15. Jakarta
Bismillah.
***
Anna tak jua membuka mulut tentang siapa Malik Evard. Mariam sendiri berkali merutuki diri, kenapa harus tak sengaja melirik hingga akhirnya tercuri baca pesan di gawai sahabatnya. Ia masih mencari cara untuk memancing Anna bercerita, tentang pria yang hampir pasti adalah penduduk asli benua biru.
Pesawat telah tinggal landas meninggalkan daratan Abu Dhabi menuju Jakarta. Membawa serta harapan Mariam bahwa sahabatnya akan curhat seperti biasanya. Tentu saja topik kali ini tentang pria bule bernama Malik Evard.
"Eh, An, inget ya, sekarang kamu udah punya calon suami. Ntar balik kampung jangan tebar pesona ya, trus sama temen-temen cowok juga jangan kedeketan kaya yang lalu-lalu. Apalagi sekarang kamu sudah beda, aturan pergaulan juga berubah. Oke." Mariam memulai obrolan. Berharap akan ada sedikit petunjuk tentang si bule yang menjadi sumber dari rasa penasarannya.
"Apaan sih? Jadi macem itu pesen dari Ahmar kemarin? Ckckck, apa iya dia segitu jatuh cintanya sama aku sampe kuatir banget gitu? Alhamdulillah Ya Allah, dikasih calon imam yang model begini," canda Anna. Rona merah di pipinya kembali tertangkap mata saat bibirnya bicara tentang Ahmar.
"Astaghfirullah, kuatkan Ya Allah. Sahabat kesayangan satu ini memang kadang perasaannya rada nggak peka. Huff."
"Iya iya, makanya itu jangan macem-macem setelah ini. Jaga diri baik-baik, udah punya calon suami yang limited edition gitu."
"Dih, selama ini juga aku nggak pernah macem-macem. Temen cowok sih emang banyak, tapi kan yaaa cuma gitu aja, temenan. Kecuali ...,"
"Raka?"
"Ish, dia mah udah masa lalu." Anna terdiam sesaat.
"Eh, by the way, kemarin di Yurop, selain Ahmar ada berapa bule lagi yang sempet ngajak kenalan?" Jurus memancing di air tenang mulai dikeluarkan oleh Mariam.
"Eh, iya ada sih. Tapi ya cuma selewat aja. Soalnya pas lagi kenalan di-cut sama Ahmar."
"Di-cut. Maksudnya?"
"Jadi, pas di Nur Al Huda, pas aku habis syahadat itu, kan aku keluar terakhir tuh. Nah ada cowok bule dateng, trus kasih nomer hape ke aku. Habis itu dia minta nomerku dong. Belum aku kasih, eh Ahmar dateng. Katanya aku udah ditunggu temen yang lain di bus. Trus dia suruh aku segera ke bus, dia yang kasih nomerku kalo aku ijinin."
"Apa Ahmar jeles ya aku deket-deket sama bule lain?" tanya Anna kege-eran.
"Trus kamu ijinin nggak?" Mariam mengabaikan pertanyaan Anna.
"Iya lah."
"Trus sama Ahmar dikasih nggak?"
"Dikasih lah. Kalo enggak mana dia whatsapp ke aku."
"Hah, jadi kalian udah bales-balesan pesan segala nih? Ati-ati lho yaaa."
"Dih, kok gitu. Apa Ahmar nitip pesen ke kamu juga buat ngewakilin dia cemburu?"
"Hih, ngasal deh. Ya nggak gitu juga, aku kan cuma mau ngingetin kalo sekarang ini kamu udah jadi calon istri orang." Ada yang celekit-celekit di dada Mariam.
"Iya iya, Ibu Mariam yang bawel!"
Obrolan terhenti sampai di situ. Mariam ingin melanjutkan, tapi urung melihat Anna mulai menyiapkan penutup mata, headset dan selimut bagiannya. Mariam tersenyum melihat layar di depan seat Anna, rupanya sahabat terbaiknya sedang mendengarkan murotal Al Quran yang memang disediakan sebagai play list di salah satu maskapai timur tengah itu. Ia pun bersiap menyusul sahabatnya mengistirahatkan diri, meski mungkin tak otomatis pula mengistirahatkan hati.
***
Hawa panas menerpa begitu mereka mendarat di Cengkareng. Usai mengurus bagasi dan segala rupa, lalu saling melempar salam perpisahan dengan teman-teman seperjalanan, Anna dan Mariam menyeret koper-koper mereka menuju pintu keluar.
Bang Ronald yang sedari tadi menunggu langsung memeluk erat Anna tanpa ba bi bu. Sudut matanya sedikit basah melihat adik bungsu yang manja menutup kepalanya dengan selembar pashmina bernuansa biru.
"Masya Allah, kukira kau hanya mengenakannya waktu bersyahadat saja." Bang Ronald menangkup kedua pipi Anna, mengecup keningnya penuh haru dan bahagia.
"Ah, Abang ni lebay deh pake cium-cium segala." Anna bersungut, bibirnya mengerucut beberapa centi.
"Dih, sok-sokan cemberut. Udah jadi calon istri solehah sih ya harus lebih dewasa," goda Bang Ronald sambil mengusap kepala Anna.
"Iiih, Abang nyebeliiin!"
Mariam tertawa melihat pertemuan abang beradik yang sekarang telah pula menjadi saudara seiman.
"Iam pulang ke mana ini?"
"Mau langsung ke Bogor, Bang."
"Ya udah, kita anter sekalian ya," tawar Bang Ronald.
"Eh, nggak usah, Bang. Makasih. Mariam naik kereta aja, nanti dijemput Mas Yahya di stasiun," tolak Mariam halus. Sebenarnya karena dia belum siap siap amat kalau di perjalanan nanti harus mendengar topik obrolan abang adik yang salah satunya pasti tentang Ahmar. Duh, move on ternyata berat lebih berat daripada rindu.
"Ya udah, kalo gitu kita anter sampe stasiun ya. Dan untuk tawaran ini, abang nggak menerima penolakan."
Kedua abang beradik itu pun terkekeh bersama. Mariam ikut tertawa kecil. Benaknya melayang tanpa permisi, menyeret ingatannya pada kata-kata Ahmar waktu ia berniat mengembalikan sapu tangan.
"Astaghfirullah. Ya Allah, tolong bantu saya melupakannya."
Anna tak henti bercerita tentang pelariannya, keriangan memenuhi mobil yang mereka tumpangi. Bang Ronald pun tak henti menyampaikan terima kasih kepada Mariam, yang telah menjadi pembuka jalan bagi adiknya menuju hidayah. Hingga tak terasa mobil memasuki halaman stasiun.
"Iam, hati-hati ya. Entah kenapa, sejak perjalanan kita kemarin, rasanya aku takut kalo harus jauh dari kamu. Kamu yang paling ngertiin aku, paling sabar ngadepin aku, bahkan melebihi keluargaku. Kamu juga yang mengantarkan aku, hingga menemukan jalan cahaya. Terima kasih ya, Iam. Sahabat terbaik sepanjang hidupku." Anna memeluk Mariam, bahunya terguncang. Begitu pun Mariam, hanya mengangguk tanpa mampu mengucap sepatah pun kata. Sesuatu yang sama dirasakannya, bahwa baginya, Anna lebih dari saudara.
"Kamu pulang ke rumah abang dulu ya, besok pagi baru kita ke apartemen. Kamu pasti butuh istirahat. Juga curhat." Ronald membawa setir menuju ke arah Depok.
"Dih, kepedean. Siapa juga yang mau curhat," sahut Anna sengit.
"Ya kalopun kamu nggak mau curhat, abang kan tetep butuh kasih pesan dan nasehat."
"Nasehat apaan? Pesan apaan? Ribet amat hidupmu, Bang. Drama." Mereka kompak tergelak.
"Nasehat menjelang pernikahan."
"Jadi, Ahmar udah menyampaikan maksudnya ke abang. Alhamdulillah, abang senang dan bahagia. Insya Allah abang yakin, bahwa Ahmar seorang pria yang baik, soleh, juga bertanggungjawab. Bersyukurlah, Allah Maha Baik, selalu baik. Setelah hidayah, Dia berikan pula hadiah untukmu. Yaitu Ahmar, yang Dia hadirkan untuk menjagamu, mengajarimu, membimbingmu menjadi muslimah yang kaffah. Insya Allah."
"Tapi untuk menyampaikan sendiri maksudnya ke papi mami, abang masih belum mengijinkan. Itu nanti, karena kita sendiri belum tau seperti apa reaksi beliau berdua setelah tau kamu sekarang seorang muslimah. Kalo sudah tau nanti, baru kita putuskan bagaimana menyampaikan lamaran Ahmar untukmu." Gadis di samping Ronald mengangguk-angguk. Benaknya dijejali pertanyaan, sedang hatinya disesaki kebahagiaan. Tersipu malu. Segores senyum tertahan diikuti semburat kemerahan menghias wajah cantiknya.
"Sejak kapan kamu jatuh cinta sama bule itu?" tanya Ronald usai melihat muka adiknya yang mendadak mengalami perubahan. Ah, dasar orang jatuh cinta.
"Ahmar? Emm, sejak dia menanyaiku 'kamu tidak salat?' waktu aku jalan-jalan di taman Masjid Raya Paris, dan kami ketemu di sana." Memejam, Anna mencoba mengais kenangan yang nyatanya masih dia ingat dengan tajam. Lagi-lagi kedua ujung bibirnya tertarik membentuk bulan sabit merah muda. Kepala Ronald menggeleng berkali ke kanan kiri menjumpai pemandangan di sebelahnya. Adik bungsu yang biasanya manja, kali ini ditambah pula sedang jatuh cinta.
"Kelakuanmu kalo jatuh cinta njelehi juga ya." Ronald terkikik geli disambut kepalan tangan sang adik mendarat di perutnya yang rata.
***
"Dek, bangun. Salat subuh dulu yuk," suara lembut Uni Aisya membangunkan Anna dari lelapnya. Hal pertama yang dilakukan adalah mengucek mata, lalu mengintip benda yang melingkar di pergelangan kirinya, 04.00.
"Eh, i-iya, Uni. Anna wudhu dulu ya." Usai melempar senyum untuk kakak iparnya, Anna bergegas mencuci muka dan berwudhu, lalu menyusul keluarga abangnya di musala kecil milik mereka. Bahkan Salman dan Sufyan, keponakan kembarnya, sudah bangun dan menyambutnya dengan senyum. Ada sejuk yang mengaliri hati Anna, berharap kelak dia memiliki keluarga dengan kebiasaan baik yang serupa. Bersama Ahmar tentunya.
"Duh, mau salat kok jadi malah inget Ahmar sih." Anna tersenyum sendiri pada apa yang ada dalam pikirannya.
"Mau ke Jakarta jam berapa, An?" tanya Ronald usai melaksanakan salat, berdoa dan mengaji bersama. Uni Aisya beranjak ke dapur setelah menaruh mukena di rak yang tersedia.
"Terserah Abang aja. Nah, baiknya jam berapa?"
"Kamu masih mau tidur lagi nggak?"
"Ya tergantung kita berangkatnya jam berapa."
"Hih, bocah satu ini ya. Maksud abang tuh, kalo kamu mau tidur lagi ya berarti ke Jakarta rada siangan. Kalo kamu nggak mau tidur lagi, berarti bisa berangkat agak pagi." Ronald melempar kopiah ke arah adiknya. Gemas. Salman dan Sufyan tertawa melihat ayah dan tantenya.
"Eh, tapi habis subuh itu sebaiknya jangan tidur lagi Ante," celetuk Salman.
"Iya, Ante. Karena itu termasuk waktu yang diberkahi. Lebih baik digunakan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat." Sufyan menambahi.
"Tuh, dengerin ponakannya." Ronald menunjuk ke arah si kembar dengan dagunya, matanya mengerling ke arah adiknya dengan senyum mengembang.
"Alhamdulillah, ponakan ante pinter-pinter. Ante tolong diajarin juga ya." Dikecupnya kepala kedua ponakannya penuh sayang.
Uni Aisya masuk kembali dengan nampan berisi lima mangkuk kacang hijau hangat, kedua jagoannya menyambut dengan gembira. Berlima menyantap masakan Uni Aisya hingga tandas tak bersisa.
"Kita ke Jakartanya pagi aja deh, Bang. Aku mandi dan siap-siap dulu."
Pagi yang diisi dengan kegiatan bermanfaat atau obrolan keluarga yang hangat memang sungguh efektif membuat semangat meningkat berkali lipat. Itu pula yang dirasakan Anna semenjak rutin melaksanakan salat subuh dan tidak tidur lagi setelahnya, meskipun kemarin-kemarin dilakukan juga karena keadaan yang memaksa, yaitu jadwal jalan-jalan yang tak mungkin menyesuaikan kebiasaannya.
***
Anna menghela napas dalam, lalu mengembuskan perlahan. Mengatur debaran dalam dada, bersiap akan apapun yang hendak terjadi setelah daun pintu di depannya terbuka.
"Bismillah," gumam Anna sembari mengetuk pintu apartemennya. Ronald dan Aisya tak kalah dag dig dug di belakang adiknya.
Mbak Murni membuka pintu. Perempuan 39 tahun yang hampir lima tahun ini hijrah dari rumah papi maminya di Semarang untuk menemani Anna menyambut nonanya dengan gembira. Sekaligus terkejut.
"Assalamualaikum, Mbak." Sapaan Anna membuat Mbak Murni memicingkan mata. Kagetnya berlanjut.
"Mbak Anna is-islam?"
"Ssstt." Segaris senyum Anna berikan di belakang telunjuk yang menjadi isyarat untuk diam.
"Alhamdulillah. Masya Allah," gumam Mbak Murni nyaris berbisik.
"Langsung ke atas aja, Mbak Anna, Mas Ronald, Mbak Aisyah. Semua nunggu di sana."
"Aisya, Mbak. Gak nganggo H (nggak pakai H)." Ronald mengingatkan, semua tertawa. Sejenak lupa pada apa yang sebentar lagi akan dihadapi.
"Papi, Mami ..., maafin Anna ya." Begitu sampai di lantai dua, Anna langsung menghambur ke pelukan papi maminya. Meminta maaf, menumpahkan semua tangisnya.
"Udah udah, udah dimaafin kok dari kemarin-kemarin. Semua udah maafin kamu."
"Iya, Mi. Maafin Anna ya. Maafin Anna yang dulu, yang suka ngelawan Mami Papi, yang suka ngejawab kalo dibilangin, yang suka semaunya ...,"
"By the way, kamu pulang apa musim gugurnya ikut kamu bawa pulang?" Papi mungkin bercanda, tapi perasaan Anna sedikit tak enak.
"Mak-maksudnya, Pi?"
"Di sini udah nggak sedingin di Eropa kan? Panas malah. Kenapa masih pake penutup kepala?"
Dhuarrr. Kalau ada candaan yang bikin orang berasa tersambar petir, ya inilah. Anna panas dingin dibuatnya.
"Ma-maafkan Anna, Pi, Mi." Anna menelan ludah, membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Kelu.
"Ini buk-bukan karena di-dingin. Tapi karena se-sekarang ini jadi kewajiban buat Anna."
Gemetar. Menunduk. Menunggu ledakan kemarahan papi untuknya. Sedetik, dua detik, tiga detik ... tak terdengar suara apapun dari papi. Pria yang biasanya keras dan meledak-ledak itu diam saja. Anna beranikan diri untuk mengangkat muka. Papi menatapnya lekat, bibirnya gemetaran seolah ingin mengucapkan sesuatu tapi tak mampu, rasa kecewa terpancar jelas dari kedua netra yang perlahan mengalirkan bulir bening membasahi kedua pipi yang mulai menua.
Betapa nelangsa hati Anna. Seumur hidup tak pernah sekalipun Anna melihat papinya serapuh itu. Sungguh, apa yang dilihat di hadapannya adalah pemandangan paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Rasanya ia lebih rela melihat papi marah padanya, memakinya, atau sekalian saja mengusirnya. Tapi nyatanya yang dia hadapi justru sebaliknya.
"Maafkan Anna, Pi. Maafkan kalo Anna membuat Papi kecewa." Tulang-tulang di kakinya serasa tak mampu menopang berat badannya. Anna meluruh dengan isak yang menghebat. Istighfar memenuhi seluruh rongga dadanya.
"La hawla wa laa quwwata illa billah," gumamnya lirih, berkali. Dipandangi papinya yang pergi tanpa mengucapkan sepatah pun kata, yang bahkan menyeka air mata pun seolah tak mampu dilakukannya. Dipandanginya punggung pria yang begitu mencintainya, bahkan sebelum dia terlahir ke dunia. Ia siap menghadapi apapun reaksi papinya, tetapi dia tak mengira akan sesakit ini.
"Allah, maafkan aku jika jalan yang kupilih menyakiti keduanya. Izinkan aku untuk tetap bisa berbakti meski jalan kami tak lagi sama. Dan teguhkan aku untuk selalu istiqomah di jalan-Mu." Hatinya berulang mengucap pinta, sejalan dengan jemarinya yang berulang mengusap air mata.
***
Huft, nulis bagian terakhir part ini sambil berurai air mata. Sebagai seorang anak yang dekat sama Bapak, membayangkan kita membuat beliau kecewa sampai reaksinya di luar dugaan bahkan di luar kebiasaan itu....
Ah, enggak sampai lah saya. Enggak bisa.
Semoga Anna tetap tegar dan istiqomah di jalan-Nya.
Hidup memang demikian, bahagia dan sedih datang bergantian. Asal di hati kita hanya Allah yang menjadi alasan dan sumber kekuatan, cukuplah untuk bisa menghadapi semuanya.
Baiquelah.
Sehat-sehat dan bahagia selalu ya teman-teman semua. Sampai jumpa di part-part berikutnya.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top