8. Volendam

Bismillah.

***

Embusan angin di sepanjang tepi pantai mempermainkan rambut Anna yang tergerai. Aroma segar menguar dari setiap helai. Ia tak ambil pusing, langit yang perlahan melindap membuatnya sibuk membesarkan pupil demi menikmati pemandangan yang tergambar di pelupuk mata. Di sisi kiri, air membentang sejauh pandang. Di hadapannya, deretan rumah nan cantik berbaris rapi hingga ujung perspektifnya.

Goedemiddag, Ma’am. How are you?” Anna menyapa ramah pada seorang nenek yang sedang memunguti beberapa dedaunan kering di teras rumahnya.

Hallo, Jongedame, het gaat goed. Where are you come from?” Wanita paruh baya berambut putih itu mendekat ke pagar kayu bertinggi tak seberapa, menghampiri Anna dengan keramahan yang tak kalah.

I’m from Indonesia, Ma’am.”

“Indonesia? Jakarta?”

“Yes, Ma’am. Do you know about Jakarta?”

“Ya, saya dulu pernah di sana.” Nenek itu menyalami Anna, lalu menariknya dalam pelukan hangat. Ah, Anna memang selalu ramah dan hangat pada siapapun, meski kadang cuma berawal dari basa-basi dan SKSD. Seperti tadi.

“Oh ya? Apakah Anda tinggal di sana?” tebak Anna usai mendengar ibu itu bicara dalam bahasa Indonesia dengan cukup baik.

“Duh, anak ini mulai kepo deh,” batin Mariam geli.

“Tinggal, tapi tidak lama. Ibu saya orang Indonesia.”

“Oh ya? Berarti kita masih saudara ya, Ma’am?” Anna tertawa lepas, menyisakan garis tipis pada matanya. Ahmar tersenyum melihat wajah Anna yang terlihat unik di matanya. Juga melihat keramahannya.

“Ya ya, tentu saja. Kalau begitu, ayo singgah di rumah saya.” Nenek itu hampir beranjak menuju pintu pagar, ketika Anna dengan sopan mencegah langkahnya.

Nee, Ma’am. Terima kasih banyak tawarannya, kami mau menuju ke sana dulu bersama yang lain.”

“Haven,” sahut Ahmar memberitahu Anna tujuan mereka.

“Ah ya ya, kalau sudah sampai di sini, tentu saja kalian harus ke sana. Nanti kalau ada sisa waktu, ketuk saja pintu rumahku,” tawar si nenek setelah mendengar sahutan Ahmar. Dipeluknya Anna sekali lagi. Mariam ikut menyalami, ia pun mendapat peluk hangat yang sama.

“Orang Belanda ramah-ramah ya?” celetuk Anna setelah cukup jauh dari rumah si nenek.

“Apa karena merasa bersaudara ya? Atau karena merasa bersalah pernah menjajah kita? Eh, jangan-jangan bapaknya si nenek tadi orang VOC,” ujar Anna lagi.

“Hush, jangan dibiasain ngomong asal deh ya. Yang lalu biarlah berlalu. Menurutku memang bawaan mereka ramah dan hangat. Aku aja merasakan kehangatan suasana di  Belanda ini.” Mariam mengingatkan sembari merapatkan jaket dan mengenakan kaos tangannya.

“Mana ada kehangatan yang bikin orang buru-buru rapetin jaket trus pake kaos tangan.”

“Kehangatan suasana tauk! Kalo hawa mah tetep aja dingin. Dasar embuh!”

“Kamu tu yang embuh.” Anna menoyor kepala Mariam, yang dibalas dengan cubitan. Ahmar menggeleng melihat keduanya.

“Kenapa Mas Ahmar? Pusing ya lihat mereka berdua berantem melulu?” suara Bu Amik terdengar tiba-tiba, masih dengan kamera yang kelihatannya tak pernah lepas dari genggamannya. Ahmar tertawa, lalu berjalan bersama Bu Amik sambil ngobrol entah apa. Meninggalkan dua sahabat yang lagi bercanda enggak jelas.

Volendam memang unik, tak heran jika ia menjadi salah satu tujuan wisata yang wajib dikunjungi di Belanda. Terletak di munisipalitas Edam-Volendam, konon pada awalnya hanya ditempati oleh 25 keluarga nelayan, dan kini penduduknya telah berlipat menjadi 21.000 jiwa. Rumah-rumah kayu khas Belanda berjajar rapi, beberapa jembatan kayu kecil menjadi penghubung dari kanal yang memisahkan deretan rumah satu dengan yang lain.

Haven adalah daerah pusat keramaian di Volendam. Toko-toko souvenir berbaris rapi dan tak ada satu pun yang sepi. Dermaga terlihat dari sepanjang tepinya. Tak ketinggalan restoran dengan hidangan ikan khas daerah pesisir. Juga studio foto dengan kostum tradisional nelayan Belanda tempo dulu yang antriannya seakan tak pernah berjeda.

"Foto berdua yuk, Iam," ajak Anna sekelarnya sesi foto bersama grup mereka.

"Berdua sama Ahmar apa sama aku nih?"

"Kalo dia mau, aku mau banget. Tapi mana mungkin dia mau," bisik Anna. Ada harap terselip di sana.

"Ahmar, foto bertiga yuk," celetuk Anna saat Ahmar tiba-tiba lewat di depan mereka.

"Eh, kok bertiga sih? Aku kan bukan obat nyamuk," sahut Mariam segera.

"Ssstt, diam bawel! Lebih baik bertiga daripada enggak sama sekali," bisik Anna lagi. Tangannya menarik Mariam dan Ahmar bersamaan. Senyum puas tergambar di wajahnya begitu lembar foto berpindah ke tangannya.

Berdua bergegas keluar dari studio foto dan bergabung bersama begitu banyak orang menjejali penjual bermacam barang di sepanjang Haven.

“Anna, aku udah selese beli oleh-olehnya. Kamu masih lama nggak?”

“Kamu duluan aja deh, barang-barangnya bikin gemes nih, lucu-lucu. Murah-murah pulak. Sayang banget kalo terlalu cepat dilewatkan,” sahut Anna tanpa mengalihkan mata dari benda-benda lucu di toko souvenir yang mereka datangi sambil tersenyum-senyum sendiri. Mariam pun melipir pergi, berjalan sendiri. Entah kenapa dia begitu menikmati setiap sudut tempat itu.

Kaki Mariam mengarah ke area permukiman, menuruni tangga, menyusur tepian kanal dan berhenti sejenak di jembatan kayu kecil, menyandarkan siku di atasnya sembari matanya menatap air yang berkilauan. Kalimat thayyibah meluncur bergantian dari bibir mungil yang disapu lipbalm bernuansa merah muda.

Sebulir bening lolos dari netranya, menimbulkan riak kecil pada air kanal di bawahnya. Mariam mengusap sudut mata dengan telunjuk kanannya.

"Kau menangis ya?"

"Astaghfirullah." Mariam terlonjak mendengar suara bariton yang datang tiba-tiba. Yang meski merdu, tetapi lebih mengagetkan dari suara petir yang datang saat sedang menikmati petrikor dalam kesendirian. Apa deh.

"Maaf, maafkan aku. Aku tak ada niat mengagetkanmu," kata si pemilik suara yang merasa begitu berdosa.

"Tapi kamu sudah mengagetkanku!" suara Mariam sedikit meninggi. Juga terengah-engah saking kagetnya. Bagaimana nggak kaget, lagi asyik menikmati keindahan di belahan lain bumi-Nya, tiba-tiba ada yang bertanya tanpa mukadimah, juga tanpa tanda-tanda akan keberadaannya.

"Kamu ngikutin aku ya?!" cecar Mariam lagi.

"Maafkan aku, Mariam. Aku benar-benar tak ada niat membuatmu terkejut."

"Baiklah. Karena innamal a'malu binniyat, jadi kau kumaafkan."

"Masya Allah, bahkan bercanda pun kau masih menyertakan hadits?" Ia tersenyum. Lebih tepatnya menahan tawa.

"Eh, tapi bener kamu ngikutin aku ya? Kenapa?"

"Eh, bu-bukan begitu. Aku hanya takut kau menghilang lagi seperti waktu di Brussels kemarin. Jadi, aku mengikutimu." Benar, memang Ahmar yang mengagetkan Mariam. Tapi sebenarnya, 'takut Mariam hilang lagi' itu terdengar cuma alasan deh. Iya nggak sih?

"Astaghfirullah. Lalu kenapa kau pakai tiba-tiba nanya segala? Bikin kaget aja." Mariam beralih dari jembatan, membawa kembali dirinya ke arah keramaian. Ahmar mengambil posisi berjalan di sisinya.

"Jangan di sebelahku, kau jalanlah dulu di depanku!"

"Apa kau ingin bermain peran menjadi Nabi Musa dan gadis yang ditolongnya mengambil air untuk ternaknya?"

"Ya Rabb, bule ini ngomong apa deh? Pusing saya."

"Terserah kau saja lah. Aku hanya tak ingin berjalan di sebelahmu di tempat sepi seperti ini. Lagi pula, kau sudah tau seperti ini bisa mengundang fitnah, kenapa malah mengikuti aku?"

"Maafkan aku. Aku hanya mengkhawatirkanmu. Justru karena tempat ini sepi, dan kau nekat sendiri."

"Tak perlu mengkhawatirkanku. Maaf bukan sombong, tapi aku menguasai ilmu bela diri. Insya Allah aku bisa melindungi diriku sendiri."

"Baiklah jika demikian. Maafkan aku. By the way, kulihat tadi kau menangis, kenapa?"

"Subhanallah, bule ini beneran GGS deh, ganteng-ganteng seringkepo." Mariam tersenyum sendiri atas pikiran yang melintas, ditambah ingat pada sinetron kesukaan Mbok Sum, ibu paruh baya nan baik hati yang sudah puluhan tahun membantu di rumah ibu.

"Apakah wajib bagiku menjawab pertanyaanmu? Atau sunnah?" Lagi-lagi Ahmar tertawa mendengar Mariam berkata.

"Terserah padamu, Nona. Tapi aku akan gembira kalau kau bersedia menjawabnya."

"Baiklah, daripada kau tak bisa tidur karena ingin tau.
Emm, jadi, aku memang cengeng. Ya, cengeng! Melihat ciptaan Allah yang begitu indah bisa bikin aku menangis. Apalagi Allah mengijinkan aku untuk bisa mendatangi dan menikmati tempat-tempat yang indah di belahan bumi-Nya yang luas ini.
Siapalah aku ini? Seseorang yang berlumur dosa, yang bersyukur pun masih seadanya, tapi Allah berikan nikmat yang begitu luar biasa.
Masya Allah laa quwwata illa billah. Sungguh, tiada kekuatan kecuali dari Allah." Mariam menjelaskan dengan bibir bergetar menahan haru yang mengakar. Sedang lawan bicaranya bergetar menahan lapar, eh menahan rasa ingin cepat-cepat melamar.

"Demikian, Señor. Ada lagi yang ingin kau ketahui?"

"Termasuk ketika tadi kau menangis waktu kita hampir tiba di Zaanse Schans?"

"Allahu Akbar. Ini tour guide apa paparazzi sih?! Kok jadi berasa mata-matain orang gini."

"Hemm," jawab Mariam lewat deheman singkat.

"Maafkan aku jika menurutmu aku terlalu banyak ingin tahu. Aku hanya ...," Ahmar tak melanjutkan kalimatnya, tapi dasar Mariam, dia pun tak ingin bertanya.

"Jika demikian, kita berpisah di sini saja ya. Aku mau melanjutkan jalan-jalanku sendiri. Tenang saja, aku tak akan kemana-mana, cuma akan menunggu di salah satu bangku menuju arah meeting point. Dan tolong, jangan ikuti aku!"

Bukan tersinggung, rasa di hati Ahmar justru semakin menggunung. Diamatinya punggung Mariam hingga menghilang ditelan keramaian, seramai ombak yang berdebur di dada Ahmar.

"Acieee, Mas Tour Guide ngelamun nih ye." Tepukan di pundak mengagetkan Ahmar. Anna sudah ada di belakangnya dengan senyum jenaka.

"Astaghfirullah. Kau mengejutkan aku, Anna," tukas Ahmar melempar tawa. Ingatannya melayang pada kekagetan Mariam karenanya beberapa menit yang baru lalu. Dan dibalas kontan tak pakai lama.

"Kau beli apa saja, Anna? Bawaanmu banyak sekali. Masih ada lagi kah yang hendak kau beli? Kemarikan, biar kubantu bawa, jadi kau masih bisa belanja lagi."

"Kau serius apa ngejek aku sih?" Anna merajuk, mukanya bersungut-sungut. Tapi tetap saja kakinya melangkah menuju toko-toko souvenir di sekitar mereka.

Ahmar hanya tertawa melihat tingkah polah gadis yang diam-diam mencintainya. Gadis yang menurutnya seperti roller coaster. Baru saja tertawa, lalu bermasam muka. Sebentar ceria, tiba-tiba bermuram durja. Belum lama bahagia, lantas sedih begitu saja.

Barang-barang belanjaan Anna telah berpindah ke tangan Ahmar. Diikutinya gadis bertinggi badan tak jauh beda dengannya itu. Seperti kebanyakan kaum hawa, kemampuan dan kemauan Anna shopping memang mumpuni. Saldonya pun seakan selalu berkompromi. Ahmar geleng-geleng kepala dibuatnya.

"Oh ya, Anna. Lusa kita akan salat Jum'at di Verein, insya Allah. Kadang-kadang ada yang bersyahadat setelahnya. Kalau kau berkenan, aku akan coba menanyakan pada pengurus masjid. Jika ada, mungkin kau bisa bergabung bersama. Itu pun jika menurutmu terlalu cepat, maka aku mohon maaf."

"Tak apa, Ahmar. Sebenarnya aku pun ingin secepatnya, tapi aku ingin bicara dulu lebih banyak lagi dengan Iam. Aku janji, aku akan mengabarimu secepatnya, Señor." Anna melempar senyum termanis, semanis gula yang bertabur di hatinya. Bahagia, akan perhatian Ahmar padanya.

Satu dua rekan serombongan mulai terlihat menuju ke meeting point. Ahmar mengajak Anna untuk bergerak ke arah yang sama.

"By the way, kau tau di mana Iam?"

"Ah ya, tadi dia minta izin untuk menunggu di salah satu bangku menuju lokasi parkir bus kita."

"Emm, dia marah nggak ya kalo lihat kita jalan berdua? Dia tuh suka cerewet kalo itu berkaitan dengan aturan agama."

"Tak apa. Dia pasti senang karena apa yang dia jelaskan padamu selalu kau ingat. Nanti kalau kau sudah berkeyakinan yang sama dengan kami, lambat laun kau akan memahami dan mencintai.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, yang pada setiap sisi selalu ada aturan yang menyertai. Tentu saja semua ada tujuannya, bahkan untuk kebaikan seluruh alam, dan bukan sekadar untuk diri kita sendiri."

"Terima kasih, Ahmar. Mungkin selain Iam, nantinya aku bisa menjadikanmu tempat bertanya, juga teman berdiskusi."

"Syukur-syukur jadi istri," sambung Anna dalam hati.

"Kau kenapa senyum-senyum sendiri?"

"Eh, siapa juga yang senyum-senyum sendiri? Aku kan senyum sama Iam. Tuh dia di sana." Anna mengelak, menunjuk Mariam yang sebenarnya tak sedikit pun menoleh ke arah mereka.

"Iaaamm," teriak Anna. Berlari ia menuju tempat Mariam duduk.

Ahmar tertawa sambil menggelengkan kepala. Tangan kanan dan kirinya penuh dengan belanjaan yang belum diambil oleh pemiliknya. Mungkin lupa. Atau mungkin, sengaja ingin dimanja. Eh... Siape elo, Annaaa?

***

Catatan:

- Goedemiddag (bahasa Belanda) :selamat siang
- Hallo, Jongedame, het gaat goed : hallo nona muda, keadaanku baik
- Nee : tidak
- munisipalitas : kota madya
- Señor (Spanyol) : tuan

***

Alhamdulillah..
Salah satu jenis bahagia menurut saya sekarang ini adalah, bisa update di waktu yang sudh ditetapkan. Walaupun mepet dan mungkin juga absurd alias enggak jelas.

Seperti cerita kali ini, yang mungkin sungguh absurd sekali. Tapi mau dihilangkan, wong ya nantinya akan diperlukan. Jadi ya harap diterima saja ya. Hehe..

Baiklah.
Terima kasih buat kalian yang sudah mampir untuk membaca.
Juga untuk kalian yang (semacam) terdampar di sini hingga cerita ini terbaca 😊

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top