nelfon duluan itu pasti ada apa-apa." Marcell menghembuskan nafas lelah dan memasukkan kedua tangannya di saku celana.
"Tapi ternyata ada orang lain yang lebih peka."
"Dia cuma Gazza, orang yang suka sama sahabat gue, jangan egois Cell."
"Cemburu karena gue sayang itu egois?" tanya Marcell menatap Lauren yang saat ini sedang balas menatapnya dengan datar. Marcell tau Lauren tidak suka dikekang.
"Gue cuma nggak mau lo lebih nyaman sama orang lain."
"Nggak akan! nggak usah kayak gini bisa kan? kecurigaan lo itu justru bikin gue pengen buat ngabulin apa yang lo fikirin tentang gue."
"Ren, aku nggak mau berantem." ucap Marcell pelan dan berusaha untuk menggenggam tangan Lauren.
"Yang gue butuh pundak lo, bukan malah marah-marah kayak gini."
Gazza bangkit dan masuk ke dalam rumah Lauren. Bukan kapasitasnya untuk mendengar atau bahkan ikut campur dengan urusan hubungan keduanya. Hubungan itu milik mereka berdua, dia hanya sebagai tokoh lain yang bahkan tidak punya hak apapun.
"Gue bukan burung Cell, gue nggak mau dikekang. Gazza kesini cuma buat nenangin gue doang, nggak lebih."
"Gimana kalau di posisi itu tenyata dia masih ada rasa sama lo? nggak boleh gue cemburu?"
Lauren mendengus kesal. "Gue nggak ngerti ya sama jalan pikiran lo."
"Oke, mungkin lo belum sadar apa maksud gue. Kita istirahat dulu aja."
Marcell tersenyum dan berbalik meninggalkan Lauren. Gadis itu tersentak kaget, salahkah dia? siapa sebenarnya yang egois disini? Lauren memanggil Marcell, membuat cowok itu menoleh dan mengangkat satu alisnya dengan tatapan sendu.
"Maksud lo apa?"
"Kita break."
"Gini aja break? putus aja sekalian!"
"Oke."
***
"Marcell!"
Ia menoleh dan menatap dua orang yang sedang berdiri di ujung koridor dengan ekspresi berbeda. Cowok itu melangkah riang dengan senyum lebar meninggalkan seorang gadis berambut pirang yang terlihat memberenggut kesal.
Arsen berhenti tepat dua langkah di depan Marcell. Berdehem sebentar sebelum akhirnya menyisir jambulnya ke belakang dengan gaya sok keren. Dia menatap Marcell dengan wajah cool, namun sedetik kemudian ekspresi itu berubah menyebalkan. Jika Marcell adalah Rian, mungkin saat ini Arsen sudah masuk ke dalam tong sampah dan duduk bermusyawarah dengan para kecoa di dalam sana. Hih.
"Tebak gue hari ini kenapa?"
"Nafas."
"Lainnya?"
"Gerak."
"Mmm, bisa jadi. Lainnya?"
Marcell diam, namun ia sedikit tersentak kaget saat Arsen tiba-tiba menepukkan kedua tangannya tepat di depan muka cowok itu sebelum mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi mendramatisir. "Gue berhasil bonceng pacar tercantik setelah Gazza."
"Terus?"
"Beri gue selamat! beliin mie ayam kantin sama es teh anget satu!"
Marcell memutar bola mata malas dan segera berbalik untuk pergi dari sana. Lebih baik dia segera ke kelas daripada harus meladeni Arsen, belum lagi nanti Seva datang dan membuat kupingnya tambah panas seharian. Lagian, mana ada es teh anget? pusing kan lo? sama gue juga.
"Marcell si kang bersihin peceren! balik woe, janji dulu beliin gue makan!"
"Serah." ucap Marcell mengibaskan tangan tanpa berbalik.
Di persimpangan koridor, langkahnya terhenti saat melihat Meika berjalan sambil membawa setumpuk buku modul yang sepertinya akan diantar ke perpustakaan. Baju gadis itu berantakan, rambut gelapnya diurai begitu saja dengan earphone hitam menggantung asal di leher jenjangnya yang tertutupi surai coklat. Selalu seperti itu, tidak pernah rapi.
"Eh?" gadis itu sedikit kaget saat Marcell mengambil setengah tumpukan modul yang dia bawa. Gadis itu menoleh lalu mendengus geli saat matanya menangkap lingkar hitam di bawah mata sang pemilik iris hijau.
"Begadang karena galau?"
"Ck, nggak guna."
"Mulut sama hati kok nggak sama."
Mereka berdua berhenti, tepat saat keduanya menangkap sepasang insan yang sedang berjalan dari arah berlawanan. Marcell menatap lekat Lauren yang sedang melihat sesuatu dari ponsel Gazza. Gadis itu tertawa, membuat Gazza menggeleng heran sebelum akhirnya bungkam ketika iris biru itu bertabrakan dengan sorot kelam dari Meika dan Marcell.
"Belok, Mei."
"Iya."
Mereka pergi dari sana, meninggalkan rasa sakit juga lari dari kenyataan. Mencoba bersikap seolah apa yang tadi mereka lihat hanyalah ilusi. Mungkin, rindu itu terlalu menggebu hingga akhirnya muncul dan menjelma menjadi sesuatu yang tabu. Nyata namun terlalu maya.
"Gazza pernah bilang sayang?"
"Nggak."
"Lo yakin?"
Meika mengangguk dan meletakkan satu persatu modul ke dalam rak disana. "Gue cuma jadi pemeran pengganti waktu tokoh utama lagi nggak ada."
"Lo nggak benci kan sama Gazza?"
Marcell menggeleng, ia bersandar pada rak buku kumpulan jurnal dengan mata terfokus pada gerakan Meika. Namun tidak dengan pikirannya.
"Gue justru merasa salah, Gazza yang suka sama dia duluan. Gue cuma pendatang baru."
"Tapi Lauren bukannya nerima lo?"
Cowok itu mendengus geli saat menyadari sesuatu. "Bukannya dulu gue maksa dia buat nerima?"
Gadis itu mengangguk paham dan ikut duduk disana sambil sibuk mengucir rambutnya membentuk gelungan. "Kita sama kan, lo suka sama orang yang harus lo lepas. Sedangkan gue, suka sama orang yang nggak bisa gue miliki."
"Sama dimananya?"
"Sama-sama nggak bisa bahagia sama pilihan kita."
Marcell mengangguk dan mendorong kening Meika sebelum akhirnya bangkit untuk bersiap masuk. "Move on."
"Ngaca!"
Disini Marcell sekarang, berjalan di koridor yang sudah sepi karena pelajaran pertama sedang berlangsung. Ia enggan masuk kelas, duduk tenang mendengarkan guru yang bahkan ia sendiri tidak dengar sedang bicara apa. Suaranya anggun, pelajaran yang sedang diterangkan pun juga anggun, sastra Jerman. Membuat seseorang seperti Marcell terlalu enggan untuk ikut bersikap anggun. Bahasa inggris aja boro-boro, ini malah Bahasa Jerman.
"Planetisin Nebuladin Bibibab," Marcell memutar bola mata kesal dan berhenti mendadak membuat Arsen refleks mengaduh. "Buset, hancur sudah hafalan gue."
"Lo ngapain sih?"
"Lagi belajar bahasa planet, biar gue bisa jadi guru sastra planet nomor satu di dunia. Siapa tau ilmu yang gue ajarin bermanfaat buat para astronot. Biar mereka nggak tersesat waktu ke bulan."
"Lo pikir alien beneran ada?"
"Iya lah! malah sekarang ada yang udah di bumi."
"Lo?"
"Bukan, si Rian tuh!" ucap Arsen sambil berlalu pergi mendahului Marcell untuk menuju ke kantin.
Marcell terdiam menatap punggung cowok itu. Ingin rasanya ia pergi ke rumah Arsen dan bertanya pada ibunya. Dulu, ibu ngidam apa sih? atau mungkin, orang tuanya saat itu sedang khilaf hingga salah adonan?
"Aduh!"
Marcell menoleh dan mendapati Lauren sedang duduk di lantai sambil memegangi dahinya. Gadis itu sepertinya baru saja berbalik hingga menabrak seorang cowok yang saat ini menggaruk tengkuknya canggung.
"Lo kenapa tiba-tiba balik?"
"Gue emang tadi mau kesana!"
"Lah, jelas-jelas tadi lo mendadak balik!"
"Bisa diem nggak? bantuin kek!" sentak Lauren membuat Marcell terdiam saat gadis itu menerima uluran tangan dari murid sekelas Gazza.
Ia berbalik kemudian melanjutkan langkah tanpa ingin lagi berurusan. Bukannya tidak peduli, hanya saat ini menjaga jarak sedang dibutuhkan. Memang faktanya ia mungkin tidak bida melupakan, namun mengikis temu bukankah salah satu cara untuk berusaha tidak lagi rindu?
Gini nih susahnya punya mantan satu sekolah.
Setelah berhasil berdiri, gadis itu menoleh untuk menatap punggung Marcell yang sudah menjauh. Masa lalunya sedang berjalan pergi, tidak lagi ada sosok kasar yang selalu menjaganya seolah putri. Apakah dia salah mengatakan itu kemarin? tapi masak cewek minta maaf duluan?
"Aduh! kebelet lagi!" ucap Lauren dan kembali melanjutkan jalan untuk ke toilet.
Tadi dia benar-benar tidak bisa menahan, namun saat matanya menangkap Marcell, kakinya tiba-tiba berbalik dan harus menabrak orang tidak tahu diri. Bukannya minggir, malah jalan di tengah sembarangan. Emang koridor punya neneknya situ?
Apa?! nggak terima?!
***
Lauren melirik kembali jam yang melingkar di tangannya. Sudah sejak 30 menit lalu gadis itu menunggu hujan reda tapi namanya juga hujan. Saat ditunggu tidak datang, tapi saat mulai dilupakan justru datang dan tak kunjung meninggalkan. Ia bosan, sejak tadi kakinya bergerak sambil menatap percikan air yang jatuh di halaman.
Gadis itu sedang duduk di teras kelas sambil sesekali mendongak dan berharap agar hujan segera pergi. Dia memang menyukai hujan, apalagi suasana tenang disana. Setelah semalaman menangis, pas sekali bila ia menggalau di bawah hujan sambil mengingat mantan. Penuh kenangan. Tapi dia sedang tidak ingin menyakiti hati, apalagi saat orang yang sedang ingin dilupakan masih menjadi sang penghuni hati.
"Kesambet mampus!"
"Astaga! Gazza?"
"Apa?"
"Nggak boleh motor dinaikin disini!" sentak Lauren saat melihat Gazza memarkirkan motor di depan kelas dengan ekspresi tenang.
"Nggak ada yang lihat."
"Ih, kotor! besok gue piket!"
"Emang pernah piket?"
"Nggak juga." ucap Lauren dan kembali menoleh pada Gazza yang sudah duduk di sampingnya.
"Lo kenapa deketin Meika padahal lo nggak suka dia? kan kasian kalau dia udah terlanjur baper."
"Dia tau kok, kita sering curhat."
"Kenapa lo nggak suka dia?"
"Gue belum move on."
Lauren memutar bola mata malas dan menghembuskan nafas kesal. "Ck, jangan nyindir!"
"Move on tuh susah."
"Lo gagal move dari siapa sih?"
"Kata pertama."
"Ha?"
"Udah reda, ayo pulang." ajak Gazza sambil bangkit dan naik ke atas motor.
Lauren mendongak menatap langit, "eh iya, ayo."
Gadis itu naik ke atas boncengan Gazza dan segera ikut menerobos sisa rintik hujan dan jalanan yang basah. Ia menghembuskan nafas lalu kembali mendongak hingga mukanya terkena percikan air yang semakin hilang. Ia memejamkan mata dan bergumam dalam hati.
"Andai lo masih ada."
"Ren, lihat deh."
"Lihat apa?"
"Depan kanan atas." ucap Gazza membuat Lauren mendongak dan tersenyum saat melihat beberapa cahaya melengkung indah diatas sana.
Sejenak ia lupa dengan kenangan tentang hujan. Sejenak ia melalaikan hujan saat pelangi datang. Sampai kata-kata yang pernah ia dengar menguap begitu saja saat matanya berbinar senang melihat warna itu semakin terang dan begitu indah. Dia lupa pesan yang pernah Marcell katakan.
"Pelangi emang indah, tapi dia nggak bakal tahan lama. Lo mau rasain sesuatu yang sementara doang?"
"Cantik ya."
"Iya, segala hal yang kadang diabaikan sebenernya emang lebih indah." ucap Gazza membuat Lauren mengangguk dan tersenyum menatap mata Gazza melalui kaca spion.
Tidak ada yang tau, begitu pula pelangi. Ada seseorang yang bahkan masih bertahan dalam hujan. Memegang erat gulungan jaket yang tadi sempat ingin ia berikan pada seseorang. Cowok itu terdiam, menyalakan mesin motor sebelum akhirnya benda beroda itu melaju kencang membelah jalanan ibu kota untuk pergi ke suatu tempat.
Disini sekarang ia berada, tepat di depan tempat dimana gadisnya sedang tertidur pulas. Ia turun dari motor, mengacak sekilas rambut coklat gelapnya sebelum melangkah untuk masuk lebih dalam. Mengotak atik kembali masa lalu yang mungkin akan kembali terasa menyakitkan.
"Sore den, udah lama nggak kesini, sibuk sekolah ya?"
"Iya pak. Dia baik-baik aja kan?"
"Baik, baru saja bunganya saya ganti."
"Makasih." ucap Marcell tersenyum sekilas membuat laki-laki bertopi tadi mengangguk dan kembali melanjutkan minum kopi hitamnya.
Marcell berdiri tepat di sebelah gundukan tanah dengan batu nisan yang selalu terlihat bersih. Disana ada taburan bunga mawar segar dengan beberapa kelopak yang masih utuh. Marcell berjongkok, menyenderkan seikat bunga lavender di nisan dengan tulisan nama yang selalu ia ingat.
"Sore."
"Maaf jarang kesini, kamu apa kabar? bagus deh kalau baik."
"Gue kangen."
Marcell menggerakkan tangan menyentuh nisan gadisnya. Ia menunduk saat jantungnya kembali berdesir nyeri. Gadis itu telah tiada. Ia sudah pergi dan bahagia dengan pilihannya.
"Gue ngalah lagi, untuk kali ini biar Gazza yang bahagia."
"Gue sayang sama lo, tapi gue juga sayang sama dia. Dan lucunya, Gazza pun sayang sama orang yang sama," Marcell terkekeh dan mengelus perlahan ujung batu nisan itu. "Perasaan nggak harus terus dipaksa buat diungkapin kan?"
"Gue milih diem dan pergi, gue takut makin gue berharap dia nemenin gue, dia justru pergi kayak lo dulu."
"Pergi kadang lebih baik daripada bertahan dan nggak tau diri kan?"
"Gue masih bisa makan nasi, jadi nggak doyan makan temen." ucap Marcell dan kembali memejamkan mata.
"Jangan diem aja! gue sakit, temenin gue. Gue butuh pelukan lo."
"Gue kelihatan bodoh banget ya? maju mundur nggak jelas. Lo nggak ngerti! jagain perasaan tiga orang sekaligus itu nggak gampang."
Marcell menghembuskan nafas berat. "Gue salah apa sih sama tuhan? kenapa saat gue lagi bahagia dan nyaman, semuanya selalu sementara dan hilang gitu aja."
"Coba lo tanyain, apa yang harus gue perbaikin buat bikin semua yang gue pengen balik lagi? termasuk lo."
"Sendirian itu nggak enak Ta, mendem sesuatu itu nggak gampang. Cuma bisa lihat tanpa bisa ngelindungin, cuma bisa doain tanpa bisa milikin. Lo pikir mudah? susah!"
Dia mendengus kecut dan menatap nanar nama yang tertera disana. Marcell tersenyum, menyampaikan segalanya pada pemilik nama itu meski tanpa kata. Senyum itu mewakili segala hal yang ia rasa, sedih bahagia yang terdominasi dengan sakit dan luka. Dibawah gerimis hujan serta segala kenangan yang tak lagi dapat terelakkan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Gue kangen lo, Agatta."
😢 Selamat malam minggu kelabu. Semoga suka dan nggak baper dg ikutan sedih ya. Silahkan membaca dan bergalau ria. Udah tau kan sekarang siapa masa lalunya Marcell? yap, Agatta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top