Selembar Rupiah
Aldo menyandarkan punggungnya di kursi ruang tengah indekos. Setelah menceritakan kembali apa yang dia lakukan dari pagi hingga sore di hadapan keempat sahabatnya, dia masih belum menemukan satu petunjuk pun untuk mengendus di mana keberadaan Albus saat ini. Padahal dia sudah berjanji saat melihat nomor seri Albus di ATM, kalau dia tidak akan menggunakan Albus untuk hal apa pun. Termasuk sebagai penambah jumlah nominal yang harus dia setor bersama Elang ke Bu Risma. Dia sudah ikhlas berpuasa, jika Bu Risma tidak memberikan penangguhan sampai minggu depan. Yang terpenting, Albus aman bersamanya. Namun, saat hendak membawa Albus ke tempat fotokopi untuk dilaminating, dia kehilangan Albus.
"Jatuh kali, Do ...."
Kepala Aldo menggeleng. "Enggak mungkin." Dia tidak sependapat dengan Ilham. "Albus aku masukin di kantong kanan. Dan aku enggak merogoh kantong kanan tadi."
"Yah ... siapa tahu aja. Kamu kan susah bedain mana kiri, mana kanan."
Aldo langsung menatap nyalang Raffa yang duduk di single sofa, sebelah kanannya. "Emang aku anak kecil!" sewotnya. "Ini kiri, ini kanan." Secara bergiliran, dia mengulurkan kedua tangannya. Dia memang kidal dan terkadang bingung, tapi bukan berarti dia buta nama sisi.
"Terbalik, Do." Elang yang duduk di sebelah Aldo berdiri, lalu mematok kaki di hadapan Aldo. "Ini tangan bagus." Dia menepuk pelan tangan yang pertama kali diulurkan Aldo. "Ini tangan buruk," lanjutnya, dan kembali duduk.
"Nah ... kamu menaruh Albus di mana? Di kantong baik atau di kantong buruk?" lham kembali bersuara.
Seketika Aldo menegakkan punggungnya. Tatapannya menangkap satu per satu wajah para sahabatnya. Dia memiringkan sedikit posisi duduknya ke arah Elang. "Jangan-jangan aku masukin Albus ke kantong buruk? Kamu tadi liat pas aku masukin Albus enggak, Lang?"
Elang menggeleng. Dia cuma mendengar Aldo yang berpamitan ke tempat fotokopi. Dia sedang sibuk mengurus kerjaan di depan laptopnya, saat--mungkin--Aldo tengah memasukkan Albus ke celana jin.
"Tadi sih aku juga masukin Fred, George, sama Ginny ke kantong buruk. Apa Albus terselip di sana, yah?" terka Aldo.
"Bisa jadi," sambar Elang. "Kamu tadi beli kue cucur, 'kan? Siapa tahu uang kamu itu jatuh waktu kamu ambil uang lain buat bayar cucur. Iya, enggak?" Dia meminta anggukan setuju dari empat orang yang lain, tapi orang yang pertama tampak setuju justru Aldo.
"Kalau kayak gitu mah susah. Ikhlasin aja, Do."
Lagi, Aldo menatap tajam Raffa. Semudah itu Raffa mengatakan kata ikhlas? Apa penuturannya kurang jelas? Padahal dia sudah memilah setiap kata yang diucapkan tadi untuk mempertegas kalau Albus adalah barang kesayangannya saat ini, dan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Hatinya bahkan lebih tidak karuan dibandingkan saat Vani memutuskan status dengan alasan bahwa dia terlalu baik untuk gadis itu.
"Biasa aja dong natapnya." Raffa mengulurkan tangan hendak mengusap wajah Aldo, tapi Aldo berhasil menghindar.
"Bener kata Raffa, Do. Handphone yang bisa dilacak siapa pemiliknya aja, jarang banget ada yang balikin. Apalagi duit ...."
"Pasti dianggap rezeki nomplok." Leo melengkapi ucapan Ilham yang langsung mendapat seruan setuju dari tiga sahabatnya.
Kepala Aldo menggeleng. Tidak mungkin Albus menghilang begitu saja. Kalau toh memang sudah dianggap rezeki mendadak bagi seseorang, sampai kiamat pun dia tidak akan mengikhlaskan Albus. Namun, bukankah semua belum pasti? Bisa saja sekarang Albus masih tergeletak di pinggir jalan, kehujanan.
Aldo tidak akan menyerah. Kalau hujan sudah mulai reda, dia akan menelusuri jalan yang tadi dilaluinya. Bila perlu, dia akan menggunakan lup milik Leo untuk bisa melihat dengan jelas, kalau-kalau Albus sudah kotor hingga menyerupai warna jalanan.
"Hujan begini, pasti bakal lama berhentinya."
Ucapan Elang merasuki alam sadar Aldo. Membuat cowok berkacamata itu sedikit tersentak ....
"Lagian jam malam berlaku, lho. Bu Risma bilang, 'jangan ada yang keluar kos pukul sepuluh malam, paham? Kalau ada yang keluar tanpa ada alasan masuk akal, saya keluarin!' Gitu."
Dan terpuruk dengan pernyataan Leo. Namun, ....
"Nanti disangka cari mangsa empuk di luar kalau keluar malam-malam."
Keberanian Aldo yang tadi sempat berkembang, menjadi ciut seketika. Ini semua karena salah satu teman indekos mereka yang pernah membawa masuk wanita tanpa izin Bu Risma. Jadi semua terkena imbas dengan diberlakukan jam malam dan peraturan yang melarang membawa wanita--kecuali keluarga kandung--jika tidak ada Bu Risma di indekos.
Aldo menyandarkan lagi punggungnya. Sebelah lengannya dia gunakan untuk menutupi matanya. Haruskah dia ikhlas? Enggak! batinnya. Dalam hati dia bersumpah, kalau Albus digunakan untuk bersenang-senang, maka pada hari Pengadilan, dia akan menagih. Lumayan untuk menambah timbangan amalnya yang kemungkinan besar masih ringan.
"Kamu lagi butuh banget, yah?"
Pertanyaan dari Ilham membuat Aldo kembali membuka matanya.
"Kita bisa patungan, kok. Walau belum ada transferan dari kantor," sahut Elang.
Aldo tersenyum. Mereka memang sahabat yang senasib sepenanggungan. "Albus enggak tergantikan. Sorry. Banyak makna yang terkandung dalam nomor seri Albus." Tatapan matanya menerawang ke jendela yang tertutup di belakang Raffa.
"Guys .... Dari tadi kita ngomongin Albus, tapi aku enggak tahu, Albus itu berapa duit, sih?"
Aldo langsung menoleh ke arah Leo yang menatapnya penuh dengan tanda tanya di atas kepala.
****
"Jalannya cepetan dikit dong! Udah mau azan, nih," ujar Raffa. "Leo, gandeng tuh si Aldo."
"Ogah. Nanti wudu-ku batal."
Aldo mendengus kesal. Jika bukan karena paksaan Elang, dia pasti masih dalam masa berkabung: tidur menghadap tembok dengan pikiran yang masih meratapi tragedi kehilangan Albus. Namun, apa yang tadi diucapkan Elang memang mengandung kebenaran. Dengan mengikuti jumatan, siapa tahu dia bisa mendapatkan Albus kembali. Bisa melihat lagi, tiga nomor seri yang menyerupai tanggal dan bulan lahirnya.
"Jalan udah kayak pengantin sunat. Cepet dikit, dong!"
Aldo melengos. Terlalu malas meladeni ucapan Raffa.
"Masih galau soal Albus, yah?"
"Iyalah." Yang menjawab pertanyaan Ilham malah Leo. Namun, Aldo tetap bungkam. Terkadang Leo dan dia memiliki koneksi pemikiran yang jitu. "Seratus ribu gitu, lho. Yang nemu untung banget, tuh."
Ralat. Leo enggak peka! Ini tuh bukan soal nominal, tapi nomor serinya si Albus! Aldo mempercepat langkahnya. Tidak ingin mendengar segala macam yang dapat memancing retak di hatinya bertambah parah. Juga tidak mengindahkan panggilan Elang; suara protes Raffa yang merasa dikhianati soal langkah; seruan Ilham yang memintanya untuk lebih rileks; terlebih ocehan Leo yang masih membahas Albus.
"Apaan sih!" Aldo menarik tangannya dengan kasar ketika ada yang mencekal lengannya. Dia sudah menaiki dua anak tangga jembatan penyeberangan dan langsung membalikkan tubuh, siap menyemprot si Pelaku. Namun, prediksi kilatnya salah. Yang menahan lengannya bukan salah satu sahabatnya, tapi seorang pria tua dengan mata yang tertutup di sebelah kiri.
"Maaf, Mas."
"Kenapa, Do?" tanya Raffa dari belakang tubuh si Bapak.
Aldo juga tidak tahu ada apa, tapi ... sepertinya dia pernah melihat si Bapak. Namun, dia lupa di mana pernah bertemu dengan si Bapak.
"Ah, saya Ipul." Si Bapak mengangguk saat menatap para sahabat Aldo dan menancapkan pandang pada wajah Aldo. "Saya yang jual kue cucur yang kemarin Mas beli."
"Ah ... iya, iya. Kenapa, Pak?"
Pak Ipul merogoh saku kemeja usangnya. Mengeluarkan selembar uang dengan gambar Soekaeno-Hatta, kemudian menarik tangan kanan Aldo dan meletakkan uang itu di telapak tangan Aldo.
"Kemarin saya nemu ini. Sebelum Mas beli kue saya, uang ini enggak ada. Tapi pas Mas pergi, saya lihat uang ini," jelas Pak Ipul.
Aldo masih terpaku menatap wajah tua Pak Ipul. "Kenapa enggak Bapak ambil?" Oke, dia tidak bisa menahan lidahnya untuk bertanya tentang hal itu.
"Kalau saya yang ketemu, udah saya pake buat beli paketan data, Pak."
Aldo menatap tajam Leo dan langsung mendekap Albus. Takut kalau ada angin yang berhembus dan si Albus jatuh lagi, Leo akan mendeklarasikan bahwa Albus sebagai rezeki nomplok.
"Saya enggak berani. Dulu pernah seperti itu, tapi imbasnya di dagangan saya. Seharian enggak laku kayak kemarin. Lagian, saya udah bersyukur banget. Kalau bukan karena Mas ini yang borong kue saya, mungkin saya enggak bisa ngutang di warung lagi."
Ada rasa hangat yang menyelubungi hati Aldo. Padahal kemarin dia sedikit menyesal karena sudah membeli kue cucur Pak Ipul. Sudah dingin, sedikit keras pula. Namun, mulai hari ini dia bersedia menjadi langganan tetap Pak Ipul.
"Bapak biasa mangkal di situ?" Aldo melirik sekilas gerobak kue cucur Pak Ipul yang berada di samping tangga penyeberangan.
"Iya, Mas. Kadang keliling juga. Nih, abis pada bubar jumatan mau keliling."
Aldo menatap Albus. Nomor seri Albus tepat berada di atas lipatan. Dia membuang napas dengan pelan dan menatap wajah Pak Ipul. Tangan kirinya meraih tangan kanan Pak Ipul dan menaruh uang itu di telapak tangan Pak Ipul.
"Tunggu saya habis jumatan, Pak. Tolong siapin kue cucurnya dulu. Saya beli seratus ribu."
Aldo melihat Elang tersenyum dan mengangguk. Teman sekamarnya itu lantas merangkul Leo yang langsung mengeluarkan desah kekecewaan dan berjalan lebih dulu, Ilham menepuk bahunya saat berjalan melewatinya lengkap dengan ujung bibir yang ditarik ke atas, dan Raffa sempat membisikkan kata, "Good job." Saat menyusul Ilham.
"Beneran, Mas?"
Aldo mengangguk.
"Tapi mungkin nanti agak lama. Belum saya masak adonannya. Soalnya saya juga jumatan dulu."
"Enggak apa-apa, Pak. Tapi ... kalau Bapak jumatan yang jagain gerobak Bapak siapa?"
"Oh itu .... Saya udah nitip ke tukang gorengan."
Aldo mengangguk sopan saat matanya menatap tukang gorengan yang ditunjuk Pak Ipul. "Mari, Pak." Dia mempersilakan Pak Ipul untuk melangkah terlebih dahulu.
Aldo dan Pak Ipul mulai menaiki tangga secara beriringan. Banyak yang terlontar dari mulut keduanya saat perjalanan ke masjid. Aldo melirik sekilas saku kemeja Pak Ipul yang di dalamnya terdapat Albus. Yah, Albus. Uang seratus ribu yang semalam sudah membuat dia uring-uringan, tapi digunakan untuk membeli kue cucur dari penjual jujur.
Tidak. Aldo tidak menyesal. Kali ini dia memang kehilangan Albus. Namun, dia yakin akan segera menemukan Albus yang lain, yang memiliki nomor seri cantik, sehingga pantas untuk dilaminating. Jika hari itu tiba, Aldo akan menjaga Albus dengan hati-hati.
Tamat.
Hannanissa ini karya saya 😅😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top