[2] - Something Unknown

HANA pernah bilang bahwa dunia ini tak seluas otakku yang sempit. Sebenarnya, itu hanyalah perumpamaan yang kubelokkan untuk lelucon saja.

Karena yang sesungguhnya Hana katakan adalah, bahwa dunia ini terbagi atas banyak dimensi. Tersusun sedemikian rupa di semesta yang tak terjangkau umat manusia. Setiap dimensi saling bersinggungan dan terhubung satu sama lain. Dan, hanya dipisahkan oleh pembatas yang disebut tabir. Ingat, bukan tabir surya.

Tetapi, itu hanyalah teori tak masuk logika yang tercipta dari pemikiran absurd Hana. Entah apa saja pemikiran aneh yang tersembunyi di balik tempurung kepalanya itu (sepertinya itu karena faktor terlalu banyak membaca novel-novel fantasi favoritnya). Yang jelas, aku cukup tahu dan sadar bahwa hal-hal yang berkaitan dengan dimensi lain hanyalah bualan semata.

Memang, awalnya aku selalu berharap dapat memasuki dunia lain di mana aku dapat dengan bebas berekspresi. Maksudku, bebas secara harfiah. Di mana kau dapat menjadi apa pun yang kau mau. Yah, seperti burung yang terbang melesat tinggi di angkasa dengan percaya diri, lantas melebarkan sayap sesuai kehendakmu dan menunjukkannya pada dunia dengan segala keberanian yang kau punya.

Benar, seperti itu.

Sungguh, betapa indahnya jika itu memang benar terjadi.

Namun, aku adalah orang yang logis. Meski hobi menghalu, aku tetap mengenal batas dan tak berlebihan dalam berkhayal. Takutnya, kau akan jatuh menghantam kerak bumi setelah terbang setinggi angkasa lantaran mendengar kalimat, 'husbumu gak nyata'. Sakit, Bung! Siapa pun pasti potek hatinya saat mendengar kalimat sakral itu. Maka, baiknya kalian batasi kadar menghalu kalian agar tak tertusuk miliaran panah realita.

Nah, hal itu pun berlaku dengan keadaanku saat ini.

Jadi, saat aku membuka mata dan samar-samar mendapati atap kayu yang usang, maka dengan segera aku menganggap bahwa semua ini hanyalah delusi dalam tidur nyenyakku. Oyasuminasai.

Pats!

Mataku kembali terbuka lebar.

Seharusnya, aku sudah tidur nyenyak andai aku dapat mengabaikan keadaan yang janggal ini.

Pasalnya, bagaimana bisa hal yang pertama kali kulihat ialah jejeran papan kayu berdebu penuh sarang laba-laba dengan lampu kuno rusak yang menggantung tak berdaya di atas sana? Awalnya pandanganku memang buram dan aku yakin tubuhku kehilangan daya geraknya saat ini. Tapi lambat laun kesadaran mulai mengambil alih diriku yang teronggok lemah di atas lantai—aku tak yakin apakah itu memang lantai atau bukan karena ini sangat berdebu hingga membuatku sempat berpikir bahwa itu adalah tanah.

Kebingungan pun merajalela diriku seketika. Seharusnya aku terbangun di rumah sakit dengan segala bau obat-obatan dan alat medisnya andai aku selamat dari kecelakaan yang mengundang maut itu.

Tapi, tunggu dulu ... siapa juga yang akan tetap selamat setelah mengalami kecelakaan pesawat yang mengerikan itu? Yah, kecuali jika ada makhluk semacam Saitomo*, Mas Fajar* dan sebangsanya, aku yakin mereka akan selamat.

Jadi ... bisa saja aku telah mati dan ini hanyalah ilusi yang tercipta di antara kondisi hidup dan matiku. Ah, atau mungkin barangkali aku selamat dan ditemukan tak sadarkan diri oleh seseorang? Berbagai asumsi dan pemikiran rumit memenuhi isi pikiranku yang jelas tak akan berguna sama sekali di kondisiku yang tengah kacau. Benar, mana mungkin seseorang dapat berpikir jernih di situasi super janggal ini.

Ada baiknya saat ini aku mencari informasi terlebih dahulu. Ya, itu dia. Informasi selalu menjadi hal penting dan utama dalam setiap keadaan.

Lantas, netraku pun mengedar ke sekeliling dengan teliti bak mesin scanner. Tapi, ugh! Pandanganku remang-remang karena tak ada cahaya yang menyorot di sini. Bahkan aku tak yakin dapat menemukan ventilasi udara maupun jendela karena udara disini terasa sangat pengap. Hanya satu praduga saja yang berhasil kuketahui setelah cukup lama berjibaku dengan lingkungan sekitar; sepertinya aku tengah berada di sebuah gudang tua yang telah bobrok di sana-sini. Mungkin.

Bagaimana bisa aku berada di sini?

Mengabaikan berbagai pertanyaan yang mencoba mengacaukan isi pikiranku, perlahan aku mulai menggerakkan anggota tubuhku dengan sisa energi yang kupunya. Entah ke mana pula minggatnya sebagian energiku yang lain. Mungkin terkuras habis ketika aku tengah sekarat.

Posisi duduk berhasil kulakukan dengan susah payah, dan hal yang selanjutnya terjadi sungguh membuatku tercengang. Aku memekik tertahan kala melihat kimono putih acak-acakan penuh noda darah membalut tubuhku. Luka memar dan cakaran yang tampak tak wajar memenuhi tangan dan kakiku yang terlihat menyusut.

Saat ini, aku masih berusaha berpikir positif dan tak memikirkan skenario terburuk. Tapi, tulangku yang terasa remuk hanya untuk duduk saja membuatku tak bisa tenang. Bahkan suaraku tak mau keluar disertai kerongkongan yang terasa sangat kering. Sekarang aku curiga bahwa pita suaraku putus dan melorot ke organ tubuh lain—seperti ginjal atau lambung, barangkali.

Aih, aku bergidik ngeri membayangkannya.

Jadi, mungkinkah dugaan bahwa aku selamat memang benar?

Bisa saja aku mempercayai asumsi yang satu itu. Namun, tidak, jika melihat keanehan pada ukuran tubuhku. Tidak mungkin aku mengalami kekurangan gizi secara tiba-tiba. Lihatlah tangan dan kaki mungilku yang dipenuhi luka!

Belum sempat otakku mencerna situasi, sekelebat ingatan asing menyosor seenak jidat ke kepalaku. Jumlah informasi yang meluap itu tak mampu ditampung otakku sehingga pekikan tertahan keluar mewakili rasa sakit yang kurasakan.

Rasanya kepalaku mau meledak!

Aku melakukan segala upaya untuk dapat menghentikan rasa sakit di kepalaku meski dengan hasil sia-sia (seperti meremas kepala kuat-kuat meski tanganku pegal luar biasa, memijat kening dan lain sebagainya).

Sekian waktu berlalu, lambat laun aku mulai dapat beradaptasi dengan rasa sakit pun perlahan itu semakin berkurang sehingga aku dapat menghela napas lega kala kepalaku kembali normal dan aku masih baik-baik saja—sepertinya.

Tapi, tampaknya Dewi Fortuna membenciku. Belum sempat merayakan keadaanku yang kembali baik-baik saja, geraman menakutkan terdengar samar-samar entah dari mana. Suaranya tak pernah jelas di telinga sehingga mungkin saja aku salah mendengar.

Namun, suasana yang berubah mencekam seketika bukanlah hal normal sehingga aku dapat mengerti bahwa ini ... situasi bahaya. Jelas, insting bertahan hidupku masih berfungsi dengan baik sehingga dengan cepat aku berdiri meski tertatih-tatih-—abaikan rasa sakit yang merajalela itu.

Tepat setelah aku berdiri, bayangan sesuatu muncul dari kegelapan. Itu ... aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas itu makhluk yang sangat aneh sekaligus mengerikan. Saraf sensorikku bergidik tegang. Dadaku berdegup kencang tanpa bisa di cegah. Dan aku yakin bahwa tubuhku tengah gemetar akan ancaman di depan mata.

Itu monster yang mengerikan.

"Ah-aa, a ... aaarrhh ... dd-d ... da-rah ...!"

Mataku melebar seketika kala monster itu menyergap dengan cepat dari depan, sontak aku melompat ke sisi kiri dan berguling-guling sebelum kemudian punggungku menghantam dinding kayu hingga menyebabkan bunyi berdebum yang cukup keras.

Sial, ini sangat sakit! Rasanya aku lebih baik mati saja dibanding menahan rasa sakit bertubi-tubi ini!

Tapi, ketika kulihat lagi monster yang mendekat, aku sangat sadar bahwa aku ... belum siap menjemput ajal.

Aku segera bangkit tanpa bisa mengeluh lebih lama karena ini adalah situasi hidup dan mati! Sebisa mungkin aku harus bertahan dengan kekuatanku sendiri. Karena saat ini ... aku yakin tak akan ada siapa pun yang datang dan memberikan pertolongan bak seorang pahlawan kepadaku.

Monster itu kembali melancarkan aksinya untuk melahapku—sepertinya memang itulah niat makhluk busuk ini—sehingga dengan refleks aku kembali melompat ke samping dan mencari apapun yang berguna untuk melukai makhluk itu.

Di waktu yang sangat singkat itu, hanya pipa besi kurus dimana ujungnya cukup tajam yang kutemukan tergeletak tak berdaya di pojok ruangan. Sial! Mengapa jaraknya sangat jauh?!

Segera aku memutar ide untuk dapat meraih pipa itu, dan, bingo! Sudah kuduga ini gudang karena terdapat banyak peti kayu bejejer acak di sana-sini. Maka ketika monster aneh itu berusaha mengejarku, aku mengelabuinya dengan bersembunyi di balik tumpukan peti kayu dan menunggu timing yang tepat. Ketika kulihat monster yang berlari mendekati peti kayu, aku segera melompat keluar dari sisi yang lain dan berlari secepat mungkin menuju pojok ruangan dan mengambil pipa besi incaranku.

Brakkk!

Nice! Itu mengenai kepalanya dengan tepat sasaran! Beruntung aku dapat memastikan waktunya dengan pas. Benar, sebelum berlari keluar aku terlebih dahulu sedikit menggeser peti kayu yang bertumpuk di atas agar kehilangan tumpuannya menjadi tak seimbang dan roboh tepat di saat monster itu mendekat.

Sekarang, monster menjijikkan itu tengah terjebak di antara gunung peti kayu dengan menyedihkan sambil meronta-ronta.

Tak menyia-nyiakan kesempatan aku melesat dan menusuk kepalanya—aku tak yakin apakah itu benar kepala atau bukan—dengan sisi tajam pipa.

Crash!

Cairan ungu menodai pakaian dan wajahku tapi monster itu masih hidup.

Artinya, ini masih belum cukup.

Berkali-kali aku menusuk si monster tanpa henti.

Belum cukup.

Amarah memuncak.

Aku berganti dengan memukul segala sisi tubuh menjijikkan monster itu. Mengakibatkan lebih banyak cairan ungu merembes keluar.

Masih belum.

Hancurkan monster itu!

Masih, ini masih belum cukup.

Habisi. Lenyapkan. Bunuh.

Sekarang, ayo berikan penyiksaan terbaik sebelum menghabisinya.

"MA ... MATI KAU ...!!!!!" seruku lantang mengabaikan rasa perih di tenggorokan.

CRASHHH!!!

"Rra-aahh ... ahhh-argggghhhhh!!!!!" Monster itu berteriak pilu tapi aku sama sekali tak peduli.

Lantas, si monster mati.

Aku mengusap pipiku yang ternoda cairan ungu menjijikkan itu dengan punggung tanganku. Tatapanku kosong. Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat ke atas. Ini luar biasa. Belum pernah aku merasakan sensasi seperti ini. Menarik. Sangat menarik!

Mulutku terbuka, lantas tersenyum lebar hingga mataku menyipit.

"Aha, haha, ahahahahahaha!!!" Aku tertawa gila meski di tengah serak dan parau.

Sungguh, ternyata seperti inilah rasanya membunuh.

Sangat menyenangkan.

Haruskah kulakukan lagi?

***

sɪsɪ ʏᴀɴɢ ʟᴀɪɴ ᴛᴇʟᴀʜ ʜᴀᴅɪʀ ᴅᴀʟᴀᴍ ᴊɪᴡᴀɴʏᴀ

— つづく —

[Notes]

*Saitomo : Nama samaran dari Saitama, tokoh utama di anime One Punch Man.

*Mas Fajar : Nama julukan lokal untuk karakter Gojo Satoru.

[A/N]

Kian tremor plus deg-degan saat nulis scene pembantaiannya, Bung!

Haha, kayaknya karena terlalu semangat nulis adegan gore (meski cuma sedikit) /peace(• v •)v

Salam hangat,
Kianana15

14 - 09 - 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top