2. Paris
Bismillah.
***
Anna menunggu Mariam yang sedang bersiap istirahat. Mereka baru beberapa saat lalu menghabiskan senja menikmati suasana Paris yang -ternyata memang- sungguh romantis.
Keindahan senja kota Paris memang bukan kaleng-kaleng, apalagi mereka menikmatinya dari atas Bateaux Mouches cruise yang membelah sungai Seine. Menara Eiffel menjulang gagah diantara semburat langit syafaq, cahaya yang terpancar siap memecah pekatnya malam. Kerlap kerlip lampu dari bangunan bergaya klasik di sepanjang sisi sungai memantul indah di atas air. Dan hujan yang sempat turun meriwis menambah suasana makin romantis. Mariam begitu bersyukur atas semua yang dia lalui hari ini. Sedangkan Anna, benaknya tak sabar untuk mewujudkan tawaran Ahmar sore tadi.
"Iam, tadi siang Ahmar menjelaskan beberapa hal tentang masjid Paris ke aku. Pas lagi asyik-asyiknya, keburu semua udah selesai salat, jadi penjelasannya terputus deh. Tapi dia nawarin aku, kalau mau tau lebih banyak dia bersedia menjelaskan malam ini di lobi." Anna membuka percakapan begitu Mariam menaruh tubuh mungilnya di atas peraduan.
"Ih, nggak enak lah sama Ahmar. Memangnya dia nggak capek apa? Nggak enak juga sama teman yang lain kalau ada yang lihat kalian berduaan di lobi."
"Kan sama kamu juga," sahut Anna.
"Maksud looo?" Mariam bertanya panjang, mata lebarnya melotot ke arah Anna.
"Gak usah melotot juga kaliii. Kamu kan tau, aku gak suka lihat kamu melotot. Jelek!" ledek Anna, diikuti lemparan bantal dari Mariam tepat ke mukanya.
"Kata Ahmar aku harus ngajak kamu. Dia naksir kamu kali. Love at first sight. Cieee." Anna menggoda sahabatnya, meski saat itu juga ada rasa tak rela menyelip di hati. Sedang Mariam menanggapi biasa saja. Gadis berhijab satu ini memang anti banget ge-er urusan cowok.
"Ngawur! Gak mungkin dia ngomong gitu. Pasti dia pesennya 'ajak teman perempuanmu', dan itu maksudnya nggak harus aku." Mariam menjawab dengan yakin.
"Eh, iya betul sih. Sebenarnya dia memang nggak sebut nama atau nunjuk kamu. Dan bener juga, dia cuma pesen ajak teman perempuan. Kok kamu bisa tahu dan yakin banget sih, Iam?" Anna heran, tebakan Mariam memang nggak meleset sedikit pun.
"Aku nebak aja, soalnya si Ahmar itu biar bule tapi kelihatannya religius. Maksud dia nyuruh kamu ngajak teman perempuan itu biar kamu dan dia nggak hanya berdua. Dalam Islam memang dilarang untuk berdua-duaan dengan yang bukan mahram karena bisa mengundang fitnah."
"Jadi maksudnya Ahmar nggak mau ketemuan kalo cuma berdua sama aku aja gitu?"
"Yup, bener banget. Karena kalian berdua bukan mahram."
"Bukan mahram itu apa sih?" Anna ingin tahu.
"Dalam Islam dikenal istilah mahram yang artinya orang yang haram untuk dinikahi. Contoh paling gampang itu ayah atau saudara kandung laki-laki, kan nggak boleh tuh nikah dengan mereka. Kalo bukan mahram berarti orang yang dengannya diperbolehkan untuk menikah. Nah, kalo dengan orang yang bukan mahram tidak boleh berkhalwat, berdua-duaan laki-laki perempuan. Itulah kenapa Ahmar nyuruh kamu ngajak temen perempuan kalo mau ngobrol sama dia. Jadi bukan karena naksir aku, apalagi love at first sight. Drama banget lah kamu." Mariam menjelaskan panjang lebar diakhiri dengan melempar bantal sekali lagi tepat ke wajah sahabatnya. Si pemilik wajah cantik menyambut dengan cemberut.
"Oh gitu ya. Memangnya kenapa kalau berduaan dengan yang bukan mahram?" Anna bertanya lagi, wajahnya tampak serius, tak tertarik untuk balas melempar sesuatu ke muka sahabatnya seperti yang biasa dilakukannya.
"Berduaan dengan yang bukan mahram nggak boleh, karena kejahatan terjadi bukan sekadar karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan," canda Mariam.
"Dih, Bang Napi kaleee. Serius ah!"
"Oke oke, maksudnya nggak boleh karena kalau ada laki-laki berduaan dengan perempuan maka yang ketiga adalah setan. Kalo cuma berduaan nggak menutup kemungkinan akan muncul godaan-godaan atau bisikan-bisikan dari setan yang ujung-ujungnya yaaa gitu deh." Mariam melanjutkan penjelasannya.
"Islam itu memuliakan wanita, An. Salah satu alasan berduaan dengan yang bukan mahram nggak diperbolehkan adalah untuk menjaga perempuan dari perbuatan-perbuatan yang bisa merugikan dirinya sendiri. Menjaga kesucian hanya untuk seseorang yang telah halal untuknya nanti. Maksudnya suami. Coba nih kalau kamu jadi laki-laki yang lagi cari istri, kira-kira lebih suka yang masih original atau yang udah bekasnya orang? Pasti lebih memilih yang masih original kan ya. Atau nggak usah yang serem gitu deh, misal kamu lihat perempuan sama laki-laki yang bukan siapa-siapanya jalan bareng berdua, hampir pasti mikirnya 'ah, mereka pasti ada hubungan khusus', jatuhnya paling minimal menimbulkan fitnah. Kurang lebihnya begitu, An." Mariam menjelaskan panjang lebar dengan bahasa yang sekira mudah diterima oleh Anna. Anna tampak mengangguk-angguk di samping Mariam.
"Eh, tapi kan kalaupun aku ngobrol berdua sama Ahmar di lobi, kami nggak benar-benar berduaan tanpa orang lain. Tetap nggak boleh juga ya?" tanya Anna lagi. Tak hendak mencari celah, tapi memang ada keingintahuan yang menyisip di hatinya.
"Iya. Seperti yang aku bilang tadi, bisa mengundang fitnah. Okelah kalian berdua dengan banyak orang di sekeliling, mungkin mereka EGP, tapi misal ada teman satu grup kita yang melihat kalian berdua di sana, bisa jadi mereka berpikir yang bukan-bukan kan? Bisa jadi menimbulkan fitnah kan? Bisa aja itu nggak ngaruh buat kamu, tapi belum tentu sama buat Ahmar, kan? Kalo jadi berpengaruh ke karirnya gimana? Dicap nggak professional gimana?"
"Iya juga sih." Anna lagi-lagi mengangguk membenarkan kata Mariam.
"Nah, kalo sesama perempuan berarti mahram ya? Kan nggak boleh tuh menikah sesama perempuan, kecuali rada belok itu otaknya," tanya Anna lagi, sambil menertawakan kalimat terakhirnya.
"Sebenarnya antara sesama perempuan itu nggak bisa disebut mahram sih. Tapi kalau kondisinya begini, ya lebih baik memang ada yang menemani, dalam hal ini menghindari khalwat, meminimalisir potensi fitnah yang mungkin timbul."
Anna mencoba mencerna semua penjelasan Mariam, semua memang terasa masuk akal dan bisa diterima.
"By the way, kalo aku berdua sama Ahmar, trus kamu nemenin sebagai yang ketiga, berarti setannya kamu dong?"
"Asem yaaa," teriak Mariam. kali ini bukan lagi bantal yang melayang, tapi botol minum yang -untungnya- sudah tandas isinya. Anna tertawa, tangannya cekatan menangkis lemparan Mariam.
"Eh, jadi kamu beneran mau ketemu Ahmar atau enggak nih? Kalau jadi dan butuh aku, ayo siap-siap, keburu makin malam. Kalau nggak jadi ya kebetulan, aku bisa tidur gasik." Mariam mengingatkan niat awal Anna tadi.
"Eh, ya jadi dong. Kamu siap-siap gih, aku hubungi Ahmar dulu. Pinjem hp-nya ya," kata Anna.
"Lah kok pakai hp-ku, emang hp-mu kenapa?"
Anna tak menjawab, hanya menyambar telepon genggam Mariam yang tergeletak di samping lututnya, mencari nomor kontak Ahmar di grup jalan-jalan mereka, dan segera mengirimkan pesan padanya.
[Ahmar, malam ini jadi ketemu di lobi ya. -Anna-]
Tak menunggu lama terdengar nada pesan berbunyi, balasan dari Ahmar.
[OK, saya turun sekarang. See you there.]
Anna memang ingin tahu lebih banyak tentang Grand Mosque of Paris, tapi tak hanya itu, entah kenapa setelah obrolan bersama Ahmar sore tadi, Anna merasa ingin bertemu kembali dengan Ahmar. Dia tersenyum lebar, matanya berbinar, hatinya berdebar.
"An, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Duh, ketauan deh sama Iam."
***
Lobi hotel yang didesain bersuasana ceria malam itu cukup ramai, hampir semua yang ada di sana bertampang bule. Mendadak terlintas ide dalam benak Anna untuk ngerjain Ahmar ketika netranya menangkap sosok pria Spanyol yang sedang duduk membaca buku di salah satu sofa hijau toska.
"Iam, kamu tunggu sini ya, biar aku yang nemuin Ahmar sendiri."
"No, Anna. Kamu nggak bisa gitu. Itu prinsip yang Ahmar pegang, seharusnya kamu menghormatinya."
"Halah, nggak pa-pa deh, percaya aku. Masa iya dia mau marah. Udah pokoknya kamu tunggu sini aja, jangan sampe kelihatan sama Ahmar," paksa Anna. Mariam yang malas berdebat pun mengalah, hanya harap-harap cemas menatap dari kejauhan.
"Hai Ahmar, good night," sapa Anna sambil melempar senyum.
"Oh, hai, Anna," jawab Ahmar singkat, matanya gelisah mengitari sekeliling Anna, lalu senyumnya menghilang begitu tahu dia datang sendirian.
"Mana temanmu? Bukankah aku sudah berpesan bahwa ...."
"Aku harus bawa teman perempuan? Memangnya kenapa?" Anna menyerobot Ahmar yang belum selesai bicara.
"Itu anjuran dalam agamaku, dan aku berusaha menjadikan itu sebagai prinsip dalam hidupku." Tertangkap jelas rasa tak nyaman dalam diri Ahmar. Anna cuek saja, didudukinya sofa di seberang Ahmar. Hening menyelinap diantara keduanya, meski tak sampai memperdengarkan gemuruh air terjun yang mengalir deras dalam hati Anna.
Ting, gawai Ahmar berdenting. Tampak di bilah pemberitahuan sebuah pesan masuk, nama Anna tertera di layarnya.
[Ahmar, maaf, aku sudah menjelaskan kenapa harus ada teman perempuan yang menyertainya, tapi dia tetap ingin mencoba menemuimu sendiri. Ssstt, tapi aku bersamanya, arah jam 11 di belakang Anna. Dan tolong, maafkan dia. Gracias.
Mariam.]
Mariam mengirim pesan setelah diam-diam melipir mendekati tempat Anna dan Ahmar duduk. Ahmar mencari ke arah yang disampaikan Mariam, sedetik kemudian mata mereka bersirobok. Ahmar tersenyum geli, sebaliknya Mariam buru-buru menunduk, berpura-pura membaca buku yang ada di pangkuannya.
[Jadi ini nomormu?]
Ahmar membalas pesan Mariam, senyum masih enggan beranjak dari wajahnya.
"Kau kenapa senyum-senyum sendiri?" Anna memergoki senyum Ahmar.
"Yaaa ... karena aku menyuruhmu membawa teman, bukan pengawas," kata Ahmar, matanya kembali mengarah ke posisi Mariam, diikuti mata Anna.
"Iaaamm!" Teriakan spontan Anna disambut senyum Mariam yang tanpa dosa membuat Ahmar tak sanggup menahan tawa. Tak lama, mereka bertiga telah terlibat dalam pembicaraan yang mengalir penuh keasyikan.
***
Alhamdulillah,
Senang rasanya bisa kembali menyapa teman-teman semua melalui sebuah cerita.
Terima kasih tak terhingga, sudah mau membaca sampai di bagian ini.
Gimana? Masih sabar kan menanti kelanjutan ceritanya? Memang sedikit lamban, tapi tak mengapa, sekalian melatih kesabaran. Aish..
Sampai jumpa di Paris.
Eh, di part berikutnyaaa
😊😊
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top