4. Brussels
Bismillah.
***
Langit kota Brussels begitu bersahabat meski cuaca terasa cukup dingin. Anna melirik jam tangannya, memastikan suhu udara yang dia hirup saat ini. Angka 14 dalam derajat celcius terbaca di sana. Dirapatkannya retsleting jaket, memang tak sedingin Paris kemarin, tapi tetap saja terasa dingin untuk Anna yang terbiasa hidup di iklim tropis. Apalagi untuk Mariam yang tak tahan pada cuaca dingin, entah berapa lapis baju yang dia kenakan selama tiga hari ini.
Mereka baru saja usai mengunjungi Atomium, salah satu tempat ikonik di Belgia. Tentu saja masih dalam suasana diam-diaman layaknya sandal jepit, yang selalu bersama tapi tak pernah saling bicara. Eaaa...
Mariam melipir ketika matanya menangkap sosok Ahmar berjalan ke arah mereka. Dibelokkan kakinya menuju rerumputan hijau bertabur daun-daun maple yang gugur karena musim. Warna warni daun yang berpadu dengan hijaunya rumput itu sungguh memanjakan mata. Mariam tersenyum sendiri pada apa yang dilihatnya, berkali-kali kalimat thayyibah meluncur dari bibir mungilnya.
"Hai Anna, bagaimana keadaanmu? Kulihat wajahmu sudah tak lagi seperti kemarin. Kusut," sapa Ahmar diselipi canda. Wajah Anna mendadak bersemu merah, hatinya pun mendadak gerah.
"Ah, kau bisa saja. Apa memperhatikan raut wajah dari setiap peserta tour juga masuk dalam tugasmu?" Anna balik melempar canda. Mereka berdua tertawa. Mariam yang berdiri tak jauh dari mereka mendengarkan tanpa mengalihkan sedikit pun matanya dari guguran daun maple.
"Mariam ada perlu apa ke sana? Kita akan segera melanjutkan perjalanan untuk makan siang," tanya Ahmar, kedua netranya memandangi punggung Mariam. Sedang yang dibicarakan tetap bergeming.
"Dia pasti sedang melakukan hobi nggak pentingnya. Mengambil foto kaki. Ya, kakinya! Entah apa maksudnya, kau bisa tanya sendiri padanya." Anna sengaja mengeraskan suaranya, dalam hati dia menertawakan hobi sahabatnya yang dirasa konyol dan nggak penting. Ahmar tersenyum mendengar jawaban Anna.
"Ah, kau hanya tak tau saja apa maksud dan tujuanku." Tak tahan, Mariam membalikkan badannya dan meneriaki Anna sambil tertawa. Ia tahu, Anna sangat sebal dengan kebiasaannya yang satu itu. Sebaliknya, melihat Mariam melakukan itu, Anna segera berlari ke arah Mariam dan memeluknya. Sesaat kemudian, bahu keduanya terlihat naik turun. Mereka saling berpelukan dan menangis.
"Ay mujeres," gumam Ahmar dengan sorot mata kebingungan.
"Sebenarnya ada apa sih ini? Kenapa kalian berdua menangis?" tanya Ahmar begitu keduanya berada di hadapannya usai tangis mereda.
"Ah tidak, kau hanya tak tau saja," ujar Anna dan Mariam serentak. Mereka bertiga tertawa, lalu berjalan beriringan menuju bus, menyusuri sepanjang tepi rerumputan yang diseraki warna warni daun maple.
***
Bus yang membawa rombongan tour melaju di jalanan kota Brussels, Anna dan Mariam menikmati pemandangan elok dari balik kaca jendela. Bangunan-bangunan klasik khas Eropa terpampang di sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Selamat siang Bapak dan Ibu semua, kita sudah sampai di tujuan kita. Di sini kita akan makan siang dengan hidangan ala Turki, setelah itu kita bisa melaksanakan salat di masjid yang ada di seberang restoran," suara Ahmar memecah sepi di dalam bus.
Bus berhenti di depan salah satu restoran Turki di wilayah Schaerbeek, Brussels. Satu per satu peserta tour turun dan berjalan menuju restoran yang ditunjukkan Ahmar.
Anna dan Mariam sepakat memilih menu adana kebab, salah satu masakan khas Turki yang konon berasal dari kota bernama Adana. Bahan utamanya adalah daging domba yang diremas bersama bumbu dan cabai kering, lalu dipanggang di atas arang pada tusukan berbentuk lempengan besi memanjang. Tak seperti kebab yang banyak dijual di Indonesia, Adana kebab disajikan dengan irisan bawang dan sayuran yang terpisah, juga pilav, nasi khas Turki yang ditanak dengan kaldu lalu ditumis bersama rempah-rempah dalam minyak atau mentega. Rasa yang sedikit pedas dan bumbu yang lumayan kuat cukup akrab bagi lidah orang Indonesia.
Mereka semua duduk menghadap hidangan yang berderet rapi di sebuah meja panjang dengan napkin berwarna merah terang. Anna duduk bersebelahan dengan Mariam, sementara bangku paling ujung yang terletak tepat di sisi kirinya masih kosong, tetapi sepiring adana kebab teronggok di atas mejanya. Anna baru akan berharap, saat Ahmar datang dan duduk mengisi bangku kosong tersebut. Anna salah tingkah. Mungkin ini yang dinamakan 'belum dreams udah came true'.
Usai perut terisi, bersama-sama mereka menuju ke Masjid Fatih Camii atau Bruxelles Mosque Fatih di seberang restoran. Lokasi di mana mereka berada memang didominasi oleh imigran Turki. Terlihat dari tulisan di bangunan-bangunan sepanjang sisi kanan kiri jalan yang sebagian besar menggunakan bahasa Turki.
"Ketenaran Muhammad Al Fatih sampai pula di Eropa masa kini ya?" tanya Mariam pada Ahmar, mereka sedang bersiap menyeberang.
"Tentu saja. Di kalangan imigran Turki, Al Fatih selalu dikenal dan dikenang. Di wilayah ini banyak imigran Turki, maka masjid pun diambilkan dari nama yang paling terkenal dalam sejarah Turki."
"Tak hanya di sini, di beberapa tempat di Eropa juga banyak masjid dengan nama Fatih. Seperti di Amsterdam, Paris, Berlin, Bremen, dan banyak lagi," jelas Ahmar lagi.
"Oh ya?!" seru Mariam takjub. Anna hanya diam mendengarkan, dia tak begitu nyambung dengan apa yang dibicarakan.
"Kau suka dengan sejarah Islam?" tanya Ahmar antusias. Sayang, belum sempat Mariam menjawab, mereka telah sampai di depan pintu masjid.
"Aku boleh ikut masuk kan, Iam?"
"Tentu saja boleh, asal nggak aneh-aneh minta ikut salat lagi." Mariam melempar senyum.
"Emm, sebenarnya begitu. Tapi aku tau aku nggak boleh, jadi aku mau numpang toilet aja," jawab Anna tak terlalu bersemangat.
Bangunan masjid itu berbentuk seperti ruko di sekelilingnya, hanya saja terdapat pintu kayu besar berwarna coklat tua dengan lengkungan khas arsitektur masjid. Sebuah menara kecil, yang tampaknya hanya penghias, terdapat di sebelah atas pintu masuk untuk jamaah perempuan.
Masuk ke dalam, mereka disambut rak sepatu kayu yang cukup besar serta tangga menuju lantai dua di mana ruangan untuk salat berada. Saat menginjakkan kaki di lantai dua, Anna kembali merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Sesuatu yang menenangkan.
"Ah, pasti cuma perasaanku saja, lagi pula suasananya memang sejuk." Anna mencoba menepis perasaan sejuk dan teduh yang menyapa. Perasaan yang selalu muncul setiap menjejakkan kaki di masjid semenjak kedatangannya di bumi Eropa.
Mariam tak begitu memperhatikan sahabatnya, matanya sibuk menyapu ruangan berkarpet biru tosca muda dengan garis merah sebagai penanda batas antar shaf. Karpetnya halus, lembut dan tebal. Bu Amik, salah satu peserta tour yang sudah makan asam garam jalan-jalan, mengatakan bahwa itu karpet asli Belgia.
Hanya saja tempat wudhu yang ada tak senyaman di masjid raya Paris. Cuma ada wastafel yang terletak di dalam toilet, di wastafel itulah mereka berwudhu. Anna menanti dengan sabar teman-temannya yang bergantian berwudhu hingga semua selesai. Setelahnya, dia masuk dan berlama-lama di tempat itu. Mencoba mengingat urut-urutan yang sudah dia amati tiga hari ini. Mencuci tangan, berkumur, membasuh muka, membasuh tangan, membasahi telinga, lalu kaki. Diam-diam Anna mencoba melakukan wudhu sendiri, meski belum sempurna, hanya sebatas yang ada dalam ingatannya. Entah kenapa, tapi dia ingin. Itu saja.
"Iam, boleh aku tanya?" ujar Anna sesaat setelah Mariam selesai melipat mukena.
"Tentu saja, apa sih yang enggak buat kamu?" Mariam menjawab sembari memasukkan mukena ke dalam kantongnya. Kemudian duduk menghadap Anna dengan wajah penuh keseriusan. Memang begitu defaultnya Mariam.
"Al Fatih siapa sih?"
"Ih, kamu nguping obrolanku sama Ahmar yaaa." Mariam meledek.
"Nguping apaan, ngobrol kenceng gitu. Nenek-nenek yang udah berkurang pendengarannya juga denger kaleee yang kalian obrolin."
"Ahaha, iya iyaaa, gak usah sewot gitu, ntar cantiknya luntur lho."
"Hih, emang cantik polesan, cantikku asli bawaan lahir tauk!" Anna makin sewot, Mariam makin keras tertawa.
"Iya deh iyaaa. Aku jawab pertanyaanmu ya. Jadi, Al Fatih atau tepatnya Sultan Muhammad Al Fatih adalah penakluk Konstantinopel, yang sekarang dikenal sebagai Istanbul, Turki. Dulu Romawi terbagi menjadi dua, Romawi Barat yang berpusat di Roma, dan Romawi Timur atau Byzantium yang pusatnya di Konstantinopel. Jaman itu Konstantinopel adalah kota yang paling moncer. Ibarat kata, seandainya seluruh dunia menjadi satu, maka yang paling pantas jadi ibu kota dunianya adalah Konstantinopel. Di sana ada bangunan yang dianggap paling indah di masa itu yaitu Hagia Sophia. Selain itu benteng dan kekuatan militernya yang kuat juga membuatnya begitu masyhur. Bentengnya itu ya, saking kuatnya sampe berabad-abad nggak bisa ditembus, apalagi ditaklukkan. Hingga pada tahun 1453 seorang pemuda bersama sekitar 250 ribu pasukannya berhasil menaklukkannya. Dialah Muhammad Al Fatih. Nah, kerennya lagi, waktu memimpin penaklukan itu umurnya baru 21 tahun."
"Hah, umur 21 tahun menaklukkan Konstantinopel?! Duh, apa kabar kita? Udah 25 tahun tapi naklukin cowok buat dijadiin suami aja belum berhasil."
"Jiah, sempet-sempetnya curcol." Mariam menahan tawa.
"Eh, tapi jaman dulu kan banyak penaklukan, kenapa si Al Fatih ini kayanya paling legend gitu ya? Terutama buat orang Islam. Iya nggak sih?" Anna melanjutkan pertanyaannya.
"Yess, kamu betul, An. Dan kenapa dia paling legend? Karena tentang kemunculannya telah disebutkan oleh Nabi Muhammad dari beratus tahun sebelumnya, bahwa 'akan dibebaskan Konstantinopel oleh kaum muslimin, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya', gitu."
"Maksudmu? Sudah diramalkan gitu?"
"Bukan diramalkan, karena semua yang dikatakan Nabi Muhammad itu bukan ramalan melainkan wahyu, yaitu petunjuk yang diberikan langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril. Jadi entah kapan waktunya dan bagaimana kejadiannya, itu semua pasti akan terjadi."
"Jadi dalam Islam selain segala sesuatu ada aturannya juga sudah ada petunjuknya?"
"Yap, kau benar, Anna. Ada Al Quran dan Hadits yang menjadi pedoman utama bagi kami umat Islam. Tau dari mana kamu?"
"Dari kamu. Juga dari ... Ahmar."
"Aish, curiga aku tuuu," goda Mariam, Anna tersipu.
"By the way, emm tentang keluargaku gimana?"
"Eh eh, jadi pertanyaan tentang Al Fatih tadi cuma basa-basi ya? Prolog gitu?" tuduh Mariam.
"Ih, enggak lah, suudzon deh."
"Emang suudzon apaan?"
"Berprasangka buruk. Eh, bener gak sih?"
"Hehe, iya betul. Dan tentang keluargamu, kamu mau tau aja apa mau tau banget nih?"
"Iaaamm..."
"Tentang itu, insya Allah kita bahas nanti malem aja ya."
"Oh, oke. Eh tapi beneran kamu udah maafin aku kan ya? Tanpa embel-embel apapun kan ya?" Anna bertanya untuk meyakinkan diri sendiri.
"Iya, insya Allah begitu. Tadinya pengen marah-marah gitu sih, tapi waktu tak sengaja aku membaca quote dari Ibnu Taimiyah, aku berubah pikiran. Bahwa 'pemberian maaf yang indah adalah memaafkan tanpa memarahi, dan kesabaran yang indah adalah bersabar tanpa mengeluh'. Lagi pula, kamu sahabat terbaik yang aku punya." Anna menyambut jawaban Mariam dengan pelukan hangat, sehangat kedua ujung kelopak matanya.
"Baiklah, sekarang kita turun dulu, kan kita mau lanjutin perjalanan. Gak enak sama Ahmar, tiap mau lanjut pasti kita terakhir hadir," ajak Mariam. Anna mengangguk. Berdua mereka bangkit, bergegas menuju bus dan siap melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya.
***
Note:
- Ay mujeres (Spanyol): oh wanita
***
Alhamdulillah, ketemu lagi dengan Anna dan Mariam.
Mohon maaf kalo part ini agak embuh ya, teman-teman 😅
Tiga hari ini lagi agak riweuh ngurus anak sulung yang sakit di Jogja. Mau edit-edit lagi rasanya sudah nggak sanggup.
Semoga tetap bisa menghibur teman-teman dan ada bagian yang bisa diambil pelajaran.
Terima kasih banyak sudah mau mampir di sini. Kasih komen & vote ataupun tidak, tetep ailovyu yaaa 😘
Sampai jumpa di part selanjutnya, insyaAllah masih dari Belgia.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top