9. Frankfurt
Bismillah.
***
Antariksa dini hari itu tampak cerah memayungi Frankfurt, kota di mana Bank Sentral Uni Eropa berpusat. Namun suhu menggigit tetap saja menggigilkan mereka meski baju sehangat pelukan membalut. Anna menengadah memandang langit, gugusan bintang menyapa matanya yang sipit, ia menyesap kesukaannya, kopi panas nan pahit. Taman di hotel yang mereka tempati tampak sepi, hanya mereka berdua, Anna dan Mariam, serta desau angin yang sesekali menginterupsi.
Anna bangun jauh lebih awal dari biasa, tapi tetap saja Mariam bangun lebih dulu darinya. Mariam bahkan telah menyelesaikan qiyamul lail dan baru saja menutup Al Quran ketika tadi Anna menyeret tangannya untuk mengikuti langkahnya hingga ke taman. Entah apa yang akan dijadikan topik obrolannya kali ini.
“Iam, aku kok deg-degan ya. Grogi gimana gitu. Emm, tentang rencanaku bersyahadat siang nanti di Swiss, apakah menurutmu terlalu cepat?" suara Anna memecah hening usai menuntaskan isi cangkir di genggamannya.
"Anna, tak ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat. Semua Allah yang perjalankan. Yang terpenting kau sudah yakin, ikhlas dan siap pada keputusan yang kau ambil, karena berubah keyakinan akan berubah pula arah hidupmu." Anna mengangguk-angguk mendengar jawaban Mariam.
"Tentang hidayah, apa yang akan kau lakukan selepas ia kau dapatkan? Apakah akan mempertahankannya, atau akan menyia-nyiakan begitu saja."
"Maksudmu?"
"Aku pernah bilang, bahwa hidayah itu bukan cuma bagi mereka yang bukan Islam agar menjadi Islam. Ia juga berlaku bagi seorang muslim, untuk menjaga hidupnya tetap di jalan Allah dan Rasulullah. Kamu akan memilih yang mana? Memilih mempertahankannya, berarti kamu tunduk pada setiap aturan Allah yang disampaikan melalui Rasulullah, yang selama ini mungkin kamu menganggapnya ribet.
Tapi kalo kamu hanya mengubah keyakinan, setelahnya arah dan tujuan hidupmu tak menyesuaikan, itu sama saja dengan kamu menyiakan hidayah yang sudah kamu dapatkan."
"Emm, tentang keputusan, rasanya aku sudah yakin dan mantap, juga ikhlas. Memang terkesan tiba-tiba dan sedikit aneh ya? Aku pun merasa demikian. Tapi pada intinya aku udah siap, Iam. Kalopun akan terasa berat, kupikir setiap kebiasaan baru akan terasa berat di awalnya, apalagi ini berkaitan dengan keyakinan, juga kebiasaan-kebiasaan yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Bahkan beberapa selalu kuanggap sebagai ribet. Tapi entah kenapa, dari yang ribet itu justru membuat aku jadi kagum dengan kalian. Kamu, Bang Ronald, Uni Aisya, juga ...,"
"Juga, siapa?"
"Ah, lupakan saja, Iam. Bukan siapa-siapa." Senyum mengembang di bibir Anna, rona merah menyeruak di kiri kanannya.
"Tapi aku yakin akan bisa menjalaninya dengan bantuanmu, Iam. Juga Bang Ronald dan Uni Aisya. Dan mungkin ..., Ahmar."
"Insya Allah aku akan membantu semaksimal yang kumampu. Begitu pun Bang Ronald dan keluarganya, aku yakin itu. Tapi, Anna, ijinkan aku untuk bertanya satu hal lagi. Sebelumnya, aku mohon maaf, jika kau tak berkenan dengan pertanyaanku, tolong jangan dimasukkan ke hati."
"Apa itu?" Keseriusan terpancar di wajah Anna.
"Maaf, Anna. Tapi keislamanmu bukan karena Ahmar kan?" tanya Mariam nyaris tak tertangkap indra dengar. Ia menundukkan wajahnya, ragu memandang Anna. Ada khawatir sahabatnya akan tersinggung menerima pertanyaannya.
"Ah, Iam. Kau tak perlu meminta maaf. Bukankah kau pernah bilang, bahwa salah satu sebab datangnya hidayah adalah pernikahan? Cinta? Aku tak hendak berbohong padamu kalo aku memang menyimpan perasaan pada Ahmar, tapi bukan itu yang membuatku ingin berislam. Justru kamu, dengan segala kebaikan dan kesabaranmu selama belasan tahun bersahabat denganku." Anna merangkul Mariam yang duduk di sisi kirinya, menyandarkan kepalanya ke atas kepala sahabatnya yang lebih mungil darinya.
"Iam, apakah kau pernah menyebut namaku dalam doa-doamu? Memohonkan pada Allah untuk memberi hidayah padaku?"
"Rahasia." Mariam menggoda Anna, buku jarinya mengusap bening yang bersarang di sudut mata.
"Mulai deh ya, Iaaam."
Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mendo’akan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan Malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama". (HR Muslim)
Mariam menuturkan salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, namun ia tak menjelaskan apapun tentang hadits itu. Ia sudah hafal bagaimana sahabatnya. Anna pasti akan mencerna dengan tenang, lalu dengan kecerdasannya, dia akan menyampaikan kesimpulan dari sesuatu yang baru saja dia dengar.
Mariam tak meleset sedikit pun, tak berapa lama setelah Anna manggut-manggut seperti boneka dengan pegas di lehernya, dia pun berkata,
"Ah, ya ya. Rahasia ya? Inikah yang sering kamu bilang kalo doa yang baik maka kebaikannya akan kembali kepada yang mendoakan? Jadi kalo kamu doain aku dapat hidayah, maka kamu pun akan dapat hidayah. Hidayah yang akan menuntunmu untuk selalu berada di jalan Allah dan Nabi Muhammad. Lalu doamu kau rahasiakan agar malaikat yang turut mengaminkan. Begitu kah?"
"Rahasia," jawab Iam lagi.
"Iaaaamm! Tapi terima kasih banyak ya, Iam. Kamu memang sahabat terbaik, apapun doamu untukku, itu pun pasti selalu baik." Hidung Anna mendarat di ujung kepala Iam yang terlindung khimar hitam pekat. Terima kasih yang tulus dan mendalam terasa begitu lekat.
"An, kamu tau nggak? Kamu itu orang baik, pasti banyak juga yang mendoakan kebaikan untukmu. Dan diantara yang banyak itu, kita nggak pernah tau doa siapa yang berhasil mengetuk pintu-Nya. Bisa jadi bukan dariku, tapi mungkin doa dari Bang Ronald, atau Uni Aisya, dari eyang mamimu, atau bahkan doa Salman dan Sufyan buat tante cantiknya. Juga tak menutup kemungkinan doa itu berasal dari seseorang yang baru kamu kenal seperti Bu Amik, Pak Yon, atau juga ..., Ahmar. Kita nggak pernah tau, An."
Hening menyusup kembali diantara keduanya, sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Mariam menghabiskan coklat panas yang hanya tinggal menyisakan suam-suam, berusaha mengais hangat dari gelas yang berlama-lama ia genggam. Helaan napas yang kemudian diembuskan perlahan keluar dari hidung mbangir Anna, begitu kentara. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Ia menoleh pada Mariam, menatap wajah yang baginya selalu meneduhkan dan menenangkan. Temaramnya lampu tak menghalanginya menemukan kehangatan dan ketulusan di paras cantik bermata lebar dan berbibir mungil di sampingnya.
“Iam, apa syahadat itu harus disaksikan oleh orang banyak?” Anna kembali bertanya.
“Enggak. Bahkan ketika kamu mengucapkannya sendiri pun syahadatmu tetap diterima. Kan syahadatmu untuk Allah, bukan untuk manusia. Hanya saja sebaiknya ada saksi atau diumumkan kepada orang lain karena akan berkaitan dengan perjalanan hidupmu kemudian. Bukan cuma dalam menjalani ibadah dan keseharian ya, tapi juga hal lain seperti pernikahan, bahkan kematian. Jika orang lain sudah tau mengenai keislamanmu, maka mereka akan menyikapimu sebagai seorang muslim.”
"Kau siap menyambut hari barumu yang akan datang siang nanti?" tanya Mariam. Jemarinya menggenggam tangan Anna erat, matanya menatap netra sahabatnya lekat.
"Insya Allah." Anna menyambut dengan senyum.
Alarm dari pergelangan tangan kanan Mariam membuyarkan senyum keduanya, menandakan subuh telah hadir memanggil. Mariam mengajak Anna kembali ke kamar mereka.
Usai salat subuh dan bersiap melanjutkan perjalanan menuju ke Swiss, ia menyarankan dan mengajari sahabatnya untuk bersuci terlebih dahulu sebelum mengikrarkan persaksiannya siang nanti. Persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
[Assalamualaikum Ahmar. Maaf, aku hendak menyampaikan bahwa Anna sudah siap untuk bersyahadat siang nanti. Apakah ia sudah mengabarkan kepadamu tentang hal ini?]
Mariam mengirimkan pesan kepada Ahmar setelah melihat tulisan ‘online’ di bawah nama yang tertera pada chat whatsappnya. Hanya sedetik, centang abu-abu langsung berubah menjadi biru, dan detik berikutnya tulisan ‘online’ pun berubah pula menjadi ‘typing…’. Sepertinya Ahmar membalas dengan tergesa. Mungkin salah satu definisi jatuh cinta adalah, ketika membaca dan membalas pesan dari gebetan kecepatannya hampir setara dengan kecepatan cahaya.
[Waalaikumussalam, Mariam. Anna belum mengabarkan apapun padaku. Tapi dia berkali meyakinkan bahwa dia sudah siap untuk itu. Jika ada yang diperlukan, apapun itu, insya Allah aku siap membantumu.]
[Maaf, Mariam. Maksudku membantu kalian.]
Mariam tersenyum geli membaca pesan kedua dari Ahmar.
“Whatsapp kok pake revisi, dikata skripsi kali.”
[Baiklah, Ahmar. Mungkin itu saja dariku. Biar selanjutnya dia sendiri yang menghubungimu. Yang pasti kita selalu siap untuk membantu.
Eh, benar begitu kan?]
[Masya Allah. Tentu saja, Mariam. Dengan senang hati.]
[Baiklah, aku akan bersiap untuk perjalanan kita pagi ini. Nos vemos, Señorita.]
Aktivitas berdandannya hampir kelar, ketika Anna muncul dari kamar mandi dan melontarkan satu permintaan padanya. Permintaan yang membuat Mariam membulatkan mata, antara tak percaya sekaligus bahagia.
“Iam, boleh pinjam kerudungmu nggak? Sekalian pakein ya. Aku ingin bersyahadat dalam keadaan aurat yang tertutup sempurna. Seperti kamu.”
***
Catatan:
- nos vemos, Señorita (Spanyol): sampai jumpa, Nona.
***
Assalamualaikum...
Alhamdulillah masih bisa berjumpa kembali setelah Sabtu yang lalu melewatkan jadwal update karena beberapa kegiatan yang datang bersamaan. Haduh, sok sibuk yak. Hehe..
Insya Allah hari ini akan update dua kali. Semoga bisa mengobati kerinduan teman-teman pada cerita Anna, Mariam dan Ahmar ya.
Eh, ada yang rindu nggak sih? Hihihi...
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top