16. Jakarta

Bismillah.

***

Keheningan terkadang membuat canggung. Bingung. Hendak menyusul papi, tapi kakinya seolah terpaku. Lagi pula, papi mungkin sedang dalam perasaan terburuknya. Maka memberi kesempatan untuk tak melihat wajah putri yang telah mengecewakannya mungkin akan lebih baik bagi semua.

Aisya mengelus lembut punggung iparnya. Memberinya rangkulan, berharap sedikit menguatkan. Ronald mendekati mami, berdiskusi sedikit. Entah apa.

"Nak, mami tak sedikit pun kecewa atas keputusanmu. Kamu sudah dewasa, sudah bisa menentukan sendiri akan kemana arah perjalananmu. Mami pun bisa memahami kekecewaan papimu, seperti kekecewaan eyang kakungmu saat dulu mami memutuskan untuk ikut keyakinan papimu," suara lembut mami selaksa air di hati Anna yang terasa mengering. Sejuk. Jemari mami menggenggam jemari putri bungsunya, mengelusnya penuh kasih sayang.

"Mami tak menyalahkanmu, tak juga papimu. Setiap manusia punya ego, berharap keinginannya yang menjadi juara. Papimu hanya tak siap, karena dia menyayangimu melebihi kakak-kakakmu. Baginya, keberadaanmu adalah keberuntungan. Kau tau, saat mami mengandungmu, usaha papimu mulai menunjukkan kemajuan dan terus berkembang hingga seperti sekarang ini. Mungkin karena itu juga, papimu menganggap kamulah keberuntungannya. Dan dia pun menaruh harap yang lebih padamu, termasuk soal jodoh untukmu."

"Maka ketika Ronald atau Vanya mengikuti keyakinan pasangannya, papimu biasa saja. Karena dulu mami pun melakukan hal yang sama untuk menikah dengannya. Tapi ketika kamu yang melakukan itu, bahkan alasanmu pun bukan karena cinta atau mengikuti pasangan, ayahmu berusaha menyimpan kecewanya. Dia yang terbiasa mengeluarkan semua yang ada di hatinya, kali ini tak mampu melakukannya. Dan itu malah membuatnya terlihat rapuh. Mami pun tak pernah menduga."

"Ketahuilah, Nak. Semua itu karena cinta. Papimu tak pernah membencimu, tak pernah bisa. Mungkin dia hanya membenci dirinya sendiri, karena terlalu membebanimu dengan harapannya. Harapan yang tak pernah terkatakan."

Setiap kata yang meluncur dari bibir mami, meluncurkan pula bulir bening dari netra bungsunya.

"Anna salah, Mi, nggak ijin dulu sama mami papi," ucap Anna di sela isaknya.

"Nggak ada yang salah. Kamu pikir kalo kamu ijin, papimu akan mengijinkanmu begitu saja? Lalu kau akan mengikuti papimu begitu saja? No! Mami tau bagaimana papimu, dan bagaimana kamu. Lagipula, keyakinan itu nggak bisa dipaksakan."

"Tak apa, saat ini papimu hanya sangat kecewa. Karena sebenarnya kami sudah merasa beda, ketika melihat foto-foto yang kamu kirim setelah di Titlis tak pernah lagi lepas dari kain yang menutupi kepalamu. Kami sudah membahasnya sebelum kamu pulang. Dia katakan pada mami bahwa akan berusaha menerima, seperti dulu saat Ronald dan Vanya. Tapi ketika mendengar sendiri pengakuan dari bibirmu, ternyata papimu tak sekuat yang dia kira."

"Kamu istirahatlah dulu. Mami akan bicara lagi dengan papimu." Mami menangkup kedua pipi Anna, lalu mengecup keningnya sebelum melangkah menuju peraduan papi.

***

Bergelung di atas kasur kesayangannya, diaktifkannya kembali ponsel yang sedari tadi mati. Berniat menghubungi Mariam, meski kemudian mengurungkan karena takut mengganggu istirahat sahabatnya. Satu per satu pesan menyerbu bilah pemberitahuan. Satu nama membuatnya tersenyum, Ahmar.

[Assalamualaikum, Anna.
Tentunya kau sudah sampai di Indonesia. Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja? Aku di Granada sekarang. Tolong, kabari aku]

[Waalaikumussalam, Calon Suami.
Alhamdulillah, I'm fine. Hanya saja hatiku sedang tidak baik-baik saja. Papi terlihat sangat kecewa mendengar bahwa kami sekarang berbeda. Kupikir dia akan marah besar, aku sudah siap. Ternyata aku salah, dia justru hanya diam. Tapi di matanya aku melihat sakit yang teramat dalam.]

Anna mencurahkan apa yang ada di hatinya pada Ahmar. Entah boleh entah tidak, dia tak begitu memikirkan. Yang ada di benaknya hanyalah, bahwa beberapa waktu ke depan dialah yang akan menjadi tempat menumpahkan segala keluh kesah, juga bahagianya.

Anna kembali menenggelamkan wajahnya di balik bantal, sesenggukan. Setelah cukup puas menangis lagi, jemari lentiknya bergerak di atas layar ponsel, memilih menu aplikasi messaging berwarna hijau putih, dan berhenti pada chat yang terakhir dia. Lantas ditekannya ikon kamera video di sana.

"Assalamualaikum," sapa suara bariton dari seberang samudra.

"Waalaikumussalam." Anna memaksakan sebuah senyum.

"Maaf, Anna. Bisa kau tutup dulu teleponmu?" Sosok di seberang layar memalingkan mukanya.

"Kenapa? Kau tak suka?"

"Maaf, bukan begitu. Tapi kau mungkin lupa mengenakan hijabmu, sedangkan aku belum resmi berstatus suamimu, yang halal melihatmu begitu."

"Astaghfirullah." Anna melempar gawainya, lalu panik mencari pashminanya. Dan sungguh, dia malu pada kelalaiannya.

"Maaf, Ahmar. Aku benar-benar tak sengaja."

"It's okey. Cómo estás, Señorita? Aku jadi ingat wajahmu saat hari kedua di Paris. Kau sedih, dan sampai hari ini aku tak tau kenapa." Wajah di layar menumpahkan tawa, entah kenapa Anna merasa terhibur karenanya. Dia ikut tertawa kecil.

"Jadi selain tour guide dan pembaca wajah, apa kau merangkap juga sebagai ahli sejarah?" Berdua tertawa.

Mencurahkan perasaan pada seseorang yang dicintai adalah sesuatu yang berarti. Pun dengan Anna. Saat ini yang dia inginkan hanya seseorang yang ada untuk menemani, meski tak bicara apa-apa, cukuplah bersabar menghadapi tangis, juga tawanya.

Diceritakannya semua yang menghimpit di dalam dada. Bahkan segala cerita masa kecilnya, kakak-kakaknya, semua dia tumpahkan pada seseorang yang beberapa hari lalu meminta ia untuk menghabiskan sisa usia bersama. Dan ia yang di seberang sana, mendengarkan dengan sabar tanpa sedikit pun menunjukkan kebosanan. Mencoba menerima segala lebih dan kurang dari seseorang yang ia minta menjadi pendamping hidupnya di menit-menit terakhir kebersamaan.

Anna bukan tak ada prasangka, tentang perasaan Ahmar yang seperti tiba-tiba tertuju padanya. Tapi bukankah tak satu dua, mereka yang menikah tanpa pernah mengenal lebih jauh terlebih dahulu sebelumnya. Dan tak satu dua pula yang menjalani semuanya dengan baik-baik saja, bahkan bahagia. Ia mengharap hal yang sama. Ahmar seorang yang istimewa, keputusan yang diambilnya tentulah sudah melibatkan Sang Pemilik Semesta. Allah yang memilihkan, maka Ia pula yang akan menguatkan.

Lama saling terdiam, netra gadis itu menyipit bersamaan dengan bibir yang membulan sabit. Semburat kemerahan menyembur di kedua pipinya. Sosok di layar gawainya tersenyum melihat wajah Anna yang menurutnya unik saat demikian.

"Emm, sebaiknya kau perbanyak istirahat, Anna. Jangan terlalu banyak pikiran, setidaknya sampai lelahmu hilang. Jangan lupa salat. Dan jika kau butuh sesuatu untuk menghiburmu, kau bisa dengarkan murotal, Insya Allah hatimu akan lebih tenang. Ingat, kau harus sehat! Karena setelah ini akan banyak yang harus kita urus untuk pernikahan kita nanti."

"Kita? Pernikahan? Pernikahan kita? Aih, kok aku bahagia ya?"

"Emm, eh i-iya, tentu saja. Gracias muchas, Señor." Pipi itu lagi-lagi memerah. Si empunya pun salah tingkah.

"Assalamualaikum. Hasta la vista, Adrianna."

"Hemm. Waalaikumussalam, Ahmar."

Sesaat setelah sambungan telepon terputus, Ahmar menghubungi Ronald. Memintanya menjadi perantara pada banyak urusan selanjutnya. Bukan apa-apa, karena meski hanya melalui sambungan telepon, bukan tak mungkin mereka terjebak pada khalwat. Ahmar hanya tak ingin itu terjadi, khawatir merusak niat baik yang sudah terukir di dalam hati.

***

Klek.
Seseorang membuka pintu kamar Anna setelah sebelumnya mengetuk pelan hingga si pemilik kamar tak mendengar. Mami masuk dengan nampan berisi segelas kopi panas kesukaan anak gadisnya. Sekotak susu plain dan sepiring roti bakar keju bertengger manis menemani si cangkir kopi.

Mami menaruh bawaannya di atas nakas, mengelus lembut punggung yang sedang melengkung memeluk guling. Sepasang earphone menyumpal kedua telinganya. Pantas saja dia tak menyadari ada bidadari masuk ke kamarnya.

"Eh, Mami. Maaf, Anna nggak tau Mami ke sini." Anna merubah posisinya, duduk di sebelah maminya.

"Nggak apa-apa. Mami bawakan kesukaanmu. Makan dulu gih, mami temenin."

Gadis bungsu itu menyandar manja pada sosok yang telah melahirkannya. Mengunyah perlahan kudapan yang dibuat dengan penuh cinta.

Kesedihan terkadang datang, tapi Allah tak pernah membiarkan hambanya berlama-lama larut di dalamnya. Karena bahagia yang Dia berikan jauh lebih banyak dari kesusahan yang kita terima.

"Emm, boleh dong mami diceritain tentang bule ganteng calon mantu mami."

"Ehk. Uhuk ...." Anna sontak tersedak. Beruntung, cangkir yang baru ia tandaskan isinya sudah mendarat manis di atas nampan.

"Nggak usah keselek juga kali. Sante aja, mami merestui kok. Siapa coba yang nggak seneng punya mantu baik dan saleh yang akan membimbing anak mami ke jalan yang benar."

"Ih, Mami." Dipeluknya erat sang mami dari belakang, menyembunyikan malu yang datang tanpa diundang.

Lega. Itu yang Anna rasa. Setidaknya satu hal lagi hampir terlalui.

***

Catatan:
- Como estas, Señorita? : apa kabar, Nona?
- Gracias muchas, Señor: terima kasih banyak, Tuan
- Hasta la vista: sampai jumpa

***

Hola, apa kabar teman-teman semua? Semoga sehat dan happy ya.

Part kali ini tak sepanjang biasanya. Ceritanya pun entah apa. Nggak apa-apa ya. Hehe..

Baiklah, tak perlu berpanjang kata. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mampir membaca.
I love you, kalian semua 😊❤

Happy weekend.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top