#25 Bagaimana?
Antara bertahan atau
mundur perlahan.
-M
Gemericik air beradu menjadi satu dengan pantulan sinar matahari yang mulai terang. Menyapa apa saja yang ia lihat tanpa peduli bahwa silaunya terkadang mengganggu kenyamanan. Dijam seperti ini, tepat di jalanan yang berada jauh di bawah sana, semua orang tau bahwa jalanan akan terlihat padat merayap. Suara teriakan pedagang kaki lima bersahut-sahutan dengan suara kernet angkot dan klakson kendaraan. Bising.
Belum lagi ini panas, udara kotor dari beberapa tempat industri, serta kesibukan sebagian besar orang yang bahkan banyak dimulai pada pukul yang sama. Ia menyambar handuk, meletakkannya di atas kepala saat sepasang baju telah melekat menutupi tubuh cowok itu. Kakinya melangkah keluar, menyebabkan harum sabun menguar begitu saja memenuhi kamar inap seseorang.
Gazza menurunkan ponsel yang tadi ia mainkan. Mengamati gerakan Marcell yang sedang mengusap rambut basahnya sambil berjalan ke arah balkon untuk membuka pintu.
Aroma maskulin yang sudah Gazza hafal mulai merambat masuk ke indra penciuman cowok itu. Membuatnya selalu merasa bersalah apabila kembali mengingat tentang perasaanya pada orang yang Marcell sayangi. Orang yang berhasil membuat sahabatnya itu kembali lagi.
"Awas kesambet!"
"Cell, gue mau pulang."
"Iya, nunggu Om Gilang."
"Lagian, gue nggak sakit."
"Gue juga heran," ucap Marcell memasukkan potongan apel yang baru saja ia kupas ke dalam mulutnya. "Padahal cuma gitu, dikasih obat merah selesai. Bokap lo sih, heboh nyuruh lo harus rawat inap."
"Dia pikir gue sakit jantung kali."
"Sakit jiwa."
"Itu Arsen."
"Sakit hati." ucap Marcell tersenyum dan menyodorkan semangkuk apel ke arah Gazza.
"Lo aja yang makan."
"Gue sengaja motong buat lo, ini tadi gue tes dulu, layak nggak."
Gazza mengangguk, ini yang membuatnya semakin merasa bersalah pada Marcell. Marcell terlalu baik dalam memperlakukan seseorang yang dianggapnya penting. Ia yakin, jika pun nanti Marcell tau tentang perasaan itu. Lagi-lagi, mungkin dia yang memilih untuk mencari jalan mundur secara perlahan. Dan Gazza tidak ingin hal itu terjadi.
"Gazza!!!!"
Mereka berdua menoleh, di ambang pintu terlihat seorang laki-laki dengan kemeja bewarna putih sedang berdiri disana dengan wajah khawatir. Ia mendekat lalu mengecek beberapa bagian tubuh Gazza sebelum akhirnya berhenti pada perut cowok itu yang masih diperban.
"Anak sape sih lo!!" ucapnya menekan perban Gazza membuat cowok itu meringis pelan dan langsung menepis tangan papanya.
"Sakit pah!"
"Siapa suruh sok-sok an berantem, lo pikir adegan di film-film itu bisa sembarangan ditiru. Udah dibilangin juga, "adegan ini hanya diperbolehkan untuk para ahli yang profesional", bisa baca nggak lo?"
"Iya iya pah."
"Iya iya, papa khawatir!"
"Gazza mah nggak usah dikhawatirin om." saut Marcell membuat Gilang menoleh dan menggeleng.
"Bukan dia, khawatir sama tabungan, makin nipis kan buat biaya pengobatan."
"Gitu amat sama anak."
"Anak sapa lo?!"
"Papa lah!"
"Gue nggak bisa lahiran!" sewot Gilang membuat Gazza memutar bola mata malas.
"Bibitnya kan dari papa."
"Iya juga sih, pantesan lo ganteng, bibit gue kan bibit unggul."
"Terserah om deh." Marcell menggeleng heran dan segera meraih ransel Gazza yang berisi bajunya dulu, sedangkan cowok itu masih mengenakan pakaian rumah sakit.
"Kelihatan bener lo pake baju beginian, Za. Papa beliin kayak gini aja ya, biar lo bener dikit."
"Benerin diri papa dulu."
"Udah paling bener kayak gini tuh. Lo belum tau papa jaman SMA dulu sih."
"Kayak Arsen."
"Hampir sih, ganteng papa tapi."
"Serah."
Marcell tersenyum, ia pun bergerak membantu Gazza untuk membawakan ponsel dan pengisi dayanya yang bewarna hitam. Ponsel Gazza bergetar, ada pesan masuk. Marcell tidak sengaja melirik dan tersenyum tipis saat fokusnya tidak pada pesan yang masuk, tapi wallpaper ponsel Gazza. Dia kenal foto siapa itu, meski yang dipajang hanya mata. Manik hijau keabuan yang selalu indah menurut Marcell, mata Lauren.
"Maafin gue Cell."
"Maaf kalau gue belum bisa move on dari pacar lo."
Ia menghembuskan nafas berat. Pengakuan Gazza secara tidak langsung tadi pagi begitu terdengar jelas dan menyakitkan. Ia sudah bangun, tapi enggan membuka mata. Dia tau Lauren mengecup sekilas pipinya sebelum pergi, sampai akhirnya pernyataan maaf itu muncul dan membuatnya semakin ragu untuk bangun.
"Heh anak orang! ayo!"
Marcell berkedip, ia membalas ajakan Gilang hanya dengan anggukan. Tangannya bergerak memasukkan ponsel tersebut pada tas milik Gazza dan segera melangkah menyusul kedua orang yang kadang Marcell ragukan sebagai sepasang ayah dan anak. Beda. Sangat.
"Ngapain tadi kamu berhenti? mau gebet suster muda?"
"Serah om."
"Terserah mulu kayak cewek, ribet lo ya urusannya."
"Hmm."
"Bisu lo berdua?!! diajak ngomong hmm, iya, nggak, serah. Capek lama-lama, mending ngomong sama aspal."
"Ya udah sana, Gazza nggak keberatan."
"Gue coret dari KK mampus lo ya!" ucap Gilang bercanda dan segera melajukan mobilnya untuk ikut bergabung di antara ratusan kendaraan yang menyebabkan kemacetan.
Sedangkan Marcell, raganya memang mengikuti Gilang. Tapi pikiran itu telah pergi lebih dulu untuk bergabung dengan rasa bingung dan khawatir. Bingung harus melakukan apa dan khawatir kehilangan dua orang beharga sekaligus. Lauren istimewa menurut Marcell, ia terlalu cantik bila hanya untuk mengobati luka luka Marcell yang begitu parah. Gazza pun sama, sahabat yang sudah dianggapnya adik sendiri itu pun selalu ada, baik disaat lukanya belum muncul, lukanya menganga parah, sampai lukanya mulai diplester dan diobati dengan rapih oleh seseorang yang baru.
Gue harus gimana?
***
H
ujan malam ini berbeda. Tanpa aba-aba mendung, ia turun begitu saja dengan tidak terlalu deras. Mengguyur segalanya di bawah sana tanpa permisi. Rintik airnya yang basah membuat suasana terlihat kacau. Begitu juga hatinya, mencintai orang yang sama dengan sahabat sendiri bahkan lebih bimbang daripada memilih salah satu dari dua orang dalam waktu yang sama.
Marcell menoleh pada Arsen dan Rian yang sedang bermain PS sambil sesekali berebut biskuit. Mereka ada di rumah Gazza malam ini, dua orang gila itu awalnya berniat ingin menjenguk. Tapi ternyata, ada kedok lain dibalik sikap pedulinya.
"Capek gue Sen."
"Yaelah masih gitu aja udah capek. Gimana nunggu doi peka? udah sekarat lo!"
"Daritadi lo curang mulu!"
"Syedih banget eke dibilang curang."
"Emang curang! siapa yang selalu gelitikin perut gue pake jempol kaki tiap gue mau nyerang?"
Arsen terdiam dan mengetukkan jarinya di dagu seolah sedang memikirkan jawaban geografi tentang rata-rata suhu yang tidak pernah ia bisa. "Siapa emang?"
"Lo berdiri deh sana di depan kaca! kalau lo lihat orang gila, itu orangnya." ucap Rian mendorong Arsen sambil menunjuk kaca besar yang ada di dekat aquarium.
Arsen bangkit, berjalan cepat ke arah kaca tersebut dan berdiri tepat di depannya. Dia berpose ala model majalah dan menyisir jambul pirangnya ke belakang.
"Behhh, siapa tuh, ganteng banget emang ciptaan tuhan satu ini."
Rian yang sedang mengamati cowok itu ingin sekali mengumpat dan muntah tepat di hadapan Arsen. Ia bangkit, lalu menimpuk kepala cowok itu dengan tutup kaleng biskuit yang terbuat dari plastik. Untung bukan kaleng besi.
"Tenang bayangan, orang ganteng sedunia juga bakal punya banyak haters," ucapnya menaik turunkan alis menatap pantulan diri di dalam cermin. "Ganteng bangett dahh, gini gini masih aja ditolak sama ayang Sepa."
"Ngomong sekali lagi, gue celupin muka lo ke kuah sop, Sen."
"Nggak percaya? tanya Marcell tuh, gue ganteng nggak?"
Marcell mengedikkan bahu dan bangkit untuk mengambil kunci motor. "Nggak."
"Gitu banget lo!"
"Bohong dosa." jawab Marcell melambaikan tangan membuat Rian tertawa terbahak-bahak di atas karpet.
"Kejem banget, kehilangan pacar mampus lo."
Marcell menarik sudut bibirnya dengan perasaan getir. Mungkin, ucapan Arsen akan menjadi kenyataan juga suatu saat nanti. Entah kapan dan bagaimana.
Laju motor Marcell yang awalnya menderu di jalanan sedikit memelan. Ia menggerakkan motor di jalur kiri sambil matanya sesekali melihat ke deretan toko yang menjual berbagai hal. Ada toko boneka dan coklat, tapi Marcell bukan orang seromantis itu.
Ada pula toko buku dan alat tulis, tapi Marcell merasa gadis itu tidak akan kenyang juga harus disuguhi buku terus-terusan. Lalu apa?
Bukan, Lauren tidak ulang tahun. Hari ini juga bukan hari jadi mereka, Marcell hanya ingin. Entah kenapa mood hancur justru sedang menyuruhnya untuk membelikan gadis itu sesuatu. Ia ingin bertemu Lauren, setidaknya hanya dia yang bisa membuatnya lupa tentang kekacauan yang ada di dalam sana. Sekalian saja, biar ada alasan untuk mampir ke rumah itu.
Laju motor hitamnya berhenti di depan sebuah toko penjual pernak pernik lucu dan unik. Matanya menelisik masuk menembus jendela kaca yang menampilkan deretan tas, buku, serta benda lainnya yang membuat toko ini menjadi pilihan Marcell. Setidaknya barang yang dijual disini sangat beragam.
Cowok itu masuk, mengacak pelan rambut coklatnya membuat dua wanita petugas toko sempat menahan nafas. Langkahnya berjalan menyusuri beberapa rak dengan mata yang bergerak kesana kemari mencari sesuatu yang menarik. Gantungan kunci, jangan digantung, nanti sakit. Sepatu, Marcell bahkan tidak tahu ukuran kaki Lauren. Lampu tidur, emang Lauren kalau tidur lampunya dimatiin?
Ia menghembuskan nafas pelan, sebelum akhirnya matanya menangkap sesuatu yang lucu. Sebuah favors bag bewarna coklat dengan isi yang tidak biasa. Alisnya mengernyit untuk berusaha mengingat sesuatu. Ia mengambil satu dan bergerak ke arah rak yang lain. Mengambil tiga kotak benda yang menurutnya juga penting lalu segera membawa keduanya ke meja kasir.
Selama ia menunggu, matanya tidak sengaja lagi menangkap sebuah kotak bewarna coklat. Ia membungkuk untuk melihat sebuah benda yang terletak di rak nomor dua paling bawah. Dia membaca sekilas untuk memastikan dan segera mengambil kotak tersebut sebelum ikut menyerahkannya pada petugas kasir.
"Semuanya dijadikan satu?"
Marcell mengangguk, membaca nominal di layar kasir dan menyerahkan beberapa lembar uang sebelum akhirnya mengangguk untuk pergi dari sana. Ia mengenakan helm dan segera melajukan kembali motornya untuk menuju ke rumah seseorang. Mesinnya berhenti, ia turun dan mengangguk sopan kepada satpam rumah Lauren yang sudah hafal dengan cowok itu.
Tangannya bergerak mengetuk pintu dengan lumayan keras, hingga pada akhirnya seseorang dengan rok bewarna hitam dan kaus polos terlihat muncul dari sana sambil masih membawa celemek. Mbak Santi, pembantu rumah Lauren yang usianya terbilang muda.
"Ehhhh mas ganteng, non Lauren ada diatas, masuk aja."
Marcell mengangguk, ia berjalan menaiki tangga dengan satu tangan menenteng paper bag tanpa berniat melepas jaket yang tadi ia genakan. Langkah Marcell berhenti, ia menoleh saat Mbak Santi baru saja memanggil namanya.
"Mas, diatas jangan khilaf yo."
"Iya." jawab Marcell sekenanya dan meneruskan langkah hingga sampai di depan pintu kamar Lauren.
Tok tok
"Masuk mbak."
Cowok itu tersenyum sekilas dan membuka pintu, nampak seorang gadis sedang duduk di meja belajarnya sambil bermain ponsel dengan posisi membelakangi Marcell. Gadis itu mendecih pelan dengan satu tangan sibuk mengetuk-ngetuk meja. Membiarkan buku dan tugasnya tergeletak begitu saja.
"Mbak, nyebelin tau! masak Marcell daritadi nggak bales chat aku."
"Maaf."
Tubuh Lauren menegang saat tangan seseorang yang baru saja ia ucap telah bertengger manis di rambut pirangnya. Ia menoleh dan semakin terkejut saat melihat Marcell sudah berdiri di samping tempat duduknya dengan tatapan hangat.
"Maaf ya nggak bales."
"Kok..kok lo bisa disini?"
"Bisa."
"Gimana caranya?" Marcell bersandar pada ujung meja sambil menggerakkan mata seolah berfikir. "Nggak tau."
"Ihhh, bisa nggak sih nggak usah ngagetin?!"
"Maaf, nih." Lauren mengerutkan alis bingung melihat paper bag yang disodorkan oleh Marcell. Ia menaikkan satu alisnya tanpa berniat untuk mengambil benda itu.
"Ini apa?"
"Buka dulu."
Lauren mengangguk, ia duduk kembali di kursi sambil sibuk membuka barang yang diberikan Marcell. Ada tiga barang yang tidak ia ketahui untuk apa. Ia mendongak, matanya bertabrakan dengan iris hijau milik Marcell yang saat ini sedang tersenyum. Astaga jantungnya mulai tidak normal lagi. Bagaimana dia bisa senyum semanis itu?
"Ini apa? buat?"
"Lo pernah bilang suka mawar kan, gue nggak tau gimana caranya beli bunga. Jadi gue beliin aja bibitnya."
"Bag ini isinya bibit? harus ditanem dong?" Marcell mengangguk sebagai jawaban. "Kalau pengen lihat sesuatu yang indah, lo harus berusaha juga."
"Maksudnya?"
"Kita bisa tinggal beli bunga, indah, selesai. Tapi lo nggak akan pernah tau gimana indah yang lainnya. Indah saat lo ngerawat dia, indah saat lo lihat dia muncul pertama kali dengan warna aslinya, dan segala hal indah yang lain."
Lauren tersenyum senang, ia beralih pada benda berbentuk kotak yang kedua. Ini seperti kotak plester? eh, nggak tau. "Kalau ini?"
"Itu plester, karena lo suka mawar, bunga yang indah tapi banyak durinya. Jadi, kalau lo luka, lo bisa pake dia. Apalagi kalau lo jatuh gara-gara lompat pager belakang sekolah."
Lauren terkekeh, pikiran Marcell tidak pernah seromantis orang lain, tapi ia selalu tau apa yang gadis itu butuhkan. "Kan ada lo."
"Gue belum jadi suami lo, nggak bisa setiap detik jagain."
"Ini lilin?" tanya Lauren menunjuk kotak terakhir dan membuat Marcell mengangguk. "Buat apa?"
"Nggak tau, bagus aja, suka?"
"Suka, ini lucu."
"Lilin ini baunya enak, bau kopi. Semoga dengan ini, lo nggak begadang dan minum kopi tiap malem demi liat film." Marcell mendengus kesal dan disambut dengan tawa oleh Lauren, tau aja.
"Iya komandan."
"Sorry nggak romantis, gue nggak tau caranya gimana." Lagi-lagi Lauren terkekeh dan membuat Marcell sempat terpaku pada tawa itu.
Semoga ia bisa segera mengambil keputusan, antara bertahan atau meninggalkan demi perasaan yang sedang bungkam. Tapi biarkan dulu waktu berjalan seperti ini, sebelum akhirnya ia tidak bisa lagi melihat dan membuat orang yang ia cintai tersenyum seperti tadi.
"Malem-malem gerimis cuma buat nganter ini?"
Pertanyaan Lauren menyeretnya kembali ke dunia nyata. Ia menggeleng, lalu sedikit membungkuk untuk mensejajarkan posisi wajah mereka. "Bukan."
"Terus?"
"Buat mastiin hati gue baik-baik aja." Marcell menggerakkan tangan dan mengelus pipi Lauren yang sudah bersemu merah. Ia tersenyum sekilas dan kembali meneruskan ucapan yang membuat Lauren ingin segera hilang dari muka bumi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Sekarang gue udah tau, hati gue ternyata baik-baik aja, sama kayak masa depan yang selalu gue doain, dia juga lagi baik."
Semoga.
Semoga ini bukan yang terakhir.
"Lo harus bahagia, walaupun nggak ada gue."
Ini yang dikasih Marcell ke Lauren.
(-kotak plester) <= nggak boleh ngiklan.
Selamat membacaaa.. Jangan lupa like dan komennya ❤ maafin typo yang bertebaran, hehe.
Bertahan atau melepas nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top