19. Jakarta

Bismillah.

***

16.25  waktu Jakarta.

Rasanya baru dua menit lalu Ahmar mengatakan ‘Hasta la vista, mi amor’ sebelum ia take off menuju Indonesia. Satu kalimat yang membuat Anna seolah lupa cara melepas senyum dari wajahnya, karena itu kali pertama Ahmar memanggilnya sebagai ‘mi amor’. Dan sebentar lagi, hanya dalam hitungan detik saja, pria bule berdarah maghribi itu akan ada di hadapannya. Jantung Anna berdetak entah berapa kali lebih cepat dari biasanya. Lalu lalang manusia tak menghalangi Anna untuk menemukan dia, yang sebulan ini selalu mewarnai harinya. Di sana, di balik pintu kaca, sosok yang dirindukannya telah tertangkap oleh netra.

Anna melihat sesuatu yang berbeda, cambang yang biasa menghiasi wajah pujaan hatinya kali ini tak terlihat olehnya. Hati Anna berdesir, "Masya Allah, gantengnya calon bapaknya anak-anakku". Ia lantas tersenyum sendiri.

Ronald memandang adiknya dengan senyum tertahan. Geli. Lalu beralih menatap wajah maminya, sebuah senyum lebar tampak di sana. Siap menyambut calon menantu dengan penuh sukacita.

“Assalamualaikum,” sapa Ahmar ketika sudah sampai di depan ketiganya.

“Waalaikumussalam,” Anna, Ronald dan Mami menyahut bersamaan.

Bahagia meruah di diri Anna, sampai-sampai ia seperti kehilangan kata. Rona kemerahan mulai menyebar di kedua pipinya. Ia tersenyum lebar, memamerkan geligi yang rapi berjajar hingga matanya hanya tersisa segaris saja. Ahmar tersenyum. Menurutnya wajah Anna yang cantik begitu unik ketika matanya hanya tertinggal tersisa segaris saja. Dia suka.

Mengenakan blue jeans dan jaket hitam, penampilan Ahmar yang sederhana terlihat begitu mempesona. T-shirt slim fit sewarna jaketnya mengintip dari balik sweater abu muda. Ia menggeret koper biru tua, sedang tangan kanannya menggandeng seorang wanita paruh baya, ialah ibunya.

Di samping ibunya, seorang gadis cantik berwajah dominan Eropa dengan sedikit kesan timur tengah tersenyum ramah. Latifa namanya. Gayanya tak kalah casual. Pashmina yang membebat kepalanya menjadi penanda bahwa dia seorang muslimah. Begitu pun ibunya, mengenakan turban seperti kebanyakan muslimah yang mendiami Spanyol di sisi selatan.

Ahmar merangkul ibunya, memperkenalkan kepada Anna, Ronald dan Mami. Lalu dilanjutkan memperkenalkan Latifa, adik semata wayangnya. Ahmar begitu luwes menghadapi keluarga Anna, hingga Ronald dan mami pun tak butuh waktu lama untuk turut pula jatuh hati padanya.

Dua keluarga itu saling bertukar cerita penuh keceriaan di dalam Alphard putih dengan Ronald sebagai drivernya. Ia duduk di depan bersama Ahmar, asyik mengobrol tentang perjalanan Madrid - Jakarta yang baru saja dilalui. Ibu Ahmar duduk di tengah bersama mami. Beruntung keduanya dapat berbahasa Inggris, yang meski patah-patah namun cukup nyambung untuk bertukar cerita tentang keluarga masing-masing. Sedangkan di baris terakhir, Anna dan Latifa dengan riang bercerita tentang apa saja. Sesekali Ahmar dan Ronald bergantian menimpali pembicaraan di belakangnya. Suasana di dalam mobil begitu penuh dengan gembira, hingga tak terasa mereka telah sampai di apartemen Anna.

Usai salat berjamaah yang diimami oleh Ronald, juga setelah keluarga Ahmar kembali segar, mereka berkumpul di meja makan. Masakan Maroko yang khusus dipesan mami telah terhidang. Mereka menikmati bersama dilanjutkan berbincang di ruang makan. Kerlip lampu kota Jakarta terlihat dari pintu kaca lebar yang sengaja digeser untuk mempersilakan angin malam turut menyapa mereka. Ronald menjelaskan secara singkat tentang keadaan Papi yang tidak turut serta menyambut calon besannya dari Granada. Keluarga Ahmar tampak memaklumi, mungkin Ahmar sendiri sudah menjelaskan sebelumnya. Tak lama setelahnya, Mami dan Ronald berpamitan, memberi kesempatan kepada keluarga Ahmar untuk menikmati istirahat usai melakukan perjalanan panjang.

“Maaf, Ahmar. Tak mengapa ya jika kalian menginap di sini, bukan di hotel. Biar terasa seperti rumah sendiri,” kata Anna usai Mami dan Ronald tak terlihat dari balik pintu.

“Tak apa, Anna, ini sudah lebih dari cukup,” balas Ahmar.

Anna mempersilakan Ahmar dan ibunya untuk beristirahat, mereka menempati kamar yang biasa ditempati mami dan papi atau tamu yang datang, meski itu pun jarang. Sedangkan Latifa ia ajak untuk beristirahat bersamanya di kamarnya yang terletak di lantai dua. Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk akrab, karena Latifa memiliki karakter yang hampir sama dengan Anna. Mereka sudah ngobrol dengan asyik di balkon kamar Anna sembari menikmati gemerlapnya malam Jakarta di bawah sana.

Gawai Anna berdering di atas meja yang memisahkan duduk Anna dan Latifa. Panggilan dari Ahmar. Anna tampak tersipu mengetahui Latifa turut melihat nama yang terbaca di layar.

“Angkatlah.” Anna menyodorkan benda persegi panjang itu kepada Latifa yang menerima dengan terkikik geli.

“Assalamualaikum. Que pasa, Ahmar? Extrañas a tu amante?” sapa Latifa menahan tawa.

“Waalaikumussalam. Que duermas, Chica!” Tawa Latifa semakin keras mendengar jawaban kakaknya. Diulurkannya kembali gawai itu kepada pemiliknya yang juga tertawa.

“Aku tidur dulu, Anna. Buenas noches.” Latifa menuju tempat tidur, meninggalkan Anna di balkon.

“Waalaikumussalam, Ahmar. Kau belum tidur?”

“Belum. Kau sendiri?”

“Aku tak bisa tidur, Ahmar.”

Por que?

“Aku terlalu bahagia.”

“Tidurlah, besok aku akan mengantarmu mengurus dokumen yang kita perlukan.”

“Baiklah. Emm, te amo, Ahmar.”

Duerme bien, mi amor. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.” Anna beranjak meninggalkan balkon, menutup pintu dengan senyum tersipu.

“Apa sih yang membuatmu jatuh cinta pada Ahmar?” Anna tersentak, kaget sekaligus malu. Latifa pasti melihatnya tersenyum sendiri.

“Ehk, kau belum tidur, Latifa?”

“Belum. Aku tak bisa tidur melihat orang yang sedang jatuh cinta,” goda Latifa.

“Jadi, apa yang membuatmu jatuh cinta pada kakakku yang menyebalkan itu?”

“Ah, kurasa dia sama sekali tidak menyebalkan. Sebaliknya, dia baik, sangat baik. Aku bahkan merasa jatuh cinta saat pertemuan kami yang pertama. Emm, kalo yang itu mungkin karena dia tampan ya?” Mereka berdua tertawa.

“Anna, kau tidur saja dulu. Tak usah menunggu aku, aku belum mengantuk,” kata Latifa pada calon iparnya. Tersenyum sekilas pada Anna, lalu menarik selimut dan menekuri gawai di tangannya.

Ada pertanyaan yang mengganggu benak Latifa, berkali dia menggulir pesan dari kakaknya sekira sebulan lalu, membaca berulang obrolan mereka.

[Latifa, aku bertemu dengan seorang gadis Asia. Ia kecil mungil dan terlihat pendiam, tetapi karakternya begitu kuat. Kurasa, aku jatuh hati padanya.]

[Alhamdulillah. Semoga kau bisa segera melamarnya dan mengakhiri masa lajangmu secepatnya. Ingat, kau sudah tua! Jajaja.]

“Ahmar bilang dia jatuh hati pada gadis mungil dan pendiam. Tapi kurasa Anna tak seperti yang dia sebutkan. Apakah Ahmar akan menikahi orang yang berbeda dengan yang dia ceritakan?” Latifa berniat menanyakan pada kakaknya esok pagi, tentu saja tanpa sepengetahuan mamanya.

***

Latifa memicingkan mata, menoleh ke kanan kiri mencari gawainya, hendak memastikan jam berapa. Dari balik kaca jendela terlihat langit masih gelap, tapi  bantal di sampingnya telah ditinggalkan si pengguna. 03.12.

“Gila, jam segini Anna sudah bangun.” Ia bangkit dan makin terkejut saat melihat Anna sedang bersujud berbalut mukena. Tampak tubuhnya terguncang,

“Dia menangis,” bisik hati Latifa. Ada haru menyusup di relung jiwa.

Ia kembali berbaring, berpura-pura tidur dengan netra tak lepas dari calon istri kakaknya. Terus begitu, hingga Anna menyelesaikan salatnya, bermunajat melangitkan doa, kemudian mengambil sebuah buku dan membacanya. Latifa bertanya-tanya, buku apa yang dibaca oleh Anna. Sampai kemudian terdengar surat Al Fajr dilantunkan berulang-ulang, terkadang suara Anna bergetar seperti menahan tangis. Latifa tak bosan mengamati hingga Anna menyelesaikan kegiatannya.

“Buku apa yang kau baca, Anna?” Lagi, Latifa bertanya dengan tiba-tiba. Sepertinya suka mengagetkan orang adalah penyakit keturunan di keluarga mereka.

“Astaghfirullah, Latifa. Kau mengagetkanku.”

“Ini juz amma, isinya juz 30 dari Al Quran, juga ada terjemahan serta cara membaca dalam tulisan latinnya. Aku belum lancar membaca Al Quran, jadi aku menghafal dengan membaca tulisan latinnya, juga artinya. Hafalanku pun belum banyak, Latifa, baru setengah saja dari juz 30.” Latifa meneguk air hingga segelas tandas.

"Kau menghafalkan Al Quran?"

"Emm, baru berusaha untuk itu, Latifa. Aku ingin mengejar ketertinggalan dalam ilmu agama Islam, sebagai ungkapan syukur karena Allah telah memberikan hidayah padaku. Yang selama ini bahkan nyaris tak punya antusiasme sekalipun pada agamaku sendiri.”

“Kau hebat, Anna. Kemauanmu luar biasa. Kau baru sebulan berislam, tetapi sudah mau belajar dan menghafal Al Quran, bahkan dengan artinya. Di luar sana, banyak muslim yang tak mau belajar tentang Al Quran, apalagi menghafal dan menghayati makna di dalam setiap ayatnya. Padahal Al Quran adalah pedoman hidup yang utama bagi umat muslim. Sesuatu yang harus kita bangga karena memilikinya.”

“Alhamdulillah. Kau benar, Latifa. Dan aku beruntung tinggal di Indonesia, di mana jika kau ingin beribadah dan belajar tentang Islam, begitu mudah dan banyak ditemukan. Sahabatku pernah bercerita, bahwa di negaramu Islam pernah berjaya lalu hilang seolah tak ada jejaknya. Hanya bangunan bersejarah yang pernah menjadi bukti keberadaannya. Dan sekarang setelah Islam kembali ada di tanah Iberia, itu pun begitu sulit untuk melakukan aktivitas dengan bebas.”

“Bahkan katanya, sejarah di sana dimulai dari tahun 1492, setelah jatuhnya kejayaan Andalusia. Benarkah demikian, Latifa?”

“Ya, memang begitulah adanya, seperti apa yang dikatakan sahabatmu. Sesungguhnya sejarah dituliskan oleh pihak yang keluar sebagai pemenang.”

“Eh, tapi kau tak perlu khawatir, Anna. di Granada ada masjid dengan kegiatan-kegiatan yang bisa kita ikuti. Kau bisa belajar di sana. Lagi pula, Ahmar bisa diandalkan untuk membimbingmu menjadi muslimah yang kaffah,” seru Latifa penuh semangat, seolah hendak menularkan semangat para musulmanas Espana kepada gadis berwajah oriental di hadapannya.

“Ya, Mariam pun mengatakan hal yang sama tentang Ahmar,” ujar Anna lirih. Matanya menerawang, mendadak rindu pada Mariam.

“Siapa Mariam?”

“Dia sahabatku. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki dalam hidupku.” Lagi, suara Anna terdengar sedikit sedih.

“Seharusnya malam ini Mariam ada bersama kita. Tapi ia tak bisa karena kakaknya pulang ke Bogor. Sudah lama dia tak bertemu kakaknya. Tapi dia berjanji akan datang di pernikahan besok,” terangnya pada Latifa. Tak sedikit pun Anna menyadari bahwa itu hanyalah alasan Mariam untuk menghindari pertemuan dengan Ahmar.

Usai salat subuh berjamaah dengan Ahmar sebagai imamnya, Latifa mengikuti kakaknya menuju kamar yang dia tempati bersama ibunya. Lalu tergesa melontarkan pertanyaan begitu ibu mereka beranjak pergi mandi.

“Ahmar, apakah kau melamar gadis yang berbeda dengan yang pernah kau ceritakan?” Pertanyaan Latifa mengejutkan Ahmar.

“Ah, ya. Kau benar. Darimana kau tau?”

“Aku membaca lagi pesan yang kau kirim sebulan lalu. Berulang kali! Karena aku mencoba mencari sifat yang pernah kau sebutkan tentang gadis itu dalam diri Anna, tapi aku tak sedikit pun menemukannya. Anna bukan seorang pendiam, posturnya pun tak bisa disebut kecil, bahkan seandainya dia seorang perempuan Eropa.”

“Ssstt, sudah, tak perlu kau bahas lebih  panjang lagi. Insya Allah keputusanku ini adalah yang terbaik. Aku mencintainya karena Allah. Aku ingin menjadi seseorang yang mendampingi dan membimbingnya dalam menjalani dan mempelajari Islam. Berharap kelak menjadi amal jariyah yang akan memperberat timbanganku untuk ke jannah-Nya. Kau hanya perlu mendoakan aku saja,” ucap Ahmar bijaksana.

“Pasti, Ahmar! Kau satu-satunya pria yang kusayangi dan menyayangiku saat ini. Kurasa kau tidak salah memilih istri. Sebagai seorang yang baru memeluk Islam, usaha yang dia lakukan untuk menjalani keyakinan barunya sungguh luar biasa. Ya, dia harus mendapatkan seseorang yang tepat untuk membimbingnya. Dan kamulah orang itu, Ahmar. Insya Allah.”

Kedua kakak beradik berselisih umur empat tahun itu berpelukan erat, dengan rasa sayang yang begitu kuat. Berjanji akan saling mendukung dan menopang, dalam setiap saat.

***

Catatan:

- Hasta la vista, mi amor: sampai jumpa, Cintaku
- Que pasa, Ahmar? Extrañas a tu amante?: Ada apa, Ahmar? Kau merindukan kekasihmu?
- Que duermas, Chica!: tidurlah, Gadis Kecil!
- por que?: kenapa?
- te amo: aku mencintaimu
- Duerme bien, mi amor: tidurlah yang nyenyak, Cintaku
- Musulmanas Espana: muslim Spanyol

Pict from Pinterest.

***

Alhamdulillah, jumpa lagi dengan Selepas Hidayah.

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca. Baik yang mengikuti dengan setia, maupun yang tak sengaja terdampar di sini lalu ikut baca. Trus ikut pula menjadi pembaca setia. Eaaa...
*ngarep boleh dong ya 😁

Jangan lupa tinggalkan jejakmu. Dan jangan lupa, di akhir cerita nanti akan ada giveaway dari kami, SWP Gen 3

Hasta la vista!

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top