#16 Takut

Gue takut, penghuni asli mata lo ngusir gue disaat nyaman. -L

Gue juga takut, mata gue  menyembunyikan fakta tentang rasa. -G

Gue lebih takut, menyakiti seseorang yang gue cinta, tapi nggak pernah bisa gue miliki.  -M

***

Semilir angin yang berpadu dengan sinar matahari melalui celah dedaunan memang sangat pas untuk memejamkan mata. Rambut coklat kepirangan itu bergerak perlahan mengikuti semilir angin. Seragam berantakan tanpa dasi juga terlihat tersampir rapi menutupi wajah seseorang yang saat ini hanya mengenakan kaus polos bewarna putih.

Perlahan ia bergerak disaat samar-samar mendengar suara beberapa siswa melangkah mendekat ke lapangan. Cowok itu bangkit, menyingkirkan kemeja yang menutupinya sebelum mengernyit ke arah segerombol siswa berpakaian olahraga di tengah lapangan. Dari jarak sejauh ini, matanya masih dapat menangkap seorang gadis berambut pirang sepunggung sedang berjalan malas bersama ketiga temannya.

Keempat orang itu tidak ikut berlari seperti yang lain, mereka berjalan pelan lalu berhenti, berjalan lagi lalu duduk, seakan tidak ingin bergerak sedikitpun. Sekarang Marcell mulai percaya omongan orang-orang di sekolah ini mengenai mereka, tidak ada pelajaran yang mereka sukai kecuali seni. Astaga.

"Pakkkk, jangan basket, saya nggak bisa."

"Sama pak, yang bisa Meika aja."

"Panas nih pak, astaga kenapa olahraga di jam segini sih."

"Heh kalian bertiga, dengerin bapak ya, namanya pelajaran olahraga itu fungsinya mengajari yang nggak bisa biar bisa. Kok heboh sendiri, bilang aja kalian nggak mau ikut pelajaran saya."

"Emang." gumam Lauren sambil membenarkan ikatan rambutnya membentuk cepol.

"Pak, panas nih."

"Namanya siang ya panas, Seva. Kalau mau nggak panas, olahraga aja ntar malem."

"Ya udah dibatalin aja, diganti ntar malem pak."

"Kamu olahraga basket mau pake tangan apa mulut? kok daritadi ngomong terus!"

"Saya diem dikira kena sawan, kalau saya ngomong disalahin mulu."

"Pulang aja Sev, rebus mie sana." saut Nadia terbahak ketika melihat gadis itu mengerucutkan bibirnya kesal.

Marcell memutar mata malas saat melihat Seva, anak dari sahabat orang tuanya selalu saja bikin ulah. Ia semakin menghembuskan nafas berat ketika gadis itu bangkit dan sengaja melempar bola ke dalam kolam agar tidak bisa digunakan untuk olahraga.

"SEVAAA!!!!"

"Aduh maaf pak, tadi kaki saya kesrimpet nih, salah sendiri bola sebesar telur dinosaurus kayak gitu ditaruh tengah jalan."

"Dia tadi nggak tau kok pak."

"Diem, Lauren!!!"

"Oke, saya diem." ucap gadis itu menahan tawa dan menoleh ke arah Nadia yang sudah terbahak melihat ekspresi kesal dari guru olahraganya.

"Bapak jangan marah gitu!! nanti penuaan dini lo."

"Nadia, jangan bikin saya tambah pusing!"

"Bapak pusing?" tanya Meika membuat laki-laki itu menoleh dan melotot kesal ke arahnya.

"Ke UKS aja pak."

"Diem, Meika!!"

"Saya bantuin deh pak."

"Atau saya ambilin obat aja pak?"

"Gimana kalau saya yang temenin bapak di UKS?"

"Ayo pak."

"KALIAN BEREMPAT DIAMM!!!"

Marcell yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. Pantas saja tahun kemarin ia selalu mendapati ada banyak guru baru di sekolah ini. Tapi kebanyakan hanya untuk menggantikan guru junior, sedangkan guru senior masih tetap bertahan sampai sekarang. Ternyata ini biang keroknya.

Cowok itu menatap sekilas ke arah lapangan sebelum kembali merebahkan badan di kursi taman yang memang panjang dan lebarnya cukup untuk ia gunakan tidur. Kemeja putih yang tadi sempat ia singkirkan kembali dipakai untuk menghalau sinar matahari yang memaksa masuk melewati celah dedaunan di atas sana.

"LAUREN!!!!"

Teriakan itu refleks membuat Marcell bangkit dan menatap fokus ke arah lapangan. Tanpa basa basi, langkahnya berlari mendekat dengan kerutan di dahi yang menandakan bahwa ia bingung sekaligus khawatir. Apa yang membuatnya lemas dan jatuh begitu saja?

Tubuh itu tergeletak lemas dengan bibir pucat yang begitu kentara. Marcell mengusap kasar wajahnya sebelum berjongkok, lalu segera mengangkat tubuh Lauren menuju ke UKS tanpa memperdulikan keributan yang berasal dari kelas gadis itu. Tidak ada lagi pilihan, jika Lauren tidak segera dibawa ke UKS, maka bisa jadi keadaannya semakin parah.

"Lo kenapa sih?"

"Telat makan?"

"Kecapekan?"

"Ada masalah?"

"Nggak tidur?"

Marcell terus bergumam dengan nada khawatir selama perjalanan. Ia tidak ingin sesuatu terjadi pada gadis itu, ia hanya takut luka lain bertengger atau bahkan memilih untuk menyelinap masuk ke dalam hidup Lauren. Salahkah bahwa ia menginginkan gadis itu baik-baik saja? ya, mungkin sebentar lagi Lauren akan pulih dan kembali baik seperti biasanya. Tapi tidak dengan Marcell, apakah dia sadar bahwa baru saja tangannya telah menyentuh tubuh seseorang untuk yang pertama kali setelah sekian lama? sepertinya tidak.

"Loh, Lauren kenapa?" tanya Bu Dewi selaku dokter UKS baru di sekolah itu.

"Nggak tau."

"Sini sini Cell, awas hati-hati."

Marcell meletakkan gadis itu perlahan diatas ranjang dan membiarkan Bu Dewi memeriksanya. Ia terdiam dengan kaki yang terus bergerak gusar sebelum akhirnya menatap wanita yang baru saja menoleh dan menghembuskan nafas.

"Maagnya kumat."

Bahu Marcell meluruh, ia duduk di ranjang sebelah dengan pandangan beralih ke arah wajah gadis yang saat ini terlihat sangat pucat. Kenapa maagnya bisa kumat? apa dia tidak makan? apa yang membuatnya tidak makan? itulah sekiranya pertanyaan yang ada di pikiran Marcell saat ini. Ia khawatir.

"Kamu jagain dia dulu ya Cell, biar saya belikan bubur sekalian cari sarapan." ucap Bu Dewi membuat Marcell mengangguk dan menarik kursi ke sebelah ranjang gadis itu.

Ia hanya diam disana tanpa berniat mengalihkan pandangan. Hembusan nafas teratur gadis di depannya membuat Marcell mencoba mengontrol emosi untuk tidak peduli dan memarahi Lauren ketika ia bangun nanti.

---

"Tadi mama pulang, dia libur sampai Sabtu nanti."

"Kayaknya sampai Sabtu nanti gue bakal mutusin buat pulang sore, lo mau bantuin gue?"

"Temenin gue ya mata ijo."

---

Mengingat itu, Marcell mengacak kasar rambutnya lalu menoleh lagi ke arah Lauren. Gadis itu rapuh, Marcell tau. Tapi ia dengan munafiknya menutup semua luka dengan tawa dan bersikap seolah hidupnya baik-baik saja.

"Ini alasan lo nggak makan?"

Hening, gadis itu masih belum juga bangun dari pingsan dan masa lalunya. Apakah dia lelah? sepertinya begitu, setiap hari dia telah bekerja keras untuk pura-pura bahagia disaat lukanya masih basah disana-sini. Bersandiwara seolah ia lupa akan segalanya dengan keadaan hati yang baik-baik saja, apakah memang semudah itu memerankan takdir?

Dulu mamanya pernah bilang bahwa masa lalu hanyalah pelajaran, tugas kita sekarang hanya fokus untuk merubah masa depan yang lebih baik. Semudah itu? tidakkah otak berfungsi mengingat? segampang itukah otak bisa melupakan? tidak. Persis seperti gadis ini, Marcell tau dia sakit, tapi kenapa ia justru tidak memperlihatkan luka itu agar semakin mudah terobati? oh ayolah, dia juga sama saja, bersembunyi di balik topeng 'diam' bukankah juga sama munafiknya?

Jika bisa, ia ingin sekali tidur dan bangun dalam keadaan lupa. Tapi itu hanya sebatas logika. Jika bisa,  mungkin setelah masa itu dimulai, ia sudah tidur dan segera bangun dengan tidak lagi mengingat apapun. Tapi ternyata tuhan masih menyanyanginya dengan cara membiarkan, membiarkan masa lalu itu tetap teringat agar dia mengerti bahwa sakit hati punya ceritanya sendiri.

Bicara sakit hati, bolehkan dia bilang bahwa hatinya sedang sakit saat ini? Marcell sakit, ia tidak bisa melihat gadis itu berpura-pura diam dan tidak lagi tertawa seperti biasanya. Ia sakit melihat gadis itu sakit, terbaring lemah di atas ranjang dengan bibir pucat bukanlah hal yang disukai Lauren.

"Jangan bikin gue bimbang Ren, biarin gue ngejauh dengan mudah."

Perlahan ia menggerakkan tangan dan mengusap pelan rambut pirang itu. Ditatapnya lurus Lauren dengan ekspresi khawatir yang begitu terlihat. Bisakah dia pergi saat orang yang ingin  ditinggalkan sengaja membuatnya terus tinggal? bisakah semudah itu dia meneruskan langkah untuk pergi?

"Jangan bikin gue khawatir terus."

Hening.

"Lo harus kuat, luka lo pasti sembuh."

Hening.

"Jangan kayak gini lagi."

.

.

.

.

.

.

"Gue sayang sama lo."

***

Kelopak mata itu bergerak perlahan hingga pada akhirnya terbuka dan menampilkan sorot mata hijau keabuan yang terlihat lemah. Ia meringis pelan memegangi perutnya dan melirik ke arah bangku sebelah yang sedang diduduki seseorang.

"Gazza?" gumamnya pelan sambil sedikit mengernyit mengingat sesuatu.

Tadi ia sempat merasa bahwa yang membawanya kesini adalah Marcell. Tadi tidak mungkin juga, ia tau betul bahwa malaikat penjaganya tidak mungkin mau disentuh, apalagi harus menyentuh orang lain. Ia bangkit secara perlahan dan berusaha untuk tidak membangunkan Gazza.

Lauren tersenyum, tangannya terulur mengusap pelan rambut pirang kecoklatan itu hingga membuat pemiliknya terbangun. Bola mata biru bagaikan samudra itu menyorot langsung kedua manik mata milik Lauren. Ia membenarkan posisi duduk lalu menggenggam erat tangan gadis di hadapannya.

"Masih sakit?" tanya Gazza pelan membuat gadis itu mengangguk sambil tetap memegangi perutnya.

"Makan terus minum obat."

Gadis itu hanya menuruti saja perintah Gazza. Ia memang tidak makan sejak kemarin malam. Satu alasannya, wanita itu ada di rumah dan sedang mengadakan pertemuan bersama rekan bisnisnya yang lain. Bukankah ia memang harus bersikap seolah tidak pernah ada di rumah itu? makanya dia mengurung diri di dalam kamar dan berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun.

"Makan dulu."

"Apa?"

"Jangan mikirin yang lain."

"Nggak kok." jawab Lauren sebelum menerima suapan dari Gazza.

Gadis itu terdiam, ia mengamati seseorang di depannya dengan pandangan lurus. Dia dingin, tapi sangat perhatian. Dia selalu memperlakukan seseorang yang dianggapnya berharga dengan sangat istimewa. Hanya satu yang membuat Lauren sulit untuk mencoba membuka hatinya pada cowok itu, dia menemukan sesuatu yang berbeda dari matanya, ada orang lain disana. Orang lain yang sebenarnya lebih istimewa.

"Za."

Gazza mendongak dan mengangkat satu alisnya sambil menggerakkan tangan untuk membersihkan bubur di sudut bibir gadis itu secara perlahan.

"Di dalem sana ada siapa?"

"Maksutnya?"

"Di mata lo." ucap Lauren menghentikan gerakan tangan Gazza yang sedang menatapnya lurus.

"Lo lihat siapa?"

"Nggak tau, mata lo terlalu biru kayak tengah laut, jadinya gue nggak tau di dalem sana ada apa, ikan, hiu, karang, penyu, atau bahkan semuanya."

"Bukan."

"Bukan semua itu?" tanya Lauren membuat Gazza menggeleng dan mengusap pelan rambut pirang gadis itu.

"Coba lihat sini." ucap Gazza membuat Lauren menatap dalam kedua manik biru yang berkilauan.

"Ada siapa?"

"Bayangan gue."

"Itu jawabannya."

"Tapi,"

"Nggak usah pake tapi," ucap Gazza meletakkan mangkuk bubur tadi di atas meja sebelum kembali menoleh ke arah Lauren. "Ini hati, bukan soal uraian."

Tapi ada orang lain jauh di balik bayangan gue.

"Kenapa kambuh?"

Lauren tersenyum dan menggeleng samar untuk menjawab pertanyaan Gazza. Ia bergerak duduk di pinggir ranjang sambil meminun obat yang baru saja disodorkan cowok itu.

"Nggak sarapan, tadi buru-buru, soalnya udah telat."

Gadis itu tidak berbohong, tapi tidak jujur sepenuhnya. Ia memang tidak sarapan tadi pagi, memang benar ia buru-buru karena telat, tapi dibalik semua itu ada sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan pada Gazza. Mulutnya tidak ingin terbuka seperti saat ia sedang bersama Marcell dulu, aneh kan? sepertinya Lauren baru sadar bahwa dirinya terlalu percaya pada malaikat penjaganya yang bahkan sudah hilang.

"Jangan lagi." ucap Gazza mengacak lembut rambut Lauren yang hanya diangguki oleh gadis itu.

"Gue anter pulang."

"Eh, nggak usah Za. Gue lagi nggak pengen pulang."

"Tapi lo sakit."

"Nggak papa kali, cuma kayak gini doang, ini juga udah mendingan."

Mendengar itu Gazza terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pasrah. Ia membantu gadis itu turun dari ranjang dan segera berpamitan kepada Bu Dewi. Langkah mereka berhenti saat melihat Marcell bersandar di dekat pintu UKS dengan mulut yang sibuk mengunyah permen karet.

Cowok itu menoleh dan mengeluarkan kedua tangan dari sakunya sebelum berjalan mendekati mereka berdua. Ia merogoh saku di dada sebelah kiri untuk mengambil sesuatu, karet rambut. Tangannya bergerak menyodorkan benda bewarna hitam itu kepada Lauren dengan ekspresi datar.

"Punya lo kan?"

"Kok bisa lo bawa?"

"Tadi jatuh." ucap Marcell datar lalu mengangguk sekilas ke arah Gazza sebelum berbalik untuk pergi dari sana.

"Mata ijo."

"Mata ijo."

"Marcell." panggil Lauren sekali lagi membuat cowok itu akhirnya berbalik dengan satu alis terangkat.

"Makasih."

Marcell mengangguk dan kembali melangkahkan kaki sebelum kedua tangan yang sedang mengepal di dalam sakunya itu memaksa keluar dan melayang ke sembarang orang. Karet rambut itu memang jatuh ketika Lauren sedang berada di gendongannya menuju UKS. Karena tadi ia masih membopong tubuh gadis itu, maka ia sengaja meninggalkan karet rambutnya dan berniat untuk mengambil benda itu saat Gazza telah datang.

Jantung Marcell berdegup kencang saat baru saja menyadari sesuatu. Tadi ia menggendong gadis itu menuju UKS kan? langkahnya spontan terhenti, perlahan ia mengeluarkan kedua tangannya sebelum melihat telapak tangan yang saat ini tiba-tiba bergetar tanpa alasan.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, tangannya kembali menyentuh seseorang.

Marcell berbalik, ia menatap Lauren dan Gazza dari kejauhan dengan pandangan tidak terbaca. Keringat dinginnya mulai mengucur, jantungnya berdetak kencang, diiringi pula dengan kedua tangannya yang masih bergetar. Celaka, ia baru saja membuat gadis itu dalam bahaya.

"Shit!" umpat Marcell mengacak frustasi rambutnya dengan gerakan gusar.

Ia cepat-cepat pergi dari sana sambil berusaha menelefon seseorang. Bola mata hijaunya bergerak risau kesana kemari pertanda ia sedang takut akan suatu hal. Ia takut hal itu akan terulang dan membuatnya harus kehilangan lagi orang yang ia sayangi.
"Halo ma?"

"Apa Cell? tumben nelfon mama jam segini?"

"Ma, ini bahaya." ucap Marcell dengan nada khawatir yang membuat Liona ikut panik.

"Bahaya kenapa? kamu nggak papa kan?"

"Marcell barusan nyentuh orang."

Suara di seberang sana terdiam seketika. Ia tau pasti respon mamanya akan seperti ini. Luka yang telah tertutup itu harus kembali ia buka dalam waktu yang tidak pas. Luka yang membekas pada hati orang- orang yang ia sayang.

"Marcell takut dia pergi, bantu Marcell ma, Marcell nggak sengaja, aku tadi terlalu panik sampai...."

"MARCELL!!!!" bentak Liona membuat cowok itu diam dengan nafas yang memburu.

"Harus berapa kali mama bilang kalau itu bukan salah kamu?"

"Ma."

"Dia bakal baik-baik aja."

.

.

.

.

.

"Dia bakal baik-baik aja walaupun kamu sentuh, kamu manusia biasa Cell, sentuhan kamu nggak akan berdampak apapun. Kamu nggak salah."

"Aku sayang dia ma, aku cuma nggak mau dia kenapa-napa."

Kepo Marcell sebenernya kenapa? baca terus ya. Maafin typo, semoga suka ❤






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top