#18 Impian
Mulai sekarang, duduklah bersamaku dengan impian. Biar kuceritakan segala hal yang kau mau kecuali perpisahan.
-M
"Dulu gue kira gitu, ternyata nggak."
Bugg
Marcell yang saat itu sedang emosi tidak lagi menoleransi Gazza kali ini. Tinjuannya langsung melayang hingga membuat cowok dingin itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Seva, ia sudah berteriak dan berusaha untuk mendorong Marcell menjauhi Gazza. Bukannya balas meninju, Gazza justru mendengus geli sambil mengamati sahabatnya yang saat ini sedang mengepalkan tangan dengan rahang mengeras.
"Lo sayang dia kan?" tanya Gazza membuat Marcell terdiam dengan pandangan lurus ke arahnya.
"Nggak."
"Lo sayang sama dia."
"Dia sayang sama lo!" sentak Marcell menelisik jauh di dalam kedua manik mata Gazza dan sedikit terhenyak saat ia memang tidak menemukan Lauren di dalam sana.
"Satu kelemahan gue Cell, gue nggak bisa baca mata lo."
"Sama, gue juga bingung, sebenernya siapa yang lo suka sih? lo nggak pernah kebaca, mata lo kayak ada apanya gitu Cell." saut Seva yang saat ini ikut menengahi kedua sahabat cowoknya itu.
"Jangan ubah topik!"
"Sorry."
"Lo brengsek, Za." ucap Marcell mendekati Gazza tanpa mendengarkan Seva yang sudah panik.
"Kalau lo sayang, kenapa lo pilih dia?!"
"Gue bingung!!"
"Gue udah bilang kalau nggak yakin nggak usah milih!!"
"Sorry."
"Kenapa lo nggak sayang dia?" tanya Marcell yang saat ini sudah menarik kerah Gazza dengan pandangan tajam.
"Gue sayang sama Meika."
Bug
"Kalau dia udah sayang lo gimana?!"
"Gue nggak tau."
Bug
"MARCELL STOP!!!!" teriak Seva lagi dan menarik narik baju cowok itu agar menghentikan aksinya, apalagi saat melihat hidung Gazza mulai mengeluarkan cairan merah.
"Lo suka sama dia?" tanya Gazza mengusap kasar darah itu sebelum mendorong dada Marcell untuk membawanya kembali ke teras samping.
Mereka duduk bertiga di sana sambil menikmati bau harum tanah basah yang menenangkan. Gazza menoleh ke arah cowok di sampingnya dengan satu alis terangkat. Rasa nyeri itu masih terasa sampai sekarang. Tapi entah kenapa ada perasaan lega saat melihat Marcell mulai kembali menyentuhnya meski harus dengan cara memukul.
"Lo suka kan sama dia?"
"Lo udah pilih dia, Za. Lo nggak boleh berhenti gitu aja." ucap Marcell berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Cell, kalau dia paksa perasaan buat suka sama Lauren itu justru bikin Lauren sakit hati. Gini deh Za, selama lo deket sama dia, gimana perasaan lo?"
"Biasa aja, gue kayak lagi jagain A.."
"Stop!"
"Okay Za, jangan ungkit dia lagi di obrolan kita." imbuh Seva saat melihat Marcell semakin mengeraskan rahangnya.
Nama itu.
"Tanya diri lo dulu, Cell!"
"Za."
"Cell! gue bisa cari kebahagiaan gue sendiri, sekarang pikirin kebahagiaan lo! gue mau tidur." ucap Gazza bangkit dan masuk ke dalam kamar tamu.
"Buset!! dia ngomong panjang, udah tambah kosakata tuh anak Cell."
"Dia juga pernah kayak gitu sebelum ini." ucap Marcell datar dan membuat Seva mengerutkan alis.
"Kapan?"
"Waktu Meika pingsan."
Seva terdiam, benar dugaannya. Bahagia Gazza bukan ada di Lauren, tapi sahabatnya Lauren, Meika. Apakah belum telat jika cowok itu banting stir untuk balik arah? takutnya, Lauren sudah terlanjur memutuskan untuk belajar membuka hati pada cowok itu. Itu yang Seva takutkan selama ini.
"Waktu itu dia panik, ngomong panjang, dan khawatir."
"Sekarang lo udah tau kan berarti?"
"Tau apa?" tanya Marcell dengan tampang polos membuat Seva menepuk dahinya pelan.
"Modal kayak gini yang bakal nerusin perusahaan Om Devan? yang ada gedung kantor bokap lo miring miring semua, Cell."
"Mulut!"
"Ya abis lo sih, kalau Gazza kayak gitu, berarti artinya dia bahagianya sama Meika, bukan Lauren."
"Belum tentu."
"Ngeyel banget!! lo inget nggak waktu Kak Caca hampir ketabrak dulu? dia kan juga panik banget, padahal model modelnya tuh anak kan dingin dingin kayak es teh tapi jaim gitu."
Marcell terdiam, ia mengingat kejadian sekitar 2 tahun yang lalu saat Caca hampir saja ketabrak dan membuat Danel serta Gazza berubah gila. Ia menghembuskan nafas berat sebelum mengusap wajahnya yang sejak tadi sudah tegang. Dilihatnya buku jari tangan kanannya yang berdarah, ia telah menyentuh dan melukai Gazza diwaktu yang bersamaan.
"Sekarang gue yang mohon sama lo, tolong jagain Lauren, gue udah anggep dia saudara. Jadi kalau lo emang sayang, kejar dan buat dia bahagia." ucap Seva tersenyum dan menepuk sekilas pundak Marcell sebelum berjalan masuk ke ruang TV.
***
Sekali lagi Lauren melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Ia sangat yakin bahwa tadi sore Gazza mengirim pesan bahwa akan menjemputnya pukul tujuh. Tapi kenapa sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa cowok berbola mata biru itu akan ke rumahnya?
Mendengar suara klakson motor, gadis itu langsung beranjak dan tersenyum lebar. Ia melihat wajahnya sekilas di depan cermin sebelum akhirnya memutuskan untuk turun dan keluar rumah. Senyum itu pudar, seseorang yang tadinya dia harapkan datang justru berganti dengan sosok yang selalu membuatnya sial. Marcell yang datang, bukan Gazza.
"Marcell?"
"Gazza ada urusan mendadak, lo jadi keluar nggak?
Gadis itu menghembuskan nafas kecewa dan mengangguk setuju dengan tawaran cowok berbola mata hijau di hadapannya. Lagian dia juga bosan dirumah sendirian, tadi Mbak Santi sedang izin menjenguk saudaranya yang sakit dan akan pulang sekitar jam sepuluh malam nanti. Daripada merenung sendirian di kamar, mending dia ikut cowok ini kan?
Marcell turun dari motor dan melepas jaket yang tadi dia kenakan. Ia terdiam sebentar membalas tatapan Lauren lalu menyampirkan benda itu ke pundak gadis di hadapannya. Malam ini udara lumayan dingin, apalagi jika gadis itu hanya mengenakan kaus denim tipis yang Marcell tau pasti akan bisa membuatnya masuk angin jika dibiarkan begitu saja.
"Jakarta juga bisa dingin."
Cowok itu segera memakai helm dan menaiki motor. Jangan salah paham, Marcell hanya bermaksud baik untuk tidak mengecewakan siapapun. Ia hanya tidak mau Gazza dibenci oleh orang yang dia sayang. Ralat, maksudnya orang yang Gazza sayang. Jangan terlalu dipikir, barusan hanya semacam typo di dalam pikiran Marcell, tenang saja. Jangan diungkit!!!!
"Cell, kita mau kemana?"
"Rahasia, kepo?" tanya Marcell melirik kaca spion yang menampilkan wajah Lauren yang sedang tersenyum sambil mengangguk.
"Kalau lo bawa gue ke mall, gue tonjok lo ntar."
"Nggak, lo pasti suka."
"Oke, sampek gue nggak suka, lo harus traktir gue malem ini, janji?" tanya Lauren mengarahkan jari kelingking di depan wajah Marcell yang sebagian tertutup helm.
"Gue lagi nyetir."
"Janji dulu," sergah Lauren membuat cowok itu akhirnya menoleh dan mengangguk tegas. "gue janji."
Disini mereka sekarang, di sebuah tempat yang seketika membuat mata Lauren berbinar senang. Pasar malam, ia sudah lama tidak ke tempat ini semenjak papanya pergi. Sekitar 3 tahun yang lalu mungkin, dan setelah itu dia tidak pernah lagi ke tempat seperti ini. Tepatnya, tidak pernah ada yang berniat mengajaknya. Baru malam ini, untuk yang pertama kali ada seseorang setelah papanya yang membuatnya kembali merasakan bagaimana pergi ke pasar malam untuk bersenang-senang.
"Ayo." Ajak Marcell membuat gadis itu mengangguk dan berjalan mendahului cowok berbola mata hijau yang saat ini sedang memasukkan kedua tangannya di saku celana.
"Mata ijo, lo.."
"Nama gue Marcell."
"Oke Marcell, lo lelet banget sih kayak siput lansia. Jangan jalan di belakang dong. Temenin gue disini, masa iya gue berdua sama lo tapi kayak datang kesini sendirian?"
Ia terdiam, baru kali ini ada seseorang yang protes terhadap posisinya berjalan. Bahkan selama ini, mamanya, Kak Caca, atau siapapun itu tidak pernah sadar akan posisinya yang sengaja berjalan di belakang. Dan malam ini, ada orang lain yang bukan siapa-siapanya menyadari hal itu dan justru menyuruhnya untuk berubah dari posisi ternyaman yang ia bentuk sendiri.
"Suatu saat kalau lo punya cewek, jangan kayak gitu lagi ya. Lo mungkin punya alasan sendiri, tapi lo juga harus tau kalau cewek lebih suka didampingi daripada dituntun."
"Hmm?"
"Iya, gue juga gitu, gue lebih suka dilindungin daripada dijaga, karena gue bukan peliharaan." ucap Lauren tersenyum dan melepaskan jaketnya untuk ia pakaikan lagi ke arah Marcell.
"Gue gerah, terus kalau gini kan gue bisa sentuh lo."
Marcell tertegun, ia perlahan melirik ke arah pergelangan tangannya yang ditarik oleh Lauren menuju ke arah penjual kembang gula. Cowok itu masih terdiam kaku, kulit tangan yang berada di balik lengan jaketnya terasa mati rasa saat ini. Setelah sadar, ia berhenti berjalan membuat Lauren menoleh dengan alis terangkat.
"Lepasin gue Ren, gue nggak mau lo kenapa-kenapa."
Sekarang gadis itu yang dibuat tertegun dengan nada bicara Marcell yang berubah lembut. Setelah terdiam cukup lama, ia akhirnya mengangguk dan melepaskan pegangan tangannya secara perlahan. Lauren paham, ada sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan oleh seseorang bermata hijau di hadapannya.
"Gue mau itu, ayo."
Cowok itu mengangguk dan mengikuti langkah riang Lauren yang sedang menuju penjual kembang gula yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Gadis itu memesan satu dan menoleh ke arah Marcell setelah selesai membayar pesanannya.
"Lo mau?" tawar gadis itu membuat Marcell menggeleng pelan.
"Nggak, kayak makan kapas."
"Justru itu, gue daridulu waktu makan ini selalu bayangin kalau gue lagi makan awan." jawab Lauren terkekeh dengan mulut yang sibuk memakan kembang gulanya.
"Lo mau naik itu?"
"Bianglala?" tanya Lauren memandang ke atas dan hanya diangguki oleh Marcell.
"Mau nggak?"
"Boleh deh, ayo."
Mereka berjalan beriringan menuju wahana bianglala yang saat itu memang sedang tidak antri. Marcell membeli tiket lalu segera masuk melewati beberapa orang yang baru turun. Tanpa sadar, ia menarik pergelangan tangan Lauren agar gadis itu tidak tertabrak atau tertinggal di belakang. Namun siapa sangka, ketidak sadaran itu bisa membuat gadis di belakangnya mematung tidak percaya.
"Masuk."
Lamunan Lauren buyar, gadis itu masuk lalu kembali sibuk dengan kembang gula yang sudah hilang setengah. Mata hijau keabuan yang awalnya masih melamun karena kejadian tadi berubah berbinar saat wahana itu mulai naik dan menampilkan lampu-lampu kota yang terlihat seperti cahaya lilin.
Gadis itu menoleh lalu tertegun saat matanya bertabrakan langsung dengan kedua bola mata hijau terang yang saat ini juga memandang ke arahnya. Ternyata bukan hujan saja yang indah, bukan juga ratusan cahaya lampu kota dan bintang di atas sana. Ada sesuatu yang lebih indah, sesuatu yang bahkan tidak berjarak namun terlalu sulit ia gapai.
Dia indah, namun terlalu susah dan bisa membuat lelah. Ia dekat, namun hatinya tertutup rapi dengan gembok tanpa kunci. Sulit, diketuk pun tak ada sahutan, didobrak bahkan pintu itu lebih keras dari besi. Alhasil siapapun pasti hanya bisa berdiri disana demi menunggu sang pemilik pintu membukanya sendiri. Perihal menunggu pintu terbuka, ia kembali mengingat perkataan Mbak Santi, pembantu rumahnya yang memang sudah seperti teman.
"Kalau pintunya emang nutup ya didobrak aja, tapi kalau masih nggak mau buka juga, coba deh cari kunci cadangan yang bisa buat buka. Soalnya bisa jadi pemilik rumah lagi nungguin orang lain buat nolongin dia, bisa aja kekunci terus kuncinya hilang kan?"
Lauren berbalik, ia kembali menatap hamparan cahaya itu dengan jantung berdebar. Entah kenapa jantungnya selalu saja tidak normal saat berada di dekat Marcell. Apakah ia punya riwayat penyakit jantung? sepertinya begitu, besok saja ia akan periksakan ini ke dokter jantung.
"Jangan baper sama dia lagi Ren."
"Ren."
Gadis itu menoleh, mengangkat satu alisnya bertanya sambil tetap memakan kembang gula yang sebentar lagi akan habis. Perasaan tadi masih banyak, kok tinggal dikit?
"Lo punya impian?"
"Punya lah."
"Apa?" tanya Marcell membuat Lauren terdiam sejenak sebelum akhirnya mengatakan sesuatu.
"Gue pengen bisa hidup di rumah gue sendiri, nemuin orang yang sayang sama gue, dan diakuin anak ke semua orang sama mama."
"Sorry."
"Nggak papa, kalau impian lo?"
"Gue pengen lupain masa lalu, berani nyentuh orang lagi, dan yakin sama perasaan sendiri."
Mendengar itu, Lauren meletakkan bungkus kembang gulanya dan berdehem sekilas sebelum menatap lurus ke arah Marcell.
"Mau gue kasih tips biar impian lo bisa jadi kenyataan?" tanya Lauren berhati-hati menyentuh tangan Marcell membuat cowok itu terpaku untuk sesaat.
"Biarin gini dulu, gue nggak akan kenapa-kenapa kok."
"Tips?" tanya Marcell yang sedang berusaha mengabaikan perasaan khawatir saat melihat tangan itu bertengger santai di atas tangannya.
"Dari film yang pernah gue lihat, kalau mau impian lo terwujud, lo harus naruh impian itu disini," Lauren meletakkan jari telunjuknya tepat di depan kening Marcell. "5 cm didepan kening lo, biar lo selalu inget dan berusaha untuk bikin impian lo itu jadi kenyataan."
Marcell terpaku, matanya tidak beralih dari kedua manik mata hijau keabuan di hadapannya. Perlahan cowok itu melepas genggaman tangan Lauren dan mengangguk samar. Gadis itu pun juga mulai menurunkan jari telunjuknya sebelum tersenyum dan menepuk sekilas pundak seseorang di hadapannya.
"Ren."
Lauren menoleh kaget, kedua matanya berkedip dengan diiringi debaran jantung saat Marcell mendekat ke arahnya sambil menatap dalam. Ini terlalu dekat, bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas cowok itu di tulang hidungnya. Lalu apa kabar pipinya?
"Lo.. lo nga..ngapain?"
"Lihat belek."
"Ihh, gue..gue serius!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lo bilang impian itu harus ditaruh 5 cm di depan kening kan, biar bisa jadi kenyataan?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Ini udah 5 cm, gue berharap impian gue yang ini juga bisa jadi kenyataan."
Yang dari kemarin pengen Marcell berjuang, udah gue buat berjuang nih. Masih kurang? 😂 semoga suka ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top