30. Kembali pada-Nya
Bismillah.
***
Tiga hari berlalu sejak Mariam pergi. Sore itu Anna benar-benar gelisah memikirkan sahabatnya. Berkali ia mencoba menghubungi, baik via telepon maupun pesan, tapi tak satu pun mendapat tanggapan. Padahal pesannya terkirim. Pun saat menelepon, ada nada panggil terdengar, hanya saja tak ada respon dari seberang. Anna mulai frustasi.
"Kau memikirkan sahabatmu?" suara Latifa mengagetkan Anna.
"Hemm," jawab Anna singkat.
Latifa duduk di samping Anna, menyelonjorkan kaki dan menyandarkan punggung pada sandaran tempat tidur. Lalu memeluk bantal. Gayanya persis seperti kakaknya. Anna tertawa kecil melihat tingkah Latifa.
"Kau mengenalnya dengan baik, kupikir kau tak perlu mengkhawatirkannya." Adik iparnya menasehati sambil memainkan helai-helai rambutnya sendiri dengan jemari.
"Maksudmu?"
"Mariam orang yang tangguh, kuat. Badannya memang kecil, tapi tidak dengan nyali dan prinsipnya. Aku yakin dia bisa menjaga dirinya. Di manapun dia berada, dia akan baik-baik saja. Insya Allah."
"Bagaimana mungkin kau begitu yakin melebihi aku yang belasan tahun jadi sahabatnya?" Anna mengernyit, sedikit tak yakin.
"Tentu saja, karena aku punya level kepekaan yang lebih tinggi darimu." Skak mat! Anna tersenyum kecut. Latifa memang tak kenal basa basi, khas typical orang Eropa.
"Sesaat setelah Ahmar mengucap qabul, aku tau ada sesuatu yang tersembunyi darinya dan Mariam.Lalu saat kita makan seafood di restoran pinggir pantai, yang aku lupa nama restonya, kami sempat ngobrol berdua."
"Jadi kau sudah tau sejak lama?" pekik Anna.
"Ssstt, biasa saja lah! Kan aku sudah bilang, level kepekaanku jauh di atasmu, Anna."
"Hih, iya iya." Anna sedikit emosi.
"Lalu apa yang diceritakan Iam kepadamu, Latifa?"
"Ia cerita kalo dia sempat jatuh dan lemah karena masalah itu. Ibunya tau, lalu bertanya 'apakah kau melakukan semuanya karena Allah?', Mariam bilang iya. Lalu ibunya berkata 'jika kau melakukannya karena Allah, maka seharusnya kau tak selemah itu'. Begitu yang dia ceritakan padaku."
"Dan sejak saat itu, kata-kata ibunya selalu menjadi penguat setiap kali ia menemui kesulitan."
Mendengar penjelasan Latifa tentang Mariam, terbersit begitu saja di hati Anna untuk menghubungi ibu Mariam. Menanyakan, mana tahu ada kabar tentang Mariam. Anna sudah hafal kebiasaan sahabatnya, yang selalu berkabar dengan orang tuanya saat mereka tak bersama. Minimal sekali dalam sehari, itu sudah menjadi semacam kewajiban baginya.
Tak menunggu lama, Anna segera menghubungi Ibu Mariam.
"Assalamualaikum, Tante. Ini Anna, Tante. Adrianna, sahabatnya Iam."
"Waalaikumussalam. Masya Allah Anna, apa kabarnya, Nak? Sudah sembuh kah?" Ibu Mariam menjawab telpon Anna denga semringah.
"Alhamdulillah sudah, Tante. Apa Iam tidak pernah cerita?"
"Belum, Nak. Terakhir dia mengabari kami saat dia tiba di Granada. Setelah itu dia tak pernah lagi berkirim kabar."
"Masa sih, Tante? Kayanya Iam nggak gitu deh. Biasanya kan dia paling rajin kabar-kabaran sama Tante. Minimal sekali setiap hari wajib. Saya sampe hapal." Anna mencoba tertawa.
"Apa Mariam nggak cerita apa-apa tentang orang tuanya?"
"Mak-maksud Tante?"
Ibu Mariam menghela napas, "Baiklah, Nak. Karena kamu sahabatnya, orang terdekatnya setelah kami, oh bukan, malah kamu lebih dekat daripada kami, maka biar tante ceritakan sesuatu yang Mariam sendiri pun baru kami beritau.
"Jadi begini, Anna. Mariam, dia... dia bukan anak ka--mi," suara ibu Mariam terdengar berat.
"M-maksudnya gi-gimana, Tan--te?" Anna gemetaran mendengar pernyataan ibu Iam barusan.
"Ibunya adalah adik tante, sedangkan ayahnya dulu tinggal di masjid dekat rumah nenek. Karena orangnya soleh dan baik, maka nenek memintanya menikah dengan adik tante. Ayahnya orang baik, baik sekali. Ia meninggal saat menolong seorang nenek yang dirampok. Waktu itu Mariam masih dalam kandungan. Tak sampai di situ, mamanya pun meninggal ketika melahirkan dia."
"Innalillahi wainnailaihi rojiuun. Ya Allah, ja-jadi Iam, d-dia...." Air mata Anna menderas tanpa bisa dibendung. Ibu Mariam pun ikut terisak.
"Ya. Jadi Mariam yatim piatu sejak lahir. Maka kami memutuskan untuk merawatnya dan mendaftarkannya sebagai anak kandung kami. Hanya saja ketika nak Anna menikah, kami sepakat untuk segera memberitau fakta yang sebenarnya, karena tak menutup kemungkinan dia akan menyusul nak Anna bertemu jodohnya tak lama lagi. Dia harus tau dari jauh hari, sebab ayahnya memang tidak punya hak maupun kewajiban untuk menjadi wali nikahnya. Dan kami tak mau itu terjadi ketika dia sedang bahagia menyambut pernikahannya."
"B-baiklah, Tante. Terima kasih sudah menjelaskan sama saya. Ijinkan saya menenangkan diri ya, Tante. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Nak Anna jaga kesehatan ya."
"Iya, Tante."
Anna melempar gawainya sembarang. Menangis sambil memanggil-manggil nama sahabatnya. Latifa menghibur dan menenangkan iparnya, meski tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
***
Malam beranjak menua, angka di kalender pun nyaris bergeser, ketika Ahmar masuk ke kamar dan mendapati istrinya tidur dengan mata membengkak. Wajahnya kusut. Bekas air mata yang mengering tersebar tak beraturan di sekeliling wajah cantik itu.
Ahmar mengambil stool bercorak zellige hitam putih, menaruhnya di samping tempat tidur. Ia duduk di sana, menggenggam erat jemari Anna, lalu mengecup keningnya. Dihapusnya setitik bening di sudut mata istrinya.
"Aku pulang, Sayang. Maafkan aku."
"Hemm." Anna menyahut, lirih.
"Kau tidak tidur?"
"Tidur. Tapi tak tenang." Anna membuka mata dengan berat. Sebutir air lolos lagi dari netranya.
"Kau kenapa, Adrianna? Marah karena aku pulang terlambat? Atau?" Anna menggeleng, lantas menangis. Lagi.
Diceritakannya semua fakta tentang orang tua Mariam sambil menangis. Setelahnya kembali merintih, memanggil-manggil sahabatnya penuh sedih. Sejujurnya hati Ahmar pun mendadak kacau, tapi seperti biasa, dia berusaha untuk tetap tenang supaya menenangkan.
"Ahmar, cari Iam, Ahmar. Tolong cari dia. Jangan biarkan dia sendirian di luar sana. Dia nggak punya siapa-siapa, dia cuma punya aku di sini. Cari dia, Ahmar. Tolong cari dia."
"Iya, Anna. Aku pasti akan mencarinya. Tapi aku tak bisa meninggalkanmu jika kau masih sedih seperti ini, kau harus tenang dulu agar aku pun tenang meninggalkanmu. Kau tau kan, mencari seseorang tanpa petunjuk apapun itu tak mudah. Jadi tolong, kau harus tenang dulu, kau harus baik dulu. Aku janji akan segera mencarinya besok pagi."
"Aku baik-baik saja, Ahmar. Iam yg mungkin tidak baik-baik saja. Kau harus mencarinya, Ahmar. Cari dia sekarang. Tolong, Ahmar. Kumohon cari dia sekarang. Aku janji tak akan meminta apapun lagi setelah ini." Anna tak berhenti memohon.
"Ssstt... Baiklah, aku akan mencarinya besok pagi. Tapi kau tak perlu berkata begitu, kau tetap boleh meminta apapun padaku, karena aku suamimu. Kalo tidak padaku, kau akan minta pada siapa? Aku mencintaimu, Anna," hibur Ahmar sembari memeluk istrinya.
"Tentu saja aku akan minta pada Allah." Anna mulai tenang, tangisnya mereda.
"Nah, kau benar, istriku yang pintar. Mungkin ini saatnya bagimu untuk kembali mendekatkan diri pada-Nya. Meskipun kau masih nifas, kau tetap bisa melakukan amalan-amalan sunnah yang lain, yang beberapa waktu ini sudah jarang sekali kau lakukan. Memuroja'ah ayat-Nya, memperbanyak dzikir mengingat-Nya, juga meminta kesembuhan dan segala kebaikan hanya kepada-Nya. Kau tau, aku merindukan saat-saat beribadah bersamamu, Anna."
Anna lalu meminta Ahmar mengantarnya wudhu. Meski masih dalam masa nifas, ia ingin tetap bersuci sebelum kembali menemui Rabb-nya dalam rangkaian doa. Ahmar menggendong Anna dan membantunya mengambil wudhu. Ia lalu mengambil Maira dari box bayinya, dan menaruh si mungil nan cantik itu pada pangkuan mamanya. Ahmar ingin putri kecintaannya turut mendengarkan sang mama memuroja'ah ayat-ayat yang diturunkan oleh pencipta-Nya.
Usai muroja'ah bersama, Ahmar melaksanakan salat malam sebelum mengistirahatkan dirinya, juga pikirannya. Anna turut mendampingi dengan berdzikir melantunkan asma-Nya yang mulia.
Anna terlarut dalam bahagia, ia seerti menemukan oase di padang gurun yang luasnya tak dapat dikira. Untaian kata meluncur tanpa dirangkai sebelumnya, semua mengalir dengan sendirinya. Setiap cerita dan rasa yang dia alami, segala keluh dan kesah yang dia miliki, juga rasa haru dan bahagia yang ia rasai, ia sampaikan seluruhnya pada Sang Maha Cinta.
"Ya Rabb, sungguh aku adalah hamba yang hina, tapi Kau tak henti mencurahi aku dengan segala bahagia. Aku tak tau bagaimana harus berterima kasih atas segala hadiah yang telah Kau berikan untuk hidupku. Sebaliknya, aku justru lupa dan tenggelam dalam kesedihan yang Kau berikan bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan bahagia yang kuterima.
"Allah, ampuni aku yang jauh dari kesyukuran. Yang selalu merasa bahwa diri ini yang paling menderita dan paling butuh perhatian. Aku egois, Ya Allah, hingga aku menyakiti hati orang-orang yang menyayangiku. Sedangkan keluargaku tak juga Kau ijinkan untuk mendampingi aku di sini. Dan sahabatku, aku telah memperlakukan dengan begitu buruknya. Aku tak mampu menahan emosiku hingga dia pergi, padahal dia nggak punya siapa-siapa di sini.
"Ya Wahhab... Yang Maha Pemberi Karunia. Sungguh telah Kau berikan untukku dunia dan segala isinya, namun aku justru terlena karenanya. Hingga aku lelah, ketika Kau uji aku meski tak seberapa.
"Ampuni aku, Ya Ghofur. Jika segala ujian ini sebagai nikmat-Mu agar tergugur dosa-dosaku, aku akan menjalaninya dengan bahagia. Bahkan jika aku harus mengembalikan semua hadiah yang telah Kau karuniakan untukku, aku rela. Tapi kumohon, ijinkan aku untuk tetap menggenggam yang satu, yaitu hidayah darimu."
Anna seperti lupa pada rasa lelah. Ia menengadah. Mengangkat kedua tangan dengan air mata bercucuran. Namun bukan kesedihan yang memenuhi hatinya. Sebaliknya, ia merasakan kekuatan dan kelegaan yang luar biasa.
Seseorang tersenyum melihat keadaan Anna. Ahmar. Ia melihat kesungguhan dalam diri Anna. Menemukan keikhlasan pada kedua manik mata dari kelopak unik yang disukainya. Ia beringsut dari posisinya semula, memeluk istrinya penuh cinta dan sukacita.
"Kau belum tidur, Ahmar?"
"Tidak. Aku ingin melihat istriku yang baru."
"M-maksudmu? Iam?"
"Hush! Bukan begitu maksudku. Sepertinya aku salah bicara." Ahmar menepuk mulutnya. Anna tertawa kecil, pipinya merona.
"Eh, tapi rasanya tak mengapa aku salah bicara, asalkan itu bisa membuatmu tertawa. Aku selalu suka melihat matamu saat tertawa."
"Aku juga tak mengapa jika kamu punya istri baru, asalkan itu Iam."
"Anna, maksudku bukan begitu, Sayang. Maksudku tadi, aku merasa kau telah terlahir sebagai sosok yang baru. Matamu mengungkapkan itu." Sebuah kecupan mendarat di kening Anna.
"Ahmar. Emm, apakah kau masih mencintai Iam?
"Kenapa harus bertanya seperti itu lagi?"
"Kau masih mencintainya kan?" desak Anna.
"Bukan begitu, Sayang. Sejak awal memutuskan untuk menikahimu, bagiku urusan cinta dengan Iam pun sudah selesai. Aku berusaha mencintaimu, dan kurasa aku sudah berhasil, Anna. Aku ingin tau, apakah kau pernah merasakan bahwa aku tidak mencintaimu?" Ahmar balik bertanya.
"Tidak pernah, Ahmar. Sama sekali tidak! Sebaliknya, aku justru merasa mendapatkan cinta yang luar biasa darimu, sampai-sampai aku tak sedikit pun menyadari bahwa ada cinta yang lain di hatimu."
"Alhamdulillah, jika demikian. Lalu apa lagi yang menjadi masalah, Anna? Itulah aku padamu. Aku mencintaimu. Meski ternyata melupakan pun tak mudah. Setidaknya aku sudah mengubur dalam-dalam nama Mariam. Jika ada satu kenangan yang masih tertinggal, itu murni kebodohanku. Hingga akhirnya kau menemukannya dan tau tentang semuanya."
"Kau sudah tau, Ahmar? Maafkan aku sudah melanggar privasimu."
"Ya, aku sudah tau, Anna. Tapi saat kau menemukan chat itu, aku sendiri bahkan sudah lupa kalau aku menyimpannya. Maafkan aku."
"Tak apa, Ahmar. Aku yang seharusnya meminta maaf karena meragukan cinta dan usahamu untuk mencintaiku, semenjak aku menemukan percakapanmu dengan Iam. Aku juga yang salah. Melupakan seseorang memang tak mudah, apalagi jika kita terlanjur mencintai terlalu dalam. Tapi aku malah mengingatkanmu pada Iam, hampir setiap saat.
"Itu karena begitu banyak cinta yang kudapatkan darimu, hingga aku tak tau ada yang sedang berusaha untuk benar-benar kau jadikan masa lalu. Aku yang mempersulitmu, Ahmar. Aku yang selalu mengingatkanmu pada Iam, juga mengingatkan Iam padamu tentu saja. Betapa hati kalian pasti tersiksa ya? Aku memang jahat dan bodoh. Tak punya hati. Tak peka sama sekali." Anna tertawa getir.
"Kau tau, Ahmar. Sesungguhnya keberadaan Iam di sini sangat membahagiakan buatku. Aku dalam kondisi seperti ini, jauh dari keluargaku, yang bahkan sampai hari ini masih terkendala urusan visa. Maka keberadaan Iam menjadi penghibur hatiku. Mungkin itu pula yang menguras emosiku, sampai aku ingin dia untuk tetap di sini, aku tak ingin dia pergi. Bahkan aku memaksanya untuk menjadi istrimu. Sedangkan hatiku sendiri sebenarnya tak menginginkan itu.
"Tapi itu kemarin. Sekarang, aku merasa sebaliknya."
"Maksudmu? Aku bisa memahami perasaanmu, juga keinginanmu. Tapi tak berarti aku harus menikah dengannya kan?"
"Maafkan aku, Ahmar. Pada awalnya memang semua itu cuma emosi, karena perasaan bahwa aku tak dicintai olehmu, bahwa aku merebutmu dari sahabatku, apalagi keadaanku yang seperti ini sekarang. Aku merasa tak punya arti.
"Tapi ternyata, beban hidupku tak seberat Iam. Ia bahkan sendirian di dunia seluas ini. Aku masih memiliki keluargaku meski jauh, memiliki Maira, mama, Latifa. Dan terutama, aku memilikimu, Ahmar
"Saat itu aku memang cemburu pada Iam. Maka aku sengaja memancing-mancing pengakuan darinya. Aku ingin tau seperti apa perasaannya padamu. Aku...." Anna menangis lagi. Teringat perkataannya sebelum Mariam memutuskan untuk pergi.
"Perasaan kami mungkin sama, bahwa kami telah menyelesaikan urusan cinta, berusaha menghapus dan melupakannya. Tapi semua itu butuh waktu, terkecuali aku terkena amnesia," ucapan Ahmar lagi-lagi membuat Anna tertawa.
"Kau lucu ya! Tentu saja aku tak mau kau amnesia. Aku lebih memilih kau membagi cinta, asalkan aku masih mendapatkan bagiannya." Kali ini gantian Ahmar yang tertawa. Ia menangkup wajah istrinya, mencium sekilas bibirnya.
"Ketahuilah, Sayang. Sepanjang aku hidup hingga detik ini, tak pernah sekalipun terlintas untuk memiliki istri lebih dari satu. Bahkan setelah kau melemparkan permintaan seperti itu pun aku tetap tak sanggup membayangkannya. Selain aku tak pernah menjumpai yang seperti itu di tengah-tengah keluargaku, negara juga tak mengakui pernikahan yang seperti itu."
"Tapi Islam membolehkan itu, Sayang. Dan seandainya pun kau lakukan, itu karena sesuatu yang bisa jadi justru hukumnya bergeser menjadi sebuah kewajiban." Anna tersenyum. Bukan apa-apa, ia hanya merasa malu dengan omongannya yang sok tahu.
"Dan satu lagi. Aku pun merelakan itu, Ahmar. Percayalah."
"Maaf, Anna. Tapi tetap saja aku merasa tak mampu."
"Sayang, kau tau kan aku tak lagi seperti dulu? Sekarang ada hal-hal yang tak lagi mampu kupenuhi sebagai seorang istri. Kewajibanku, yang merupakan hak bagimu. Aku tak tau, apakah kondisiku akan kembali normal dalam waktu dekat, atau bahkan akan seperti ini selamanya, menghabiskan sisa hidupku di atas kursi roda. Kau laki-laki, Ahmar. Dan rasanya, aku tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang hal ini.
"Kau pikir aku akan bisa tenang jika kau resah dan gelisah menahan sesuatu yang seharusnya kau salurkan? Tentu saja tidak. Kau justru akan menyiksaku dengan perasaan bersalah.
"Aku tak peduli kau merasa mampu atau tidak, tapi sejujurnya, aku telah mengikhlaskanmu untuk menikahi seseorang, yang bisa membantuku memenuhi kewajiban yang tak bisa kupenuhi.
"Dan kenapa Iam? Karena kau mencintainya, Ahmar. Dan aku menyayanginya. Kupikir akan lebih mudah bagimu menerimanya, juga bagiku. Aku lebih rela melihatmu bersamanya, daripada bersama orang yang bagiku bukan siapa-siapa."
Hening melanda. Hanya suara dengkur halus Maira mendominasi di tengah-tengah mereka.
"Emm, itu jika kau berkenan, Ahmar," kata Anna lagi.
"Jika aku tidak berkenan?" tanya Ahmar, wajahnya menunjukkan keseriusan yang teramat.
"Emm, tentu saja..., aku akan memaksamu sampai berkenan." Anna tertawa.
"Sayaaang, kupikir kau sudah berubah. Ternyata kau masih tetap istriku yang lama!"
Ahmar mengacak rambut Anna gemas. Dipeluk dan dihirupinya aroma vanila yang menguar dari kepala istrinya.
"Kau benar, Ahmar."
"Tentang apa?"
"Bahwa aku tetap istrimu yang lama. Dan itu berarti akan ada yang baru untuk mendampingimu, juga menemaniku."
"Emm, tentang itu, aku tak bisa berjanji. Lagi pula, jika aku bersedia, belum tentu Iam pun sama. Nanti kalo dia menolakku, lalu aku patah hati, kau mau tanggung jawab menyembuhkannya?"
Bagi Anna, perkataan Ahmar yang terakhir sudah cukup menjadi jawaban bahwa ia bersedia. Anna merasa langkahnya tinggal separuh jalan. Bagaimana menemukan Iam, dan memintanya untuk menjadi seseorang yang akan menemaninya.
"Emm, Ahmar. Tidurlah, Sayang."
"Kau mengusirku?"
"Tentu saja iya. Aku sedang tak membutuhkanmu lagi saat ini. Kau tidur saja sana, biar aku bisa kembali mengetuk pintu-Nya dengan doa," rajuk Anna.
"Memang kau mau meminta apa lagi?"
"Aku mau meminta pada Allah, agar menjadikan Iam sahabat, yang selalu ada bersamaku, dan bersama kita, selama-lamanya."
***
Huaaahh, akhirnya selesai juga. Maafkan part yang panjang dan kebanyakan dialognya. Hehe..
Yang kemarin penasaran sama ortunya Iam, sudah terjawab kan ya? Nah, kalo Iam sendiri sekarang lagi di mana? Trus, kira2 Anna-Iam bakalan ketemu lagi nggak ya?
Sebenernya pengen bikin part Iam di Alpujarra, sebuah tempat yang cantik di dataran tingginya Granada. Tapi takut yang baca bosan dan mati gaya, karena part ini bisa-bisa jadi paaanjang dan laaama kaya choki-choki.
So, sampai di sini saja yaaa.
Dan sampai jumpa di part selanjutnya.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top