1. Paris
Bismillah
***
Di negara barat, khususnya Eropa, Islam seperti halnya sedang dikenalkan kembali. Kenapa kubilang kembali? Karena dulu, cahaya Islam pernah delapan abad menerangi bumi Eropa, bahkan menjadi pusat peradaban. Kamu pernah denger nama Andalusia kan?
[Mariam]
***
Boeing 737-300 bernomor penerbangan EY 37 yang membawa Anna dan Mariam dari Abu Dhabi mendarat tepat waktu di bandara Charles de Gaulle, Paris. Anna melirik benda yang melingkari pergelangan tangan kirinya, 14.21 waktu Paris, dan suhu udara menunjukkan angka sebelas pada derajat celcius. Dikenakannya jaket bulu angsa berwarna mustard, bersiap melawan dingin yang mungkin menerpa.
"Assalamualaikum Bapak dan Ibu semua. Perkenalkan, saya Ahmar, yang akan mendampingi dan memandu selama perjalanan di Eropa. Insya Allah, saya bisa berbahasa Indonesia dengan cukup baik, dan saya akan berusaha untuk memberikan informasi seputar tempat-tempat wisata yang akan kita kunjungi. Juga wawasan tentang sejarah dan perkembangan Islam khususnya di bumi Eropa." sang tour guide memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia yang cukup luwes.
Ahmar namanya, seorang bule berkebangsaan Spanyol yang sejak lahir telah menjadi seorang muslim. Perawakannya tinggi, atletis, berkulit putih khas kaukasoid mediteranian dengan cambang coklat tipis-tipis di sebagian pipi dan dagunya. Rambutnya berwarna coklat gelap, perpaduan yang pas dengan mata beningnya yang juga berwarna coklat. Seperti pria Spanyol pada umumnya, dia ramah, baik dan ganteng tentu saja. Hampir bisa dipastikan semua menyukainya.
"Bapak dan Ibu, destinasi pertama kita adalah Grande Mosquee de Paris atau Grand Mosque of Paris atau Masjid Raya Paris kalau dalam bahasa Indonesia. Di sana silakan nanti semua salat zuhur dan asar dengan jamak qosor, karena kita sampai di sana nanti insya Allah sudah masuk waktu salat asar," suara Ahmar terdengar di dalam bus yang berjalan mulus.
Sementara Anna dan Mariam sibuk melempar pandang ke luar jendela, menikmati suasana Paris yang cukup sibuk. Di beberapa titik terlihat kemacetan, meski tak separah macetnya Jakarta. Dari kejauhan tampak menjulang menara paling kondang sejagat raya, terkadang hilang tertutup gedung-gedung, lalu kembali mengintip di sesela dedaunan musim gugur yang mulai menguning. Eiffel. Pesonanya sungguh menawan hati.
"Anna, nanti kami salat dulu, silakan kalo kamu mau jalan-jalan. Tapi jangan jauh-jauh dari area masjid ya, takut kecantol bule," kata Mariam disusul tawanya yang renyah berderai.
Bus yang membawa mereka telah tiba di depan masjid terbesar di kota Paris. Anna memandang lekat dari balik kaca bus, bangunan putih bersih dengan atap berwarna hijau memberi kesan pertama yang damai. Sebuah menara yang sederhana namun cantik seakan membiusnya. Bagi Anna, pesona yang dirasa tak jauh beda seperti saat menatap Eiffel beberapa menit sebelumnya.
Anna melangkah mengikuti Mariam yang tampak mungil di dekatnya, angin musim gugur menyapa wajah cantiknya dan meniup lembut beberapa helai anak rambut yang lepas dari ikatannya.
Bersama Mariam dan teman yang lain, Anna menuju tempat wudhu perempuan, ia hanya berharap bertemu toilet di dalam sana. Harapannya terkabul, beberapa toilet kecil ditemuinya di tempat wudhu yang cukup luas dan bersih. Uniknya, ada teko plastik kecil di toilet. Anna tertawa.
"Iam, buat apa sih ini. Masa iya di toilet ada tekonya?" seru Anna pada Mariam.
"Itu tempat naruh air buat bersihin sisa buang air. Mungkin karena di sini umumnya pakai tisu, kalau buat kami umat muslim, sisa buang air harus bersih karena kalau mau salat harus dalam keadaan suci. Sedangkan buang air kecil termasuk kategori najis. Makanya kalau cuma pakai tisu takut salatnya nanti enggak sah." Mariam menjelaskan panjang lebar.
"Oh gitu, berarti fungsinya sama seperti botol air yang tadi kita bawa waktu di toilet bandara ya?" Anna bertanya lagi.
"Yup, you are right, nona Anna," jawab Mariam.
Usai menuntaskan urusan toilet, Anna duduk di bangku panjang menunggu Mariam berwudhu. Netranya tak lepas mengamati mereka yang sedang menyucikan diri. Meskipun tak bersamaan tetapi gerakan dan urutannya semua seragam. Anna mengagumi diam-diam.
Pandangannya kembali menyapu sekeliling, beberapa perempuan terlihat sedang beraktivitas di tempat yang sama. Tiga orang bertampang bule, satu orang berwajah Arab dan satu orang lagi berkulit gelap. Ada yang sama dari mereka, semua mengenakan hijab, seperti Mariam dan yang lain. Begitu pun cara mereka berwudhu, tak jauh berbeda dengan teman-temannya dari Indonesia. Anna mengamati dengan seksama.
"Yuk, An. Serius amat, liatin apa sih? Mau di sini aja apa mau keluar?" Mariam menepuk bahu Anna.
"Eh, oh, iya apa?" Anna tersentak. Rupanya ia benar-benar serius memperhatikan mereka hingga terkejut ketika tepukan dari sang sahabat mendarat di bahunya.
"Liatin apa sih, An, kok sampai serius banget gitu?"
"Itu, kamu dan semua yang ada di sini. Semua berhijab, bahkan bule-bule itu. Udah gitu mereka semua wudhu dengan cara yang sama," jawab Anna tanpa melepaskan pandang dari sekitar.
"Oh itu. Mungkin mereka merasa perlu untuk menunjukkan identitas mereka sebagai muslim di tempat di mana mereka menjadi minoritas. Kalau tentang wudhu, memang sudah ada aturannya, An, termasuk urutannya. Karena dalam Islam memang segala sesuatu sudah diatur sedemikian rupa," terang Mariam, senyum tersungging di bibirnya.
"Kenapa harus menunjukkan identitas dirinya? Kenapa bukan malah takut? Apalagi image Islam di negara barat kan cukup negatif."
Mariam tersenyum, lalu mengungkapkan pendapatnya dengan hati-hati, "Ah enggak juga, banyak kok orang barat yang punya toleransi tinggi seperti kamu. Lagi pula, dengan menunjukkan identitas muslimnya, mereka akan lebih mudah dikenali, dan mereka yang peduli akan lebih care terhadap kebiasaan seorang muslim yang mungkin berbeda. Misalnya soal makanan atau minuman, mereka akan menginfokan tentang kehalalannya, enggak nawarin minuman beralkohol, dan semacamnya gitu."
"Nggak takut dicap, sorry, teroris?"
"Mereka yang memegang teguh keimanannya, insya Allah nggak takut terhadap pandangan negatif dari orang-orang di luar Islam. Mereka yang memandang negatif itu kan karena nggak tau seperti apa Islam yang sebenarnya. Udah gitu, cap seperti itu bukan hal yang baru, An. Di awal-awal Nabi Muhammad menyebarkan Islam, intimidasi dan teror dari sana sini jadi makanan sehari-hari. Nggak cuma verbal atau perlakuan, tapi juga fisik. Nah, di negara barat, khususnya Eropa, Islam seperti halnya sedang dikenalkan kembali. Kenapa kubilang kembali? Karena dulu, cahaya Islam pernah delapan abad menerangi bumi Eropa, bahkan menjadi pusat peradaban. Kamu pernah denger nama Andalusia kan?"
"Yang gambarnya ada di tembok kamarmu?"
"Yap, itu Al Hambra, salah satu ikon terbaik dari peninggalan masa kejayaan Andalusia. Coba deh kamu tanya ke Ahmar, dia muslim Spanyol, pasti banyak tau tentang Andalusia."
Dari tempat wudhu, Anna berdiskusi kecil dengan Mariam sampai tiba di ruang salat perempuan. Ruangannya cukup luas dengan dominasi warna putih pada dinding dan pilar-pilar di dalamnya. Beberapa lemari dan rak kayu berisi buku-buku terlihat di pinggir. Cukup banyak yang sedang melaksanakan salat, meski tak semua menggunakan mukena seperti umumnya di Indonesia. Di sudut lain beberapa terlihat sedang membaca Al Quran.
Mariam menaruh tas selempangnya di atas karpet lembut bermotif lengkungan yang khas, warna hijau muda kombinasi hijau daun melekatkan kesan sejuk di sana.
"Iam, aku mau jalan-jalan sekitar sini dulu ya," pamit Anna kepada Mariam.
"Oke. Jangan keluar dari area masjid ya. Emm, ya itu tadi, takut kamu kecantol bule." Sekali lagi Mariam menggoda Anna, mereka berdua tertawa.
Anna melangkah ke area taman yang ada di kompleks masjid. Rasa kagum melihat arsitektur dan dekorasi masjid yang benar-benar memanjakan mata membuatnya tak henti berdecak. Tamannya dipenuhi tetumbuhan hijau dengan beberapa air mancur yang memunculkan kesan segar. Beberapa kolam dengan mosaik yang khas menjadi pelengkap yang sempurna. Anna menyusuri keramik hijau kebiruan yang dari kejauhan terlihat seperti air kolam yang tenang. Ia merasa jatuh cinta pada sekelilingnya.
Ah, belum juga menginjakkan kaki melihat Eiffel dari dekat, pun belum menikmati suasana Paris di waktu senja, malam atau saat gerimis yang katanya romantis, tapi Anna terlanjur merasa jatuh cinta pada kota ini justru karena pesona masjid rayanya.
"Ibu tidak salat?" Anna sedang mengamati lengkungan serupa tapal kuda berhias pahatan kaligrafi Arab yang menjadi pemisah area taman dengan area masjid, ketika sebuah suara menyapa gendang telinganya. Ahmar.
"Anna. Don't call me Ibu," kata Anna sambil mengulurkan tangan.
"Oh, okey, I am sorry. Baik, Ibu Anna. Ups, maksud saya, Anna." Ahmar tertawa kecil, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada.
Anna tidak merasa tersinggung dengan penolakan halus Ahmar pada ajakannya berjabat tangan. Dia telah sering melihat Mariam melakukan hal yang sama.
"Anna, kau tidak salat?" Ahmar mengulang pertanyaan yang tadi.
"Aku bukan muslim, Ahmar. Makanya aku tidak salat." Anna menjawab sambil tersenyum. Ahmar terlihat sedikit terkejut karena jarang sekali bertemu peserta non muslim dalam rombongan wisata halal dari Indonesia, bahkan mungkin baru kali ini.
"Masjidnya cantik sekali. Aku suka," kata Anna lagi.
"Ah, ya, tentu saja. Saya pun sama."
"Kok di Paris ada masjid sebagus ini ya. Apa masjid ini sudah ada sejak lama?"
"Ya, Anna. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Prancis sebagai penghargaan atas jasa para pejuang Prancis dari kaum muslim. Sebagian besar mereka adalah imigran dari Aljazair dan Maroko. Diresmikan pada 1926, dan menurut sejarah, masjid ini pernah digunakan untuk menyelamatkan orang-orang yahudi saat perang dunia kedua."
Ahmar terlihat begitu bersemangat menjawab pertanyaan Anna. Gesturnya sangat menyenangkan dan wajahnya terlihat berbinar seolah menikmati betul setiap bagian dari profesinya. Anna menyimak dengan seksama, ada yang menyusup diam-diam ke dalam hatinya. Rasa kagum, yang entah kenapa membuatnya berkali mengulum senyum.
Sebenarnya Anna masih ingin mendengar penjelasan Ahmarlebih banyak lagi, tapi rupanya teman yang lain telah menyelesaikan salatnya sehingga mereka harus kembali pada jadwal yang ada.
"Kalau Anna ingin dengar cerita lebih banyak lagi, nanti malam boleh hubungi saya. Saya akan ceritakan lebih banyak di lobi hotel." Ahmar menawarkan, seolah menangkap keingintahuan yang tergambar di wajah cantik Anna.
"Benarkah? Kau tidak keberatan?" tanya Anna sedikit tak yakin.
"Ya, tentu saja, tapi tolong ajak teman Anna yang perempuan ya," pesan Ahmar.
"Temanku? Maksudmu Mariam? Kamu naksir dia ya?" Anna sedikit heran.
"Naksir? Apa itu naksir?" Ahmar balik bertanya.
"Hahaha, forget it, Ahmar. Bukan apa-apa." Anna menjawab sambil tertawa.
"Kenapa harus mengajak Iam? Apa mungkin Ahmar menyukainya? Tapi kan mereka juga baru saja bertemu, bahkan mungkin Ahmar belum sempat berkenalan dengan Iam seperti ia berkenalan denganku tadi."
Hati Anna bertanya-tanya, dan lagi-lagi, ada yang menyusup diam-diam di sana. Kali ini sesuatu yang terasa celekit-celekit, nyeri.
***
Alhamdulillah, masih diberi kesempatan untuk menyapa teman-teman semua melalui rangkaian kata.
Berharap bisa memberi manfaat, meski mungkin tak sarat.
Semoga teman-teman semua selalu sehat dan semangat yaaa.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top