12. Venesia

Bismillah.

***

Tak seperti yang Anna atau Mariam bayangkan, bahwa Venesia itu cuma kota tua yang dikelilingi air. Venesia ternyata punya kota baru yang modern juga, seperti kebanyakan kota-kota di dunia. Ada jalan raya, pertokoan, rumah-rumah, perkantoran, dan sebagainya. Karena Venesia memang bukan sekedar kota, melainkan sebuah provinsi di region Veneto, Italia.

Tapi bayangan mereka pun tak sepenuhnya meleset, sebab Venesia yang menjadi destinasi wisata memang seperti yang banyak dilihat di foto-foto dan film-film. Sebagian wilayah Venesia berada di laut tenang yang disebut laguna dan terdiri dari beberapa pulau kecil. Bangunan-bangunan tua khas Eropa mendominasi, di sekelilingnya air beriak tenang berkilau tertimpa cahaya sang surya. Hilir mudik gondola dengan gondolier berwajah ganteng khas Italia membelah kanal. Romantis. Begitulah suasana kota yang konon dari situlah Venesia yang ada saat ini bermula.

Langit biru cerah berhias awan seputih kapas berarak perlahan, ketika vaporetto yang membawa Ahmar dan para pesertanya merapat ke daratan kota lama Venesia. Satu per satu peserta turun dan seperti biasa mereka menyimak penjelasan dari Ahmar sebelum berfoto bersama dan lalu berpencar sesuai selera.

Belum lama berjalan, Anna mengajak Ahmar dan Mariam untuk menjajal berkeliling kota indah itu menaiki gondola. Di tengah perjalanan, Anna meminta sang gondolier untuk mengambilkan foto mereka.

"Iam, mengko pas dekne njepret, sirahmu mudhuno. Dadi kowe ora kethok. Ben aku nduwe foto wong loro thok ngono lho." Anna memberi kode pada Mariam. Sengaja menggunakan bahasa Jawa agar Ahmar tidak tahu maksud mereka.

"Hemm," sahut Mariam sekenanya. Dalam benaknya sudah ada rencana yang berbeda.

"Okey. Uno due tre, cheese." Sepersekian detik sebelum si gondolier mengetuk tombol jepret, kepala Mariam justru nongol di atas kepala Anna dan Ahmar dengan muka konyol. Si gondolier tertawa geli. Begitu pun Ahmar setelah melihat hasil fotonya.

"Iaaaamm!" Anna berusaha mencubit Mariam saking gemasnya, sedangkan Mariam cuma nyengir tanpa dosa. Gondola yang mereka tumpangi sampai bergoyang-goyang karena keisengan dua sahabat yang sama-sama gokil saat bersama.

"Grazie, Signore. Thank you so much," ujar mereka bertiga dengan ramah setelah gondola kembali merapat pada salah satu tangga di tepian kanal dan ketiganya kembali menginjakkan kaki di daratan.

Mereka lantas menyusuri lorong-lorong yang kesemuanya memunculkan aura romantis nan meruah. Anna terlalu larut dalam keasyikannya jeprat jepret mengumpulkan kenangan, hingga tak sengaja terpisah dari Mariam dan Ahmar. Hampir 20 menit berlalu, mereka saling mencari tapi tak juga bertemu.

[Iam, migren akutu nyariin kamuuu. Ya udah kita ketemu di meeting point aja ya. Jangan kuatir, ini aku ketemu Bu Amik, biar aku jalan sama beliau aja.]

[Oia, ingat, kalian bukan mahram, jadi harus jaga jarak! *emoji tertawa berjajar tiga*]

[Haha, Anna memang juaraa. Baiklah, selain jaga jarak, aku juga akan jaga dia untukmu deh. *emoji tertawa berjajar dua*]

"Anna putus asa mencari kita, dia bilang kita ketemu nanti saja di meeting point. Dia sudah bersama Bu Amik sekarang."

"Baiklah. Tapi waktunya masih tersisa cukup lama."

"Oh ya, dari mana kau tau nama keluargaku?" tanya Ahmar mengingat pesan terakhir dari Mariam semalam.
"Dari sapu tanganmu. Ada sulaman tangan bertuliskan MATEU di sana."

"Ah ya ya, aku tak berpikir sampai ke sana, padahal ibuku menyulamnya di setiap sapu tanganku dan adikku. Kebiasaan dari dulu, saat ayahku masih ada."

"Oh ya, kau tau? Orang Spanyol punya tradisi sendiri dalam memberi nama anaknya. Di negara kami nama keluarga dari ayah dan ibu semua melekat pada anaknya. Jadi sebenarnya orang Spanyol hanya punya given name saja. Nama kedua adalah surname dari ayah, sedang nama ketiga adalah surname dari ibu. Tetapi dalam keseharian nama yang umum dipakai hanya given name dan surname ayah saja. Misalnya Xavier Hernandez ì Creus, maka nama yang dia pakai sehari-hari adalah Xavier Hernandez saja." Ahmar menjelaskan tanpa diminta.

"Tapi di keluargaku agak berbeda. Nama keluarga ibuku yang muncul lebih dulu. Itu pun sebenarnya tidak ada dalam tradisi keluarga ibuku, dia keturunan bangsane Moor stay Maroko. Sedangkan ayahku orang Spanyol asli. Dia menjadi mualaf setelah berkenalan dengan ibuku dan kemudian berkenalan dengan Islam. Semenjak itu dia tak lagi fanatik dengan tradisinya, semua yang dilakukannya sebisa mungkin berdasarkan syariat Islam. Satu-satunya tradisi keluarga Spanyol yang masih dia pegang adalah mewariskan surname pada kami anak-anaknya. Juga, siesta." Ahmar mengakhiri kalimatnya dengan tawa.

"Xavier Hernandez, maksudmu Xavi yang pemain sepakbola itu?"

"Benar. Kau tau Xavi Hernandez?"

"Hanya sedikit. Kedua kakakku penggemar sepak bola dan salah satunya pendukung FCB. Dia penggemar Xavi sejak lama."

"Apa ayahmu berasal dari Catalunya?" tanya Mariam lagi.

"Yup. Lagi-lagi tebakanmu benar. Dan dia berasal dari Terrassa, kota yang sama dari mana Xavi berasal."

"Oh ya?" jawab Mariam singkat.

"Tentu saja, mana mungkin aku berbohong padamu." Mariam tertawa kecil.

"Apalagi yang kau tau tentang Catalunya?"

"Tak banyak, Ahmar. Hanya Las Ramblas, La Sagrada Familia, FC Barcelona dan El Classico." Ahmar tergelak mendengar penutup kalimat Mariam.

"Apa kau penyuka sepak bola, Mariam?"

"Tidak, tapi aku tau El Classico, karena setiap kali digelar, dia bukan hanya terjadi di lapangan, tapi juga di ruang keluargaku. Kakakku yang satu Cules, satunya lagi Madridista."

"Please, jangan tanya lagi bagaimana aku tau istilah-istilah itu ya! Sekali lagi, aku hanya sering mendengar dari kakak-kakakku." Tawa Ahmar kembali berderai mendengar kalimat Mariam. Dia benar-benar merasa gadis pendiam yang berjalan di sampingnya itu menyimpan potensi kelucuan yang belum tergali dengan baik. Eh, maksudnya?

"Kenapa tebakanmu selalu benar, Mariam? Jangan-jangan kita ...,"

"Ssstt!" Mariam menghentikan langkah, mendongak dan menaruh telunjuk di depan mukanya. Mata mereka bersitatap, cuma sekilas, karena Mariam buru-buru menundukkan kepala, berusaha mencengkeram jantungnya yang hampir lepas.

Mereka berdua berjalan santai di sepanjang sisi kanal. Kebisuan menyusup menengahi keduanya. Sesekali Mariam melempar pandang pada gondola yang lewat di sepanjang kanal yang mereka susuri. Angin yang berhasil menerobos di sesela lorong bangunan klasik meniup mereka lembut, seolah takut mengganggu mereka yang sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.

"Mariam, apakah kau ingin mendengar ceritaku?" Ahmar mengawali pembicaraan.

"Tentang apa? Salman Al Farisi?"

"Bukan. Tapi masih ada hubungannya dengan itu. Ini tentang aku, tentang masa laluku yang sebenarnya tak ingin kuulang lagi."

"Sebenarnya aku tak ingin tau, tapi kalo kau ingin bercerita, aku akan mendengarkan," kata Mariam sembari menata hatinya.

"Ya, aku ingin bercerita."

Mariam menghela napas, sebenarnya ia bukan tak mau, tapi memang tak ingin mendengar lebih banyak lagi tentang Ahmar. Ia takut akan terperosok lebih dalam lagi. Ia takut akan sulit menyembuhkan kepedihan, sedang ini adalah pertama kalinya ia disapa perasaan yang membuat hatinya memerah muda. Dia masih enggan jujur pada hatinya, meski di sisi lain hatinya pun menyetujui bahwa 'sangat wajar jika seorang perempuan yang mendambakan pria dengan keshalehan sebagai pertimbangan utama, jatuh hati pada pria seperti Ahmar'.

Ya, keyakinan Ahmar akan perasaan Mariam padanya memang tak salah. Mariam mungkin bisa menyembunyikan perasaannya, tapi sayang, Ahmar terlanjur menangkapnya dari binar di mata gadis itu.

"Ini kedua kalinya aku dihadapkan pada persoalan yang menyangkut perasaan dan persahabatan," suara bariton Ahmar menembus gendang telinga Mariam. Juga hatinya.

Ahmar pun bercerita, bahwa ia pernah mengalami hal yang serupa, meski tak sepenuhnya sama. Seorang gadis mencintainya, begitu pula ia pada gadis itu. Meski mereka tak saling mengungkapkan, tapi keduanya tahu ada perasaan yang sama tersimpan. Pada akhirnya gadis itu mengatakan perasaannya pada Ahmar, tapi terlambat, karena dia melakukannya setelah sahabat Ahmar melamarnya.

"Aku mencintai sahabatku karena Allah. Ia sahabat terbaikku. Bersamanya aku berjuang dalam dakwah di jalan-Nya. Bodohnya, aku abai, hingga tak pernah tahu bahwa ia menyimpan perasaan yang sama pada Ninayara. Maka aku pun merelakannya. Bagaimanapun juga, dia memiliki keberanian selangkah di depanku. Aku menghormati dan menghargai itu." Ahmar menyebut sebuah nama tanpa sengaja.

"Maka aku begitu yakin akan perasaanmu, karena aku pernah menemukan sorot mata yang sama seperti yang kutemukan di matamu setiap kali pandangan kita bertemu." Mariam masih membisu, mencoba tetap fokus mendengarkan meski perasaannya sudah tak menentu.

"Kau tak harus mengatakannya, tak perlu juga menyangkalnya. Karena, meyakini itu untukku saja aku sudah bahagia."

"Namanya Ninayara?" tanya Mariam, fokusnya bergeser dari topik aslinya.

"Apakah aku menyebut sebuah nama?" Ahmar balik bertanya.

"Nama yang unik. Pasti orangnya cantik."

"Ssstt, tak perlu dibahas lagi, Mariam. Dia sudah bahagia bersama sahabatku."

"Dan kau, apakah juga akan memilih untuk berbahagia bersama sahabatku?"

Ahmar menghentikan langkah di sebuah jembatan kecil yang membelah kanal. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah kafe yang pengunjungnya cukup ramai memutarkan musik berbagai genre. Mariam melakukan hal yang sama, lantas menyandarkan tubuh bagian depannya ke jembatan. Memandangi kilauan air di bawah sana, netranya ikut berkilau, ia berkaca-kaca.

"Ahmar ...," Mariam menggigit bibir,  matanya mengerjap menghalau hangat yang memberat. Cerita dan kalimat Ahmar menusuk tepat ke sudut hatinya, dan ia sepenuhnya sadar, ada yang terasa sakit di sana.

"Maafkan aku." Hanya itu yang akhirnya keluar dari bibir Mariam.

Sayup terdengar suara Andrea The Corrs bersahutan dengan Alejandro Sanz dari cafe di sebelah jembatan. Hati Mariam serasa teriris, dia menangis.

One more day, one last look
Before I leave it all behind
And play the role that's meant for us
That said we'd say goodbye
....
(The Corrs feat. Alejandro Sanz - The Hardest Day)

"Jangan menangis, Mariam. Kecuali kau ingin mengoleksi sapu tangan bersulamkan nama keluargaku." Mariam tertawa kecil mendengar candaan Ahmar, ada getir dalam setiap nada yang muncul dari keduanya.

"Ya Allah, ini kafe maksudnya apa deh? Kenapa lagunya bukannya menghibur malah bikin hati hancur lebur. Apa karena aku bukan pengunjungnya, jadi dia berniat mengusir kami dari sini?" rutuk Mariam dalam hati.

"Baiklah, Ahmar. Memang sebaiknya kita pergi dari sini, karena sepertinya kafe itu sengaja memutar lagu itu untuk mengusir kita dari sini," tawa mereka semakin keras, meski getir pun ikut menjelas.

"Apalagi yang ingin kau lihat di Venesia? Aku siap menemani dan menjawab pertanyaanmu." Menerima tawaran Ahmar bukannya membuat Mariam senang, justru sebaliknya dia tersentak dan sadar. Ini tidak boleh diterus-teruskan.

"Astaghfirullah. Kurasa sebaiknya kita langsung menuju meeting point saja, Ahmar. Aku mulai merasa tidak baik-baik saja jika kita terlalu lama begini," tukas Mariam sambil melangkah meninggalkan tempat mereka berdiri. Ahmar menyusul tergesa.

Meeting point telah tampak pada indra baca mereka berdua. Mariam menghentikan langkahnya tiba-tiba.

"Maaf, Ahmar. Satu hal lagi yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau sudah mempertimbangkan usulku semalam?" tanya Mariam lirih, sambil menahan perih.

Ahmar menjawab singkat saja,
"Rahasia."

***

Catatan:
- Vaporetto: taksi air sebagai alat transportasi untuk menyeberang dari/ke kota lama Venesia
- Gondola: sampan khas Venesia
- Gondolier: orang yang mengayuh gondola
- Uno due tre (Italia): satu dua tiga
- Grazie, Signore (Italia): terima kasih, Tuan
- Given name: nama depan
- Surname: nama keluarga
- Siesta: istirahat/tidur siang yang sudah menjadi tradisi bagi orang Spanyol
- El Classico: pertandingan sepakbola antara FC Barcelona melawan Real Madrid yang sejak dulu merupakan "musuh bebuyutan"
- Cules: pendukung Barcelona
- Madridista: pendukung Real Madrid
- Iam, mengko pas dekne njepret, sirahmu mudhuno. Dadi kowe ora kethok. Ben aku nduwe foto wong loro thok ngono lho (bahasa Jawa):
Iam, nanti pas dia jepret, kepalamu turunkan, jadi kamu nggak kelihatan. Biar aku punya foto berdua saja (sama Ahmar) gitu lho.

***

Alhamdulillah, ketemu lagi dengan "Selepas Hidayah"

Maafkan kalo di part ini mungkin nggak mengandung pesan dan pelajaran. Malah gaje bahas persepakbolaan apa segala macem. Soalnya authornya nggak ngerti drama Korea. Hihihi...

Semoga tetap menghibur teman-teman yang sudah mampir dan membaca ya.

Baiquelah, Happy Weekend semua.
Terima kasih banyak banyak banyak. Dan jangan lupa bahagia.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top