#10 Khawatir
Nggak usah baper,
gue cuma khawatir,
bukan sayang.
-G
"Gue takut nyakitin orang yang udah bikin lo kayak gini."
Lauren terdiam mendengar ucapan Marcell yang entah kenapa membuat jantungnya sedikit berdesir. Untung saja saat ini wajahnya masih tertutup oleh jaket jeans yang membuatnya tidak harus menatap cowok bermanik hijau di sebelahnya.
Marcell terlalu sulit ditebak, ucapannya yang menyebalkan terkadang tidak sebanding dengan perlakuannya. Entah kenapa saat mereka duduk sedekat ini, ia malah merasa masih ada sebuah sekat yang dibangun Marcell untuk tidak ditembus siapapun. Sekat itu terlalu kuat, terlalu kokoh dan terlalu sulit untuk dimasuki, bahkan oleh sekedar bayangan.
Dia perusak mood yang berpengalaman. Dia juga pelindung yang bisa diandalkan. Dilain waktu, dia juga bisa menjadi seseorang yang bisa menyentuh getaran itu. Tapi disamping itu semua, dia punya sisi yang menakutkan, dia penuh rahasia, dan bahkan mempunyai kemungkinan untuk pergi dan tidak kembali lagi. Ia mempunyai satu pegangan terkuat yang membuatnya masih berdiri di ambang ragu, antara ya atau tidak, dan Lauren tidak bisa mengerti apa maunya hati dan pikiran cowok itu. Ia terlalu abu-abu untuk bersanding dengan rindu.
"Marcell, lo masih disitu?"
"Hmm."
Gadis itu membuka jaket jeans yang menutupi wajahnya dan menoleh ke arah seorang cowok yang masih duduk membelakanginya. Ia terdiam lalu mengetuk bahu Marcell tiga kali membuat pemiliknya menoleh dan berganti posisi duduk. Cowok itu menatap langit dengan pandangan tak terbaca, tidak peduli dengan pandangan Lauren yang masih menatap lurus ke arahnya.
"Jangan ngelihatin, nanti suka."
"Ih! ogah suka sama lo, kayak nggak ada cowok lain aja."
"Bagus kalau gitu."
Marcell menatap bintang di atasnya tanpa ekspresi. Ia memperhatikan kerlip cahaya yang terkadang terang lalu meredup sedetik kemudian, begitu sebaliknya. Apakah gadis itu ada di atas sana? sedang melihatnya saat ini? ataukah cahaya itu bukanlah bintang, melainkan lampu senter yang digunakan gadis itu untuk memantau pergerakan Marcell di bumi?
"Bodoh!" gumamnya sangat pelan sampai Lauren tidak bisa mendengar bahwa cowok itu baru saja mengucapkan sesuatu.
"Seharusnya hari ini hujan."
"Jangan!" Marcell menoleh cepat dan memasang ekspresi seolah tidak suka dengan harapan Lauren.
"Lo nggak suka hujan?"
"Hmm."
Ternyata benar, ucapan tantenya benar bahwa banyak orang diluar sana yang tidak menyukai hujan, termasuk Marcell. Gadis itu menatap heran ke arah cowok yang saat ini kembali memfokuskan pandangannya ke atas langit, menatap ribuan bintang yang sejak tadi berkedip-kedip seperti ingin menyampaikan sesuatu.
"Kenapa lo nggak suka?"
"Nggak suka aja."
Gadis itu menganggukkan kepalanya berusaha mengerti, mungkin ada alasan lain yang membuat Marcell tidak menyukai hujan. Alasan yang tidak bisa ia ceritakan pada orang sembarangan, seperti Lauren.
"Kalau lo?" tanya Marcell membuat gadis itu menghembuskan nafas pelan dan ikut menatap langit.
"Gue pertama kali main hujan sama orang tua gue. Gue pertama kali main sepeda waktu hujan tiba-tiba dateng. Gue selalu bisa tidur cepet tanpa mimpi buruk karena hujan. Ulang tahun gue nggak tau kenapa juga selalu bertepatan sama hujan. Bahkan, hujan sampai jadi saksi waktu orang tua gue mutusin buat jalan sendiri-sendiri."
Marcell menoleh, gadis itu dengan entengnya menceritakan semua hal itu padanya, orang yang bahkan selalu membuatnya berteriak seperti singa lapar. Tapi sepertinya ia tau sorot mata itu, sorot mata yang berkata bahwa Lauren sedang ingin membagi masalahnya, meski hanya beberapa.
"Lo tau, dulu gue selalu bahagia waktu hujan dateng. Gue suka bau tanah yang kena air hujan, bikin tenang. Orang tua gue juga pernah bilang, hujan adalah hadiah dari tuhan yang nggak bisa gitu aja kita baca. Hujan itu penuh teka teki, tapi gue suka. Awalnya gue cuma ngira kalau ucapan ayah gue itu karena hujan datengnya selalu nggak terkira. Tapi.."
"Tapi ternyata bener, hujan penuh teka teki. Gue bahkan kehilangan kedua orang tua gue sekaligus saat hujan dateng. Mereka pisah, cuma karena kesalahan mereka dan nggak ada yang mau disalahin. Gue kadang bingung, kenapa mereka waktu itu mutusin pilihan egois yang justru nyakitin semuanya. Papa, mama, dan gue."
"Lo benci mereka?"
"Itu logika gue, tapi hati gue selalu bilang kalau gue kangen sama keadaan yang dulu. Cuma lo tau sendiri kan, masa lalu nggak bisa lagi keulang, mustahil."
"Lo bener, masa lalu nggak akan terulang."
"Tapi lo bisa ngubah masa depan, selama lo ada kemauan." ucap Lauren membuat Marcell menoleh dengan pandangan bertanya.
Mengubah masa depan?
"Gue tau Cell, lo nyimpen sesuatu yang sampai saat ini masih bikin lo diem ditempat yang sama. Hidup lo bukan cuma disitu, lo harus jalan. Masa depan bisa diubah, dan mungkin dia lagi nunggu lo buat dateng dan ngubah semuanya."
"Lo juga bisa dong?" tanya Marcell membuat Lauren tersenyum karena tau cowok di sebelahnya sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Bisa, gue rasa gue juga bisa bikin keluarga gue kayak dulu. Tapi gue nggak mau, gue nggak mungkin nyatuin dua orang yang kayaknya juga udah nggak saling cinta kan?"
"Lo nggak bisa nyimpulin perasaan orang cuma lewat mata."
"Maksud lo?"
"Hati itu nggak mudah dibaca."
"Gue rasa nggak cuma hati doang, lo juga susah dibaca, nggak sadar kan?" tanya Lauren membuat Marcell melirik gadis itu sekilas sebelum memutar bola mata malas.
Mbak Santi is calling..
Lauren menggeser tombol hijau di layar ponselnya dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga.
"Mbakkkkkkkkk!!!"
Gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya sambil menggosok telinga yang ia khawatirkan gendang di dalamnya pecah karena suara melengking barusan.
"Gue nggak tuli!"
"Bapak udah nggak ada, mbak Lauren bisa pulang."
"Oke, gue pulang."
"Oke mbak, laporan selesai."
Gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dan menoleh ke arah Marcell yang sudah mengangguk.
"Ayo."
Lauren bangkit dan menatap bingung ke arah Marcell yang tidak juga melangkah dan justru terdiam sambil menatapnya lurus. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, persis seperti bintang.
.
.
.
.
"Jangan pernah nangis sendirian."
***
Mereka berhenti di depan sebuah cafe langganan Gazza dan Marcell, ralat, Lauren juga menyukai tempat ini. Tempat yang tanpa sengaja juga menjadi awal pertemuan mereka bertiga.
Cowok berbola mata biru itu turun dari motor dan menggandeng tangan Lauren masuk ke dalam tempat itu, memilih bangku di samping jendela besar dan segera memesan dua cangkir hot cappucino untuk sekedar menghangatkan.
"Tumben lo ngajak keluar?"
"Pengen."
"Ck, nggak lo nggak mata ijo ngomong irit banget, hemat kuota?"
"Hmm."
"Lo suka tempat ini?" tanya Lauren membuat Gazza hanya mengangguk dan melakukan hal yang sama saat pelayan cafe mengantarkan pesana.
"Kalau lo?"
"Sama, gue juga suka sama tempat ini, enak dan nggak tau kenapa bikin nyaman."
"Kayak gue?" tanya Gazza refleks membuat Lauren tersedak dan dengan segera mengambil tisu yang ada di tengah meja mereka.
"Lo..lo ngomong apa sih?"
"Gue tanya."
"Nggak, beda tau, disini anget lo kan dingin."
"Orang dingin bisa anget juga."
"Ck, mustahil." jawab gadis itu kembali menyesap minumannya sambil fokus menatap ponsel.
Namun sedetik kemudian, gerakan tangannya mengetik pesan pada Nadia refleks terhenti saat merasakan sebuah tangan memeluk tubuhnya dari samping. Ini Gazza, cowok es bermata biru yang sedang bersamanya.
"Anget kan?"
"Lepas Za, apaan sih." Lauren melepas kedua tangan cowok itu dan melirik ponsel Gazza yang bergetar di atas meja.
"Mama lo nelfon."
Gazza mengangguk dan segera pamit keluar dari sana untuk mengangkat panggilan dari mamanya.
"Halo ma?"
"..."
"Iya, nanti aku..."
ADA YANG PINGSAN
"Ma, kirim pesan aja."
Setelah mengatakan itu, Gazza segera mematikan sambungan telefonnya dan berlari ke arah kerumunan di ujung jalan saat matanya menangkap rambut coklat gelap milik seseorang.
Cowok itu membelah kerumunan padat tersebut dan menemukan seseorang yang sudah ia duga sedang tergeletak lemas di jalan. Perasaannya kacau, entah kenapa ada sesuatu yang akhirnya membuat cowok itu langsung mengangkat tubuh ramping Meika tanpa mengucapkan apapun.
"Dia kenapa?"
"Tiba-tiba pingsan mas."
"Mei, bangun." ucap Gazza menepuk pelan pipi gadis yang wajahnya memang terlihat pucat.
"Itu mobilnya mas."
Gazza menoleh pada sebuah mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari cafe dan segera membawa gadis itu kesana. Namun sebelum pergi, ia sempat menoleh pada tempatnya bertemu Lauren dan segera menghubungi Marcell untuk mengambil motor dan menjemput gadis yang mungkin saat ini sedang menunggunya di dalam sana.
***
"Jadi gitu ceritanya."
Marcell mengangguk paham dan menoleh ke arah Gazza yang saat ini sedang terlihat mencemaskan seseorang, entah siapa.
"Lo udah minta maaf?"
Gazza menggeleng dan reflek menangkap ponsel yang dilemparkan oleh Marcell ke arahnya. Cowok itu mengangguk dan segera pergi dari kamar Gazza untuk memberikan privasi agar ia bisa bicara dan meminta maaf kepada Lauren.
"Halo?"
"Ren."
"Iya nggak papa, Marcell kemarin udah bilang ke gue."
"Sorry."
"Iya tenang aja, bentar Za, gue mau ke apartemen Meika dulu, dia sakit."
"Hati-hati." ucap Gazza datar dan menjauhkan ponselnya saat Lauren sudah mematikan sambungan telefon.
"MARCELLLLL!!!!!"
Gazza menoleh ke arah pintu dan segera berpura-pura tidur saat mendengar suara itu, meski awalnya ia hanya memanggil Marcell, tidak menampik kemungkinan bahwa gadis itu pasti juga akan mencarinya. Manusia pengganggu yang selalu keluar masuk rumah orang sembarangan, Seva.
Cklek
"Gazza lagi tidur, udah ah sama lo aja Cell, ayo dong." rengek gadis itu kembali menutup pintu membuat Gazza menghembuskan nafas lega di dalam selimut.
Maafin gue, Cell.
"Gazzaaaaaa!!!!"
Mampus, Gazza yang awalnya berniat keluar dari selimut alhasil kembali bergelung di dalam sana dengan nafas teratur. Pura-pura tidur adalah jurus terbaik agar keluar dari bahaya saat ini.
Cklek
"Tuh lihat temen lo, kebo banget kan! udah sama lo aja, ayo dong."
"Tadi dia nggak tidur."
"Lo bohongin gue? dia udah kayak gitu lo bilang nggak tidur? ngaku aja kalau lo nggak mau nganter gue!"
"Emang nggak."
"Tanteeee Metaaaaaa, Marcell nyebelinn tau, usir aja." teriak Seva membuat cowok itu justru segera mengenakan jaket dan mengambil kunci motornya.
"Ya udah gue pulang."
"Eee.. ya jangannn, anterin gue duluuuuu!!!!"
Gazza yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum miring penuh kemenangan. Ia tahu betul bagaimana Seva, ia tidak akan pernah melepaskan mangsanya begitu saja.
"Lo mau kemana sih?"
"Rumah Meika, dia sakit."
"Sama gue aja." ucap Gazza bangkit dari kasur hingga membuat mereka berdua yang berdiri di ambang pintu menatap dengan heran.
"LO PURA-PURA?!!!"
"Iya."
"Ck, ya udah cepetan anterin gue." ucap gadis itu dan berlalu menuruni tangga untuk bersiap pergi.
Marcell yang masih terdiam di depan pintu mengamati pergerakan Gazza mengambil jaket dan kunci motor sebelum keluar dari kamar. Cowok itu menepuk sekilas pundak Marcell dan menyusul langkah Seva turun dari tangga.
"Za, disana ada Lauren?" tanya Marcell membuat Gazza hanya mengangguk lalu melambaikan tangan untuk pamit.
Tanpa diketahui siapapun, Marcell menghembuskan nafas lega dan mengusir pikiran buruknya tentang Gazza. Ia percaya bahwa cowok itu tidak akan menyakiti siapapun. Ia yakin bahwa siapapun yang dipilih Gazza tidak akan membuatnya sakit hati. Semoga saja.
Itu logika, tapi entah kenapa perasaannya berkata lain. Ia khawatir akan satu hal, ia takut dugaannya salah dan justru menyakiti salah satu pihak. Ia cemas mimpinya akan menjadi kenyataan. Mimpi dimana gadis itu terluka dan tidak lagi mempercayai cinta.
Ia kuat, tapi tidak dengan hatinya. Hati gadis itu hanya berupa pecahan, sekali terinjak maka akan semakin hancur menjadi puing-puing kecil yang bisa melukai siapapun, termasuk dirinya sendiri. Bagus apabila puing itu hanya berupa bongkahan tumpul, bagaimana jika berupa ujung runcing yang bisa menusuk kapanpun saat tidak sengaja tergeser?
Ini hati, jika terluka tidak akan bisa dioperasi oleh dokter dari mancanegara sekalipun. Oleh alat secanggih apapun, dan oleh rumah sakit bedah manapun. Ini hati, bagian milik manusia yang paling dalam dan rahasia. Jika sekali terluka, maka selamanya akan tetap berbekas dan bisa terbuka kapan saja meski sudah terjahit sempurna oleh hal yang bernama 'lupa'.
Tapi proses penyembuhan hati bukanlah suatu hal yang mudah. Tidak semudah seseorang mengedipkan bulu mata atau menghirup nafas. Maka dari itu, ia tidak ingin gadis itu merasakannya lagi. Ia tidak ingin gadis itu harus memberikan setetes air pada lukanya yang kembali basah. Itu menyakitkan. Tenang tenang, ini hanya masalah mimpi, tidak akan terjadi.
Jika ada yang mengubahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Gazza mau nganter pasti karena ada Lauren."
Semoga suka, maafin typo ya ❤ dia nggak salah, yang salah gue.
Gazza mau nganter Seva karena ada Lauren atau bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top