#26 Bilang!

Bilang. Biar gue
nggak salah jalan.

-M

Gadis itu mengintip ke dalam kelas seseorang. Sepi, yang ada hanya beberapa siswa kutu buku yang selalu menghabiskan waktu istirahat untuk makan, makan materi. Mereka menoleh sekilas pada Lauren sebelum akhirnya kembali fokus kepada deretan kalimat yang membosankan. Gadis itu melangkah masuk mendekati gadis berkucir kuda dengan kacamata hitam berlensa tebal. Dia mengetuk bangku di depan buku novel yang dia baca dan membuat seseorang yang dimaksud mendongak.

"Marcell kemana?"

Gadis itu menggeleng sambil membenarkan gagang kacamata di hidungnya. "Dia nggak masuk."

"Lah, kok bisa?"

"Ada acara di perusahaan baru papanya." ucap gadis itu membuat Lauren memutar bola mata malas.
Kenapa dia tidak diberi tahu?

"Makasih ya."

Lauren melangkah keluar dari kelas Marcell dengan wajah lesu. Sejak kemarin malam, cowok itu belum sekalipun menghubunginya. Jangankan telfon, line aja nggak. Saku seragamnua bergetar, ia berhenti lalu merogoh benda pipih yang ada di dalam sana.

Baru juga diomongin, panjang banget umurnya.

"Halo? lo kok nggak ngasih..."

"Aku ada acara."

"Gue khawatir nyet!"

"Iya, maaf."

"Udah makan? capek ya?"

"Udah, nggak capek tapi bosen."

"Lain kali jangan ninggal tanpa kabar dong! gue kira lo udah dibawa Arsen ke planet lain."

"Ren?"

"Apa?"

Marcell menghembuskan nafas lelah dan terdiam sebentar. "Gue sayang sama lo. Boleh kalau kali ini gue egois?"

"Ha? gimana maksudnya?"

"Bloon!"

"Lo lebih!!"

"Jangan ada rasa sama orang lain selain gue, tolong. Gue nggak mau lagi kehilangan."

Lauren diam, ia mengernyit bingung dengan satu tangan memegang ponselnya yang sudah tidak lagi tersambung dengan Marcell di ujung sana. Dia memang murid dengan urutan sepuluh besar dari atas, tapi bukan berarti dia pintar dalam hal memahami perkataan. Apalagi dari orang semacam Marcell. Tak tertebak.

Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku seragam. Langkahnya berbalik dan berjalan melewati jalan setapak diantara rerumputan taman. Lebih cepat. Tapi namanya saja Lauren, entah dia terlalu ceroboh atau pikirannya sedang bercabang ke arah ucapan Marcell, gadis itu tersandung. Ia tersungkur sambil mengaduh kesakitan karena lutunya berdarah. Baru aja ditinggal penjaganya, udah luka lagi kan.

"Aduhhhh!! siapa sih yang naruh selang air disini?"

"Aduh pantat gue, eh salah, lutut gue maksudnya." Lauren menengok ke arah orang-orang yang lewat. Bukannya membantu mereka hanya mendekat dan melihat karena penasaran, emangnya dia sirkus?

"Bantuin kek, lo pada kalau lihat doang luka gue juga tetep kayak gini!"

"Susah emang kalau...eehhh ehhhh, Gazza? ngapain lo? turunin!!!"

"Diem bisa nggak sih?!" sentak Gazza membuat Lauren hanya diam pasrah saat digendong cowok itu menuju UKS.

Aroma mint menguar lancang di indra penciuman Lauren. Dia suka mint, tapi aroma maskulin Marcell lebih menenangkan dari segalanya. Gadis itu tidak berani mendongak dan bertabrakan dengan iris biru yang terkadang sangat beracun. Ia ingat pesan Marcell, kini hatinya milik seseorang dan itu tanggung jawabnya untuk menjaga.

"Berat banget!"

"Siapa suruh main gendong kayak jamu?" sewot Lauren sambil duduk di kursi UKS membuat Dr. Vania menoleh. Wanita itu mendekat, membungkuk sekilas sebelum akhirnya mendongak menatap Lauren.

"Tadi Meika, sekarang kamu. Kalian kenapa hobi banget sih diobatin."

"Meika sakit?" tanya Gazza membuat Lauren menutup kembali mulutnya yang juga ingin bertanya.

Dr. Vania mengangguk, ia berjalan ke arah tirai UKS bewarna hijau lalu menyibak benda itu hingga memperlihatkan seseorang yang sedang rebahan. Disana ada Meika, bahunya bergerak naik turun seiring dengan nafas teratur yang menandakan gadis itu sedang berkelana di alam mimpi.

"Punggungnya memar."

"Memar?"

"Saya awalnya lihat cuma di lengan waktu tadi ketemu di toilet. Waktu saya paksa obati, ternyata di punggungnya banyak banget luka memar. Dia ikut tawuran?"

Lauren menggeleng dengan alis mengerut. "Nggak pernah tuh buk, dia cuma sering ikut boxing sih, tapi masa iya gara-gara itu?"

Dr. Vania mengedikkan bahu dan bergerak mendekati Lauren untuk membersihkan luka gadis itu. "Kamu yang temennya aja nggak tau, apalagi saya."

Gazza tidak mengalihkan pandangannya pada sosok di atas brankar. Ia berjalan mendekat, lalu menggerakkan tangan untuk sedikit menaikkan lengan baju seragam yang dikenakan gadis itu. Benar, disana ada bekas kebiruan yang Gazza yakin terasa ngilu. Ia bergerak menatap Meika dengan alis mengerut bingung.

"Lo kenapa?"

"Bisa jalan kan?"

Gazza menoleh, kembali menatap seseorang yang masih enggan untuk keluar dari hatinya. Gadis itu mendongak ke arah Gazza setelah mengucapkan terimakasih pada Dr. Vania. "Meika gimana?"

"Memar memar, mungkin kemarin dia kalah boxing."

Lauren mengangguk, ia menyuruh Gazza untuk menemani gadis itu sebelum ia memutuskan untuk keluar dari sana. Perutnya sudah berbunyi dan memaksa untuk diisi secepat mungkin. Daripada cacingnya mati kelaparan, ia pun segera berjalan dengan sedikit pincang menuju kantin. Alamat kena marah lagi besok.

***

Lauren berdiri di depan pintu rumahnya yang terbuka, ia melihat mobil itu lagi. Langkahnya yang awalnya mulai berjalan kembali berhenti saat matanya menangkap sepasang sepatu bewarna hitam milik seseorang. Barusan ia mendengar suara dari dalam rumah. Dia yakin, laki-laki itu, papanya kembali datang.

"Kamu nggak akan ngerti!!! semua itu cuma salah paham!!"

"Mau salah paham atau nggak, aku akan tetap pergi dan menikah sebentar lagi!!"

"Terserah kamu mau nikah atau nggak, yang jelas jangan pernah ambil hak asuh Lauren!!"

"Kamu bukan ibu yang baik, Angel!"

"Terus kamu apa? ayah mana yang tega selingkuh dan nggak lagi menuhin kebutuhan anaknya!! aku banting tulang sendirian Lex, kamu pikir selama ini aku cuma bergaya di depan kamera!! nggak!!"

Laki-laki itu tertawa sinis. "Terus apa lagi yang kamu lakukan? bergaya juga diatas kasur suami orang?"

Plak

Baru kali ini Lauren melihat mamanya menangis dalam keadaan berantakan. Wanita itu kacau, ia menatap penuh kebencian ke arah seseorang di hadapannya. "Jangan pernah sebut aku hina kalau kamu nggak tau apa yang aku lakukan selama ini!"

"Cukup! wanita hina tetap menjadi hina di mataku."

"Kalau aku hina? kamu apa? bajingan? siapa wanita yang ada di kartu undangan kamu? sekretaris waktu itu, dia hamil kan?"

Plak

"Lauren pulang."

Kedua orang itu menoleh, Angel menunduk tak berani menatap Lauren. Perlahan gadis itu menurunkan tangan mamanya yang masih berada di pipi, tercetak rona merah disana. Bekas tamparan dari laki-laki yang bertanggung jawab atas semua ini.

"Papa kenapa nggak adil?" tanya Lauren tenang membuat laki-laki itu mengerutkan alis bingung. "Dulu papa nggak separah ini waktu nampar aku. Nggak impas dong, sekarang tambahin lagi disini." ucap Lauren menunjuk pipi kanannya dengan tatapan datar.

Laki-laki itu tak mengindahkam ucapan Lauren yang terlihat masih tenang. "Kamu akan tinggal sama keluarga baru papa."

"Dengan alasan?"

"Percuma kamu disini Lauren. Tinggal bersama wanita murah yang bahkan nggak pernah mau mengakui kamu sebagai anak di hadapan banyak orang."

Gadis itu meletakkan tasnya begitu saja di atas lantai. "Setidaknya Lauren masih bisa hidup sampai sekarang karena mama."

"Ikut papa, hari ini juga Lauren!"

Gadis itu mengerakkan tangannya menunjuk pisau yang ada di atas meja makan. "Daripada aku ikut papa, mending papa bunuh aja aku sekarang."

"Kamu berubah!"

"Siapa yang merubah? kalian! Tapi papa yang sukses bikin aku paling benci. Apa pantas orang yang melakukan sesuatu tidak pantas dengan orang lain di dalam rumah keluarganya, masih bisa dipercaya?"

Lauren menarik sudut bibirnya dengan alis terangkat. "Kata papa, mama selingkuh. Kenapa Lauren nggak pernah lihat? ada buktinya?"

"Cukup! sekarang segera ambil keperluan kamu Lauren."

"Pa!" bentak Lauren yang sudah muak dengan papanya yang selalu menghindar dari masalah. "Papa pikir Lauren betah tinggal dirumah orang asing?! rumah Lauren disini! Lauren akan tetap disini sama mama, sampai kapanpun!"

"Lauren." sergah mamanya memegang tangan gadis itu dengan sedikit bergetar.

"Lauren udah besar, aku udah bisa nentuin apa yang jadi keputusan aku! pintu keluar ada disana, silahkan pergi."

Laki-laki mengepalkan tangannya dengan kuat, ia menoleh pada Angel dan menarik tangan wanita itu membuat Lauren sedikit berjingkat kaget. Mamanya tersungkur jatuh di dekat sofa, sedangkan papanya masih menatap tajam mantan istrinya. See? kadang cinta memang bisa berubah jadi benci saat salah paham menjadi pihak ketiga.

"Puas kamu?!!!! Puas udah ngerebut semuanya?!!!!"

"PAPA!!!!"

"Diem, Lauren!"

"Apa yang udah aku rebut, Lex? Bukannya kamu yang selalu mutusin semuanya tanpa pernah dengerin penjelasan. Lauren anak aku, dia pantas milih aku. Apa lagi yang aku rebut? rumah? kita bangun ini sama-sama mulai dari nol! aku juga nggak lagi minta uang dari kamu! aku biarin kamu bahagia sementara aku sendirian disini ngurus Lauren. Dari sisi mana aku ngrebut mas?"

"Kamu ngrebut kebahagiaan aku, kepercayaan! semuanya!"

"KAMU JUGA UDAH AMBIL SEMUANYA, TERMASUK ADIK LAUREN YANG BAHKAN BELUM PUNYA KESEMPATAN LIHAT DUNIA! kamu nggak pernah mau dengerin penjelasan." ucap mamanya kembali meluruhkan air mata tanpa peduli lagi bagaimana respon Lauren. Gadis itu terkejut, ia punya adik?

"Itu bukan anak aku!"

"Itu anak kamu! tes DNA bahkan udah buktiin semuanya!"

"Jangan.."

"Papa cukup!!!!! Pergi dari sini!!!" teriak Lauren membuat Laki-laki itu mengeraskan rahang dan segera keluar dari kediaman yang dulunya jauh dari kata ribut. Rumah ini dulu harmonis, dulu.

Lauren mendekat ke arah mamanya, gadis itu meluruh dan memeluk wanita yang saat ini sedang balas memeluknya. Ia menangis, begitu juga mamanya. Satu fakta kembali terungkap dengan sendirinya, ini kejutan. Lagi-lagi kejutan yang menyakitkan.

"Mama beneran selingkuh?"

Wanita itu menggeleng pelan. "Mana mungkin mama selingkuh sama sepupu mama sendiri, Ren? fotografer itu sepupu mama, bukan orang lain."

Lauren terhenyak, fakta baru kembali ia ketahui. Ini hanya soal salah paham yang berujung pada masalah rumit. Ia mengelus punggung mamanya untuk pertama kali, melepas rasa rindu, penyesalan, dan sakit yang menganga berdua dengan wanita itu. Ibu yang tenyata tidak pernah melakukan apa-apa.

"Kenapa mama diem aja?"

"Mama bahkan nggak punya kesempatan untuk jelasin semua ke kalian. Maafin mama ya Ren, maaf selama ini nggak bisa jadi ibu yang baik."

Lauren mengangguk, memaafkan memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi setidaknya, ia sekarang tau secuil fakta yang selama ini menjadi beban. Mungkin, wanita itu masih enggan untuk membuka seluruhnya. Ponsel mamanya berdering, wanita itu bangkit diikuti Lauren yang juga sudah berjalan menuju kamarnya. Dan di hujan yang baru saja datang, matanya ikut menumpahkan kepedihan dan air mata.

Ponselnya bergetar, gadis itu menghembuskan nafas sekilas sebelum mengangkat telefon dari seseorang di seberang sana. "Halo?" ucapnya dengan suara parau yang masih terdengar jelas.

"Kenapa Za?"

"Gue otw rumah lo."

***

Motor sport merah itu melaju kencang membelah jalanan kota Jakarta yang lumayan senggang. Tadi ia berniat untuk mengantarkan baju olahraga Lauren yang tertinggal di kelas, Seva yang menemukan. Namun saat mendengar suara gadis itu di telefon, ia sepertinya tau bahwa seseorang di seberang sana sedang tidak baik-baik saja.

Deru mesinnya mulai memelan dan akhirnya berhenti tepat di depan sebuah pagar yang saat ini sedang terbuka lebar. Rumah itu sepi, seperti baru saja tidak terjadi apa-apa. Gazza mengacak sekilas rambut gelapnya sebelum mengetuk pintu rumah Lauren. Gadis itu keluar rumah dengan mata sembab. Gazza menatapnya datar, memandang penuh selidik sebelum akhirnya iris biru itu menangkap setetes air mata jatuh.

Refleks tangannya menarik Lauren masuk ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu menumpahkan seluruh resah dan sedih disana. Di pelukan seseorang yang hatinya pun sedang menjerit pilu. "Nangis sepuas lo."

Gazza mengusap perlahan punggung seorang gadis yang baru kali ini ia lihat rapuh. Selama ini tawa itu selalu muncul begitu saja, berperan sebagai pemimpin yang seolah menegaskan bahwa tuannya baik-baik saja. Semuanya topeng, benar dugaan Gazza, banyak topeng yang digunakan manusia untuk menutupi sesuatu. Termasuk luka. Ia ikut sakit saat melihat orang yang masih menempati ruang rasanya menangis pilu. Hingga ia sendiri tidak lagi mengingat ada orang lain yang ternyata butuh pundak.

"Gue nggak nyangka."

"Iya."

"Gue..guee..."

"Jangan ngomong dulu."

Gadis itu hanya bisa menangis sesenggukan, ia sedang kalut. Untuk menyimpan duka dengan tawa memang mudah, tapi saat mengetahui semuanya satu persatu, mengingat kembali bahwa ada orang lain yang berkorban karena kesalah pahaman orang tuanya membuat gadis itu menjerit sakit. Bahkan, sampai ia sendiri tidak sadar bahwa ada hati lain yang seharusnya dijaga dari sakit. Hati yang saat ini sedang melihat semua kejadian yang membuatnya tersenyum getir.

Langkah Marcell kembali berbalik ke mobilnya yang masih terparkir rapi di belakang motor merah milik Gazza. Cowok berambut pirang yang biasanya bertindak gila itu pun ikut diam saat tau apa yang baru saja Marcell lihat. Arsen menggigit bibir bawahnya panik saat Marcell hanya diam di balik kursi kemudi dengan mesin mobil yang sudah pergi tanpa menimbulkan suara.

"Cell, lo keduluan start ya?"

Hening, Arsen mengerucutkan bibirnya sebal sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Ia menoleh ke jok belakang, tepat pada tubuh Rian yang menggelepar lelah dengan diiringi suara dengkuran halus yang terdengar memuakkan bagi Arsen.

Gue sibuk nenangin bison, dia malah molor. Enak banget hidupnya.

"Padahal lo kalau naik motor tikungannya behhh, tajem. Gitu masih aja kena tikung."

"Hmm."

Arsen mengerutkan alis saat Marcell menepikan mobil di depan sebuah supermarket. Satu alasan lewat begitu saja di otaknya, membuat cowok itu seketika panik dan mengguncang badan Rian dengan lumayan keras.

"Aduh, mana dia nggak bangun bangun. Gimana nih? jangan jangan Marcell mau rampok supermarket buat lampiasin marah?"

"Parah parah, nanti yang ada dia masuk TV lagi. Gue kan jadi kalah tenar."

Arsen menghembuskan nafas lega saat melihat Marcell keluar dari supermarket dengan keadaan gedung yang masih utuh. Untung aja, bison galaknya tidak mengamuk di dalam sana, bisa gawat dia.

"Kalau gue dilaporin menteri kehewanan gara-gara melihara bison kan mampus, dipenjara cuy. Nggak bisa ketemu ayang Sepa gue dong."

Marcell masuk dan melempar kantung kresek ke arah Arsen. Cowok itu melirik ke dalam isinya sebelum mengernyitkan alis bingung. "Jangan jangan lo mauuu...kok beli tisu?"

"Diem!"

"Siap kang sayur."

Arsen mulai paham saat mobil Marcell kembali memasuki kawasan perumahan yang tadi. Benar saja, mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah besar dengan keadaan motor yang masih sama. Arsen menyerahkan kantung kresek itu pada Marcell saat dia akan keluar.

Marcell menghembuskan nafas sekilas dan berjalan pelan untuk sampai di dalam rumah seseorang. Kedua orang disana menoleh dengan ekspresi terkejut, terutama Gazza. Namun es tetaplah es, ekspresi itu tidak berlangsung lama dan sudah kembali datar lagi seperti semula.

"Marcell?"

"Maaf telat jemput."

"Lo katanya ada acara?"

"Tadinya belum selesai. Tapi telfon gue nggak lo angkat, gue khawatir. Tapi ternyata udah ada Gazza, syukur deh." ucapnya tersenyum sekilas dan menyerahkan kantung kresek tadi kepada Lauren.

"Itu tisu, lap air mata lo, jelek! nggak malu ingusan gini?" tanya Marcell mengelap jejak air mata Lauren yang
masih tersisa.

"Satunya es krim, biar mood lo balik."

Lauren mengangguk. Marcell melirik sekilas ke arah Gazza yang sibuk memainkan ponsel di kursi kayu teras rumah Lauren. Cowok itu kembali menatap gadis di hadapannya dan menarik tangan Lauren hingga menempel tepat di dada bidangnya. Ia menghembuskan nafas sekali lagi, mungkin terbuka akan lebih baik untuk terus bertahan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Jujur, gue cemburu."

"Tapi kalau lo nyaman, bilang aja, gue bisa mundur."


Hueheheeee... :" selamat membaca, semoga suka ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top