18. Jakarta

Bismillah.

***

Bagaimanapun keadaannya, anak tetaplah anak dan ayah tetaplah ayah. Naluri tak dapat dibohongi. Demikian pula dengan papi. Meski sedih dan kecewa belum berhasil beranjak dari dirinya, namun tak menghalangi rasa sayang dan kerelaannya untuk menerima Ahmar sebagai calon menantunya. Bahkan papi tak sedikit pun merubah kebiasaan yang sudah ada. Segala fasilitas yang selama ini tercurah untuk Anna tak ada satu pun yang dihentikan, semua berjalan layaknya biasa.

Hanya satu hal yang berubah, papi merasa tak mampu bertatap langsung dengan anak bungsunya. Bukan. Bukan karena benci menyesaki dada, sebaliknya, semua karena cinta. Karena meski telah menerima, papi merasa belum siap melepaskan putri kesayangannya untuk dibawa suaminya kelak ke seberang samudra. Maka menurut beliau, mengambil jarak sejak sekarang jauh lebih baik untuk hatinya.

Usai papi resmi menerima lamaran yang disampaikan Ahmar atas dirinya, Anna memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Ia ingin fokus untuk mengurus segala tetek bengek yang dibutuhkan untuk melangsungkan pernikahan beda negara. Ia telah mengumpulkan berbagai info, yang intinya, mengurus pernikahan dengan seorang WNA itu rumit, butuh mencurahkan waktu, tenaga, juga biaya yang tak sedikit. Dan meski mampu, Anna tak ingin melemparkan segala keperluannya pada agen penyedia jasa. Untuk kali ini, dia memilih menikmati segala kerepotan agar punya pengalaman dan kenangan setelah nanti hidup nun jauh di negeri orang.

Beruntung, sejak Anna kuliah semester dua, kedua orangtuanya memutuskan untuk pindah ke Jakarta, sehingga saat ini dia tak perlu bersusah payah mengurus dokumen yang dibutuhkan hingga ke Semarang. Konon kata yang sudah menjalani, mengurus dokumen seperti ini di daerah lebih sulit dari pada di Jakarta. Tapi tetap saja proses yang dilalui Anna lebih panjang, karena dia harus mengubah isi kolom agama pada setiap dokumen yang memuat hal tersebut di dalamnya.

Anna memulai dengan mencari surat keterangan yang menyatakan bahwa dia sekarang seorang muslim. Hari-harinya sesudah itu tak lepas dari berakrab ria dengan segala macam dokumen yang menjadi persyaratan pernikahan, baik dari Indonesia ataupun dari pihak Ahmar di Spanyol. Istilah-istilah seputar perdokumenan memenuhi kepalanya, KTP, KK, Letter of No Impediment, Prenuptial Agreement dan bla bla bla lainnya. Menemui Pak RT, Pak RW, penerjemah bahasa Spanyol tersumpah, mendatangi kantor kelurahan, KUA, notaris, kepolisian, kedutaan Spanyol, juga institusi-institusi terkait lainnya. Dan semuanya bukan hanya sekali dua kali, tapi bisa bolak-balik karena di beberapa institusi harus menunggu prosesnya hingga beberapa hari.

Jauh di seberang sana, Ahmar pun tak jauh berbeda. Semua urusan diselesaikan secepatnya agar bisa segera pula menikah dan membawa Anna ke negaranya. Mereka berdua sama-sama stress mengurus persiapan pernikahan yang memang ribet kalau dibayangkan, dan ternyata ribet pula saat dikerjakan. Terutama Anna, dia merasa Ahmar lebih enak karena urusannya tak sebanyak yang harus dia hadapi. Sudah begitu, setelahnya dia tetap bisa refreshing keliling Eropa meskipun itu untuk urusan pekerjaan. Sedangkan urusan dia masih jauh lebih panjang sampai hari H pernikahan mereka, bahkan setelahnya masih harus mengurus Libro de Familia, Schengen visa dan segala rupa. Ditambah lagi selama proses persiapan itu Ahmar meminta agar komunikasi mereka berlangsung lewat Bang Ronald sebagai perantara. Anna merasa gereget, inginnya curhat, menumpahkan segala kesah pada calon suaminya, tapi apa daya semua itu harus ditahannya dulu untuk sementara.

Di sesela kesibukannya, tentu saja Mariam masih setia menjadi tempatnya menampung bete, kesal, capek dan segala rupa keluh serta sambat darinya. Ia bersyukur, punya sahabat sebaik dan sesabar Mariam. Mungkin ia akan tersungkur, seandainya tahu apa yang telah Mariam korbankan untuknya.

***

Medio November 2016

Hampir sebulan setelah jatuh bangun mengurus persiapan pernikahan hingga semuanya siap sedia, Anna kembali terdampar di kost Mariam. Ini hari keduanya di sana. Mariam tetap bekerja seperti biasa, sedang Anna menghabiskan waktu dengan gegoleran di kamar sahabatnya, sekadar melepaskan penat setelah segala urusan yang menyita waktu dan tenaga.

Beranjak sore, gawainya bergetar, disusul dadanya yang berdebar. Sebuah panggilan video tampak di layar. Ahmar.

“Assalamualaikum,” sapa Ahmar dari seberang sana.

Jantung Anna berdetak tak beraturan, rasanya semua keluh dan kesal ingin ditumpahkan. Tapi ada yang lebih menyesaki hatinya dan seakan meminta didahulukan. Ialah rindu. Karena selama ini memang mereka tak pernah bicara sembari menatap muka. Paling hanya pesan text di aplikasi hijau putih, itu pun tak selalu berbalas panjang lebar karena kesibukan Ahmar, juga kesibukannya. Dan setiap kali berbalas pesan, selalu berujung pada perdebatan atau pertengkaran kecil diantara keduanya.

“Waalaikumussalam," jawab Anna sekenanya. Ia lebih berkonsentrasi pada isaknya.

Como esta (apa kabar), Adrianna? Apa kau masih kesal? Tak ingin melihatku? Come on, tersenyumlah. Aku tak suka melihat air matamu.”

Lo siento. Te extrano (Maafkan aku. Aku merindukanmu), Ahmar.” Hening menyusup diantara keduanya.

Me gusta tu sonrisa (aku menyukai senyummu), Adrianna. So please, jangan menangis.”

“Aku capek. Selama ini aku berharap bisa mencurahkan semuanya padamu, melihat senyummu, tapi nggak bisa. Aku capek, Ahmar.” Sungguh, Ahmar ingin menghapus air mata yang membasahi pipi merah merona di hadapannya.

“Sabar, tiga hari lagi aku di sana. Dan lima hari lagi kamu akan resmi menjadi Señora Mateu (Nyonya Mateu),” hibur Ahmar. Ia senang, melihat segores senyum di wajah calon istrinya.

“Assalamualaikum,” suara riang si empunya kamar terdengar bersama pintu yang terbuka lebar.

“Waalaikumussalam.” Anna buru-buru menghapus mata dan pipinya yang basah.

“Eh, Iam datang. Ahmar, ini Iam nih. Kamu masih ingat kan ya?”

Lah, pertanyaannya.

“Iam, sini sini, say hi sama Ahmar sebentar dong.” Anna menarik sang sahabat sepenuh semangat.

“Subhanallah, kuatkan Ya Allah. Mariam kuat. Kuat. Kuat.”

Sebuah senyum disunggingkan oleh Mariam. Kemampuannya menyembunyikan perasaan memang di atas rata-rata, hingga tak terbaca oleh sahabatnya. Padahal di sana, di ruang terdalam hati gadis itu, luka yang belum sepenuhnya mengering kembali menganga. Sekira sebulan ia tak lagi bersinggungan dengan apapun tentang Spaniard yang diam-diam telah mencuri hatinya. Kata “tak lagi mengingatnya” hampir berhasil ada, meski belum sepenuhnya. Namun sore ini, tiba-tiba semua harus buyar begitu saja.

“Eh, hai. Como esta, Señor Ma… Ehk, Ahmar,” sapa Mariam sembari melambaikan tangan lengkap dengan segaris senyuman. Sok-sok akrab meski hati merasakan nyeri yang nian.

“Alhamdulillah. Estoy bien, Senorita (kabarku baik, Nona). Senang melihatmu lagi.” Pria bule yang biasanya ramah itu lupa tersenyum. Nyaris sebulan tanpa kabar apa pun tentangnya dan perjumpaan kali ini -meski hanya via layar gawai saja- sukses mengaduk-aduk perasaannya. Dia tahu, sangat tahu, bahwa nama gadis mungil bermata lebar itu masih tersimpan rapi di sudut hatinya.

“Alhamdulillah, saya sehat dan baik-baik saja. Oke, Ahmar. Saya istirahat dulu ya. Silakan lanjutkan obrolan dengan calon istri tercinta.” Mariam menyerahkan kepada Anna benda segiempat pipih dengan apel tergigit di bagian belakangnya. Bergegas menyambar handuk dan baju ganti, lalu masuk ke kamar mandi. Bendungan di kedua netra seolah tak kuat lagi menahan derasnya air yang berjejalan hendak menjebol pertahanan.

Mariam menyalakan kran air sederas mungkin, tak ingin mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang yang sesungguhnya sama-sama berarti bagi hatinya. Berpura-pura membersihkan bak mandi, padahal yang dikuras bukan isi baknya melainkan air dari kedua matanya. Sebulan yang dia rasa baik-baik saja ternyata tak seperti yang dia kira.

Ah, betapa sulitnya mengikhlaskan, dan betapa pedihnya melepaskan.

***

Malam merayap senyap, kedua sahabat itu masih belum jatuh dalam lelap.

“Tumben Ahmar nelpon kamu, video call pula. Kangen ya?” Mariam membuka pembicaraan tiba-tiba.

“Astaghfirullah, mulut kenapa uncontrolled gini sih.” Mariam kesal pada dirinya sendiri.

“Iya, aku sendiri tadi kaget. Tadinya kupikir dia hanya ingin menghiburku setelah menyelesaikan semua tetek bengek urusan merit kami. Ternyata nggak cuma itu, entah feeling apa gimana, tapi dia tiba-tiba nanya tentang Malik.”

“Heh, Malik siapa?” Mariam refleks bangkit dari baringnya mendengar nama Malik disebut.

“Duh, gini amat sih aku. Tapi ini pasti tentang Malik yang dulu gak sengaja kebaca whatsappnya ke Anna.”

“Kayanya aku pernah cerita deh. Itu, bule yang dulu minta no hapeku.”

“Oh, jadi namanya Malik. Kan kamu nggak sebut nama.” Mariam sok cool.

“Eh, iya ya, aku nggak sebut nama ya? Haha, maafkan hamba ibu bidadari Mariam.”

“Iya, namanya Malik. Malik Evard. Tapi nama aslinya Alexander. Dia mualaf. Warga negara Swiss,” sambung Anna lagi.

“Trus ngapain dia? Kamu sering chat sama dia?”

“Emm, iya sih. Eh, ya nggak sering juga. Tapi nggak bahas yang enggak-enggak kok. paling cuma say hi.”

“Trus ngapain si Ahmar?”

“Emm, anu, dia tiba-tiba nanya apa aku pernah berhubungan sama Malik.”

“Trus? Kamu jawab pernah apa enggak? Kamu jujur apa enggak?”

"Ya Allah, aku kenapa jadi interogatif begini."

“Emm, ya aku jujur sih, tapi ….”

“Tapi apa? Lagian, dari tadi amm emm amm emm mulu, ada yang kamu sembunyiin ya?” Pertanyaan Mariam bagai anak panah yang menancap tepat di sasaran.

Anna menghela napas dan mengembuskan kasar, sebelum kemudian menjawab,

“Dia melamarku? He said, will you marry me?

“Astaghfirullahaladziim, laa haula wa laa quwwata illa billah." Mariam tersentak kaget.

"Trus kamu bilang apa? Nggak kamu terima kan?” Ada yang bergemuruh di dalam dada Mariam. Rasanya ingin marah, sebal, sedih, cemburu, semua menjadi satu.

“Eh, emangnya aku gila apa? Aku nggak mungkin berhenti setelah sejauh ini. Aku nggak mungkin mengkhianati Ahmar, karena aku ...,aku mencintainya. Sangat mencintainya. Bahkan sejak pertemuan kami yang pertama. " Anna menunduk setelah mengungkapkan itu. Tersipu.

"Aku katakan sejujurnya, kalo minggu depan aku mau menikah”

“Lalu?”

“Trus dia nanya, ‘siapa dia, yang sudah mendahului aku? Apa aku mengenalnya?’ gitu. Aku jawab, iya kamu tau orangnya.”

“Trus?”

“Trus dia bilang, ‘tour guide itu?’. Apa cowok Eropa tuh feelingnya kuat-kuat ya?”

“Ih, enggak gitu juga kali. Mungkin karena kamunya yang feelingnya payah? Mungkin lho yaaa.” Mariam menggoda, meski hatinya memang mengatakan hal yang sama.

“Iaaamm, ngece banget sih kamu!” rajuk Anna manja, dicubitinya pipi Mariam gemas.

“Lah, memang feeling kamu tuh payah banget, An. Kamu terlalu cuek dan semau gue, plus keras kepala. Tapi aku yakin, Ahmar akan bisa membawamu menjadi seorang muslimah yang baik. Jauh lebih baik dari aku."

"Ah, Iam. Kamu tetap yang terbaik. Tolong doakan aku ya, juga Ahmar."

"Eh tunggu, atau mungkin kamu mau aku kenalin sama Malik?"

"Ngaco!" Mariam melempar bantal tepat ke muka Anna dengan sebal. Anna justru bingung, karena dia merasa sudah menawarkan sesuatu kebaikan.

Dih, dasar Anna nih memang ya, nggak peka.

"Udah ah, mulai gaje nih obrolan. Aku mau tidur aja," cetus Mariam menutup pembicaraan.

Anna beranjak hendak mencuci muka sebelum melanjutkan agenda berikutnya. Tidur. Mariam melepas ikatan rambutnya, lalu kembali merebahkan tubuh mungilnya, menarik sarung yang dia gunakan sebagai selimut, kemudian terlarut. Bukan dalam lelapnya melainkan dalam lamunan akan semua kejadian yang hari ini menyapa.

"Ya Rabb, berdosakah jika ada sedikit sesal dan kesal di hati. Andai tau sejak dulu kalo Anna akan dilamar oleh bule yang lainnya, akankah aku melepas Ahmar begitu saja?"

"Astaghfirullah. Mariam, ingat! Kamu sudah memutuskan. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah menguatkan. Iya menguatkan diri kamu sendiri."

"Tapi kan aku cuma manusia biasa. Rasanya manusiawi deh kalo muncul perasaan seperti tadi."

Dua sisi hati Mariam berperang, saling mempertahankan argumen baik dan argumen galau. Baru berhenti saat kata-kata ibu kembali terngiang di benaknya.

Jika keputusan yang kamu ambil benar-benar karena Allah, maka seharusnya kamu tak selemah itu.

***

Catatan:

- Letter of No Impediment: surat keterangan bebas menikah (yang menyatakan bahwa si WNA masih single) yang dikeluarkan oleh negara atau kedutaan negara di mana WNA (yang akan menikah di Indonesia) berasal.

- Prenuptial Agreement: perjanjian pranikah yang disahkan oleh notaris. Dalam pernikahan campuran/beda negara disarankan untuk membuat perjanjian pranikah selain terkait dengan hak dan kewajiban suami istri, terutama terkait perlindungan hukum karena melibatkan dua negara yang berbeda peraturan. Contohnya adalah tentang kepemilikan properti dan kewarganegaraan anak.

- Libro de Familia (Family Book): semacam kartu keluarga tetapi berbentuk buku, dikeluarkan oleh kedutaan (dalam hal ini Spanyol). Berisi lembar untuk data suami istri dan anak-anaknya (masing-masing anak satu lembar)

- Schengen visa: visa khusus sebagai ijin untuk memasuki/mengunjungi negara-negara di kawasan Schengen. Ada 26 negara (22 negara anggota Uni Eropa dan 4 negara non Uni Eropa) di benua Eropa yang bisa dikunjungi dengan menggunakan visa Schengen ini. Ya, cukup satu visa untuk berkunjung ke 26 negara. Biasanya memiliki batas waktu (kunjung)  terlama adalah 90 hari dengan masa berlaku visa selama 6 bulan.

***

Hai, ketemu lagi sama trio gaje dan nyebelin, Anna-Ahmar-Mariam. Hahaha..

Semuanya memang bikin baper, gemez dan gereget kan ya?! Rasanya tuh 'hiihhh' ngikutin kisah cinta yang diam-diam menyegitiga.
Eh, apa malah bosen? Duh, kalo begitu maafkan daku yaaa...

Terima kasih sudah mampir baca. Jangan lupa tinggalkan jejakmu sebagai penyemangat buat penulisnya 😄

Juga jangan lupa untuk tetap setia menyimak tulisan-tulisan kami dari SWP Gen 3, insya Allah akan ada giveaway di akhir cerita.

Selamat berakhir pekan. Semoga selalu sehat dan bahagia.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top