31. Aku Akan Menikahimu

Bismillah.

***

Warning!!
Sebelumnya mohon maaf, part kali ini super panjang. 3K+ kata.
Lumayan utk mengisi sabtu malam, terutama buat kamu yg sendirian.

***

Adalah Alpujarra, sebuah tempat di lereng dataran tinggi sebelah selatan pegunungan Sierra Nevada. Tempat inilah benteng terakhir bangsa Moors saat Granada jatuh ke tangan Castilia. Mereka yang menolak keluar dari Islam kemudian lari ke tempat terpencil itu, berharap tak terjamah oleh tangan penguasa.

Tak jauh berbeda dengan Albayzin, La Alpujarra pun memiliki karakter bangunan bangsa Barbar dari tanah maghribi. Rumah-rumah putih dan jalan sempit menjadi ciri khasnya.

Pada salah sebuah rumah, seorang gadis termangu di balik jendela yang dibiarkan terbuka. Kamar yang terletak di lantai dua, memberikan ia pemandangan laut Mediterania nun di kejauhan sana. Kilauan air yang tertimpa sinar sang lunar mencipta pendar indah dalam pekatnya malam.

Dalam tatapnya yang sendu, gadis itu tak mampu menahan pilu. Ia tergugu di balik balutan mukena bernuansa biru.

"Rabbi, aku tak lagi punya siapa-siapa, hanya punya Engkau, dan cinta yang belum mau beranjak ternyata. Yang itupun tak Kau ijinkan untuk bersama. Jikalau aku harus kehilangan satu dari keduanya, maka aku ingin Engkau satu-satunya yang tetap ada.

"Rabbi, Sang Maha penggenggam hati. Genggamlah hatiku untuk selalu meyakini segala cinta dan kasih sayangmu. Terima kasih telah menegurku dengan cemburu-Mu. Agar aku tak terlalu jauh terhanyut, dalam lautan cinta selain hanya kepada-Mu.

"Ya 'Afuww, Yang Maha memaafkan. Maka kepada-Mu, kumohon maafkan segala salah dan noda yang telah kutoreh dalam hidupku. Yang telah jatuh, dalam cinta selain kepada-Mu. Dan kumohon maaf-Mu, atas setiap pembelaan diri yang kulakukan dengan membawa nama-Mu.

"Aku akan pergi, tidak kemana pun, melainkan kepada jalan-Mu."

Dihapusnya bening di kedua pelupuk netra. Ia tersenyum, mengenang dua harinya, pada sebuah lereng di sisi selatan Sierra Nevada. Menyusur Pampaneira. Menghirup segar udaranya, merasai dinginnya air di bening paritnya, dan memenuhi hatinya dengan bahagia. Bahagia karena salah satu yang dia impikan telah terhampar di depan mata.

Tapi lagi-lagi bulir bening lolos dari matanya yang lebar, ketika teringat bahwa dia sekarang tunasaudara, tidak punya siapa-siapa.

***

Pagi tiba. Gadis itu -Mariam- turut melaksanakan salat subuh bersama sang tuan dan nyonya rumah yang keduanya ramah. Usai itu, ia segera bersiap untuk kembali ke Granada. Kota yang dijatuhi cinta, sekaligus mematahkan hatinya.

"Mariam! Kau akan ke Albayzin kan? Pergilah bersama Juan, insya Allah kau akan aman bersamanya," Hatim, sang nyonya rumah, memberi sebuah kabar untuknya. Kabar baik, tapi tak sesuai dengan apa yang selama ini menjadi prinsipnya.

"Emm, terima kasih, Tia Hatim. Tapi kurasa, aku akan menggunakan public transport saja," jawabnya berusaha tetap sopan, tak ingin mengecewakan orang yang telah menyambutnya dengan begitu baik di saat dia tak punya siapa-siapa.

"Aku tau kekhawatiranmu. Tapi kau bisa mempercayaiku, dan Juan tentu saja. Pergilah bersamanya, aku akan lebih tenang melepas kepergianmu. Sungguh, meski hanya dua hari, aku jatuh sayang padamu seperti kau adalah anakku sendiri."

Mariam mulai goyah. Ia mencoba memantapkan hatinya dengan Basmalah.

Dan di sanalah ia sekarang, di dalam mobil bersama seorang yang hanya dia ketahui bernama Juan. Selebihnya nol besar.

"Siapa tadi namamu? Mariam?"

"Hemm."

"Jadi kau akan ke Albayzin?"

"Hemm."

"Kalau aku bilang aku akan membawamu ke tempat yang bukan menjadi tujuanmu, apa kau masih akan bilan hemm?" ujar lelaki itu dengan datar.

"Kau jangan macam-macam! Turunkan aku di keramaian terdekat."

"Kau ini mau enaknya saja. Kalo mau turun ya sudah sekarang saja."

"Oke, hentikan mobilmu dan aku akan turun sekarang juga!" Mariam tak mau dipandang rendah hanya karena ancaman Juan.

"Kalo aku tidak mau menghentikan mobil ini, kau mau apa?"

"Aku akan melompat keluar!"

"Coba saja kalo berani." Dan Mariam benar-benar membuka pintu di sisi kanan depan.

"Gila! Nekat kau ya! Masuk!" Juan menghentikan mobil segera, sebelah tangannya menarik lengan Mariam.

"Lepaskan aku!" Mariam meringis kesakitan.

"MASUK! Atau aku akan mencelakaimu."

"Kau pikir aku takut? TIDAK! Levih baik aku melompat daripada dicelakai orang sepertimu. Lagi pula aku sendiri di dunia ini, tak ada siapa-siapa yang akan mencariku atau kehilanganku seandainya aku mati karena menghindar dari orang sepertimu!"

"Kau kenapa,Mariam? Maaf, sebenarnya aku hanya bercanda. Aku cuma bingung kalo harus menghadapi perempuan yang pelit bicara. Masuklah! Aku bukan orang jahat. Kau bisa mempercayaiku. Ini, bawalah agar kau percaya padaku." Juan menyerahkan dompet beserta isinya pada Mariam.

Tak dinyana, Mariam menangis tersedu. Ia masuk kembali ke dalam mobil, menutup mukanya dan menyelesaikan tangis hingga ia merasa sedikit lebih lega.

"Maaf,  Mariam. Sebenarnya kau kenapa? Matamu menunjukkan bahwa kau seorang yang tangguh. Tapi sekaligus rapuh," tanya Juan dengan mata menatap lurus jalan di depannya.

"Kau sok tau."

"Aku tak butuh pengakuanmu, apa yang ada di matamu sudah lebih dari cukup untukku menilaimu."

Mariam merasa sebal pada pria bule di sebelahnya. Tampan memang, tapi becandanya nggak pernah lucu. Bikin malas saja. Tapi entah kesambet apa, Mariam justru menumpahkan kekesalannya dengan curhat pada lelaki yang membuatnya sebal itu. Aneh.

Sebaliknya, lelaki itu -Juan- menyimak cerita Mariam dengan penuh perhatian. Pengalamannya sebagai playboy ibukota membuatnya lihai menghadapi kaum hawa. Termasuk Mariam, yang seolah mendapatkan keranjang baru untuk membuang sampah yang telah sekian lama disimpan karena tak menemukan wadah.

Semua. Mulai dari keluarganya, fakta pedih tentang kedua orangtuanya, cinta yang dia relakan untuk sahabatnya, jatuh sakitnya sang sahabat, sampai permintaan sahabatnya untuk menjadikannya istri bagi suaminya.

Mariam begitu cuek, yang ada di pikirannya hanya satu, "aku tak akan bertemu lagi dengan orang menyebalkan ini, jadi biarlah dia jadi tempat sampahku. Toh cuma selewat, setelah itu pasti dia juga nggak akan mau repot-repot untuk mengingat."

"Hah, menyuruhmu menjadi istri dari suaminya karena dia lumpuh? Oh, damn! Mana ada perempuan bodoh seperti itu?"

"KAU! Sebaiknya kau cabut kata-katamu barusan! Ketahuilah! Jika tak ada alasan yang benar-benar mendesak, tak akan ada istri yang sanggup melakukannya. Tapi dalam keyakinan kami, menikahi lebih dari satu istri bukan sekedar untuk pemenuhan hasrat saja. Tapi ada hal-hal lain yang lebih penting untuk dijaga." Emosi Mariam melesat ke ubun-ubun.

"Maksudmu?" Juan mengernyit, tak paham.

"Coba bayangkan, seandainya istrimu sakit yang membuatnya tak bisa memenuhi kebutuhan biologismu. Apa yang akan kau lakukan?"

Juan tertawa, "Come on, Baby. Ini dunia Barat. Kami tak perlu menikah kalo cuma untuk bersenang-senang saja."

"Nah, itulah yang membedakan. Dalam keyakinan kami, zina itu sesuatu yang dilarang. Kami menikah untuk ibadah. Bukan sekadar bersenang-senang. Karena dalam keyakinan kami, kedudukan perempuan sangat dimuliakan."

"Maksudmu? Apa itu z-zina" Lagi-lagi ada keingintahuan di wajah Juan.

"Ya sepertimu itu. Laki-laki dan perempuan yang tak punya ikatan tapi lagaknya seperti orang yang sudah sah menikah."

"Sial, dia bilang 'sepertiku' seolah tanpa beban. Dasar gadis keras kepala yang sok tau! Pilihan katanya pedas sekali!" batin Juan sewot.

"Kau tau? Laki-laki dan perempuan diciptakan dengan kebutuhan dasar yang berbeda. Laki-laki itu nafsu, sedang perempuan itu perasaan. Perempuan diciptakan bukan sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan biologis saja. Tetapi juga sebagai partner dalam menjalani kehidupan.

"Seorang istri adalah tempat pulang untuk suaminya, bukan sekadar untuk memenuhi hasrat lalu selesai, dan datang lagi hanya untuk kebutuhan yang sama. Kau pikir perempuan itu cuma butuh itu? Big no! Yang kami butuhkan itu rasa aman, tenang, nyaman, perhatian."

"Hemm, begitu ya?" Juan sok manggut-manggut.

"Lalu jika seorang suami tak bisa memenuhi kebutuhan istrinya, apa yang dia rasakan? Merasa tak berguna? Merasa bersalah? Merasa rendah diri? Atau mungkin jika itu kau, kau akan merasa biasa saja?" Mariam tersenyum sinis.

"Entah. Aku kan belum menikah." Juan pun membalas dengan santainya.

"Begitu pula seorang istri yang tak bisa memenuhi kebutuhan suaminya. Ia akan merasakan hal yang serupa. Minder, rendah diri, merasa tak berguna, dan semacamnya. Tapi jika ada yang tak bisa ia penuhi, sedang dia ikhlas akan seseorang yang membantunya untuk memenuhi itu, hatinya akan lebih tenang, nyaman."

"Ribet juga ya?" Juan tertawa.

"Ya, tentu saja. Karena yang ribet itu yang akan membuatmu untuk selalu hati-hati dalam bertindak," ucap Mariam tegas.

"Kalo kau penganut hubungan bebas, coba bayangkan, seandainya kau punya istri yang tak berdaya, lalu kau bercinta dengan banyak perempuan di luaran sana, dan salah satunya hamil. Bagaimana perasaan istrimu saat mengetahuinya? Pasti sedih, marah, kecewa. Tapi jika kau menikahinya, menjadikan yang kedua, tiga atau empat dengan keikhlasannya, ia pasti dengan senang hati turut membesarkan anak-anak kalian bersama-sama.

"Sebaliknya, jika itu kau lakukan tanpa ikatan, dan istrimu tak tau. Itu akan makin membuatnya terpuruk. Belum perempuan yang kau hamili, dia akan menuntutmu dan semuanya akan menjadi tidak baik-baik saja. Kacau."

Juan diam cukup lama, mungkin berusaha mencerna apa yang dikatakan Mariam. Lalu mendadak berkata, "Emm, iya juga sih. Kurasa yang kau katakan semua masuk akal."

"Tentu saja." Mariam pede dengan pendapatnya.

"Ckckck, ternyata selain galak dan nekat, kau juga sombong ya." Juan melirik Mariam dengan senyum miring.

"By the way, kalo melihat pendapatmu, kelihatannya kau akan menerima permintaan temanmu untuk menikah dengan suaminya?" kata Juan, senyumnya masih sama. Seolah mengejek gadis di sebelahnya.

"Eh, oh, emm, itu... Dasar sok tau!"

"Hahaha, dasar sombong! Bilang saja iya. Apa susahnya."

"Tak semudah itu, Juan. Kami..., ah sudahlah. Kita ganti topik saja."

"Baiklah. Kau ingin bicara tentang apa? Oh ya, terima kasih sudah menyebutku dengan nama. Kau tau, meski aku laki-laki dan penganut hubungan bebas, dan aku juga sering dibilang playboy, tapi aku juga punya perasaan. Salah satunya senang jika kau memanggilku dengan nama."

"Oh, eh, emm... m-maaf Juan. Aku tak tau tentang itu."

"Tak apa, aku bisa memaklumi kegalauanmu sebagai calon istri kedua."

"JUAN!"

Dan laki-laki itu tertawa. Sebelum kemudian menggeser topik bicara dengan berdiskusi tentang Spanyol, dari sepak bola, hingga Andalusia. Hingga tanpa terasa mereka telah memasuki wilayah Albayzin.

Mariam meminta Juan menurunkannya di suatu tempat, bukan di depan penginapannya, tapi dia mengaku sudah dekat. Memang begitu kenyataannya. Juan pun melanjutkan perjalanan yang juga tinggal hitungan menit saja menuju rumah saudaranya.

"JUAN! Kenapa kau tak mengabari kami kalo akan kemari?" Latifa dan mamanya memekik gembira melihat siapa yang ada di hadapan mereka.

"Aku ingin memberi surprise untuk Tia Fatima." Juan memeluk bibinya erat.

"Anak siapa itu?" tanya Juan lagi, diambilnya bayi mungil di gendongan Latifa.

"Anak Ahmar," jawab Latifa.

"Wow, sudah jadi papa dia," komentar Juan sambil menimang Maira. Melihat Juan menggendong bayi, Latifa merasakan sesuatu yang berbeda.

"Juan, kau sudah pantas jadi papa, lho. So, kenapa masih memilih untuk jadi petualang cinta?"

"Heh diam, anak kecil tau apa!" hardik Juan pada sepupunya. Latifa dan mamanya tertawa lebar.

"Kau istirahatlah dulu, aku akan memasak spesial untukmu. Masakan Maroko yang selalu kau cari setiap kita berkumpul di Terrassa dulu." Sekali lagi Juan memeluk bibinya sayang.

***

Siang datang. Juan turun dengan badan yang lebih segar usai istirahat. Dilihatnya bibi dan sepupunya sedang menyiapkan hidangan khas Maroko di meja makan. Ia menghampiri, memeluk bibinya lagi. Kemudian Ahmar keluar dan turut bergabung di sana.

Mereka makan siang bersama, minus Anna yang masih tidur akibat melek hampir semalaman dengan kondisi kesehatan yang masih belum sepenuhnya normal. Meja makan memang menjadi tempat yang nyaman untuk berbincang dan bertukar banyak cerita tentang keluarga.

Usai makan, obrolan mereka berlanjut di ruang keluarga. Ahmar izin sejenak untuk mengurus keperluan Anna. Tak lama, mereka berdua keluar dari kamar. Ahmar mendorong Anna di atas kursi rodanya.

Juan menghampiri Anna penuh keterkejutan. Dia menyalami Anna, lantas menarik stool dan duduk di depannya.

"Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Juan menatap Anna dan Ahmar bergantian.

"Pasca melahirkan ia sempat mengalami koma. Alhamdulillah, pada akhirnya dia bangun dalam keadaan stabil, hanya saja dia kehilangan kemampuan gerak bagian bawah." Ahmar menjelaskan.

"Allah sayang sama aku, Juan," ujar Anna dengan senyuman.

"Sayang macam apa yang kasih cobaan berat macam itu?!" Protes Juan.

"Kau hanya perlu memandang dari sudut yang berbeda. Aku masih diberi kesempatan hidup, aku bisa memperbaiki diri, mengumpulkan bekal untuk kehidupan di akhirat nanti. Sesederhana itu."

"Hemm." Usai menjawab singkat ingatan Juan mendadak melayang pada gadis yang bersamanya pagi tadi. Yang beberapa kali menjawab pertanyaannya dengan hemm saja.

Mendadak pula Juan kepikiran obrolannya dengan Mariam. Yang diceritakannya sama seperti yang dialami Anna, lumpuh setelah melahirkan. Dan bukanlah kebetulan jika mereka berasal dari negara yang sama.

Juan memutar otak, mencoba untuk memancing Ahmar dan Anna.

"Kalo keadaan Anna seperti ini, nantinya bisakah dia memenuhi kebutuhan, maaf, biologismu?"

"Dasar playboy, pikiranmu selalu ke situ ya? Aku bahkan belum memikirkan sejauh itu, Juan. Bagiku, yang terpenting saat ini adalah Anna sembuh dulu."

"Tapi bukankah dalam agamamu diperbolehkan untuk menikahi perempuan lebih dari satu? Kenapa tak kau lakukan saja? Kupikir tak mengapa jika alasannya bukan karena kau berselingkuh, atau...." Juan tampak mengingat-ingat sesuatu.

"Zina! Ya, bukan karena zina." Wajah Juan terlihat puas karena berhasil mengingat kata-kata Mariam pagi tadi.

"Kau tau dari mana tentang zina?" Ahmar, Anna dan Latifa serentak bertanya.

"Kalian tak perlu tau."

"Tapi kau benar, Juan. Aku pun sudah meminta Ahmar melakukan itu. Aku memintanya untuk menikahi sahabatku," sahut Anna.

"Nah, dugaanku sudah pasti benar!" Juan langsung yakin kalau yang diceritakan Mariam tadi pagi adalah Anna dan Ahmar. Pancingannya berhasil.

"Apakah sahabatmu bernama Mariam?" tanya Juan tenang.

"KAU TAU DARI MANA?" Lagi-lagi Ahmar, Anna, Latifa kompak bertanya. Kali ini setengah berteriak.

"Pagi tadi aku memberinya tumpangan dari Alpujarra."

"Dia tak mungkin mau pergi berdua saja dengan laki-laki yg tidak dikenalnya." Wajah dan gesture Ahmar berubah seketika. Ia terlihat gelisah dan tak suka.

"Terserah kau percaya atau tidak. Kenyataannya dia pergi bersamaku."

"Mungkin itu Mariam yang lain." Juan tertawa mendengarnya.

"Gadis itu bertubuh kecil, berkulit bersih, matanya lebar. Terlihat pendiam, tapi begitu bersemangat saat bicara tentang Andalusia. Oh ya, dia juga menutup kepalanya dengan scarf, meskipun agak beda. Hijabnya sederhana, tak banyak lipatan atau lilitan seperti kalian." Mata Juan mengarah pada Anna dan Latifa.

"Di mana dia?! Kau tak mencelakainya kan?!" Ahmar menarik kerah leher Juan yang balas mendorong Ahmar. Anna tahu, Ahmar masih mencintai Iam. Ia sedikit cemburu, tapi rasa ikhlas dan pasrah membuatnya tetap tenang.

"Tenang saja. Kurasa prinsipnya masih sama. Kalo bukan karena Hatim yang memaksanya untuk ikut bersamaku, kurasa dia tak akan mau. Hatim yang mati-matian meyakinkan gadis itu. Tapi dia memang beda, aku tak bisa untuk tak menghormatinya." Ahmar menahan cemburu mendengar ucapan Juan.

"Anna, benarkah kau sudah merelakan sahabatmu menjadi istri dari suamimu?"

"Tentu saja. Dan aku berharap Iam pun mau menerimanya."

"Kalo tentang itu aku tak tau. Tapi aku tau, dia masih menyimpan cintanya untuk sepupuku."

"Di mana dia sekarang?" Ahmar mencoba bersikap biasa, tak ingin makin menyakiti Anna.

"Dia memintaku menurunkannya di jalan, katanya sudah dekat dengan penginapannya."

"Di jalan sebelah mana kau turunkan dia?"

"Seingatku itu di dekat toko bunga Tio Francesc. Katanya dia menginap di rumah seorang muslim keturunan Maroko."

"TIA HAYYA!" seru Ahmar dan Latifa bersamaan.

Tia Hayya masih kerabat jauh mama mereka. Ia memiliki penginapan yang cukup terkenal karena bersih dan terjangkau. Selaku tuan rumah pun mereka sangat ramah. Dan Sara, anak satu-satunya, juga biasa menjadi local guide bagi para pelancong yang mengunjungi Granada.

"Aku ke sana sekarang!" Ahmar menyambar kunci mobil.

"Aku ikut!" sahut Anna.

"Aku juga." Juan tak mau ketinggalan. Sebenarnya Ahmar tak setuju, tapi dia diam saja, membiarkan mereka turut serta.

Tak sampai sepuluh menit mereka sudah di rumah Tia Hayya. Sayangnya mereka terlambat. Mariam sudah pergi tak lama setelah ia tiba dari Alpujarra. Semua barang bawaannya dibawa. Ia akan langsung meninggalkan Granada.

Kata Tia Hayya ia pergi bersama Sara. Mereka berencana ke Alhambra, lalu Mariam meminta diantar ke puerto del suspiro del Moro. Seperti kisah Boabdil, Mariam ingin melihat Alhambra untuk yang terakhir kalinya dari titik itu, karena setelahnya ia mungkin tak akan pernah kembali ke kota ini lagi.

Malam nanti Mariam akan meninggalkan Granada dengan kereta. Ia akan menuju Sevilla, kemudian menyusuri Andalusia dari sana. Sebelum akhirnya ke Barcelona, dari sana ia akan pulang ke Indonesia.

Ahmar mencoba menghubungi Sara. Nihil. Jangankan diangkat, bahkan tak sekalipun terdengar nada panggil. Sebelas dua belas dengan Mariam, yang bahkan sejak pertama meninggalkan mereka tak pernah sekalipun merespon panggilan maupun pesan-pesan yang tertuju padanya.

Ahmar hanya bisa menghela napas, menyugar rambut dengan resah. Anna menangis, mengingat perjumpaan terakhirnya dengan Iam yang berakhir menyedihkan. Ia bahkan sempat mengeluarkan kata yang tak pantas pada sahabatnya. Ia tak ingin semua berakhir dengan buruk. Jika Iam harus pergi, ia ingin persahabatan mereka tetap abadi.

"Kita pulang. Kita bicarakan lagi semuanya di rumah Tia Fatima. Kalian harus tetap tenang. Bagaimana mau mengambil keputusan kalau kalian saja kacau begitu." Juan yang mengambil keputusan.

"Terima kasih, Tia Hayya. Tolong sampaikan pada Sara bahwa kami mencari Mariam. Jika dia sudah pulang, kami mohon untuk memberi kabar pada kami," pamit Ahmar pada sang nyonya rumah.

***

Waktu merambat menuju rembang petang, ketika gawai Ahmar berdering nyaring. Sara.

"Assalamualaikum, Ahmar. Maaf, aku ceroboh, tadi hpku tertinggal. Adakah yang bisa kubantu berkaitan dengan Mariam?" suara Sara terdengar turut gelisah.

"Waalaikumussalam. Apakah sekarang dia masih bersamamu?"

"Sayangnya tidak, Ahmar. Aku sudah mengantarnya ke stasiun. Tapi keretanya masih sekitar 40 menit lagi. Mungkin masih ada waktu untuk mengejarnya."

"Baiklah. Terima kasih, Sara."

Detik berikutnya semua heboh hendak ikut serta mengejar Mariam. Tak hanya Ahmar dan Anna, Juan dan Latifa juga. Bergegas menuju stasiun, membawa serta Maira yang entah kenapa mendadak rewel.

Tiba di halaman stasiun, mereka masih punya 15 menit untuk mencari Mariam. Berharap ia belum masuk ke area peron. Beruntung, sosok itu tak sulit ditemukan karena hijab yang menjadi pembeda.

"Tolong, jangan berteriak memanggilnya, aku khawatir dia akan lari. Biar aku yang mengejar dia dulu," pesan Ahmar saat mereka melihat punggung Mariam dari kejauhan. Ia menyeret kopernya menuju pintu masuk ruang tunggu khusus penumpang.

"Maafkan aku. Aku mohon kebesaran hatimu, Anna," pinta Ahmar pada Anna, yang membalas dengan senyum dan anggukan kepala.

Ahmar berlari meninggalkan yang lain. Sesaat sebelum Mariam sampai pintu masuk, seseorang dengan tenang memanggil namanya.

"Mariam."

Mariam berhenti, diam. Memastikan ia tak salah dengar. Hatinya berdenyar. Menunggu panggilan berikutnya. Ia takut menoleh ke belakang, takut kecewa jika ternyata itu semata halusinasinya.

"Apakah kau benar-benar akan pergi?" Suara itu terdengar lagi.

"Ahmar. Jadi ini bukan sekadar halusinasi. Rabbi, kuatkan aku."

"Ya, aku harus pergi. Karena tempatku bukan di sini." Ia bergeming. Terdengar jelas getaran pada suaranya.

"Tempatmu memang bukan di sini, di stasiun ini. Tapi tempatmu di sini, di hati kami. Maafkan aku Iam, kumohon jangan pergi, tetaplah di sini." Anna memohon. Isak sudah berdesakan bersama air matanya.

Mariam tetap diam, mencoba bertahan. Ia tak mau berubah pikiran gara-gara melihat sahabatnya. Pada akhirnya ia tak tahan ketika tangis Maira menusuk pendengarannya. Ia berbalik, dan berlari memeluk sahabatnya. Keharuan menyeruak di antara mereka.

Sesudah tangis mereka mereda, Ahmar mengajak mereka duduk di kursi tunggu. Melihat ke pergelangan tangan kirinya, hanya tersisa dua menit dari jadwal keberangkatan kereta ke Sevilla.

"Kau akan tetap tinggal kan, Mariam?" Ahmar menatap tajam pada Mariam.

"Tinggallah! Aku akan menikahimu. Dan aku tak akan melarangmu untuk menemani Anna kapanpun kau mau." Juan mengeluarkan kalimat yang tak terduga.

Semua yang mendengar terkejut. Terutama Mariam. Ia mendongak pada asal suara, dan makin terkejut manakala menemukan sosok yang dikenalnya di sana.

"J-JUAN?! K-kau...." Mariam baru menyadari bahwa pria bule yang bersama mereka saat ini adalah Juan.

"Dia sepupu kami. Mamanya adalah adik dari papa kami." Latifa menjelaskan.

"Kau tidak bisa menikahinya, Juan. Kalian berbeda!" seru Ahmar.

"Kau tenang saja. Aku akan menjadi sama seperti kalian."

Ahmar menyugar rambutnya dengan kasar. Ia gusar. Jujur saja, meski Juan sepupunya, dan dia tahu bahwa Juan orang baik, tapi capnya sebagai petualang cinta membuat Ahmar merasa tak rela. Mariam berhak mendapatkan yang lebih baik dari itu, juga lebih baik dari dirinya.

"Katakan ya, Mariam!" Juan menatap mata Mariam dalam. Yang ditatap menunduk, tak kalah dalam.

"Sudah Juan, jangan memaksanya. Kalaupun kau serius dengan ucapanmu, beri kesempatan padanya untuk memikirkannya lebih dulu." Ahmar merendahkan suaranya. Sesungguhnya dia sadar, dia tak memiliki hak apapun atas Mariam ataupun Juan.

Hening menyelipkan diri diantara kelimanya. Galau menyusup perlahan ke dalam hati Mariam.

"Kita pulang," ajak Ahmar. Suaranya terdengar penuh wibawa. Ia melangkah mendahului yang lain. Sepertinya ia telah menemukan kembali dirinya yang sempat oleng sejak kemarin malam.

*Note: pict taken from pinterest

***

Dear Tim Mariam.
Sudah keluar ini kesayangan kalian. Lunas yaa. Ahaha.

Btw, adakah yang masih ingat Juan?  Yess, dia sudah sempat muncul di part Madrid. Playboy kabel yang mendadak menawarkan komitmen.  Rela nggak sih semisal Iam dapat Juan?  Wkwkwk

Baiklah, happy weekend and stay happy yaaa.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top