7. Zaanse Schans
Bismillah
***
Langit pagi itu sedikit abu-abu. Walau demikian, langkah para pegiat untuk beraktivitas di luar rumah tak lantas menjadi lesu. Persimpangan yang semalam lengang telah berganti lalu lalang. Sepeda menjadi sesuatu yang akrab tertangkap netra, meski hiruk pikuk di luar sana masih didominasi oleh mobil-mobil yang menyalakan kedua lampu depannya, seolah memberi sapa pada hilir mudik saudara kecilnya, sang sepeda. Di kejauhan, gumpalan mendung berarak rendah, seakan mengerti ada yang menatapnya dari balik jendela dengan penuh resah.
"Iaaamm, tega ya gak bangunin aku." Sosok di balik jendela itu terkinjat mendengar teriakan sahabatnya yang tanpa aba-aba.
"Aku justru nggak tega, kamu tidur nyenyak banget. Kaya anak bayi," jawab Mariam, kepalanya menoleh ke arah sumber suara.
"Jangan bilang bayi kuda nil ya!"
"Mana ada bayi kuda nil putih. Kamu mah lebih mirip bayi Bernard Bear." Mariam yang tadinya tak berniat bercanda jadi terbawa suasana. Resah yang tadi tersemat mendadak minggat.
"Kamu kenapa ngelamun? Mikirin Ahmar ya? Cieeee," goda Anna asal saja.
"Gak kebalik nih? Bukannya yang pikirannya sering digangguin Ahmar tuh kamu?" balasan Mariam berhasil membuat wajah Anna merah meriah. ada segaris senyum tertahan di sana.
"Udah deh ngaku aja! Kamu mana bisa bohong sih sama aku. Aku masih inget banget mata itu. Mata yang sama yang dulu selalu kulihat setiap kali kamu bicara tentang Raka. Mata itu, mata orang yang lagi dilanda cinta."
"Ah, Iam. Kamu itu kaya anjing pelacak deh ya, setiap apapun yang kusembunyikan, selalu ketahuan sama kamu."
"Astaghfirullah, orang seimut gini disamain anjing pelacak. Kalo emaknya Malin Kundang masih idup, aku udah nitip buat kutukin kamu jadi batu apung deh biar bisa buat nggosokin kaki."
"Hahaha, kutukanmu lebih kejam dari emaknya Malin dong."
"Ya udah, yuk makan dulu. Kasian Ahmar kalo kelamaan nungguin kamu," canda Mariam, cubitan Anna mendarat di pinggangnya. Wajah Anna lagi-lagi merona. Semudah itu. Tak perlu tamparan tangan, tertampar angin saja wajah Anna langsung merona. Apalagi tertampar hati oleh asmara. Eaaa...
Sejujurnya, ada tanya yang tersisip di benak Mariam sedari pagi masih buta, yang belum juga dapat tersampaikan hingga matahari menampakkan sinarnya. Tentang Anna, yang tidur dengan mendekap mushafnya.
"Mungkin nanti," bisik hatinya memberi harapan.
***
Bus memasuki wilayah Zaandam, sebuah kota kecil yang dahulu merupakan salah satu kota industri pertama di Belanda. Jajaran windmolen yang menjadi salah satu ikon negara Belanda berderet indah di sebalik kaca jendela. Zaanse Schans, desa tradisional Belanda ala abad 17-18 yang terbentang di tepi sungai Zaan terpampang di depan mata. Anna dan Mariam serentak berdecak.
Pemandangan yang tertangkap netra memang begitu menakjubkan. Hamparan rumput di balik pagar kayu berpadu cantik dengan air yang beriak oleh tiupan angin. Birunya langit bertabur awan-awan seputih kapas melatari delapan kincir besar yang berputar bersamaan. Sungguh, tiadalah yang mampu melukis keindahan sesempurna itu selain Al Jamiil, Dia Yang Maha Indah.
Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Dia mencintai keindahan.
(HR. Muslim, Ahmad & Tirmidzi)
"Pasti nangis lagi. Siap-siap turun gih." Anna menepuk punggung Mariam dari bangkunya, satu deret di belakang sahabatnya. Ahmar yang duduk di seberang Anna turut mendengar, lalu melongokkan kepala kepada Mariam. Benar, gadis itu sedang mengusap kedua netra dan pipinya. Ahmar merekam baik-baik dengan hatinya.
Turun dari bus, tiupan angin seolah menyambut dengan ucapan "Selamat datang di Zaanse Schans". Ahmar menerangkan kepada rombongan sedikit hal tentang Zaanse Schans. Tentang bangunan kincir angin yang tiap-tiapnya berisi industri yang berbeda. Tentang rumah-rumah kayu khas Belanda bercat hijau tua. Juga tentang beberapa museum yang di dalamnya mendemonstrasikan beberapa produk yang telah ada sejak masa industrial dimulai di Belanda. Mereka lalu bersama-sama melihat pembuatan klompen, sepatu kayu tradisional Belanda. Bisa dibilang demonstrasi klompen ini adalah atraksi utama yang dipilih hampir semua pengunjung yang datang ke Zaanse Schans. Setelahnya, mereka semua boleh memilih rute berkeliling sesukanya.
"Ahmar, kalo berkeliling sini pake sepeda bisa nggak sih?" tanya Anna.
"Tentu saja bisa. Kau ingin mencoba?"
"Tentu saja. Tapi temani ya? Aku kan tak punya pengetahuan tentang tempat ini."
"Baiklah. Aku sewakan tiga sepeda ya." Ahmar sigap menawarkan.
"Kalian saja berdua, aku nggak berani naik sepeda di sini. Aku tunggu sambil jalan-jalan di sekitar sini. Tenang, insya Allah aman." Mariam menyahut tak kalah sigap.
"Baiklah, kalau begitu kita jalan kaki saja semua," tegas Ahmar memberi keputusan.
"Kamu sih, lagi jalan-jalan juga kekeuh pake rok, ribet kan." Anna cemberut karena tak jadi mencoba bersepeda di tempat yang indah. Hilang pula kesempatan bersepeda bareng Ahmar, berdua saja. Duh, derita elo, An.
Pada akhirnya mereka bertiga menyusuri sepanjang setapak dengan berjalan kaki. Angin musim gugur menyusup di sesela mereka, menciptakan keheningan diantara ketiganya.
"Iam, apa hidayah itu hanya datang pada mereka yang mencarinya?" suara Anna memecah kebekuan. Kakinya melipir menuju sebuah bangku kayu dan duduk di sana.
"Maksudmu?" Mariam menyusul duduk di sebelah kirinya. Sengaja mengambil sisa tempat yang sedikit, agar Ahmar tak terlalu rapat posisinya dengan mereka, khususnya Anna.
"Maksudku, apa hidayah cuma bisa didapatkan oleh dia yang memang mencari tau, tertarik dan mempelajari tentang Islam, gitu? Dan nggak mungkin dateng ke orang yang cuek-cuek aja atau nggak punya ketertarikan sama Islam, gitu?"
"Emm, hidayah itu apa sih, An? Trus dari mana kamu tau tentang hidayah? Juga tentang pertanyaanmu barusan?"
"Eh, apa ya? Emm, anu hidayah itu semacam ilham yang didapatkan orang non Islam untuk masuk Islam. Iya bukan sih?"
"Ya, kurang lebih demikian. Kalo dalam Islam, hidayah sendiri adalah petunjuk. Dia bukan hanya diberikan bagi orang yang bukan Islam untuk menjadi Islam, tapi juga untuk seorang muslim agar bisa menjalani kehidupannya dengan lebih baik lagi sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah dalam Al Quran juga Hadits."
"Kamu tau dari mana tentang hidayah, An?"
"Emm, semalam aku telepon Bang Ronald, lalu aku cerita tentang apa yang kurasain. Trus dia seneng banget gitu, sampe nangis segala. Dia bilang terharu karena aku yang selama ini cuek sama ajaran agama justru terpilih dapat hidayah."
"Emang kamu cerita apa sama Bang Ronald?"
"Ya itu, aku cerita yang pas bangun malam buta tiba-tiba ada rasa pengen solat, trus aku juga ngerasa adem dan tenang tiap masuk masjid. Oh ya, maafkan aku Iam, semalam aku buka-buka kitab sucimu."
"Iya, aku tau. Aku pun tadi mau nanya soal itu."
"Nah tentang hidayah itu tadi, apa bener cuma datang pada orang yang mencari? Apa orang sepertiku nggak mungkin dapat hidayah?" Lirih suara Anna, seakan ada harapan yang khawatir tak kesampaian.
"Nggak selalu demikian, An. Hidayah itu mutlak hak Allah. Hanya orang yang Dia kehendaki yang mendapatkannya. Mungkin ada yang memdapatkannya karena memang mencari. Ada pula yang Allah berikan melalui jalan lain, pernikahan misalnya, seperti Bang Ronald. Tapi tak sedikit pula yang mendapatkannya dengan Allah datangkan begitu saja ke hatinya.
Mencari atau tidak, mungkin bukan pula wilayah manusia, penilaian sepenuhnya ada pada Allah. Bisa jadi kau menjemput hidayah dengan cara yang mungkin tak dicatat orang lain sebagai pencarian. Kau dekat denganku bertahun-tahun tanpa pernah sekalipun menghalangi aku beribadah sesuai ajaran agamaku. Kau tak pernah tersinggung meski seumur persahabatan kita aku tak pernah membuka hijabku di hadapanmu. Kau tak pernah membeda-bedakan dalam berbuat kebaikan, mau ikut keluar masuk panti asuhan dan tak sedikit membagi rezekimu meski kepada orang yang berbeda keyakinan denganmu.
Bisa jadi di hadapan Allah itu adalah pencarianmu. Jalanmu menjemput hidayah."
"Apakah itu berarti aku pantas dapat hidayah, Iam?"
"Pantas dan tidak juga bukan aku yang menilai, An. Sekali lagi, itu sepenuhnya hak Allah."
"Ya, maksudku berarti ada harapan kan ya buat aku yang tak pernah mencari untuk mendapatkan hidayah dengan tiba-tiba?"
"Tentu saja, Anna. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah menghendaki. Bahkan salah satu sahabat Rasulullah yang paling utama pun mendapatkan hidayah justru ketika dia datang dengan kemurkaan atas berita yang dia terima, bahwa adiknya telah mengikuti agama Muhammad."
Mariam pun berkisah tentang masuk Islamnya Umar bin Khattab, seorang yang dulu ada di garda terdepan penentang Rasulullah.
Ketika itu Umar mendengar bahwa Fatimah, adik yang disayanginya, telah bersyahadat dan mengikuti ajaran Muhammad bersama suaminya, Said bin Zaid. Umar yang murka segera mendatangi rumah adiknya. Sesampai di sana, ia mendengar seseorang sedang membaca ayat-ayat Al Quran, ternyata Fatimah dan Said yang sedang belajar mengaji kepada Khabab bin Al Arat. Umar masuk dan berteriak penuh kemarahan.
"Suara apa yang kudengar tadi?!" teriak Umar.
"Tidak. Tak ada suara apa pun wahai, Umar. Apakah kau mendengar sesuatu hingga kau begitu marah?"
"Aku mendengar kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad."
Lalu Umar memukul Said. Fatimah yang berniat membela pun tak luput dari pukulan hingga berdarah. Melihat darah di wajah adiknya, kemarahan Umar sedikit mereda.
"Berikan padaku apa yang kalian baca tadi!" perintah Umar pada adiknya.
"Tidak, aku takut kau akan berbuat tidak baik kepada Muhammad." Umar pun berjanji tak akan berbuat demikian.
"Tapi lembaran ini hanya boleh disentuh oleh mereka yang suci." Maka demi menuntaskan rasa ingin tahunya, Umar pun bersuci, baru kemudian Fatimah memberikan lembaran ayat Al Quran tersebut kepada Umar yang bersegera membacanya.
Thaha
Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah,
Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yamg di bawah tanah.
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhal disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaul husna (nama-nama yang baik)
(QS. Thaha 1-8)
Tak dinyana, hati Umar luluh oleh kalam indah yang ia baca. Hingga Khabab yang bersembunyi sejak kedatangan Umar pun keluar dari persembunyiannya. Khabab berkata, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah berdoa "Ya Allah, perkuatlah Islam dengan Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab."
Khabab pun meminta Umar untuk bertaqwa kepada Allah. Maka Umar pun meminta kepada Khabab untuk mengantarkannya kepada Rasulullah. Di sanalah ia kemudian bersyahadat dan berbalik berada di barisan terdepan pembela Islam.
"Bantu aku, Iam. Bantu aku untuk menempuh jalan yang sama seperti apa yang menjadi pilihanmu." Air mata meleleh di kedua pipi Anna. Dia merasa sangat bahagia mendengar yang dikisahkan Mariam. Ada harapan untuknya. Bahkan seorang yang begitu gigih membela Islam pun, dulunya adalah penentang Muhammad di garis terdepan.
Mariam merangkul Anna, meraihnya dalam pelukan. Menangis dengan bahagia yang membuncah di dada.
Ahmar yang sedari tadi tak bersuara, makin kehilangan kata. Ia sibuk menata hati, yang dipenuhi oleh kekaguman pada Mariam, gadis rendah hati yang tak sedikit pun memberi kesan menggurui.
"Maaf, tidakkah kalian ingin berkeliling melihat-lihat tempat ini? Rasanya sayang untuk dilewatkan. Kita bisa sambil ngobrol tentang banyak hal." Ahmar mengingatkan setelah peluk dan tangis kedua gadis itu agak berlalu. Sesungguhnya dia pun ikut bahagia dengan apa yang baru saja ia saksikan. Kalau Allah mengizinkan, ia pun ingin mengambil peran dalam langkah Anna selanjutnya.
"Ah ya, tentu saja. Terima kasih sudah mengingatkan," jawab Anna sembari menghapus sisa air mata.
"Oh ya, bagaimana ceritanya kamu tidur meluk Quranku?" tanya Mariam sebelum Anna benar-benar bangkit untuk melanjutkan berjalan-jalan.
"Oh itu, iya, maafkan aku. Sesudah ngobrol sama Bang Ronald, waktu mau rebahan aku lihat kitabmu, aku ingat obrolan kita dulu. Aku ingat kamu pernah bilang kalo setiap kali ada masalah kamu mencari petunjuk di sana. Jadi aku pengen nyobain."
"Trus kamu dapat apa?"
"Aku dapat surat Al Ankabut ayat 45."
"Utlu maa uuhiya ilayka minalkitaabi wa-aqimishshalaat, innashshalaata tanhaa 'anilfahsyaa-i wal munkar, waladzikrullaahi akbar, wallaahu ya'lamu maa tashna'uun.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." Ahmar menyahut dengan bacaan yang fasih lengkap dengan artinya. Anna menoleh ke arah Ahmar dan memandang dengan kagum kepadanya. Mariam buru-buru menelan ludah, kemudian lekas beristighfar ketika sesuatu yang entah apa, berdesir di hatinya.
***
Catatan:
- Windmolen (bahasa Belanda) : kincir angin
- Klompen: sepatu khas orang Belanda jaman dahulu yang terbuat dari kayu.
***
Alhamdulillah, Allah bangunkan sebelum jam cinderella berlalu. Masih hari Sabtu kan ya, jadi nggak telat update kan ya? Hehe...
Terima kasih sudah mampir dan baca. Mohon maaf ya kalo ceritanya agak kemana-mana, karena nulisnya juga sambil kemana-mana. Kebetulan lagi di Malang setelah tadi siang di Surabaya.
Sampai jumpa di part-part selanjutnya.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top