23. Granada
Bismillah.
***
Hari pertama di Granada, Anna menghabiskan waktu bersama keluarga Ahmar. Sejak pagi, satu dua kerabat dekat datang untuk berkenalan, kemudian larut dalam obrolan. Meski sebagian mereka bergaris wajah timur tengah, tetapi kebiasaan orang Spanyol seakan sudah menyatu dalam aliran darah. Mereka senang sekali kumpul-kumpul, mengobrol ramai dan hangat, membuat orang yang baru hadir di tengah-tengah mereka pun tak merasa terasing. Anna mengikuti semuanya dengan gembira, walaupun bahasa Spanyolnya masih payah, minimal dia dapat ikut merasakan aroma bahagia di tengah-tengah keluarga barunya.
Menjelang waktu dhuhur mereka bubar, kesenangan ngobrol ternyata tak melalaikan mereka pada kewajibannya memenuhi panggilan Allah. Padahal jarak masjid pun tak seperti di Indonesia, yang di mana-mana mudah dijumpainya.
“Anna, kau ingin istirahat atau mau jalan-jalan? Tour guidemu ini sudah siap mengantar ke manapun kau mau,” tawar Ahmar usai mereka makan siang. Mama memasak paella seafood siang itu, katanya karena Anna makan nasi dan keluarganya suka seafood. Rupanya mama masih ingat ketika makan bersama keluarga Anna sore setelah pernikahan mereka. Anna merasa terharu dengan perhatian mama.
“Kalo kau sudah siap mengantar, tentu saja aku memilih untuk jalan-jalan.”
Anna segera bersiap, mengenakan celana panjang hitam dipadu t-shirt lengan panjang putih tulang dan hijab warna senada. Coat coklat tua sepanjang lutut melindunginya dari serangan angin dan dingin yang menyapa. Anna membetulkan sneakers putih yang sudah pudar warnanya, memasukkan syal ke dalam slingbagnya, lalu menghampiri Ahmar yang sudah menunggu dengan senyum.
“Kau tampan sekali, Sayang. I love you.” Anna memuji suaminya, mencuri cium sekilas, sebelum mereka melangkah ke luar dari rumah mama.
Kalimat thayyibah berkali meluncur dari bibir Anna. Ia senang sekali dengan suasana di sekelilingnya. Tak pernah menyangka bahwa dia akan tinggal di tempat indah itu.
Albayzin, sebuah kawasan di Granada yang telah ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO. Wilayah itu dulunya adalah kawasan permukiman muslim pada masa kejayaan Andalusia. Rumah-rumah di sana, termasuk rumah keluarga Ahmar, mungkin telah ada sejak beratus tahun silam, saat bumi Andalusia masih berada di bawah kepemimpinan umat Islam.
Anna begitu antusias menyusuri lorong-lorong dengan jalan bebatuan yang naik turun. Tak bosan ia mengedarkan pandang. Hampir semua bangunan terlihat tua, dengan warna putih yang seragam melekatkan kesan bersih dan menyenangkan. Nyaris setiapnya merupakan bangunan bertingkat, ada yang dua, tiga, bahkan empat. Di setiapnya pula terdapat balkon, yang meski berukuran kecil tetapi dipenuhi bebungaan warna warni.
“Alhamdulillah. Mimpi apa aku bisa tinggal di tempat sebagus ini. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Alhamdulillah. Masya Allah.” Untaian syukur tak henti meluncur dari bibir Anna. Rasa bahagia membuat pipinya memunculkan rona merahnya. Melihat polah istrinya, Ahmar tersenyum. Gemas.
“Ahmar, lihat. Apakah itu menara masjid?” Anna memekik melihat penampakan sebuah minaret di ujung Calle Espaldas de San Nicolas.
“Ya, itu Mezquita de Granada, masjid kebanggaan kami para muslim Granada. Aku ingat, waktu itu tahun 2003, ketika kami di sini bisa kembali mendengarkan adzan berkumandang setelah lebih dari 700 tahun tak ada masjid yang berdiri di sini. Di sanalah sang muazin melantunkan adzan, di minaret yang kau tunjuk itu.” Ahmar berhenti, memandang minaret putih bersih bergaya Mudejar. Ingatannya menerawang sejenak pada masa ketika umurnya masih belasan.
“Ayo kita ke mezquita, kau akan menemukan pemandangan luar biasa di tamannya,” ajak Ahmar menggandeng tangan Anna.
Perkataan Ahmar tak meleset, Anna benar-benar terpesona dengan taman di area masjid Granada. Pepohonan berwarna hijau di antara bangunan masjid yang putih bersih memberi kesegaran pada siapapun yang memandangnya. Mata Anna tertuju pada sebuah kolam berisi air yang terlihat biru jernih. Ia berhenti, bentuk bintang segi delapan dengan pancuran kecil di atasnya mengingatkan ia pada Masjid Raya Paris. Membawa memorinya pada pertemuan pertama dengan Ahmar.
“Ahmar, kolam dan air mancur itu mengingatkanku pada pertemuan pertama kita.”
“Ah ya, tentu saja. Kau memang ahli sejarah yang baik.” Ahmar tertawa. Ia berjalan menuju ujung taman, berhenti di dekat pagar hitam yang menjadi pembatas area masjid.
“Kau lihat bangunan coklat muda nan megah di seberang sana? Itulah Alhambra. Tempat yang paling dicari dan menjadi tujuan utama mereka yang datang ke Granada.”
“Ma-maksudmu Alhambra yang dulunya adalah istana? Yang selalu diimpikan Iam untuk dia kunjungi paling tidak sekali dalam hidupnya? Yang gambarnya ada di kamar Iam?”
“Ya, itu impiannya. Impian Mariam,” gumam Ahmar nyaris tak terdengar. Bayangan Mariam berbicara tentang saat terakhir kali Abu Abdillah melihat Alhambra berkelebat. Isaknya yang begitu menghayati kisah kejatuhan Andalusia memenuhi kepalanya.
“Kau bicara apa, Sayang?”
“Oh, eh, tidak. Aku cuma mengiyakan pertanyaanmu saja.” Gugup. Ahmar memalingkan muka dari bangunan bersejarah di seberang netranya. Berusaha membuang kenangan yang melintas begitu saja dan memunculkan nyeri di dadanya.
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.” Ditariknya tangan Anna agar bersegera meninggalkan tempat itu.
“Tapi aku belum mengambil satu pun foto, Ahmar!”
“Ayolah, kau di sini tidak hanya satu dua hari, jadi kau bisa mengambilnya besok-besok lagi!”
“Ahmar, kamu kenapa sih? Please, satu gambar saja, mau kutunjukkan pada Iam.”
Dan Ahmar benar-benar tak peduli, dia terus berjalan meninggalkan tempat itu. Anna mau tak mau segera menyusulnya dengan wajah memberengut.
“Percayalah, kau akan suka dengan apa yang akan kutunjukkan padamu.”
Sebenarnya Ahmar ingin menunjukkan satu tempat lagi, Mirador San Nicolas. Konon tempat ini adalah tempat terbaik untuk memandang Alhambra. Tapi Ahmar tak sependapat, ia lebih senang melihatnya dari taman mezquita. Meski saat ini, melihat Alhambra mungkin memunculkan sebuah nyeri yang tak ingin ia rasai.
Tak sampai lima menit, mereka berdua tiba di sebuah bangunan, sebuah flat lebih tepatnya. Mereka berhenti di depan sebuah pintu di lantai dua. Anna tak mengerti, siapa yang akan mereka kunjungi. Tapi Ahmar tak mengetuk pintu, dia justru mengeluarkan sebuah anak kunci.
“Rumah siapa ini, Sayang?”
“Ssstt, sebentar lagi kau akan tau,” kata Ahmar sambil membuka pintu.
Anna melangkah masuk ke dalamnya. Sebuah tempat tinggal yang mungil dan sederhana, namun entah mengapa Anna merasa suka. Sepertinya ada aroma kehangatan sebuah keluarga di tempat itu.
Mata Anna menyapu sekeliling. Pandangan pertama tertumpu pada sebuah sofa abu tua dua dudukan dengan cushion polos berwarna warni cerah. Karpet lebar tergelar di depannya, beberapa bantal besar Lalu sebuah meja dengan empat kursi bersambungan dengan dapur mungil yang lucu tapi rapi.
“Maafkan aku, mungkin aku tak bisa memberimu tempat tinggal seperti yang kau tinggali selama ini. Tapi di sinilah nanti kita akan menghabiskan waktu kita. Di tempat yang kecil dan sederhana ini. Semoga kau suka.”
“Ma-maksudmu ini rumahmu? Eh, maksudku… rumah kita? Tentu saja aku suka. Di manapun asalkan bersamamu, aku pasti suka.” Anna menggombal.
“Ya. Mungkin terlalu sederhana, tapi kalo kau pergi ke terasnya, kau pasti akan suka. Ayo, akan kutunjukkan padamu sesuatu,” Ahmar mengajak istrinya menuju ke teras. Dan benar, Anna membelalakkan mata sambil menutup mulutnya melihat apa yang ada di hadapannya. Alhambra.
“Ini impianku sejak kecil, Anna. Mungkin bukan sebuah carmen, tapi bisa melihat Alhambra setiap kali membuka pintu, lalu mendengar lantunan adzan di setiap waktu salat, itu sungguh sesuatu untukku.” Anna memeluk Ahmar, air matanya menggenang di kedua pelupuknya. Anna terharu.
“Ehem ehem, maaf mengganggu,” suara Latifa membuyarkan suasana.
“Heh, kau kenapa di sini?” Ahmar melepaskan peluknya.
“Hehe maaf, Ahmar, ada sesuatu yang ketinggalan, aku berniat mengambilnya lalu segera pergi. Tapi melihat kasur, aku jadi berubah pikiran,” jawab Latifa sambil meringis memamerkan geligi rapinya. Memang Latifa yang membantu Ahmar menata tempat tinggalnya, jadi dia punya akses kunci sendiri untuk keluar masuk di flat tersebut.
“Kebetulan sekali malah, ini Lucas dan Ninayara memintaku menemui mereka sebelum mereka kembali ke Sevilla. Urusan pekerjaan. Tolong kau temani Anna ya, aku usahakan kembali ke sini segera.” Ahmar menjelaskan pada Anna, lalu segera menghilang di balik pintu.
Di teras yang tepat menghadap Alhambra, suara Anna terdengar begitu ceria. Tentu saja, karena ia sedang asyik mengobrol dengan sahabatnya, Mariam. Menunjukkan segala kebahagiaan, menceritakan semua impian Iam yang sudah ia wakili untuk mewujudkan.
Latifa mendengarkan dengan seksama. Ia menghela napas, mengingat seseorang yang mungkin seharusnya telah mewujudkan satu per satu impiannya.
"Rabbi, kuatkan hatinya. Karena jodoh memang sepenuhnya menjadi kuasa-Mu." Latifa melangitkan sebuah doa tulus untuk Mariam. Lalu menunggu hingga Anna menyelesaikan obrolannya.
"Maaf, boleh aku duduk di sini?" Latifa meminta izin, tapi langsung duduk tanpa menunggu jawaban. Anna menyusul duduk di depannya. Mereka hanya terpisah sebuah meja.
"Kau tau, ini cita-cita Ahmar sejak kecil. Kata papa, jika kau ingin melihat Alhambra setiap kali membuka mata, kau harus menabung untuk bisa mewujudkannya. Karena orang tua kami bukan orang kaya. Dan dia melakukannya. Dia bahkan telah menabung sejak pertama kali dia memiliki impian ini." Mata Latifa menatap kepada Alhambra.
"Oh ya? Dia sangat baik dan sayang sama keluarga ya," ujar Anna bangga.
"Ya. Anak nakal itu berubah, tanpa pernah merasa lelah," kata Latifa, matanya masih tak lepas dari objek sebelumnya.
"Ma-maksudmu... s-siapa?"
"Kau tau? Kakakku, ya... suamimu, waktu kecilnya dulu dia sangat nakal. Ah bukan, sebenarnya bukan nakal, tapi pemberani. Dia tak pernah memulai, tapi setiap kali merasa badan atau hatinya disakiti, dia berani membalas dua kali lipat dari rasa sakitnya." Latifa mulai bercerita tanpa diminta.
"Suatu hari, seorang teman mengejeknya. Dia marah, mengamuk. Sambil menangis dia pukuli temannya sampai berdarah-darah. Lalu banyak orang datang ke rumah kami. Beruntung, orang tua temannya memaafkan kakakku."
"Mama marah, tidak dengan sepatah pun kata. Ia diamkan Ahmar hingga tiga hari berikutnya. Ahmar sampai mati gaya. Meminta maaf dengan cara apa saja, menjelaskan apa yang terjadi sebagai pembelaannya, tapi mama tetap diam. Hanya berkali-kali terlihat meneteskan air mata. Begitu pun kakakku, dia menangis setiap kali meminta maaf pada mama dan setelahnya. Kupikir dia lelah, tapi tidak, dia mengulanginya lagi dan lagi tanpa menyerah. Tapi mama tetap saja mendiamkannya."
"Setelah tiga hari, mama dan papa memanggilnya. Mama memeluk Ahmar dengan berlinang air mata. Umurku waktu itu lima, tapi semua yang terjadi terekam dengan baik sampai saat ini."
"Temannya mengejek kakakku, mengejek keluargaku dan menghina agama kami. Dia tak terima, dan memukulinya sambil menangis. Itu juga yang membuat mama menangis, karena sebenarnya mama pun tak ingin marah pada Ahmar. Tapi mama harus, agar Ahmar tau bagaimana mengambil sikap."
"Kata mama, 'Kau tau, Nak, kita di sini adalah minoritas. Meski sakit hatimu karena agamamu dihina, tak seharusnya kau membalas seperti itu. Sebaliknya, tunjukkanlah kesabaranmu. Agar mereka tau bahwa Islam itu agama yang damai dan membawa kedamaian. Justru karena kau minoritas, maka kau harus menjadikan itu sebagai kesempatan untuk berdakwah, menunjukkan pada temanmu bagaimana Islam yang sebenarnya, sebagai rahmatan lil alamin. Kau ingat? Ketika Rasulullah dilempari batu hingga berdarah-darah di Thaif, sampai malaikat menawarkan untuk menjatuhkan gunung pada kota dan penduduknya, beliau melarangnya. Bahkan mendoakan kebaikan bagi para penduduk Thaif. Seperti itulah seharusnya kau bersikap. Kelebihan yang kau miliki, manfaatkanlah untuk mendakwahkan agamamu. Bukan untuk menjatuhkan nama baiknya. Jadilah agen muslim yang baik, yang keberadaanmu menjadi kebaikan bagi orang-orang di sekitarmu'."
"Sejak saat itu dia berubah menjadi anak baik. Teramat baik malah. Dan tak pernah lelah berbuat baik sampai saat ini."
"Sejak saat itu pula, dia menjadi seseorang yang takut menyakiti hati orang lain, terutama mama. Dia menjadi orang yang sangat pandai menyembunyikan perasaannya, meski aku tau, dia pula sering menyembunyikan tangisnya. Karena ejekan temannya tak berhenti sampai di situ, setelah dia menjadi baik pun, ejekan itu tetap tertuju padanya, atas agama kami yang berbeda dengan sebagian besar lainnya. Dan yang bisa dilakukan kakakku, hanya menahan sakit di hatinya, dan diam-diam menangis di balik selimutnya. Merasa tak bisa apa-apa, karena ada pesan mama, juga hati mama yang harus ia jaga."
"Suatu hari, dia bertemu lagi dengan teman yang selalu mengejeknya. Temannya kagum dengan perubahan kakakku yang konsisten. Mungkin karena semakin bertambah usia membuat pemikiran juga lebih terbuka. Dia tertarik dan bertanya-tanya tentang Islam, lalu bersyahadat, dan mereka berdua menjadi sahabat sampai sekarang."
"Kau tau Lucas? Ya, dialah orangnya." Latifa menutup cerita, jemarinya menyeka air mata. Begitu pun Anna, tak menyangka suaminya punya cerita masa lalu sesedih itu.
Dia malu, jangankan membela, dulu dia bahkan tak begitu peduli dengan agamanya, apalagi agama orang lain. "Astaghfirullah." Anna bersyukur, telah ditunjukkan jalan pada Islam.
"Terima kasih, kau sudah mau bercerita padaku tentang kakakmu."
"Tak apa. Kau istrinya. Kuharap kau mau belajar, untuk lebih peka, untuk bisa lebih mengerti dan memahami perasaannya. Karena begitu sulit menebak apa yang ada di hatinya. Kalau dia menunjukkan gelagat tak biasa, usahakan untuk mengingat apa penyebabnya, dan jangan kau ulang untuk berikutnya."
Kalimat terakhir Latifa sebenarnya mengandung kode. Tersampaikan atau tidak, ia tak begitu ambil pusing. Dia hanya membayangkan, betapa sakit perasaan Mariam saat Anna menelepon dan menunjukkan semua yang seharusnya menjadi miliknya. Milik Mariam.
"Bukankah apa menjadi milik siapa itu semua adalah kehendak-Nya. Tidak ada hak bagiku mengatakan seharusnya apa itu milik siapa. Astaghfirullah." Serangkai istighfar terlantun dalam hati Latifa. Mencoba menekan perasaannya sebagai manusia biasa.
***
Sementara itu, di bawah langit malam kota Jakarta, seorang gadis sedang menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Aroma citrus berbaur dengan aroma kesedihan dari lelehan air matanya.
Sedih, marah, sesal, kesal bercampur aduk mengeruhkan hatinya. Ia manusia biasa, yang bisa merasakan sakit di hati meski sahabatnya di sana tak bermaksud menyakiti. Karena, jika memang bukan jodoh dan bukan rizki, tentunya yang sudah dekat pun tak akan termiliki.
Bukan, bukan ia tak bahagia untuk kebahagiaan Anna. Ia hanya ingin marah pada dirinya sendiri, yang belum mampu mengendalikan hati atas apa yang menjadi keputusannya sendiri.
"Allah, betapa sulitnya melupakan.Tolong jangan murkai aku karena terlalu hanyut pada rasa yang tak seharusnya. Tolong tetap sayangi aku meski aku terjatuh dalam kelalaian. Dan tolong hapuskan namanya dari hatiku, jika memang dia bukan seseorang yang Kau takdirkan untukku."
Istighfar meluncur berkali dari bibir Mariam, terus, hingga ia merasa lega. Lalu segera bangkit untuk mengambil wudhu, berniat untuk mencari pelipur lara dengan menenggelamkan diri dalam kalam-Nya.
***
Foto-foto Mezquita, Alhambra & Albayzin diambil dari instagram teman baik saya yang tinggal di Sevilla, Spanyol.
***
Alhamdulillah, jumpa lagi sama Ahmar, Anna dan Mariam di Selepas Hidayah.
Happy weekend.
Selamat membaca.
Dan jangan lupa bahagia.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top