#19 Senyum
Sampai aku tersadar,
senyummu adalah sang pembagi rasa itu.
-L
"Ma..maksud lo apa?"
Marcell menjauhkan wajah tanpa melepaskan tatapan dari Lauren. Gadis itu mengalihkan pandangan keluar wahana dengan pipi merona. Jantungnya benar-benar sedang tidak sehat. Bagaimana bisa dia berdetak secepat ini? astaga. Penyakitnya mungkin sudah parah dan harus segera diperiksakan.
"Jangan ngelihatin gue gitu!!" sentak Lauren membuat Marcell semakin menatap lurus ke arah gadis itu.
"Makasih, Ren."
"Buat?"
"Udah bikin gue yakin."
"Yakin? yakin apa?"
Marcell menoleh dan memiringkan kepalanya dengan wajah datar. Lauren yang ditatap seperti itu lagi refleks menutup wajah dengan jantung yang kembali berdetak cepat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan mata hijau yang selalu membuatnya sebal itu justru bisa mengubah kecepatan kerja jantungnya.
Jangan baper lagi, Ren.
"Lo ngapain?"
"Aaaaa, mata ijo!!! lo ngapain!!!"
Lauren berteriak dan refleks menampar pipi Marcell saat mendapati wajah cowok itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Awalnya dia tidak ingin menurunkan tangan dari wajah, tapi karena kulit tangannya merasakan hembusan nafas, alhasil ia mencoba melihat dan ternyata benar. Marcell memajukan wajah dengan satu alis terangkat.
"Awwh."
"Eh, maaf mata ijo, lo sih! nyebelin banget, ngapain deket deket!"
"Nggak usah nampar!"
"Lo nyebelin!"
"Tapi ganteng."
"Nggak!!! PD amat."
"Ck, lo juga bentar lagi naksir."
"Pengen mutah!!!" ucap Lauren melemparkan plastik kembang gulanya ke arah wajah Marcell dengan pandangan sebal.
"Ayo turun."
Gadis itu mengangguk, ia mengikuti langkah Marcell keluar dari sana dan sedikit terhuyung saat ada wanita berbadan gemuk memaksa masuk. Hampir saja ia tersungkur, tangannya ditarik oleh seseorang hingga menabrak dada bidang yang dibalut kaus abu-abu di hadapannya.
"Buk, hati-hati ya." ucap Marcell lembut membuat wanita tadi tersenyum mengangguk. Ia menunduk melihat Lauren yang masih saja diam dengan mulut terbuka tidak percaya.
"Lain kali hati-hati."
Gadis itu segera menjauh saat kesadarannya telah kembali. Ia berdehem sebentar kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sudah cukup, hari ini benar-benar melelahkan.
"Mau pulang atau makan?"
"Pulang aja deh yuk."
"Nggak mau makan?"
"Tadi Mbak Santi masak." ucap Lauren membuat Marcell mengangguk dan segera menyusul langkah gadis itu menuju parkiran.
Belum sampai parkiran, langkah cowok pemilik bola mata hijau itu tiba-tiba berhenti. Ia melihat kios yang menjual pernak pernik lucu. Dulu, gadis itu pernah mengajaknya ke pasar malam hanya untuk membeli sesuatu yang ia senangi disini. Dan mungkin, sekarang ia juga mengizinkan bahwa Marcell meniru hal itu untuk memberikan sesuatu kepada gadis lain. Lauren.
"Heh Kumar, ngapain malah masih disini."
"Nggak, ayo pulang." ajak Marcell setelah memasukkan benda yang baru saja di bayarnya ke dalam saku jaket.
Baru saja mereka keluar dari jalanan pasar malam, hujan tiba-tiba kembali datang tanpa mengucap salam. Jalanan basah, angin mulai berhembus semakin cepat seiring dengan ribuan air yang makin lama makin rapat. Motor hitam milik Marcell akhirnya ikut menepi seperti pengendara yang lain, di sebuah teras toko tutup itulah mereka duduk. Mengibas ngibaskan pakaian yang lumayan basah namun bisa membuat Lauren tersenyum senang.
"Malah ketawa!"
"Enak tau, lain kali lo harus nyobain hujan-hujanan bareng gue deh, pasti seru!"
Kalimat itu, ia terdiam dengan pandangan menunduk menatap tetes air yang menghilang saat bertabrakan dengan tanah. Terlalu mudah, air itu bahkan tanpa pikir panjang rela jatuh dan menghilang tanpa pernah diingat. Hanya sekilas dinikmati namun kembali diabaikan saat telah pergi. Bahkan ia yakin, banyak orang yang saat ini sedang tidak mengharapkan air itu jatuh dan berdoa agar hujan segera berhenti. Miris. Ia sudah terlanjur rela jatuh, namun justru dibenci dan diharapkan pergi.
Marcell menoleh, matanya bergerak menelisik seorang gadis yang sedang menengadahkan tangannya menampung air hujan. Senyum itu belum pudar, sorot mata yang sedang berbinar itu bergerak sekilas kearahnya sebelum kembali mendongak menatap langit gelap.
"Jangan main air."
"Susah emang kalau orang benci hujan, lo kenapa sih benci hujan? risih karena basah?" tanya Lauren menumpahkan air yang ada di tangannya.
"Hujan bikin gue inget seseorang."
Gadis itu tertarik, ia menoleh ke arah Marcell sambil menggosokkan kedua tangannya mencari kehangatan. Melihat itu, pemilik bola mata hijau yang melihat Lauren bergerak melepas jaket dan mengenakannya pada gadis itu.
"Lo gimana?"
"Gue nggak papa."
"Lo pengen tau supaya lo nggak dingin?" tanya Lauren sambil terkekeh geli membuat Marcell hanya menggeleng dengan alis mengerut.
"Jangan deng, nanti lo baper. Eh btw, inget sama seseorang, siapa?"
Marcell diam, ia kembali mendongakkan kepala menatap bulir air yang jatuh dari atap dan membentuk gumpalan lebih besar daripada rintik yang terjun bebas ke jalanan. Lagi lagi ia menghembuskan nafas berat dan menggeleng samar seolah ia belum mampu menyebut kembali nama itu.
"Oke oke, sorry ya jadi ngingetin lo."
"Iya."
"Lihat deh, banyak orang yang nepi dan takut kena hujan, menurut lo apa alasan yang buat mereka takut?"
"Basah."
"Bukan, mereka takut karena hujan datengnya kroyokan," jawab Lauren terkekeh dan menoleh lagi ke arah Marcell yang masih tetap datar. "Terus karena hujan itu datengnya berkali-kali. Sama kayak lo, lo takut buat jatuh ke masa depan karena itu, rasa khawatir kalau masa lalu bakal kembali keulang ulang sama kayak dulu."
"Lo nepi gini berarti karena takut?" tanya Marcell mengalihkan pembicaraan dan membuat Lauren menggeleng.
"Bukan, gue justru iri. Lo lihat deh mereka," tunjuk Lauren pada percikan air di tanah. "Rela jatuh, hilang, dan dilupain berkali-kali cuman karena mereka pengen kehadirannya bisa membuat banyak orang bahagia."
"Lo bayangin, seandainya Jakarta nggak ada hujan, kita nggak bakal bisa mandi dan make air sepuasnya. Tapi ya gitu, banyak banget orang yang justru benci sama mereka."
Marcell tau ada rindu di matanya, ada sendu tersirat disetiap ucapan dan gerakan yang mungkin tidak pernah disadari banyak orang. Lukanya lebih besar, bebannya lebih berat, lalu kenapa Marcell justru tidak bisa menjadi sekuat gadis disampingnya? padahal ia hanya kehilangan satu orang yang ia sayang, tapi gadis itu telah kehilangan banyak orang dan hidup tanpa pengakuan dari orang yang disayanginya. Persis seperti hujan. Pergi atau tidak, mungkin tidak pernah berarti apa-apa.
"Gue rasa, kita sama-sama kehilangan orang yang kita sayang, Cell. Mmm, boleh gue tanya, dia udah pergi?" tanya Lauren hati-hati dan berhasil membuat Marcell mengangguk.
"Gue lebih beruntung dari lo deh." ucapan gadis itu sukses membuat Marcell menoleh dan mengerutkan alis bingung.
"Walaupun gue kehilangan orang tua gue, setidaknya gue masih bisa lihat mereka. Beda sama lo, kalau dia emang udah pergi, yang lo lakuin cuma bisa inget dan selalu doain dia."
"Lo harus relain dia pergi, Cell. Dia juga pengen lihat lo bahagia dan nerusin hidup. Lagian lo juga masih punya orang tua yang sayang sama lo, temen, dan orang-orang yang nggak bakal ninggalin lo sendirian."
"Lo mau jadi salah satu orang itu?" tanya Marcell tulus dan berhasil membuat Lauren bungkam dengan mata tidak berkedip.
"Woy ati-ati, airnya muncrat tau!!!"
Marcell menoleh mendengar teriakan dari beberapa orang yang berjarak lumayan jauh dari tempat mereka duduk. Reflek ia berdiri dan menutupi tubuh Lauren dengan badannya saat sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju kencang hingga membuat genangan air hujan di pinggir jalan menyembur ke arah mereka.
"Lo nggak basah kan?" tanya Marcell membuat Lauren membuka mata dan bergerak memukul perut cowok itu dengan sebal.
"Udah tau lo sendiri basah kuyup kenapa masih nanyain gue?!!!!"
"Ayo pulang, udah reda."
"Marcell nyebelin!!!" ucap Lauren menghentakkan kakinya ke tanah sebelum menaiki motor hitam itu dengan perasaab dongkol.
Gue nggak mau lo kenapa-napa.
Gue yang harusnya khawatir lo kenapa-napa, Cell.
***
Gadis itu kembali menghembuskan nafasnya pasrah saat pagi ini harus kembali bertatapan dengan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Ia memutar bola mata malas dan segera melangkahkan kaki dengan gontai ke warung belakang sekolah. Setidaknya ia butuh mengisi perut sebelum berlarian dikejar guru BP, atau bahkan parahnya ia harus kena hukuman.
"Nadia!"
Gadis berambut ombre pirang itu menoleh dengan mulut yang masih sibuk mengunyah nasi kuning. Tangannya bergerak melambai dan menepuk bangku di sebelahnya untuk menyuruh Lauren duduk. Gadis itu bergeser dan tersenyum lebar kepada Lauren yang baru saja memesan sarapan pada pemilik warung.
"Untung ada temen, gue kira gue telat sendirian lagi."
"Seva sama Meika udah masuk?"
"Seva dianter kakaknya, jadi nggak bisa telat. Kalau Meika, emmm sorry ya Ren. Dia tadi dianter Gazza." jawab Nadia lirih dan mengelus perlahan lengan gadis itu.
Lauren tertawa, membuat Nadia mengerutkan alis dan spontan memukul lengan gadis berambut pirang yang sudah menjadi sahabatnya sejak masa orientasi. Tanpa memperdulikan Lauren, ia kembali berkutat pada nasi kuning yang tadi rela ditinggalkannya demi menjelaskan hal yang sensitif, eh taunya malah diketawain.
"Ngapain lo ngomong sorry?"
"Ya lo kan deket sama Gazza, nyebelin banget sih lo!! nggak usah ketawa!!"
"Iya iya," ucap Lauren mengusap air di sudut matanya akibat tertawa tadi. "Lagian gue nggak suka sama Gazza."
"Eh?"
"Muka lo! iya gue nggak suka sama Gazza."
"Gara-gara lo belum move on dari mantan gebetan orientasi lo itu?" tanya Nadia membuat Lauren mengangguk dan menoleh saat Bi Indun mengantarkan sepiring nasi goreng telur.
"Mantan gebetan apa toh?"
"Dia dulu waktu orientasi suka sama orang, Bi. Tapi nggak mau bilang sampek sekarang."
"Siapa Ren?"
"Rahasia lah." ucap gadis itu dan segera melanjutkan makan sebelum memanjat pagar.
Kedua gadis itu berjalan santai di koridor menuju kelas mereka. Pelajaran memang sedang berlangsung, maka dari itu wajar apabila sekolah saat ini terasa sunyi seperti tak berpenghuni. Langkah kedua pasang kaki itu pun terus berjalan dan berbelok menuju koridor kelas IPS. Belum sampai dua langkah mereka meneruskan jalan, kedua orang itu telah berhenti mendadak dan segera berbalik saat diujung lorong menemukan Bu Mia sedang memarahi seorang murid cowok dengan rambut gondrong.
"Mampus mampus, kita ngumpet dimana, Ren?" tanya Nadia berjalan cepat naik ke lantai dua dengan Lauren yang ikut panik di sampingnya.
"Gimana nih?"
"Perpus!" ucap mereka serentak dan segera berbalik untuk menuruni tangga bermaksud akan pergi ke perpustakaan.
"Ini jam berapa?!!"
Langkah cepat itu berhenti saat sebuah suara tegas berhasil mengintrupsi gerakan mereka. Lauren berbalik, diikuti Nadia yang juga menoleh sambil cengengesan dan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Eh, ketahuan, padahal saya mau ngajak ibu main petak umpet."
"Udah tau salah, mau kabur, eh malah cengengesan."
"Ya udah iya, mau dihukum apa nih buk?"
"Berdiri di depan tiang bendera sampai jam istirahat!"
"Buset, tiang bendera lagi masa. Lama-lama tiangnya bisa ninggalin saya karena udah bosen buk."
"Kalau tiangnya udah nyaman, nggak mungkin dia ninggalin meski udah bosen."
"Kok ibuk baper?" tanya Nadia membuat Bu Mia terdiam dan segera mengacungkan penggaris ke arah mereka berdua. Alhasil kedua gadis itu langsung berlari tanpa berniat membuat guru gemuk itu semakin marah.
Disini mereka berdiri sekarang, tepat di depan tiang bendera lapangan utama. Terkadang siswa yang bisa melihat mereka dari jendela pun telah sangat terbiasa dengan pemandangan ini. Lagi-lagi diantara keempat gadis cantik itu selalu berbuat onar dan berdiri tegak di lapangan tanpa rasa malu. Walau cantik, mereka kebanyakan enggan untuk mendekati keempat orang itu karena kejailan, keonaran, dan segala hal yang berbau menyebalkan. Buruk.
"Mulai panas, Ren."
"Bayangan kita mulai ada tuh. Nyebelin banget sih, seharusnya kita tuh udah tidur di perpus, di bawah AC. Ehhh malah kebalikannya."
"Rambut gue padahal baru keluar dari salon." ucap Nadia memberenggut kesal dan duduk pasrah disana.
"NADIA BERDIRI!"
"Ck, tau ae," ucap Nadia membersihkan rok dan melirik ke arah seorang wanita yang sedang duduk di pinggir lapangan mengawasi. "IYA BUK IYA, SAYA DENGER, NGGAK USAH TERIAK!"
"Lah, lo juga teriak."
"Biarin, biar kupingnya nggak ketutupan rambut lagi, sebel gue." jawab Nadia dongkol dan melirik ke arah seseorang yang saat ini sedang berjalan ke arah mereka.
"Ren, Ren, lihat tuh! diapelin pangeran lo."
Lauren menoleh dan tersenyum sekilas saat melihat Marcell datang dengan wajah datar seperti biasa. Cowok itu mendekat, melepas kemejanya sebelum menyampirkan benda itu ke kepala Lauren. Bau parfum khas Marcell pun langsung menguar di indra penciuman gadis yang saat ini sedang mematung. Ia mendongak lalu semakin mematung saat sebuah tangan menepuk sekilas puncak kepalanya.
"Belajar bangun pagi."
"I..iya."
"Suka banget dihukum."
"Sebenernya gue nggak suka, tapi ya emang takdirnya gini. Terlanjur nyaman juga, susah tau keluar dari zona nyaman."
"Ck, zona nyamannya dihukum ya cuma lo doang Ren."
"Ngaca woi!" ucapnya pada Nadia lalu kembali menoleh ke arah Marcell yang masih diam. Cowok itu membungkuk lalu mendekatkan wajahnya hingga posisi wajah mereka sejajar dengan jarak dekat.
"Keluar aja, gue lebih nyaman dari zona nyaman lo."
"Uhuk! gue keselek tiang bendera." saut Nadia berpura-pura terbatuk dan memegangi dadanya.
"Nih, dari Rian." ucap Marcell melemparkan jaket biru navy milik Rian ke arah Nadia.
"Rian?" tanya Lauren membuat Marcell mengangguk dan menoleh lagi ke arah Nadia yang masih terdiam.
"Katanya suruh peka."
"MARCELLL OON!!!!!" teriak seseorang dari balkon lantai dua membuat Arsen yang berdiri disebelahnya tertawa terpingkal-pingkal.
Marcell mendongak dan mengedikkan bahu tidak peduli. Dengan wajah datar, ia menatap kembali Lauren sebelum memutuskan untuk kembali ke kelas. Namun belum juga melangkah, lengannya sudah ditahan oleh seseorang membuat Marcell reflek berhenti.
"Makasih mata ijo."
"Hmm."
"MARCELL, KAMU LAGI SHOOTING FTV?!" teriak Bu Mia membuat Marcell menoleh dan menggeleng pelan. Ia kembali melihat Lauren dan mengusap puncak kepala gadis itu sebelum mengatakan sesuatu.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Kalau lo udah nyaman, bilang aja, biar gue bisa nembak."
"Ha?"
"Gue suka sama lo."
"Bercanda lo nggak lucu!"
"Gue tunggu sampai lo anggep ini bukan bercanda lagi." ucap Marcell tersenyum sekilas dan segera berbalik pergi dari situ.
Senyum Marcell untuk yang pertama kali, meski sedetik.
"Uhukkkk!!! harap pahami jomblo yang disini. Mentang-mentang gue udah berdiri sama tiang, lo pikir gue mau jadian gitu sama dia. Cungkring, tinggi banget, pendiem lagi."
.
.
.
.
.
Senyum itu
Senyum Marcell
Senyum sekilasnya.
Senyum yang mampu membuat jantungnya bahkan sudah tidak berdetak dengan benar.
Ini terlalu cepat.
Maafin typo ya. Semoga suka. Oh ya lupa, happy new year semuanya 😇
2018 ini semoga kita bisa lebih baik dari sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top