25. El Jardín de La Mezquita

Bismillah.

***

Mariam baru saja menutup kotak bekal makan siang ketika gawainya mendentingkan nada pesan diterima. Aroma sayur lodeh masih sedikit tersisa, ia mengelap meja dengan tisu kemudian menuju wastafel untuk membersihkan kedua tangannya. Ditinggalkannya ruang makan, kembali ke cubicle-nya.

[Iam, cek email ya, ada sesuatu buat kamu. Dan aku nggak menerima penolakan untuk yang satu ini. Pokoknya i miss you tomat my bestie. Mmuah mmuah hueks.]

Mariam tersenyum membaca pesan dari Anna. Segera setelah sampai di balik kubikelnya, ia membuka jendela aplikasi bergambar amplop putih dengan garis merah membentuk huruf M.

"Masya Allah, bumil satu ini apa-apaan sih?" Mariam terbelalak menerima email dari salah satu maskapai penerbangan terbaik di dunia. Sebuah tiket penerbangan ke Madrid di kelas bisnis atas namanya.

[Anna, maaf. Tapi aku tak bisa menerimanya.]

[Aku nggak mau tau! Menolak ini berarti kamu memutuskan persahabatan kita. Catat ya! KAMU yang memutuskan, bukan aku.]

Gadis mungil itu mendengkus, galau. Kalo soal memaksa dia, Anna memang paling jago. Di satu sisi ia sungguh merindukan sahabatnya, tapi di sisi lain, ia pula tak yakin akan kesiapannya bertemu suami sahabatnya.

Hampir setahun berlalu, namun perasaannya pada Ahmar masih sama, seperti tak bergeser barang sejengkal jua. Ia bahkan sudah lelah, dan menyerah. Membiarkan saja semua mengalir sampai waktunya ia lupa dengan sendirinya. Ah, mana mungkin, sedang hampir setiap hari ada saja cerita Anna tentang suaminya.

Mariam menggeleng, mencoba mengenyahkan resah.

[Oke deh, aku pikir2 dulu]

[Halah, gayamu! Tinggal bilang iya apa susahnya sih]

Mariam baru mau membalas pesan Anna, ketika receptionis kantor menghubunginya, "Mbak Mariam, ada yang nyari. Ini ditunggu di bawah ya."

Mariam mengiyakan, hatinya bertanya-tanya, siapa? Ia segera turun menuju ruang tamu kantornya.

"Mbak Mariam ya? Saya Reni." Perempuan berkacamata dengan pashmina warna fuchsia itu mengulurkan tangan sambil menyebut nama.

"Iya, saya Mariam. Mohon maaf, Mbak ini siapa ya? Ada perlu apa mencari saya?"

"Saya diminta Mbak Adrianna untuk membantu mengurus visa Mbak Mariam buat ke Spanyol."

Mariam nyaris tersedak mendengar penjelasan Mbak Reni baru saja. Batinnya berteriak, "Gila! Gak ada berubahnya si Anna nih."

"Duh, lha saya aja belum memutuskan akan ke sana atau enggak, Mbak."

"Kalo itu sih nggak apa-apa, Mbak. Nggak ada masalah. Minimal mbak sudah bikin visanya dulu, kalopun nggak dipakai dalam waktu dekat, Mbak masih bisa pakai lagi lain waktu, asalkan masih masuk masa berlaku. Kalopun Mbak Mariam jadi berangkat, Mbak juga lebih nyantai karena visa udah diurus dari jauh-jauh hari."

"Oh, gitu ya. Oke deh, berarti saya harus siapin apa aja, Mbak Reni?" Mariam menyerah dengan mudah. Sebentar kemudian, mereka berdua sudah larut dalam obrolan mengenai berkas-berkas pengurusan visa.

[Dasar tukang maksa! Pake ngirim petugas bikin visa segala. Edun memang ya, gak berubah blasss. Aku kehabisan kata menghadapimu, nona Anna!]

[Hahaha. Udah ah, aku mau jalan2 ke mezquita. Bete di rumah sendiri. Panasss. Suami sibuk bawa turis cakep2, katanya pagi ini pulang tapi gak dateng2.]

[Pagi2 udah panas? Panas hati kalo itu sih. Jelesss. Tapi suamimu nggak tipe suka tebar pesona kan ya? Haha]

[Kl dia sih gak tebar pesona tetep aja mempesona.]

[Eaaa... Iyain aja lah biar cepet.]

[Lah kan memang iya. Cuma kamu aja kalik gak terpesona sama Ahmar.]

"Gak terpesona nenek lo! Pesonanya menyiksa jiwa raga tauk!" teriak Mariam, dalam hati saja.

[Udah sana, katanya mo jalan2. Aku lagi kerja nih, korupsi waktu gara2 orang gaje kek kamu]

Mariam kembali serius di balik cubicle. Sedang di sana, lebih 12.000 kilometer dari Jakarta, Anna bersiap jalan-jalan. Ia berniat ngadem di taman mezquita. Sebenarnya lebih pada mengademkan hati dan pikiran karena Ahmar yang berjanji pulang pagi nyatanya sampai jam delapan belum juga hadir di hadapan. Kehamilan yang semakin besar membuat Anna makin hari makin manja dan emosian. Ahmar telat sedikit saja bisa bikin dia uring-uringan nggak jelas.

Musim panas menjadi musim favorit buat Anna selama tinggal di Granada. Panasnya yang tak jauh berbeda dengan Indonesia membuatnya bisa mengeluarkan baju-baju favoritnya, seperti yang ia kenakan pagi itu. Kulot hijau tua di atas mata kaki, kaos oblong lengan pendek dan outer putih berbahan katun, pashmina corak bunga berwarna senada dengan celananya, tak ketinggalan flat shoes dan sling bag andalannya.

Letak masjid yang cuma lima langkah dari rumah membuat Anna tak sampai berkeringat menuju ke sana. Taman masjid cukup ramai, karena musim panas menjadi puncak kunjungan wisatawan di Spanyol. Anna memilih tempat yang menurutnya paling nyaman untuk mencari pewe alias posisi wuenak. Pandangannya terantuk pada bangku semen di ujung dekat pepohonan. Sudut yang pas banget untuk ngadem.

"Maaf, bolehkah saya duduk di sini?" Ia berbasa-basi meminta izin pada seorang ibu yang telah lebih dulu duduk di sebelah posisi yang ia incar.

"Silakan silakan, tempat ini kosong kok," jawab sang ibu dengan ramah.

Anna duduk, meneguk infused water seledri dengan lemon dan madu. Ramuan yang cukup ampuh untuk menjaga tekanan darahnya, yang semenjak hamil sering sekali di atas rata-rata.

"Sendirian saja?" Ibu itu membuka obrolan.

"Iya. Seperti yang ibu lihat. Ibu?" Anna balik bertanya.

"Aku bersama anak-anakku. Yang besar bernama Sofia, dan Ayman adiknya," terangnya sambil menunjuk dua anak yang sedang berlarian di taman. Seorang perempuan berusia sekira 8 tahun dan adik laki-lakinya seusia 6 tahun. Postur tubuh mereka tak jauh berbeda.

"Anak pertama?" Ibu itu bicara lagi, kali ini melempar tanya tentang kehamilan Anna.

"Iya. Alhamdulillah."

"Sudah berapa minggu?"

"Tiga puluh lima."

"Masya Allah. Selamat ya. Hidupmu sudah lengkap sebagai seorang perempuan, dan sebentar lagi... sempurna." Ia berkomentar, matanya memandang ke Alhambra. Menerawang lebih tepatnya.

"Terima kasih. Tapi saya deg-degan. Makin mendekati harinya makin banyak kekhawatiran. Apa Ibu dulu juga merasakan hal yang sama?" ujar Anna, lebih terdengar sebagai curcol.

"Aku? Aku tak pernah mengalaminya."

"Mak-maksud Ibu?"

"Aku tak pernah mengalami hamil dan melahirkan." Ibu itu menyunggingkan segaris senyum.

"Emm maaf, tapi bukankah mereka berdua anak Ibu?"

"Ya, tentu saja. Mereka berdua anakku, tapi tidak terlahir dari rahimku."

"Jadi, siapa yang melahirkan mereka?"

"Astaghfirullah, mulut nggak terkontrol amat sih ini," batin Anna menyesali pertanyaan yang dia rasa tidak sopan.

"Ma-maafkan pertanyaanku," ucap Anna segera,

"Tak mengapa. Mereka anak-anak suamiku dari istrinya yang kedua."

"Ehk." Anna hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar jawaban si ibu. Sebaliknya, ibu itu justru tertawa melihat keterkejutan Anna.

"Kau kenapa?"

"Oh eh ti-tidak, ak-aku tidak kenapa-kenapa."

"Kau kaget karena ada orang eropa yang beristri lebih dari satu?" Ibu itu seakan bisa membaca pikiran Anna.

"Jadi begini ceritanya. Kami, aku dan suamiku, belum dikaruniai anak sampai usia pernikahan kami memasuki tahun ke delapan. Dia tak mempermasalahkan. Tapi  sebagai seorang yang beriman, melihat suamiku yang saleh dan berilmu, rasanya sayang jika itu tak dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak sebagai generasi harapan penegak kejayaan Islam. Maka aku menyuruhnya menikah lagi." Mata Anna membulat lucu, menanti kelanjutan cerita si ibu,

"Awalnya dia berkeras menolak, apalagi di sini pernikahan dengan lebih dari satu istri tidak diakui. Pada akhirnya, aku yang mencarikan seseorang untuknya, tentu saja setelah mendiskusikan dan meminta izin pada keluarganya. Keluarga suamiku dari Maroko, mereka bisa mengerti bahkan membantuku dalam menemukan seseorang yang akan menjadi ibu dari anak-anak kami. Tentu saja kami memilih orang dengan kesalehan yang baik, karena bersama kami, dia akan juga terlibat dalam membesarkan calon-calon pemimpin Islam di masa depan. Sekarang, anak kami 4 orang, dua di antaranya sudah remaja dan belajar Al Quran di Mallorca¹." Ibu itu menjelaskan panjang lebar tanpa diminta.

"Masya Allah." Anna speechless, tak tahu harus berkomentar apa.

Ibu itu menyambung bicaranya lagi, "Berbahagialah! Kau tak perlu membagi cinta dengan orang lain demi mendapatkan penerus generasi. Maka dari sekarang, tanamkanlah tekad di hatimu, juga suamimu, untuk mendidik anak-anak yang kelak menjadi penerus kegemilangan Islam. Kegemilangan yang pernah ada di sini, di tanah yang kita pijak sekarang ini. Bumi Andalusia."

"Masya Allah." Anna mengangguk pelan. Dalam hatinya terbit tekad, kelak akan mendidik anak-anaknya menjadi pejuang muslim yang tangguh, seperti cita-cita papanya, Ahmar.

"Emm maaf, tapi bagaimana bisa kau melakukan itu? Bukankah me-membagi cinta tak bisa semudah itu?" tanya Anna lagi, seperti tersadar dari pikiran yang menyeretnya pada lamunan.

"Jika aku bisa memenuhi semua kebutuhan suamiku, tentu saja aku tak akan pernah melakukan itu. Tapi ketika ada kebutuhannya yang Allah tak memberiku kemampuan utk memenuhinya, maka aku memilih untuk melakukan itu."

"Tapi bu-bukankah suami ibu tak menuntut untuk memiliki anak dari ibu?"

"Dia memang tak menuntut, tapi Allah memberikan kesalehan dan ilmu untuknya tentu bukan tanpa tujuan. Ah sudahlah, membicarakan tentang ini tak akan ada selesainya. Karena tak setiap orang bisa menerima atau memahami." Si ibu tersenyum penuh arti.

"Ketahuilah! Membagi cinta memang tak mudah, tapi jika niat dan tujuanmu hanya karena Allah, kau akan kuat melewatinya. Aku bisa berkata demikian, karena aku sudah menjalaninya." Ia menepuk lembut bahu Anna, senyum belum lepas dari wajahnya yang asli Eropa.

Anna memandang ke Alhambra, pikirannya dipenuhi bayangan andai dia yang ada di posisi ibu itu. Anna bergidik, menggeleng sendiri seolah ingin mengenyahkan andai-andai yang berkelebat di benaknya. Membagi cinta Ahmar dengan perempuan lain? Hih, membayangkan saja sudah membuatnya nyeri.

Gawai Anna bergetar. 'Mi Amor' begitu tulisan yang ada di layar.

"Assalamualaikum, Sayang," suara manja Anna terdengar di seberang.

"Waalaikumsalam. Dónde estás?" seru Ahmar tak sabar.

"En el jardin de la mezquita."

"Jangan kemana-mana! Aku ke sana sekarang," tegas Ahmar yang langsung menutup telepon.

Anna cemberut, "Harusnya aku yang marah. Dia sendiri yang datang telat," gerutu Anna. Lantas meneguk kembali infused waternya.

"Kau kenapa?" Si ibu yang masih di samping Anna tertawa melihat perubahan di wajah Anna.

"Eh, tidak ada apa-apa. Cuma... suamiku sampai di rumah dan aku tak ada. Dia mencariku."

"Pulanglah. Tak seharusnya kau pergi tanpa seijinnya."

"Iya, aku salah. Tapi dia menyuruhku menunggu di sini." Seulas senyum tergambar di wajah Anna, menambah ayu wajah yang mendadak bersemu merah. Rupanya sosok Ahmar telah tampak memasuki pagar mezquita.

"Assalamualaikum," sapa Ahmar. Menarik Anna ke dalam peluknya.

Anna menjawab salam suaminya. Setelahnya mengenalkan Ahmar pada si ibu yang tadi berbagi cerita dengannya. Ibu itu memuji Ahmar setinggi langit, utamanya memuji bacaan Al Quran Ahmar. Ia bercerita dengan semangat, beberapa kali melihat Ahmar membaca Al Quran pada kegiatan yang diadakan oleh kaum muslimin di Granada.

Anna memandang Ahmar dengan perasaan bangga. Mereka berdua kemudian berpamitan pulang, berlalu sambil bergandengan tangan.

"Aku kan sudah bilang, kau tak boleh pergi-pergi sendiri!"

"Kenapa? Bukankah biasanya juga seperti itu?"

"Kau hamil besar, Anna. Lihat, perutmu sudah terlihat berat begitu. Kau harus menjaga dirimu sendiri, juga anak kita. Kalo ada apa-apa dan kamu sendirian gimana?"

"Ada banyak orang di sekitar kita, Sayang. Kau tak perlu kuatir berlebihan." Anna masih saja mendebat suaminya.

"Adrianna! Aku mengkhawatirkanmu, juga anak kita. Tolong kau menurutlah padaku. Jika kau bosan di rumah dan ingin jalan-jalan, bilang saja. Aku akan menemanimu. Atau jika aku sedang tak bisa, aku akan meminta mama atau Latifa untuk menemanimu."

"Terima kasih, Sayang. Iya, maafkan aku. Habisnya kamu janji pulang pagi tapi sampe jam sembilan nggak datang-datang juga. Sudah gitu nggak ngasih kabar apa-apa," rajuk Anna.

Pintu flat sudah terbuka, Anna masuk dan bablas menuju teras. Mendudukkan dirinya di sofa yang beberapa hari lalu menjadi penghuni teras terbaru. Ahmar menyusul duduk di sofa yang sama, menarik Anna bersandar padanya. Keduanya terdiam dengan arah pandang yang sama. Alhambra.

"Sayang, ibu yang tadi ketemu di taman mezquita bercerita tentang kisah hidupnya dan keluarganya," cerita Anna tentang apa yang baru saja didengarnya.

"Oh ya, bagaimana ceritanya?"

Anna menceritakan kembali kisah sang ibu bak seorang reporter handal. Ahmar mendengarkan dengan seksama, sesekali mengernyit mendengar cerita istrinya.

Cerita Anna ditutup dengan sebuah pertanyaan, "By the way, Sayang. Pernahkah terlintas dalam hidupmu untuk punya istri lebih dari satu?"

"Tidak! Dan sama sekali tak pernah!" jawab Ahmar tegas.

"Serius nggak pernah? Atau mungkin setelah mendengar ceritaku barusan jadi kepikiran?" Anna kembali memancing.

"Adrianna, hentikan pertanyaan tak pentingmu itu!" Ahmar jelas-jelas menunjukkan tidak sukanya.

Ia beristighfar dalam hati. Sungguh, sedetik pun dalam hidupnya tak pernah terlintas niat untuk melakukan apa yang ditanyakan oleh istrinya. Di keluarganya tak ada satu pun yang melakukan itu. Setidaknya keluarga yang hidup di tanah Eropa. Entah dengan mereka yang tinggal di bumi Afrika.

"Aku capek, beri aku waktu untuk istirahat sebentar," ujar Ahmar sambil beranjak menuju kamar.

Ia menggeleng sendiri. Sungguhpun itu diperbolehkan dalam agama, dan seandainya hukum di negaranya pun memperbolehkan², tetap saja dia merasa tak mampu untuk melakukan hal yang satu itu.

***

Catatan:
- Dónde estás?: kamu di mana?
- En el jardin de la mezquita: di taman masjid
- ¹ Mallorca (dibaca Mayorka): nama sebuah pulau di Spanyol. Di sana ada sebuah madrasah untuk belajar Al Quran
- ² Spanyol termasuk salah satu negara yang tidak mengakui pernikahan dengan lebih dari satu istri (poligami)

Mohon diluruskan jika ada pembaca yang menemukan kesalahan, khususnya di catatan.

***


Hai hai, como estas? Apa kabar?
Semoga selalu sehat dan gembira.

Yang kangen sama Mariam mana suaranyaaa?! Insya Allah Mariam akan datang lagi di part-part setelah ini.

Dan jika tidak ada halangan, nanti malam akan update sekali lagi. Insya Allah.

Terima kasih sudah membaca Selepas Hidayah. Jangan lupa vote dan komen biar lapak ini makin meriah.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top