#17 Hujan

Hujan sore ini derasnya memang nggak seberapa, tapi basahnya menyeluruh. Sama kayak kamu, yang hadir nggak begitu lama, tapi kenangannya mengendap penuh.

-M

Petikan gitar di samping rumah masih sayup-sayup terdengar meski hujan sedang ingin datang bersama suara guntur. Dikursi santai dari kayu jati yang menghadap halaman itulah dia duduk. Memetik gitar dengan gumaman kecil seakan sedang menidurkan dua anjing bewarna putih di sampingnya.

Bola mata yang biasanya menatap datar berubah menjadi sendu. Manik hijaunya bergerak sekilas ke arah dua hewan yang sedang bergelung mencari kehangatan itu sebelum kembali lagi menatap rintik hujan. Ia tidak menyukai hujan, karena hujan adalah saksi bisu dimana kesedihan itu dimulai, dimana tangisnya pecah ketika mendengar penjelasan dari seseorang bahwa orang itu telah pergi. Meninggalkan dia tanpa ucapan selamat tinggal.

Ia paham bahwa setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan kata pisah. Tapi bukankah itu terlalu cepat? disaat dulu dia belum mengetahui apa-apa, disaat umurnya masih bisa dibilang belia, justru orang yang selalu ia jaga pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya kenangan bersama gadis itu yang masih Marcell ingat sampai saat ini.

---

"Marcell, nanti kalau aku pergi jauh ke dunia dongeng kayak yang di film, jangan cariin aku ya, jangan nyusul juga, nanti mainan aku kamu ambil."

"Iya sayang, aku nggak akan nyusul."

"Janji sama aku?"

"Marcell janji."

---

"Ta?"

"Apa, Cell?"

"Besok kalau udah besar jangan jauh-jauh dari aku."

"Iya, tapi aku nggak mau besar."

"Kenapa?"

"Nanti kalau Marcell besar, aku besar, kita nggak bisa main-main lagi. Nanti kamu pasti punya pacar."

"Iya, pacar aku kamu."

"Pacar itu apa sih, Cell?"

---

"Jangan berantakin rambut!"

"Lucu tau."

"Nggak mau."

"Iya nggak, kenapa sih?"

"Nanti aku kangen kamu berantakin rambut aku kalau kita lagi jauh."

"Kita nggak akan jauh."

"Pasti ada kok waktu kita jauh."

---

"Marcell, anjingnya satu buat aku ya?"

"Emang berani?"

"Berani, kan kalau anjing kamu lucu."

"Ya udah ambil aja."

"Nggak jadi deng, biar nanti kalau aku pergi ada yang nemenin kamu."

---

"Heh!"

"Apa sih?!"

"Jangan main hujan-hujanan."

"Seru, coba sini deh."

"Nggak!"

"Ayo Marcell, nanti kamu pasti suka."

"Nggak mau!"

"Ihh, kalau aku nggak ada nggak bisa hujan-hujanan bareng lo."

"Kamu ngomong soal pergi mulu."

"Jangan lupain aku ya, Cell."

---

Marcell menggelengkan kepalanya untuk bangun dari lamunan. Gadis itu, rambut coklat panjang beraroma strowberry yang selalu membuat Marcell menoleh meski hanya mendengar suaranya. Dengan mata indah yang selalu bersinar membuatnya betah tinggal di rumah sahabat orang tuanya meski tanpa Devan, karena papanya sering keluar negeri saat itu.

Ia memetik gitarnya sekali lagi sambil menyanyikan lirik demi lirik lagu dengan suara pelan. Alunan itu teredam suara dentuman air yang sejak tadi belum menunjukkan gejala akan pergi. Dulu Marcell menyukai hujan karena gadis itu, tapi pada akhirnya Marcell benci hujan juga karena gadis itu.

Hujan memang tidak seindah yang ia bayangkan. Suasana yang tentram tidak selamanya hadir disaat hujan, kadang ribuan air itu bisa berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Membawa serta guntur, petir, atau bahkan angin sekalipun. Yang paling parah, hujan bisa mengundang luka atau kenangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan penikmatnya. Kejam.

Disaat hujan seperti ini, rindu selalu tiba-tiba datang. Menyapa sekilas kemudian pergi seiring dengan hilangnya percikan air yang ditelan bumi. Andai air itu ingatannya, mungkin Marcell sudah berlari menerjang hujan agar ingatannya berbaur disana kemudian hilang disaat pelangi telah berangsur datang. Andai saja bisa, tapi ternyata ingatan tidak semurah itu. Ia tidak mau hilang hanya dengan dibayar guyuran air, ia egois, memilih tetap tinggal dan membawakan memori disaat hati bahkan sedang ingin melupakan.

Bilang ingin lupa, jujur saya ia ingin. Bukan melupakan dia, tapi melupakan keadaan yang pernah ada. Menyadarkan diri bahwa saat itu memanglah takdir, bukan kesalahannya atau karena sentuhan tangannya yang masih ia ingat sampai saat ini. Jika detik bisa berputar, ia ingin kembali pada masa waktu. Memperbaiki semuanya agar gadis itu tetap ada, menemaninya disini tanpa rasa sesal dan sakit hati.

"Galau mulu kayak nggak dapet gaji."

Marcell menoleh, menatap sekilas gadis berambut pirang sebahu dengan berbalut kaus hitam dan celana jeans selutut yang entah sejak kapan sudah datang kerumahnya. Seva yang berjalan mendekati Marcell dengan satu tangan memegang ice cream menepuk bahu cowok itu sebelum memutuskan untuk duduk di sampingnya.

"Mau?" tawar Seva membuat Marcell menggeleng dan kembali memainkan gitar.

"Lo kenapa sih? di PHK?"

Hening.

"Woee!! berasa ngomong sendiri kayak orang gila, mirip banget kayak Arsen gini gue jadinya."

"Tapi sayang kan?" tanya Marcell membuat gadis itu tersedak es krim yang baru saja ia telan.

"Buset, tuh mulut besi mulus banget kalau suruh ngomong fitnah."

"Fakta."

"NGGAK!!"

"Cocok kok."

"Cih, cocok darimananya coba? yang ada, tiap hari gue minum obat sakit kepala."

"Sama-sama gila."

"Penting happy." ucap Seva kembali sibuk dengan cup yang ada di tangannya.

Gadis itu perlahan menoleh saat mendengar suara Marcell mengisi iringan gitar dengan pandangan kosong. Matanya memang terlihat kosong, tapi Seva tau ada sesuatu yang sedang ia fikirkan. Mungkin masa lalu itu, atau bahkan ada yang lain lagi?

"Masih mikirin waktu itu?" tanya Seva membuat Marcell menoleh dan menggeleng samar.

"Cell, sesuatu yang udah lalu itu emang kadang bikin kita terus kepikiran. Apalagi hal buruk yang kita lihat sendiri, pasti bisa bawa trauma atau bahkan penyesalan yang sebenernya bukan salah kita."

"Contoh aja deh, lo tau banjir di beberapa wilayah Jakarta kalau lagi musim hujan gini kan? mereka kadang tuh nyalahin takdir atau bahkan ada yang marah-marah sama hujan. Padahal hujan kan nggak salah, justru banjir itu datang karena Tuhan lagi marah sama mereka yang udah seenaknya buang sampah sembarangan. Jadi lo harus tau, kadang yang kita anggep salah orang bisa jadi salah kita sendiri, begitu juga sebaliknya. Setiap kejadian yang kita lihat, bukan berarti itu salah kita."

"Takdir emang selucu itu Cell. Disaat kita pengen orang itu tetap tinggal, justru dibuat pergi. Tapi disaat kita pengen dia pergi, justru dibuat tetep tinggal. Sama kayak seumpama gue pengen banget nggak suka sama dia, eh akhirnya suka juga."

"Ck, Arsen?"

"Ihhh, kan gue bilang seumpama." ucap Seva memberenggut sebal membuat cowok itu kembali menatap mendung yang perlahan pergi.

"Sev, gue takut."

"Gue juga Cell, dulu waktu dia pergi tanpa pamit, gue bener-bener takut nggak punya temen. Dia satu-satunya temen cewek yang selalu ajak gue main boneka, bikin istana, masak-masak, bahkan sampek main dokter-dokteran. Dia selalu maksa ..."

"Cukup, nggak usah dilanjut."

Seva menghembuskan nafas dan tersenyum menatap cowok yang sudah lama menjadi sahabatnya. Menerima apa adanya disaat dia masih anggun, diam, bahkan sampai jadi urakan seperti sekarang. Sahabat sekaligus sosok kakak yang selalu Seva sayang selain Gazza dan Maudy.

"Sev, gimana lo bisa lupa?"

"Ck, siapa bilang gue lupa? gue nggak pernah lupa kali. Lo pikir gue seneng dia ninggalin kita?"

"Tapi lo kelihatan biasa aja."

"Cell, emang harus gitu kali. Lo tau kan, dia disana itu bisa lihat kita, kalau lo terus-terusan kayak gini, dia pasti sedih dan nggak bisa tidur. Lo mau dia punya mata panda?" tanya Seva membuat cowok itu menoleh dan menggeleng pelan.

"Makanya, lo boleh sedih tapi jangan berlarut-larut. Obat emang pait, makanya setelah minum obat lo harus minum air biar paitnya nggak berlarut. Terus siapa yang bisa ngilangin itu? ya lo sendiri."

"Susah."

"Iya susah, soalnya lo emang nggak ada usaha buat ikhlasin semuanya. Lo cuma modal niat, itu nggak cukup. Percuma kalau lo pengen beli makan di depan perumahan sana tapi lo nggak jalan dan tetep diem disini. Lo juga bakal tetep laper sampek besok pagi."

Marcell diam, baru kali ini gadis itu berceloteh panjang menggunakan mulut dan otaknya. Biasanya saja, mulut itu selalu berbicara enteng tentang apa saja tanpa berpikir pembicaraan itu penting atau tidak, mirip Arsen banget kan ya? jodoh. Tapi benar kata Seva, semuanya tidak akan pernah terjadi selama Marcell masih tetap diam dan tidak berusaha untuk melangkah meninggalkan sisi gelap itu. Dia akan tetap disana, berdiri di dalam gelap dan menatap nyala lilin dari kejauhan tanpa bisa merasakan terang dan kehangatan.

"Jadi, mau tetep disini atau ikut gue ke depan?"

"Ikut." ucap Marcell membuat Seva menoleh antusias dengan pandangan berbinar.

"Gini dong, ini baru namanya abang gue."

Marcell mengangguk dan kembali berkutat dengan gitar tanpa menyadari bahwa hujan sore itu mulai reda. Meninggalkan jejak basah disana sini dan suara burung yang mulai kembali berkicau.

"Gue udah temenan sama lo sejak kita masih kecil, jadi masalah jangan dipendem sendiri, gue tau kok ada masalah lain yang lagi lo pikirin."

"Cenayang?"

"Gue kan muridnya."

"Masih murid aja songong."

"Weshhh, jangan salah, gue murid tapi IQ diatas gurunya."

"Urutan ke 20 dari 30 siswa gitu IQ tinggi?"

"Ohh kalau itu gue lagi nggak pengen sombong aja, ngasih kesempatan mereka yang dituntut sama orang tuanya buat dapet nilai tinggi."

"Bilang aja males belajar!"

"Bukannya males, cuma nggak suka aja sama bukunya, tulisan semua, seharusnya ada gambar gitu yang lucu-lucu, biar semangat belajar!"

"Lo pikir TK?"

"MAKANYA ITU!! kenangan terindah gue cuma pas di TK aja masa." ucap Seva menggerutu sebal membuat cowok di sampingnya hanya geleng-geleng kepala.

"Cell, lo suka sama Lauren?" tanya Seva tiba-tiba yang langsung membuat petikan di gitar Marcell berhenti mendadak.

"Nglindur lo?"

"Ih, gue serius, gini nih susahnya orang humoris, lagi serius malah dianggep cuma bercanda, lagi bercanda tambah lagi dianggep bercanda. Hidup gue lo pikir cuma candaan doang isinya."

"Awalnya gue mikir gitu."

"Jawab! malah ngalihin topik."

"Kalau iya kenapa? kalau nggak kenapa?"

Seva yang mendengar itu meletakkan cup es krim yang tadi dia bawa dan menatap lurus Marcell yang juga sedang memandanganya dengan pandangan bingung. Ia menghembuskan nafas pelan sebelum mulai kembali berbicara serius.

"Kalau lo suka, jangan mundur atau diem aja Cell. Gue tau gimana Gazza, dan gue rasa bahagianya Gazza yang asli tuh bukan di Lauren. Lauren kan juga udah jadi sahabat gue, gue cuma nggak mau dia sakit hati ntar."

"Jangan sok tahu dulu."

"Ck, gue hidup sama kalian itu udah dari orok! yakali gue sok tahu. Lo kalau suka tuh kejar dong. Daripada ntar pas kalian udah di jauh, lo ngejar dia disaat dia lari, sampek gajah bantuin harimau lahiran juga nggak bakal dapet."

"Serah mulut lo deh."

"Ih gue serius, lo jangan diem aja kayak ayam mau lahiran gini, gue tau lo lagi korbanin kebahagiaan lo buat dia kan, tapi secara nggak langsung lo nggak sadar kalau cara lo itu malah bikin dia sakit hati, nggak tau kapan."

"Hmm."

"Jangan nyakitin diri sendiri kayak gini dong Cell. Lo suka banget sih nyakitin hati sendiri, lo mau terus-terusan suka sama orang yang bahkan nggak bisa lo miliki?"

"Emang gitu."

"Astaga masih aja sama, itu karena lo emang nggak ada usaha kayak tadi. Tapi bedanya, yang ini lo nggak ada usaha, niat udah mulai muncul tapi sengaja lo biarin gitu aja."

"Nyerocos mulu."

"Heh! dengerin, mumpung gue lagi serius juga. Hati itu sama kayak tahu ya Cell, sama-sama kelihatan bagus tapi padahal rapuh, lo remes dikit juga ambyar. Terus kalau lama-lama lo biarin juga bakal basi, tinggal nyeselnya doang."

"Iyaa! udah kan?" tanya Marcell membuat Seva memutar bola mata malas dan menoleh ketika dari depan terdengar suara motor yang sudah sering mereka dengar, itu motor Gazza.

"Heh tabung gaz, sini!"

Cowok berambut coklat dengan mata biru itu berjalan ke arah mereka dan langsung bermain dengan anjing putih milik Marcell. Ia meletakkan kunci motor ke meja sebelum duduk bersebrangan dengan Marcell.

"Heh kutil! bukannya lo tadi bilang mau ajak Lauren jalan? ngapain malah masih disini?" tanya Seva membuat cowok itu mengedikkan bahu dan membiarkan anjing putih tadi turun ke halaman.

"Emang, biarin."

"Stress ya tuhan gue lama-lama deket kalian. Satunya nggak punya banyak koleksi kosa kata. Satunya lagi nggak mau dipegang, mulutnya juga susah banget ngomong panjang. Dan parahnya, dua-duanya nggak pernah senyum."

"Pergi sono!"

"Ngusir lo?! gue aduin ke Tante Liona nih."

"Bocah."

"Lah Za, lo mau kemana?" tanya Seva yang melihat cowok itu masuk sambil melambaikan tangan tanpa berbalik.

"Tidur, gue pusing."

"Jangan lupa jalannya!!!!"

Langkah cowok itu berhenti dan menoleh ke arah kedua sahabat kecilnya yang sedang berbincang di teras samping.

"Sev."

"Apee??" teriak gadis itu menoleh diikuti Marcell.

"Bilang ke Lauren nggak jadi."

"Lo gila?!!!"

"Gue pusing."

"Lo nggak bisa kayak gini terus Za!" ucap Marcell dengan nada tinggi membuat cowok itu mengangkat satu alisnya heran.

"Ya udah lo aja."

"Lo pikir dia mainan?"

"Dia Lauren."

"Dia cewek Za, inget lo masih punya kakak cewek!"

"Inget, Kak Caca kan?"

"Lo sayang nggak sih sama dia?" tanya Marcell to the point.

"Sayang."

.

.

.

.

.

.

.

.

"Dulu gue kira gitu, ternyata nggak."

Wkwkwkwk.. Selamat membaca, semoga suka ya ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top