Part 27
Bismillah.
Boleh siapin tisu deh. Part ini mungkin agak sedih-sedih gimana gitu. Dan mungkin juga terasa agak panjang. Jadi tisunya bisa buat ngelap keringet juga :)
***
Langit mulai gelap ketika Mariam tiba di Madrid. Ia tak sempat memperhatikan apapun di Barajas Airport yang begitu padat, tergesa mencari gate berikutnya untuk melanjutkan penerbangan ke Granada. Ia hanya punya waktu 1,5 jam untuk check in, mengurus bagasi, dan boarding. Beruntung, kopernya dan koper berisi benda-benda kesayangan Anna yang dititipkan oleh keluarganya melewati conveyor di awal-awal sehingga ia tak perlu menunggu lama.
Mariam bersyukur masih sempat ambil napas barang sebentar. Ia duduk di ruang tunggu, menghabiskan jus orange yang tadi dimintanya dari kru pesawat. Setelahnya ia berkirim pesan pada Ahmar.
[Assalamualaikum.
Ahmar, aku sudah di Madrid. Adakah yang bisa menjemputku di Federico Garcia Lorca? Pesawatku tiba di sana 8.50 pm.
Tapi tak mengapa jika tidak ada.
Terima kasih]
Sementara di seberang sana, Ahmar terbengong membaca pesan Mariam.
"Dia sudah di Madrid?" batinnya bertanya-tanya. Lalu secepatnya berpikir tentang siapa yang akan menjemputnya. Tentu saja dia tak akan membiarkan Mariam keluar sendirian dari bandara di tempat yang asing baginya.
Tepat lima menit setelah tenggorokannya basah, suara panggilan untuk penumpang Air Iberia menuju Granada terdengar. Mariam membereskan ranselnya, mengecek kembali gawainya. Pesan balasan dari Ahmar belum tampak. Ia melangkah terburu, bergabung di barisan antrian menuju pesawat yang akan membawanya ke Granada.
Penerbangan satu jam lima menit berlalu tak terasa. Mariam telah menginjakkan kaki di tanah Granada, bagian dari bumi Andalusia yang menjadi impiannya. Meski alasan keberadaannya di sana tak sesuai dengan cita-citanya.
"Tunggu aku, Anna," batinnya bicara, jemarinya menghapus airmata.
[Waalaikumsalam.
Latifa yang akan menjemputmu di airport. Maaf, nanti kau bisa langsung hubungi dia]
Pesan balasan Ahmar yang pertama dibaca begitu gawainya menyala. Ia segera menghubungi Latifa, dan tak sampai satu jam, mereka sudah bersama.
"Sudah malam, kita pulang dulu ke rumah mama," kata Latifa setelah menutup pintu mobilnya. Mariam hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan menuju Albayzin, ia hanya sedikit bertanya tentang keadaan Anna, juga bayinya. Sisanya dihabiskan dengan diam. Latifa pun tak ingin banyak bertanya, ia mengerti apa yang dirasakan oleh gadis yang duduk di sampingnya.
Tiba di rumah ibu Ahmar, Mariam bersegera masuk ke kamar tamu usai bersapa secukupnya pada sang tuan rumah. Badannya tak begitu terasa remuk walau menempuh perjalanan selama belasan jam, tetapi hatinya terasa remuk redam atas semua kejadian yang menimpa tiba-tiba.
Bukan merebahkan badan yang pertama kali ia lakukan. Ia justru kembali larut dalam tangisan saat mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Nuansa hitam putih abu-abu yang menjadi kesukaannya, hasil kerja keras Anna sebelum ia jatuh koma. Keadaan yang ia sendiri belum tahu pasti apa penyebabnya selain kemungkinan tekanan darah Anna yang selama hamil selalu di atas rata-rata. Mariam tersedu, hingga memejam tanpa terasa.
***
Pagi tiba, Mariam telah siap untuk bertemu dengan Anna.
"Assalamualaikum, Mariam. Mari kita sarapan dulu, kami menunggumu di meja makan." Sebuah suara terdengar didahului ketukan pada pintu kamar. Suara bariton yang masih sangat Mariam kenal. Ahmar.
Mariam gemetaran. Sekuat tenaga ia menahan rasa, betapa jahatnya jika rasa yang terpendam masih saja ada, sedang sahabatnya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
"Ya," jawabnya dengan suara serak. Membuka pintu dengan langkah gontai dan kepala menunduk lunglai. Tak berani menatap sosok yang ada di depannya. Diam-diam menyusut basah di sudut mata.
***
Suasana khas rumah sakit menyambut kedatangan Mariam. Ia merasa tegang hendak bertemu Anna, meski Anna tidak akan mungkin menyambutnya dengan riang seperti biasa. Air matanya meleleh, ia tak tahu, apakah akan sanggup menghadapi keadaan itu.
Mariam mengekori langkah Ahmar, tapi ia berbelok menuju ruang bayi. Bicara entah apa dengan suster yang menjaga, lalu menghampiri salah satu box bayi yang ada di sana. Ahmar menggendong bayi perempuan itu penuh sayang, matanya memancarkan cinta yang tak terbatas. Ia menimangnya dengan sukacita, mencium lembut pipi dan keningnya.
"Namanya Maira. Humaira Adrianna Mateu. Aku menyelipkan nama mamanya, agar Maira selalu ingat pengorbanan yang dilalui mamanya ketika melahirkannya." Mariam sekuat tenaga menahan sesak di dada.
"Kau lihat, pipinya kemerah-merahan seperti mamanya. Gendonglah, dia pasti senang."
Mariam menggendongnya dengan hati-hati. Menyentuh lembut pipi merah Maira yang tetap tertidur pulas.
"Anna, anakmu cantik, sama kaya mamanya. Aku bahkan menggendongnya lebih dulu daripada kamu." Mata Mariam menghangat. Ia pindahkan kembali Maira ke gendongan Ahmar yang menaruhnya kembali ke box bayi.
Berdua berjalan menuju ruang tempat Anna dirawat. Mariam tak sanggup menahan kesedihan melihat sahabatnya dari balik kaca. Isaknya menghebat. Ahmar serba salah, ia tak tega melihat Mariam menangis seperti itu, tapi ia tak pula punya cara untuk membantu menenangkannya. Ah, terkadang hati memang sulit diajak kompromi.
"Kau tak ingin masuk, Mariam?"
"Ap-apakah boleh?"
"Tentu saja, asal tak lebih dari dua orang di dalam sana." Mariam pun kembali mengekori Ahmar. Mereka berdua telah berbalut baju khusus untuk masuk ke ruang perawatan yang juga khusus.
"Anna, ini aku! Aku sudah datang, An! Kamu bangunlah, jangan begini sama aku! Katamu pengen ketemu aku, maksa-maksa aku dateng, tapi aku dateng kamu malah diem aja! Anna, bangun, An! Ini aku! Ini Iam! Aku kangen kamu, An! Ayolah, bangun! Kita jalan-jalan lagi, kemana aja semau kamu! Anna, ayo bangun!" Begitu masuk ke dalam, tangis Mariam tak lagi bisa dibendung. Ia meraung sambil memeluk sahabatnya. Bicara terus, apa saja, sambil tak berhenti mengeluarkan air mata dan mengguncang-guncang tubuh Anna. Mariam seperti kehilangan kesadarannya.
"Mariam, tenanglah. Tenangkan dirimu. Anna pasti sedih melihatmu begini. Kamu kuat, Mariam. Tenanglah!" Ahmar menarik Mariam, memeluknya erat agar Mariam tak lagi kehilangan kendali. Ahmar sendiri putus asa, tak tahu harus melakukan apa.
Dunia seakan berhenti berputar. Mariam membeku, pun dengan Ahmar.
"Maaf. Maafkan aku, Mariam. Aku tak tau harus bagaimana melihatmu seperti itu. Maafkan aku." Tersadar. Ahmar segera melepas peluknya.
Mariam bergeming, tak berani menatap pria di hadapannya. Senyatanya hatinya merasa tenang berada di pelukan Ahmar. Ia berkali membatinkan istighfar. Air mata masih terus mengalir meski tanpa suara. Ia merasa bersalah pada sahabatnya.
"Sayang, yang selalu kau rindukan sudah ada di sini. Iam sudah datang. Kalian ngobrol dulu ya." Ahmar mendekati Anna, mengecup lembut kedua pipi dan kening istrinya. Mariam berpaling muka, kenyataannya ia belum siap dengan pemandangan di depannya.
"Masih ada waktu. Kau lanjutkan saja temani Anna, keberadaanmu yang paling dia tunggu. Aku menunggu di luar."
Sampai di pintu, Ahmar berhenti lagi. Menoleh pada Mariam yang masih mematung melihat punggungnya.
"Oh ya. Sekali lagi maafkan aku, Mariam." Mariam mengangguk. Lantas kembali mendekat pada sahabatnya.
Bagaimanapun, sahabat adalah dia yang selalu ada, saat suka maupun duka. Dia yang selalu marah, saat kita salah. Dia yang selalu sedih, saat kita pedih. Dia yang selalu tertawa, saat kita gembira.Dia yang selalu jujur, meski itu membuat kita hancur. Dan dia pula yang kemudian memberi semangat, sehingga kita yang jatuh menjadi kuat dan terangkat.
Mariam telah jauh lebih tenang. Ia duduk di samping tempat tidur Anna. Satu tangannya menggenggam erat jemari sahabatnya, tangan yang lain mengelus wajah Anna.
"Hei, nona Anna. Aku sudah di sini. Kamu cepet bangun ya! Besok kita jalan-jalan bareng lagi, sama Maira juga. Kau tau, Maira cantik, sama sepertimu. Pipi merahnya, persis seperti kamu, kalo lagi malu, seneng, jatuh cinta, juga marah. Hehe, kamu memang aneh. Kalo orang marah yang merah matanya, mukanya, tapi kamu pipinya."
"An, aku kangen kamu. Maafin aku ya. Harusnya aku langsung iyain aja permintaanmu. Jadi kamu nggak usah maksa aku dateng dengan cara kaya gini. Kamu jahat banget tau nggak sih."
"Oh ya, ada titipan dari keluargamu. Mamimu, papimu, Bang Ronald. Semua. Semua sayang kamu. Sampe pada bingung karena nggak bisa secepatnya nengokin kamu. Malah aku yang duluan sampai sini."
"Eh, hafalanmu sudah sampe apa, An? Udah juz berapa? Jangan ngeduluin aku ya, nanti aku malu. An, kamu sembuh ya. Aku janji, kalo kamu minta apa aja aku janji nggak akan nggak jelas lagi kaya kemarin. Asal itu baik dan nggak menyelisihi Allah dan Rasulullah, i will say yesss. Apapun itu. Tapi kamu sembuh ya! Janji ya!"
Berbagai hal dikatakan oleh Mariam pada Anna. Kenangan lucu yang pernah mereka lalui, hal-hal gila yang pernah mereka lakukan bersama, impian yang pernah mereka ukir untuk saling mendukung mewujudkannya. Semua. Masih dengan menggenggam jemari dan mengusap wajah sahabatnya. Sesekali ia menghapus air matanya sendiri.
Ahmar memandang dari luar kaca. Dadanya sesak menyaksikan adegan di hadapannya. Ia masuk perlahan, Mariam bahkan tak menyadari kedatangannya. Mendehem pelan agar Mariam tak kaget dengan keberadaannya.
"Mariam, waktu berkunjung sudah habis. Kita bisa ke sini lagi sore nanti." Ahmar memberitahu Mariam. Lalu mendekati istrinya.
"Sayang, aku pulang dulu ya. Nanti sore kita ketemu lagi," pamitnya. Seperti tadi, kembali mengecup kedua pipi dan kening Anna. Dan seperti tadi pula, Mariam kembali mengalihkan pandang ke arah lain.
Keluar dari ruangan Anna, Mariam berhenti lagi di depan kaca. Memandang sahabatnya sembari menggumamkan namanya. Doa dan pinta terucap untuk kesembuhan seseorang yang begitu disayanginya.
"Duduklah, jika kau belum ingin meninggalkannya," tawar Ahmar, menunjuk bangku kayu di taman dekat ruangan Anna dirawat. Mereka duduk berdua, namun sama sekali tak terdengar suara. Canggung.
"Mariam, maafkan aku. Aku...,"
"Ssstt, sudahlah. Sudah terjadi, mau apa lagi. Tak perlu dibahas."
Hening kembali menyusup diantara keduanya. Hingga Ahmar kembali berinisiatif membuka perbincangan.
"Aku masih belum tau bagaimana kau bisa secepat ini sampai di Granada. Tiket mungkin masih bisa kau dapatkan mendadak, tapi visa... bagaimana mungkin kau bisa mengurus visa secepat itu?" kata Ahmar dengan pandangan lurus ke depan.
"Tunggu! Apakah maksudnya kau tak tau jika Anna sudah membeli tiket untukku dan membantu menguruskan visaku sejak beberapa waktu yang lalu?"
"Heh, ma-maksudmu?" Ahmar kaget, matanya refleks memandang Mariam. Keduanya bertemu mata dan segera membuang pandang ke arah berlawanan. Mariam tertawa getir mendengar jawaban Ahmar.
"Subhanallah, Anna. Dia bahkan tak memberitahumu tentang ini?" Isak Mariam kembali terdengar.
"Dia ingin aku datang dan menemaninya saat melahirkan. Aku sudah menolaknya, tapi dia terus memaksaku. Dia kirimkan tiket kelas bisnis, bahkan dia kirimkan pula seseorang utk membantuku mengurus visa. Tadinya aku tetap tak akan datang ke sini, sampai akhirnya pesanmu datang dan mengabarkan keadaan Anna sekarang."
"Allah akbar. Aku benar-benar tak tau dia melakukan itu, Mariam. Mungkin dia ingin memberi surprise untukku. Dia memang selalu begitu. Tapi aku tau, dia tak pernah bermaksud buruk. Dia hanya tak tau kalo...,"
"...." Tak sanggup mengeluarkan suaranya, Mariam hanya bisa memberi isyarat pada Ahmar untuk tak melanjutkan kalimatnya. Ia kembali sesenggukan. Lama.
Ahmar merogoh saku celananya, mengambil sapu tangan bersulamkan nama keluarganya. Belum sempat mengulurkan, netranya menangkap Mariam yang sedang menyusut air mata dengan sapu tangan hijau tua. Sapu tangan yang sama persis dengan yang baru saja hendak diulurkannya.
Memori Ahmar mundur satu tahun ke belakang. Dia belum lupa, sapu tangan itu yang diberikannya untuk Mariam saat di Titlis dulu.
"Kau masih menyimpannya."
"Apa itu?"
"Emm..., tidak. Bukan apa-apa." Tapi Mariam keburu melihat ke mana mata Ahmar mengarah.
"Oh, eh, ini... emm ma-maafkan aku." Mariam memasukkan sapu tangannya dengan tergesa. Malu. Tapi Ahmar sudah terlanjur tahu. Ia tertawa getir. Lagi.
"Jahat ya aku ini. Aku bukan sahabat yang baik. Lihatlah, aku bahkan masih menyimpan sapu tangan darimu. Padahal kamu sudah menjadi suami sahabatku. Sahabat macam apa aku ini." Tangisnya berderai kembali.
"Aku ini memang tak tau diri! Betapa dia selalu menganggap aku sangat berarti buatnya. Kau tau, Ahmar? Dia bahkan sampai mengganti interior kamar yang akan kutempati demi membuat aku betah di sini."
"Ma-maksudmu? kamar di rumah mamaku?" Mariam mengangguk. Ahmar terkejut. Gugup.
Tanpa basa basi Ahmar langsung berdiri, menyambar tangan Mariam dan menariknya. Mariam tersentak dan balas menarik kembali tangannya.
"Maaf, aku tak sengaja. Tapi kita harus ke rumah mama sekarang juga!"
Ahmar memacu mobilnya dengan kecepatan di atas normal. Terlihat begitu frustasi setiap kali bertemu kemacetan yang padahal tak separah Jakarta. Ia bahkan sampai lupa mengucap salam ketika masuk rumah mama.
"Maaf, kau tunggu di sini dulu, Mariam. Ijinkan aku masuk ke kamarmu." Mariam duduk di sofa ruang tamu dengan hati tak tentu. Benaknya dipenuhi bermacam tanya. Begitu pun mama, melihat Ahmar yang bersikap tak seperti biasanya.
Di dalam kamar Ahmar membuka kain yang menutupi peti penyimpanan, tempat anna menemukan box ponsel berisi kenangannya dengan Mariam. Ia terduduk dan menangis tanpa suara melihat posisi dalam peti sudah berubah, berantakan.
"Anna sudah tau," gumamnya lirih. Sangat lirih.
Sesal selalu datang belakangan, Ia menyesali kebodohannya. Seharusnya ia tak lagi menyimpan kenangan apapun tentang Mariam, meski sejujurnya memang ia belum sepenuhnya bisa melupakan. Tapi ia sendiri bahkan lupa jika masih ada kenangan yang tersisa di dalam peti itu.
Sebenarnya ia sudah mulai mencintai Anna sejak sebelum akad terucap, hanya saja perasaan pada Mariam belum sepenuhnya hilang dari hatinya.
Ahmar menyugar rambutnya kasar. Berkali mengucap istighfar. Dari dulu ia selalu takut menyakiti hati orang-orang yang dia cintai. Ia rela memendam sendiri semua sedih dan sakit hati. Tapi pada akhirnya ia justru malah menyakiti semuanya. Tak hanya Anna dan Mariam, tapi juga Mama.
"Kau kenapa, Nak?" Mama mengetuk pintu.
Ahmar tersadar. Ia harus menyimpan rapat-rapat semua yang dia ketahui saat ini. Karena jika Mariam tahu tentang semua ini, sudah pasti dia akan menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa Anna.
Dengan terburu dimasukkannya kembali semua ke dalam peti. Ahmar --sekali lagi-- harus bersikap seolah tak ada apa-apa, bahwa semua baik-baik saja. Ia harus merahasiakan semuanya, di depan siapapun juga.
***
Gimana?
Ngerasa gemes, kesel, sedih, atau apa nih habis baca part ini?
Mungkin rada lebay, tapi saking menghayatinya, saya nulisnya sampai berlinangan air mata. Gak sanggup deh ngebayangin di posisi mereka bertiga. Hehe...
Baiklah.
Happy weekend, jangan lupa tinggalkan vote dan komen :)
Dan... oh iya,
jangan lupa bahagia!
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top