#1 Ini caraku

Ini caraku agar keberadaanku
tidak lagi dianggap semu.

-Aku

Perlahan mereka turun satu persatu dan semakin banyak seperti sebuah pasukan, tetes air yang dibawa awan hitam mulai membasahi jalanan hingga menimbulkan genangan di sudut kota dan tempat tertentu.

Membuat beberapa orang terpaksa harus berhenti melakukan aktivitas diluar rumah. Meneduh, itulah satu-satunya pilihan disaat sedang tidak membawa apapun untuk menghalau serangan ribuan butir yang turun semakin deras.

Kicauan burung yang tadinya menyanyikan lagu seolah menyambut hujan tak lagi terdengar. Pun teriakan tukang koran dan pedagang kios pinggir jalan ikut bungkam sejak pertama kali ribuan air itu datang, sibuk menata dan menyelamatkan barang dagangan yang jelas saja akan membawa kerugian bila dibiarkan begitu saja.

Dari jendela kaca besar yang mulai berembun, terlihat puluhan orang masih berlalu lalang menuju tempat tujuan masing-masing. Beberapa orang berhenti di halte, membentangkan payung dan mulai menerobos hujan meninggalkan laki-laki berkacamata yang menggosokkan tangannya melawan dingin, serta seorang wanita pekerja kantor---terlihat dari pakaian kemeja dan rok hitam serta kartu pengenal yang tergantung di lehernya, sepertinya pegawai administrasi? entah, yang jelas wanita itu sedang mengusap percikan air sebelum menggulung lengan kemejanya dengan wajah kusut. Apakah dia lelah?

Perlahan jarinya membuka earphone yang sejak tadi menutupi indra pendengaran gadis itu, beralih mengambil cangkir dan menyesap coklat panas yang selalu menemaninya menghabiskan jam di tempat ini.

Gerakannya meletakkan cangkir berhenti sejenak seiring dengan pergerakan alis mengkerut saat melihat gadis berkacamata yang mengenakan seragam sekolah sama sepertinya sedang berlarian menyambut hujan tanpa pelindung apapun, tidak ada mantel atau payung yang menyelimuti tubuhnya, alhasil tubuh mungil itu basah.  Menyisakan percikan air dan tatapan heran dari orang-orang di sekitar sana, apakah gadis ini tidak takut sakit?

Memang seperti itulah hujan, membuat kita senang sebelum akhirnya jatuh dan memberikan rasa sakit yang entah berjenis apa. Memaksa ingatan yang selama ini menolak diingat barang sedetik, karena itu pahit.

Hujan selalu datang disaat kesedihan itu tiba, selalu datang disaat kebahagiaan juga hadir. Intinya dia mengerti bahwa kedatangannya akan selalu bertepatan dengan sebuah cerita mengesankan, entah sebuah cerita yang telah usai atau justru cerita yang bahkan belum dimulai dari arah manapun, hanya harapan.

Sudah taukah kau mengenai sifat hujan? sifatnya banyak, tak terhitung jari namun selalu mengesankan, sulit dilupakan dan sulit juga dihilangkan meski telah berusaha berkali-kali. Persis seperti masa lalu, tidak tidak, hanya mirip bukan persis.

Jangan salah paham, gadis itu bukan menyukai hujan karena cerita buruk dibaliknya. Ia mencintai butiran air itu karena tau bagaimana sifatnya, terinspirasi. Ini yang dicontohnya dari hujan, meski tau rasanya jatuh berkali-kali dia tidak pernah menyerah dan berhenti untuk mecoba meski ia tau akan kembali jatuh.

Bukan bodoh, gadis itu tau bahwa hujan hanya berharap butiran airnya jatuh di sebuah tempat yang tidak menyakitkan, entah tubuh seseorang, payung, kain, atau apalah. Tapi memang terkadang semua harapan tidak sesuai realita.

Seperti sore ini, orang-orang banyak yang meneduh dan membuat hujan harus jatuh ke tanah, meletup dan hilang tanpa pamit, hanya bisa meninggalkan bekas dan suasana yang berbeda dari sebelumnya. 

Gadis itu menghela nafas, matanya menatap lurus ke arah seorang gadis lain yang berdiri di seberang cafe dengan kedua tangan sedang melindungi ibunya dari percikan hujan.

Ia melepas jaket dan menyampirkan kain biru tersebut di bahu ibunya yang saat ini sedang tersenyum. Wanita itu komat-kamit berbicara sesuatu lalu tertawa dan mengacak pelan rambut hitam sebahu milik si gadis. Hatinya berdenyut, merasakan sesuatu lain hinggap merayap dalam perasaannya yang tak terbaca.

“Udah lama?” dia menoleh, tersenyum sekilas lalu bangkit menyalami wanita bertopi yang saat ini menatapnya ramah.

Gadis itu menggeleng pelan dan kembali duduk tanpa mengalihkan pandangan pada wanita itu, wanita yang pernah berbagi cerita bahwa banyak orang yang memiliki sifat berbeda dengannya.

Jika dia mencintai hujan, justru sebaliknya, sebagian dari mereka di luar sana banyak yang membenci hujan. Entah karena basahnya, entah karena kaburnya pandangan akibat gerakan air, ataukah sesuatu lain yang tidak nampak. Hanya bisa dibaca melalui sorot mata dan perasaan, kenangan.

“Kali ini apa lagi?” tanya wanita di depannya membuyarkan lamunan.

Gadis itu tersenyum sambil merogoh sesuatu dari dalam tas. Sebuah amplop coklat berlogo yang kemudian ia sodorkan pada orang di depannya dengan gerakan pelan.

“Surat peringatan lagi?”

Wanita itu menghembuskan nafas berat ketika melihat gadis di hadapannya mengangguk cuek tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Sampai kapan sih kamu berhenti bikin ulah?”

“Aku nggak pernah punya niatan bikin ulah tan.”

“Nggak sengaja gimana? bahkan laci meja kerja tante udah penuh sama surat peringatan kamu dari sekolah.”

“Oh ayolah tan, surat peringatan itu nggak akan berpengaruh sama masa depan aku.”

“Tante harap, masalah kamu bisa cepet selesai ya Ren. Sebagai seorang ibu juga, tante nggak bisa lihat kamu terus-terusan kayak gini.”

“Harusnya tante ngomong gitu ke mama, bukan ke aku. Ya udah aku pamit ya tan, mumpung udah reda.”
ucap gadis itu memasukkan earphone ke dalam tas punggung yang tadi ia bawa dan segera bangkit untuk bersiap pergi.

“Hati-hati Ren.”

Gadis itu tersenyum seperti biasa dan melambaikan tangan sebelum mengangkat tudung jaketnya untuk menutupi rambut pirang yang begitu mencolok. Baru saja ia membuka pintu, bersamaan juga beberapa orang masuk dengan tergesa dari arah luar hingga salah satu dari mereka menabrak ujung bahunya.

“Maaf.” ucapnya singkat tanpa berniat menoleh dan segera melanjutkan jalannya sebelum hujan kembali datang.

Tanpa disadari siapapun, sepasang manik mata hijau itu terdiam untuk beberapa saat demi menatap punggung seseorang yang semakin menjauh. Tanpa perasaan dan pikiran apa-apa, tatapannya kosong namun tak sebeku tatapan bola mata biru milik seseorang di sampingnya.

"Gazza, Marcell." Keduanya menoleh ke asal suara yang sudah tidak lagi mereka dengar sejak 2 bulan yang lalu.

Gadis itu masih sama, rambut pirang yang digerai asal tanpa hiasan apapun berpadu kontras dengan seragam sekolah tanpa dasi yang mulai terlihat kusut karena hari sudah sore. Senyumnya melebar saat mendapati dua orang yang sejak tadi ditunggunya berjalan mendekat dengan muka datar.

Gadis itu mengangkat tangan memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanan untuk mereka berdua dengan sangat lancar. Setelah dirasanya tidak ada yang salah dari pengulangan pesanan yang disebutkan pelayan, gadis itu tersenyum lalu menoleh ke arah mereka berdua.

"Nggak kangen sama gue?"

"Nggak." Marcell dan Gazza menjawab hal yang sama dengan serentak.

Gadis itu mencebikkan bibir sambil memutar bola mata malas. Tidak ada yang berubah dari kedua orang di hadapannya. Yang satu dingin. yang satu sangat keras bak kayu ulin.
Tapi gadis itu tau alasan mengapa dua orang yang sudah dianggapnya kakak ini bersikap sangat menyebalkan. Masa lalu.

"DO lagi?"

"Seperti yang lo lihat." Gadis itu mengedikkan bahu acuh dan melirik ke arah amplop putih yang sudah duduk manis di atas meja.

"Pindah kemana lagi?"

"Sekolah kalian."

"Lo gila?!!!" Marcell menegak dan menoleh ke arah Gazza yang saat ini sudah terdiam kaku dengan pandangan lurus.

"Lo bercanda kan?"

"Gue serius, gue udah di daftarin di sekolah kalian sama papa. Katanya sih biar ada yang jaga. Ck, kayak gue masih bocah aja."

"Good bye hidup tenang." gumam Marcell sambil menatap gadis di depannya yang tersenyum semakin lebar.

"Detik-detik kematian."

"Kalian gitu banget sih sama gue, gue kan nggak pernah nyusahin."

"Sev, berapa kali coba lo di DO?"

"1,2,3..4 kali, baru juga 4." Gadis bernama Seva itu melotot sewot sebelum akhirnya mengubah ekspresi menjadi senyum saat pelayan mengantar pesanan.

"Ck, gue bandel nggak segitunya."

"Eh tabung Gaz, nggak usah lebay deh. Wajar dong, tiga kali ini kan gue sekolah di negeri, ya jelas berpeluang di DO lah. Makanya sama papa gue di pindah ke swasta, biar nggak kena DO lagi."

"Serah lo."

"Kakaknya wajar, adiknya kurang ajar."

"Bully aja gue terus, gue sama Kak Maudy beda ya Cell, calon orang teladan kayak dia nggak pantes bikin ulah."

Gazza yang melihat sahabat dari kecilnya sejak tadi mengoceh berniat iseng dengan menyipratkan jusnya menggunakan sedotan ke arah Seva. Alhasil, gadis itu terdiam sesaat dengan wajah datar lalu kembali menggebrak meja untuk mengatakan sesuatu.

"Besok cariin gue temen, nggak mau tau!"

"Besok udah pindah?!!"

"Iya lah, masak kemarin?" tanya Seva membuat kedua orang di depannya saling pandang dan serempak menepuk jidat frustasi.

"Mati."

Vaselia Sevara Anindito. Lagi-lagi gadis itu mampu menjadi peran ganda untuk mereka berdua. Sebagai adik sekaligus bencana.

***

Kedua cowok yang awalnya sibuk bermain ponsel kini menoleh saat melihat dua manusia sedatar triplek sedang berjalan bersama gadis yang mereka sendiri belum kenal. Alisnya mengerut bingung saat melihat orang asing tadi terlihat begitu dekat dengan dua sahabat mereka yang memang tidak mudah menerima orang lain begitu saja.

Sampai di depan mereka, gadis itu akhirnya berdehem untuk memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka. Ia duduk lalu menyodorkan tangannya memperkenalkan diri.

"Hai, gue Seva, kalian berdua siapa?"

"Gue Rian, cowok terkeren di sekolah ini."

"Gue Arsen, cowok paling humoris yang bakal bisa bikin pasangan hidup gue bahagia."

"Bahagia apanya, gila iya."

"Karena udah lengkap, ayo mulai konser disini." Arsen masuk ke dalam kelas mengambil sesuatu tanpa memperdulikan protes dari Rian.

Cowok itu kembali dengan membawa gitar lalu segera menyerahkannya pada Marcell yang sedang mencari posisi nyaman. Seva yang memang sudah mulai akrab dengan mereka akhirnya mengajukan diri untuk menjadi teman duet Rian. Sementara Arsen menjadi yang menari dan Gazza seperti biasa, dia hanya memainkan ponsel sambil sesekali melihat mereka sambil memutar bola mata malas.

Saat mereka sedang asik bernyanyi dan menari, dari ujung lorong lain muncul suara ribut yang langsung membuat mereka menoleh serentak dengan penasaran.

"Permisiiiii!!!!!!!!!!!"

"Buset, itu suara apa toa?" Rian refleks menutup telinganya saat melihat seseorang sedang berlari dan berteriak agar mereka memberi jalan.

"Oleng kapten oleng, tidak tidak, ini suara apa, siapapun tolong bantu Arsen!!"

Cowok itu bukannya minggir justru bergerak kesana kemari mirip orang mabuk. Alhasil, dua orang di antara mereka harus tersungkur jatuh karena menabrak kedua cowok yang bersikap seolah sedang terjadi gempa bumi besar disana.

"Punya mata nggak sih lo?"

Setelah itu, semua seolah bergerak cepat diluar kesadaran Nadia, matanya berkedip sadar lalu segera menoleh ke arah ketiga gadis yang sudah berjalan menjauh. Tanpa mengatakan apapun kepada keempat cowok disana, gadis itu berlari menyusul ketiga orang tadi sambil berteriak kencang.

"EH TUNGGU!!!!"

Melihat hal itu, Gazza terdiam sebentar sebelum akhirnya menatap Marcell yang saat ini sudah berbalik dan ikut menatap ke arah objek yang sama. Mereka saling tatap sebelum akhirnya Marcell lagi yang memulai pembicaraan.

"Dia dapet temen, Za."

"Mereka siapa?" tanya Gazza kepada kedua orang yang saat ini sepertinya sedang sibuk membicarakan sesuatu.

"Lo nggak kenal siapa mereka?"

"Nggak pernah kenalan."

"Gue kasih tau nih, mereka itu murid kesayangan guru BP. Kerjaannya bikin rusuh, keluar masuk ruang BP, kena hukuman, telat, bolos, dan loncat pager. Masih banyak sih sebenernya, tapi nggak cukup kalau gue omongin disini, yang ada omongan gue bisa dibikin novel."

"Bener kata Rian, mereka tuh nggak pernah kapok walaupun udah pernah disuruh ngepel seluruh lantai sekolah.
Kalau soal bikin guru darah tinggi, mereka jagonya, gue mah masih kalah."

"Tapi ya gitu, jarang ada yang mau berurusan sama mereka, sifat ketiganya tuh misterius, dan setau gue mereka juga males ngurusin hidup orang. Gue lihat nih ya, mereka ngurus hidup sendiri aja susah."

"Cantik semua sih, tapi pada gila."

"Ngaca!!!" Rian menjitak kepala cowok itu dengan sedikit gemas.

"Kaca gue masih di laundry, sengaja gue cuci biar bening seperti tanpa kaca."

"Bisa diem nggak?"

"Diem." Arsen menutup mulutnya lalu duduk anteng dengan ekspresi dibuat semanis mungkin, meski hasilnya sama saja.

"Oh ya, kenapa kalian nanya gitu?" tanya Rian yang beralih menatap Marcell dan Gazza bergantian.

"Mati." ucap mereka berdua menatap keempat punggung yang sudah menjauh sebelum akhirnya menunduk lesu.

"Kenapa?"

"Siapa yang mati? kagak ada yang bawa keranda perasaan."

"Bentar lagi sekolah ini bakal hancur."

"Ihhhh, nakutin banget muka lo Cell, hancur kenapa? kayak hati gue dong. Lah Cell, kok malah pergi?"

Marcell yang sudah berjalan menjauh dari tempat itu hanya melambaikan tangan tanpa berniat menoleh atau menjawab pertanyaan konyol dari orang semacam Arsen.

"Bayi dugong nggak usah baper." ucap Rian yang saat ini sudah mengejar Marcell dan Gazza menuju kantin.

"Gue bayi dugong? emak gue dugong juga dong?"

"Ah masa iya? ntar deh gue tanya langsung, dalam keluarga nggak boleh ada rahasia kan?" gumam cowok itu mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat.

Gimana gue tanyanya ya?

Emak itu dugong?

Emak sebenernya dugong ya?

Ya tuhan, durhaka banget gue


Kagak deng, namanya juga kepo.

-SELEZIONE-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top