5. Brussels

Bismillah.

***

Salah satu destinasi wajib saat berkunjung ke Belgia adalah Manneken Pis, patung bocah laki-laki pipis yang entah kenapa begitu kondangnya hingga menjadi ikon kota Brussels, bahkan negara Belgia. Padahal sejarah tentangnya pun masih menjadi misteri dan beredar dalam banyak versi. Padahal lagi, ukuran patung yang dibuat dari perunggu ini, hanya sekitar 60-an centimeter saja, dan konon patung yang sekarang ada di sudut antara Rue de l’Etuv dan Rue du Chene ini bukanlah yang asli alias hanya replika. Meski demikian, tetap saja tak mengurangi daya tarik wisatawan untuk mengunjunginya. Begitu pun rombongan tour yang diikuti Anna dan Mariam.

"Iam, habis ini ikut beli-beli coklat yuk, buat oleh-oleh," ajak Anna usai mereka berfoto dan berjalan-jalan singkat di seputaran Manneken Pis.

"Enggak ah, aku mau nyobain Belgian waffle aja," tolak Mariam. Ia memang paling tak suka shopping.

"Halah, wafel nanti lah habis beli coklat."

"Lagian kamu ni aneh deh, masa iya orang lagi melarikan diri pulang bawa oleh-oleh."

"Lah itu makanya, aku yang buronan keluarga aja beli oleh-oleh,masa iya kamu yang pergi baik-baik pulang cuma bawa diri. Ayolah, aku traktir deh."

"Aih, iya deh, boleh."

"Nah gitu dong."

"Maksudku tuuuh, boleh kalo kamu mau traktir, tapi akunya gak ikut belinya. Hihihi. Thank you, Anna. Coklatnya sepuluh biji yak," ujar Mariam sembari terkekeh riang. Ditepuknya pipi sahabatnya yg memerah karena sebal.

"Iiih, Iaaamm. Gitu deeeh." Anna cemberut, tapi tak memaksa. Berlari kecil ia mengejar teman-teman yang sudah lebih dulu berjalan menuju toko cokelat. Sebaliknya, Mariam putar haluan, melangkahkan kaki di atas paving batu yang rapi, menuju ruas jalan yang dipenuhi deretan penjual wafel di sepanjang kedua sisinya.

Mariam berhenti di salah satu penjual wafel, memesan Belgian waffle dengan taburan gula salju di atasnya dan menikmatinya di sebuah bangku semen tempat menaruh beberapa pot bunga. Semilir angin sore menemani setiap gigitan pada wafel yang rasanya memang lezat. Sungguh suasana yang istimewa.

Sementara di sebuah toko cokelat yang biasa menjadi jujugan turis dari Indonesia, sang pemandu wisata sedikit gelisah mencari satu-satunya peserta perempuan yang tak terlihat di antara teman segrupnya. Ya, Ahmar memikirkan Mariam yang tidak mengikuti acara belanja. Bukan apa-apa, karena setiap peserta yang dia bawa adalah tanggungjawabnya. Meski ia pun yakin bahwa Mariam akan baik-baik saja.

Usai menghabiskan sepotong wafel bertabur gula salju, Mariam melenggang santai menuju Grand Place Brussels, alun-alun utama kota Brussels, yang sore itu tak begitu ramai. Menyusuri jalanan berpaving batu yang dikelilingi gedung-gedung klasik berarsitektur khas Eropa beberapa abad lampau, ia begitu menikmati suasana Eropa yang memang sejak lama ingin dia rasai. Sinar matahari musim gugur yang menelusup di sela gedung-gedung membuatnya merasa lebih hangat.

“Hai, Iam. Boleh aku temani?” sapa Ahmar yang tiba-tiba sudah sejajar dengan Mariam. Sapaan yang membuat Mariam terkejut.

“Oh eh, iya boleh. Tapi namaku Mariam, hanya Anna yang memanggilku Iam,” jawab Mariam yang memang kurang suka dipanggil Iam, kecuali oleh Anna. Itu pun awalnya terpaksa karena Anna memang keras kepala.

“Oh, eh, iya … maksudku Mariam. Maaf,” ralat Ahmar segera, salah tingkah dan sedikit malu karena merasa sudah sok akrab.

It’s okey. By the way, bukannya kamu menemani mereka yang berbelanja? Kenapa kamu malah ada di sini?” Mariam merasa sedikit tak nyaman, dia hampir tak pernah berduaan dengan laki-laki, apalagi yang asing baginya.

“Ya, tadi aku memang bersama mereka, tapi tugasku untuk mendampingi sudah selesai, mereka sudah bisa dilepas untuk berbelanja sendiri. Jadi aku juga jalan-jalan sendiri.” Ahmar beralasan, sebenarnya dia memang mencari Mariam, karena dialah satu-satunya perempuan yang tak terlihat dalam rombongan pemburu oleh-oleh. Ahmar sedikit mengkhawatirkannya.

"Dan kau, kenapa tak bergabung bersama teman-temanmu yang lain?"

"Aku tidak suka shopping, Ahmar. Sebenarnya Anna juga tadi memaksaku, tapi aku beneran malas. Aku suka mendadak sakit kepala melihat begitu banyak belanjaan yang bisa dipilih dan dibeli tapi sebenarnya tidak begitu dibutuhkan," terang Mariam diiringi tawa kecil, geli melihat Ahmar yang masih menyisakan salah tingkah gara-gara memanggil Iam tadi.

"Hmm, lalu apa yang kau suka? Mengambil foto kakimu sendiri?" pertanyaan Ahmar terdengar bercanda, padahal dia serius ingin tahu. Sebaliknya, tawa Mariam justru pecah berderai, teringat Anna yang selalu sebal setiap kali ia melakukan kebiasaan satu itu. Di sampingnya, Ahmar berkali mencuri pandang pada tawa Mariam yang begitu lepas. Entah apa yang lucu Ahmar tak tahu, satu yang dia tahu, tawa itu mulai mengganggu. Mengganggu hatinya. Eaaa...

“Ya, memang itu salah satu hal yang hampir selalu kulakukan.”

“Kenapa? Maksudku, kenapa itu menjadi suatu keharusan?” tanya Ahmar lagi.

“Siapa bilang keharusan? Aku hanya mengusahakannya saja kok.”

“Tapi kenapa?” Ahmar tak menyerah, membuat Mariam merasa bahwa pria bule di sebelahnya itu mulai menjelma menjadi kemal, kepo maksimal. Halah.

“Sebagai ungkapan syukurku atas pemberian-Nya. Di setiap perjalanan yang kulalui, aku merekam indahnya dunia dengan mata. Tanganku mengabadikannya dalam tulisan. Hatiku menerimanya dengan penuh kebahagiaan. Padahal saat semua itu kudapatkan, kakilah yang paling lelah dan nyeri menopang beratku kesana kemari. Maka aku ingin melakukan sesuatu yang mengingatkanku agar tak lupa bersyukur pada keberadaan kakiku. Itu saja sih. Mungkin memang aneh, tapi aku tak harus menjadi sama dengan kebanyakan orang kan?” panjang lebar Mariam menerangkan sesuatu, yang menurutnya tak perlu orang lain tahu. Ahmar mengangguk-angguk.

"Gadis yang unik," bisik Ahmar pada hatinya.

Dari jarak kurang dari 20 meter Ahmar menangkap penampakan Pak Yon dan Pak Muhsin, salah dua dari anggota rombongan, duduk di teras salah sebuah cafe. Ahmar bergegas mendekat diikuti Mariam.

"Ah, rupanya sudah ketemu. Mbak Mariam ini ke mana saja sih? Mas Ahmar sampai panik nyariinnya, kaya kehilangan calon istri," seru Pak Yon menggoda keduanya.

"Aih, maksudnya apa nih, Pak Yon?" Mariam angkat bicara, tak mengerti apa yang sudah terjadi.

"Itu lho, Mas Ahmar tadi nyariin, katanya peserta perempuan ada yang ilang satu. Kelihatannya dia mengkhawatirkanmu." Pak Muhsin menimpali. Rupanya tadi Ahmar sempat bertemu kedua bapak tersebut dan menanyakan keberadaan Mariam.

"Wah, bapak-bapak ini pada buka rahasia ya." Ahmar tertawa, sedikit salah tingkah tertangkap dalam gesturnya.

"Cokelat panas ya, saya yang traktir. Halal kok," tawar Pak Yon, seorang pensiunan badan usaha plat merah yang mengurus migas di dalam negeri. Tawaran yang tak mungkin ditolak karena sepersekian detik setelah menawari, dia pula memanggil pramusaji untuk membuatkan dua cangkir belgian hot chocolate. Ahmar dan Mariam terpaksa menuju sepasang kursi yang masih tersisa, agak sedikit jauh dari tempat Pak Yon mengobrol dengan Pak Muhsin.

"Coklatnya enak banget nih, dihabisin ya. Sambil nunggu yang lain, sambil ngobrol-ngobrol mana tau ada kecocokan. Kami awasi dari sini deh," teriak Pak Yon dari kursinya, lagi-lagi menggoda Ahmar dan Mariam. Keduanya hanya bisa tertawa, lalu salah tingkah setelahnya. Merasa aneh, karena harus duduk berdua saja tanpa tahu mau membicarakan apa.

"Emm...," suara keduanya terdengar bersamaan. Tawa canggung menghias kemudian.

"Kau dulu saja." Ahmar mempersilakan Mariam.

"Eh, emmm apakah kau berasal dari Granada, Ahmar?"

"Ah, ya, tepat sekali. Bagaimana kau tahu?" Ahmar berhenti mengaduk cokelatnya, menatap keheranan pada Mariam. Juga pada pertanyaan yang ia lontarkan.

"Ketika mendengar kau menyebut nama, ingatanku langsung melayang pada Muhammad bin Nasr Al Ahmar."

Mariam melakukan hal yang sama,  netra mereka bersirobok. Merasa aneh, Mariam membuang pandang ke arah lain sembari bertanya, "Jadi, apakah kau masih bagian dari Bani Ahmar?"

Ahmar tak langsung menjawab, dia tergelak mendengar pernyataan yang diikuti pertanyaan dari bibir Mariam.

"Haha, entahlah. Tapi rasanya aku adalah bagian dari Thariq bin Ziyad," jawab Ahmar setengah bercanda, menyebut nama sang penakluk semenanjung Iberia.

"Bukan sekalian Musa bin Nushair?" Mariam yang tak mau kalah balas menyebut nama bosnya Thariq bin Ziyad. Ahmar terkekeh semakin keras.

"Ah, rupanya kau tau banyak tentang Andalusia. Benar?"

"Oh ya, apakah tempat tinggalmu dekat dengan Alhambra?" Bukan menjawab pertanyaan, Mariam malah balik melempar pertanyaan.

"Mariam, kurasa jika kau sudah berada di Granada, Alhambra hanya terasa sepelempar batu dari tempatmu berdiri."

"Lalu, bagaimana rasanya tinggal di Granada?"

"Tentu saja menyenangkan. Aku bersyukur dan bahagia berada di tempat yang sangat indah di mana Islam pernah berjaya di masanya."

"Oh. Bukan malah sedih?"

"Maksudmu?" Ahmar tak tahu jalan pikiran gadis mungil bermata lebar di hadapannya.

"Alhambra. Granada. Andalusia. Ialah cita-cita terbesar dalam hidupku. Suatu hari nanti, aku ingin menjejakkan kaki di sana. Menyusuri jejak-jejak kejayaan Islam, merekam setiap sudutnya yang pernah menjadi saksi dari pusat peradaban Islam." Netra gadis itu menerawang, tangannya mengaduk cokelat panasnya, mencoba menyamarkan kesedihan.

"Dekatkah tempatmu tinggal dengan bukit di mana Abu Abdillah terakhir kali melihat Alhambra?"

"Kan aku sudah bilang, jika kau sudah berada di Granada, Alhambra hanya terasa sepelempar batu dari tempatmu berdiri. Begitu pun tempat itu, el Ultimo Suspiro del Moro. Kenapa?"

"Entahlah, tapi aku selalu sedih setiap kali melihat video dan foto-foto tentang tempat di mana rumahmu berada. Rasanya sungguh ironis, pernah begitu berjaya, tapi kemudian lenyap tanpa tersisa jejaknya.
Dan membayangkan saat Aisyah Al Hurrah mengucapkan kepada Abu Abdillah kalimat yang kemudian begitu tenar, bagiku ... itulah puncak kepedihan."

"Menangis! Menangislah seperti perempuan! Kerajaan yang lenyap tak mampu kau jaga layaknya seorang laki-laki!" gumam Mariam menirukan kalimat Aisyah Al Hurrah kepada putranya, Abu Abdillah bin Muhammad Al Ahmar. Bulir bening pun meluncur jatuh dari kedua ujung matanya. Ahmar menangkap momen itu, yang membuat ia kemudian mati gaya, tapi tidak mati rasa. Sebaliknya, sebuah keyakinan menyusup ke hati. Bahwa gadis mungil pendiam itu, telah mencuri tempat istimewa di ruang hatinya.

"Ssstt, jangan menangis. Nanti dikira aku yang membuatmu bersedih," bisik Ahmar serba salah. Andai gadis itu halal baginya, tentu sudah ia genggam jemarinya untuk menyalurkan ketenangan padanya.

"Astaghfirullah." Ahmar merapal istighfar dalam hati, menghalau pikiran yang tiba-tiba terlintas dan membuatnya malu. Malu pada-Nya.

"Maafkan aku, Ahmar. Maaf jika aku berlebihan." Mariam sedikit malu, merasa diri terlalu lebay. Tetapi memang demikianlah yang dia rasa, dan selalu dia rasa untuk topik yang sama.

"Esta bien, Señorita. Suatu hari nanti, kau harus menginjakkan kaki ke Granada, juga sepanjang Andalusia. Dan aku, harus aku yang memandumu di sana." Ahmar berucap spontan, lantas terkejut dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Sesuatu yang melintas begitu saja dalam benaknya.

Tak berapa lama, lewatlah serombongan perempuan dengan beberapa laki-laki yang semuanya menenteng tas hasil belanjaan. Ya, rombongan pemburu oleh-oleh sedang melewati mereka untuk menuju ke meeting point yang telah disepakati. Tentu saja ada Anna di antar rombongan penyumbang devisa tambahan untuk Belgia itu.

"Aish, ngobrol berdua ya. Nggak boleh tauk, bisa mengundang fitnah," suara Anna memecah keheningan. Sinis.

"Bukan begitu ...,"

"Maafkan kami ...,"

Ahmar dan Mariam membuka mulut bersamaan, hendak menjawab Anna.

"Kau dulu, Mariam." Ahmar mempersilakan sekali lagi.

"Maafkan kami, Anna. Kau benar, kami tak seharusnya duduk berduaan. Sini, kamu duduklah di sini, biar aku pesenin coklat panas. Enak lho," ujar Mariam sembari berdiri memberikan kursinya untuk Anna.

"Tak usah, aku lagi nggak pengen minum coklat," tolak Anna, terdengar gusar. Mariam menangkap kilatan cemburu di kedua netra sahabatnya. Ia tak hendak membuat pembelaan diri macam apapun.

"Ahmar, kami duluan ya. Lho, dimana Mariam, nggak ngilang lagi kan?" teriakan Pak Yon mengagetkan Anna, yang karena tinggi badannya membuat Mariam tak terlihat oleh Pak Yon.

"Tenang, Pak, dia masih di sini. Dan kami juga segera ke sana." Ahmar balas berteriak.

"Kami bukan cuma berdua. Beliau berdua, maksudku Pak Yon dan Pak Muhsin, yang memaksa kami hingga duduk berdua di sini. Tadi memang aku mencari Mariam, dan beliau berdua tau. Aku khawatir karena dia tak terlihat di antara yang lain, sedang selama di sini dia di bawah tanggungjawabku." Penjelasan Ahmar lebih terdengar sebagai pembelaan di telinga Anna. Bukan sekadar membela diri, tetapi juga membela sahabatnya. Netra gadis itu semakin sayu, berusaha menyembunyikan cemburu.

"Sudah, Ahmar. Terima kasih atas penjelasanmu, dan terima kasih telah mengkhawatirkanku. Kami duluan." Mariam mengedip ke Ahmar, melempar kode agar tak memperpanjang urusan dengan seseorang yang sedang terbakar cemburu. Lalu menggamit lengan Anna untuk berlalu segera.

Mariam merasa tak enak hati. Bukan karena berduaan dengan Ahmar, karena memang itu di luar rencana dan keinginannya. Melainkan karena sesuatu yang beberapa hari ini menjadi prasangkanya, dan ternyata memang benar adanya.

Mariam masih ingat dengan baik sorot mata Anna ketika sedang dekat dengan Raka beberapa tahun silam. Satu-satunya mantan yang membuat Anna benar-benar jatuh cinta. Dan ia menemukan lagi sorot mata itu setiap kali Anna berdekatan atau berbicara tentang Ahmar. Ya, Mariam tahu, sahabatnya itu memendam cinta kepada Ahmar.

Sebaliknya ia tak tahu, bahwa beberapa menit lalu, sosoknyalah yang justru telah menempati sudut istimewa di hati Ahmar.

***

Catatan:

- Jujugan (bahasa Jawa) : tujuan/ tempat yang langsung didatangi

- Muhammad bin Nasr Al Ahmar : sultan pertama kerajaan Granada, yaitu kerajaan Islam terakhir yang ada di Andalusia. Merupakan pendiri Dinasti Nasriyyah atau dikenal juga sebagai Bani Ahmar.

- Thariq bin Ziyad : panglima yang memimpin pasukan muslim dalam penaklukan Andalusia pada 711 Masehi. Berasal dari keturunan suku Barbar di Afrika (Maroko). Merupakan salah satu pahlawan besar dalam sejarah Islam.

- Musa bin Nushair : gubernur Afrika bagian utara pada masa penaklukan Andalusia. Dia adalah atasan dari Thariq bin Ziyad. Dia juga yang mengeluarkan perintah penaklukan Andalusia setelah mendapat persetujuan dari Khalifah  Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah.

- el Ultimo Suspiro del Moro : diterjemahkan sebagai "nafas terakhir orang Moors". Adalah tempat di mana Abu Abdillah menangis saat melihat Alhambra untuk terakhir kalinya sebelum pergi ke Fez, Maroko karena terusir dari kerajaannya.

- Abu Abdillah bin Muhammad Al Ahmar : Sultan terakhir kerajaan Granada, kerajaan Islam terakhir di Andalusia. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Ferdinand V dan Isabella dari kerajaan Castilla. Konon kejatuhannya karena berkhianat kepada umat. Di negara barat, ia lebih dikenal sebagai Boabdil.

- Aisyah Al Hurrah : ibunda dari Abu Abdillah.

- Esta bien, señorita (bahasa Spanyol) : tak mengapa, Nona.

***

Hai semua... yang mengikuti cerita ini, atau yang tak sengaja terdampar di sini. Terima kasih sudah membaca dan membuat saya bahagia. Eaaa ❤

Alhamdulillah, masih diberi kesempatan untuk berjumpa, meski ceritanya masih begitu-begitu saja. Semoga tetap suka ya.


Juga mohon maaf jika sejarahnya kebanyakan, juga catatannya kepanjangan 😊

Jika ada kritik, saran, koreksi dan masukan, jangan ragu-ragu untuk menyampaikan. Agar saya bisa lebih baik lagi dalam membuat tulisan.

Sampai jumpa di part-part berikutnya.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top