[1] - Unexpected
- Play the song above on loop -
┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄
01:25 ━━━〇━━━━━━━━━ 04:25
| ⇄ ◁◁ ❚❚ ▷▷ ↻ |
[心海_Eve]
┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄
┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄┅┄
•─⸙─•
INI melegakan. Mengingat aku mengubur harapanku selama ini. Rasanya aku telah terbebas dari kurungan lara.
Setidaknya, untuk saat ini.
Ah, meski pertanyaan di hatiku masih belum terjawab hingga kini. Karena itu aku tak bisa berhenti di tengah jalan.
Jika menyerah begitu saja di sini pasti aku takkan pernah mengetahui rasa dari air mata. Jadi, mari tersenyum dan tertawakan benang takdir.
***
Sungguh, belum pernah aku sebahagia ini selama hidupku. Karena, akhirnya aku bisa terbebas dari jeratan rumah tempatku tinggal. Maksudku adalah, aku senang karena akhirnya dapat meninggalkan rumah.
Yeah, kau tak salah baca. Tapi jika kau masih ragu, maka kutegaskan sekali lagi; Aku. Senang. Meninggalkan. Rumah.
Alasanya sederhana. Bagiku, rumah itu bukanlah tempat dimana kau dapat rebahan dengan santai maupun tempat dimana kau bisa beristirahat dan berteduh dari panas dan hujan. Bukan sama sekali. Rumah versiku ialah; tempat suram, menjengkelkan, menyedihkan dan ya, memuakkan.
Sebenarnya, masih banyak yang ingin kukatakan tentang rumahku—lebih tepatnya, penghuni di dalam rumah itu. Tapi kupikir itu bukan ide bagus karena aku bisa saja menyebutkan seribu satu alasan dalam satu waktu. Dan itu tidak baik karena bisa membuat narasi lebih panjang yang berujung membosankan (tapi, serius, aku berkata demikian bukan untuk menambah jumlah kata agar terlihat lebih banyak).
Lantas, mengapa aku bisa meninggalkan rumah menyebalkan ini? Bukan karena aku ditendang dari rumah. Melainkan sesuatu yang lebih hebat.
Yah, faktanya, aku terpilih sebagai siswi yang mewakili sekolah untuk melakukan pertukaran pelajar. Sungguh, betapa hebatnya aku dapat bersaing—bahkan melampaui—sekian siswa-siswi lain yang juga berotak encer (ingat, bukan bubur otak yang kumaksud disini).
Ah, maksudku, 'siswa-siswi lain yang memiliki otak tak lebih encer dariku'. Jangan menghujat, karena memuji diri sendiri itu penting. Cintailah dirimu sebelum mencintai orang lain, adalah mottoku. Meski sangat sulit untuk melakukannya.
Oh, aku hampir lupa. Apa aku sudah mengatakan bahwa aku akan pergi ke negara Jepang untuk pertukaran pelajar? Ya! Itu Jepang, Bung! Negara impian para wibu. Hahaha. Emm, aku mengaku bahwa aku memang menyukai anime dan semacamnya. Tapi bukan berarti aku seorang wibu. Catat itu.
Kesampingkan hal itu, kini yang lebih penting ialah; berkemas dan rapikan penampilan untuk hengkang dari rumah sialan ini.
Setelah memastikan setiap barang yang akan kubawa telah lengkap, aku memakai sepatu dan mengikat talinya erat. Baik, mari kita berangkat ke Negeri Sakura, Kawan! Oh, mungkinkah ini saat yang tepat untuk mengucapkan sayonara? Yah, terserah. Mari berteriak sepuasnya karena tak akan ada yang mengharapkan aku kembali.
Aku menatap bangunan suram yang menjadi tempatku tinggal selama ini dengan intens. Lantas, kuangkat tanganku tinggi-tinggi seraya mengambil ancang-ancang, dan ... "SA-YO-NA-RA~! DASAR SIALAN!!!" seruku heboh hingga menerbangkan beberapa ekor burung dari sarangnya.
Beruntung, penghuni rumah itu telah minggat entah kemana sejak tengah malam sehingga aku bisa bertindak bebas sesuka hatiku.
Yah, mengucapkan selamat tinggal memanglah epik, tapi tidakkah aku melupakan sesuatu? Ah, aku pasti lupa bahwa aku hanya akan pergi sementara dan dalam batas waktu tertentu.
Aih, merepotkan.
Seraya menyeret koper besar bermotif garis-garis, aku terus menggerutu tentang kebodohanku melupakan hal penting saking senangnya—bahwa aku hanya pergi dari rumah selama beberapa bulan saja. Yah, sejujurnya aku berharap dapat pergi selamanya.
Huft, aku menghela napas lelah. Baik, mari terus berjalan karena ada seseorang yang menungguku di halte bus sana.
Omong-omong ini masih pagi dan hujan rintik-rintik masih turun sejak matahari belum muncul. Itu pun disertai dengan tiupan angin sepoi-sepoi hingga membuat suhu cukup menurun. Namun, udaranya terasa sejuk dan menenangkan pikiran absurd-ku. Ah, iya, ada juga kebisingan menyebalkan yang terdengar di pagi hari ini. Itu sahabatku, dia terus mengoceh ini-itu sambil melipat tangan di depan dada sejak aku tiba di halte bus. Katanya aku lamban.
Aku mendengus sebal. Dia terus mengoceh hal yang sama dari tadi. "Hei, katakan itu pada dirimu sendiri! Salah siapa aku bangun kesiangan?!"
Temanku; Hana Harjiman terdiam sejenak. Bagus! Sepertinya dia merasa bersalah saat ini. Tapi, tak seperti yang kuduga, detik selanjutnya ia malah tertawa terbahak-bahak entah karena apa. Menyebalkan sekali memang.
Aku memasang ekspresi heran, entah kerasukan setan mana dia hingga tertawa seperti itu. Berikutnya, ia malah berkata dengan wajah tak berdosanya. "Siapa pula yang menelponku larut malam hanya untuk berkata bahwa dia sedang gugup? Haha, siapa, ya?" ejeknya disertai cengiran kuda. Dia pasti tengah menyindirku. Dasar teman biadab!
Sambil menatapnya sebal, aku menghentakkan kaki dengan gaya angkuh yang dibuat-buat. "Oh, dan siapa pula yang bercerita tentang husbu baru hingga melupakan waktu? Bahkan, membuatku bergadang semalaman," balasku tak mau kalah.
Hana sontak tertawa sekali lagi.
Hei, apa yang dia tertawakan? "Memang, ya, Nona Wibu satu ini sangat mudah marah. Nanti kau ubanan dan cepat tua, lho. Masa nanti kau kupanggil nenek, sih?" Ia mencolek-colek pipiku dengan tengil. "Lagipula aku, kan, hanya bercanda. Maaf, deh, ya ... Ojou-chan~ ehehehe."
Mulut tukang roasting memang beda! Rasanya ingin kutendang saja ginjalnya hingga ke Hongkong! (Jangan tanya mengapa aku menyebut nama negara itu, karena itu hanya spontanitas!).
Dan, aku yang menjadi lawan bicara Hana hanya terdiam sambil menggerutu dalam hati. Sabar, orang sabar disayang husbu—maksudnya Tuhan.
Kulihat, Hana hanya memasang tampang menyebalkan disertai cengiran yang tak kalah menyebalkannya. Sungguh, sebenarnya mengapa aku dianugerahi makhluk—yang naik derajat jadi teman dan merangkap menjadi sahabat—super konyol ini. Aku mengelus dada secara dramatis saat memikirkannya.
Meski diam-diam aku tersenyum kecil. Sangat samar hingga mikroskop pun tak bisa melihatnya—bercanda. Setidaknya, dibalik kelakukan anehnya, aku bersyukur mendapat seorang Hana Harjiman dalam hidupku. Abaikan tingkah konyolnya itu. Karena sesungguhnya, ia adalah orang yang telah mendorongku terus maju ke depan dan selalu siap sedia mendukungku setiap saat.
Tapi itu bukan berarti jika dia adalah orang berharga bagiku! Ingat itu.
Hm, yah, mungkin sedikit berharga. HANYA SEDIKIT!
***
Srash!
Dersik angin mengalun indah bagai rayuan alam di telinga. Cuaca masih mendung tanpa kehadiran sang surya yang bersembunyi di balik gumpalan awan. Tetesan hujan masih turun dengan lembut sehingga aku yakin suasana saat ini sangat mendukung orang-orang untuk tetap berdiam diri di rumahnya. Akibatnya, jalanan yang basah kini lengang tanpa kebisingan lalu lintas.
Aku mengetatkan mantel coat coklat milikku untuk memblokir rasa dingin. Udara saat ini cukup rendah sehingga orang yang tak terbiasa dengan dingin pasti akan menggigil kedinginan dan memilih menggulung diri di bawah selimut. Lebih nyaman lagi, kalau sambil rebahan, menonton film favorit dan ditemani secangkir teh hangat. Itu pasti sangat nikmat.
Tapi tak ada kenikmatan semacam itu di rumahku. Yang ada hanya kesuraman yang tak berujung.
Kulirik ke samping, tampak Hana tengah menatap langit sambil menikmati simfoni alam. Oh, benar, ia sangat menyukai hujan—sama sepertiku. Bedanya, Hana membenci hujan jika diiringi guntur dan petir. Berbanding terbalik denganku yang menyukai segala jenis hujan.
Meski itu dulu sekali. Sampai sebuah kejadian tak terduga menimpaku seorang diri. Hingga membuatku tenggelam dalam jurang sepi. Aish, puitis sekali.
Ah, lupakan. Lupakan segala kenangan penuh lara itu.
Sekarang aku lebih khawatir akan terlambat menaiki pesawat karena tak ada tanda-tanda bus yang akan datang. Benar, sejak tadi aku—ditambah Hana—tengah menunggu kedatangan bus untuk mengantar kami menuju bandara.
"Hei, sepertinya busnya akan datang terlambat. Sebaiknya kita panggil taksi saja." Hana menepuk bahuku dengan ekspresi yang ... entahlah. Mungkin ia menangkap keresahanku tentang terlambat menaiki pesawat. Atau mungkin tidak. Hana terlihat khawatir—mungkin—tentang hal lain.
Aku mengangguk menyetujui. Itu usul yang bagus. "Kau benar. Sepertinya supir bus sekalipun malas berkeliaran di bawah cuaca sedingin ini."
Hana tersenyum menanggapi. Ia berkacak pinggang sambil berkata, "Yah, lagipula aku tidak ingin teman terbaikku terlambat ke bandara hanya karena hujan."
Aku tersenyum mendengarnya.
***
Kami telah sampai di bandara satu jam kemudian. Cukup lama mengingat jarak tempuh yang cukup jauh serta faktor penghambat lainnya. Baiklah, mari berharap aku tidak ketinggalan pesawat.
Hana mengajakku menuju tempat tunggu bandara di sebelah barat. Ternyata di sana ada guru pembimbingku yang telah menunggu kedatangan kami—lebih tepatnya aku.
"Ah, kau sudah datang, Nak," ucapnya lega.
Pak Helmi namanya. Ia guru hebat yang sangat sabar membimbingku banyak hal selama ini. Ah, bukan hanya itu. Bagiku, Pak Helmi adalah guru yang sangat berharga karena telah ikut membantuku bangkit dari keterpurukan. Sama seperti Hana, beliau adalah orang hebat khusus bagiku. Ia juga membantuku mempersiapkan acara pertukaran pelajar ini. Tentu dengan dibantu oleh Hana juga.
Setelah memberi salam diikuti Hana aku bertanya padanya dengan khawatir. "Pak, sebelumnya saya minta maaf atas keterlambatan saya. Tapi, apakah pesawatnya telah berangkat?"
Pak Helmi tersenyum teduh. "Tidak. Beruntung penerbangannya ditunda selama satu jam karena cuaca buruk." Ia pun menatap jam tangan kusam di tangannya. "Mungkin sebentar lagi akan ada pemberitahuan."
Tepat seperti perkataan beliau, pemberitahuan bahwa pesawat yang akan kunaiki akan segera berangkat terdengar nyaring dari pengeras suara. Segera saja aku bergegas diikuti Hana dan guruku.
Setelah melewati beberapa proses seperti check-in dan lain-lain, aku telah siap untuk beranjak pergi ke Negeri Matahari Terbit itu. Sebelum itu, aku terlebih dahulu berpamitan dengan Hana dan guruku. Kami saling berbagi pesan dengan sedikit tetesan air mata dari sohibku. Haha, sejak kapan dia jadi cengeng? Menyebalkan, bisa-bisa aku ikut menangis juga nanti.
Tak ada keluarga maupun saudara yang mengantar kepergianku. Tak apa. Karena meski begitu, aku senang hanya dengan kehadiran Hana dan guruku. Karena sesungguhnya mereka telah kuanggap sebagai keluargaku sendiri.
Melambai-lambai tanganku tanpa henti bahkan setelah aku memasuki pesawat. Dari balik kaca jendela pesawat, dwi manikku melihat sahabat dan guruku dari kejauhan yang masih melambaikan tangan. Itu mengantarkan perasaan hangat yang menenangkan.
Aku menatap lurus ke arah langit kelabu yang mulai diterobos sinar mentari. Memperlihatkan pemandangan indah dari sorotan cahaya jingga kekuningan.
Dan, kemudian, pesawat lepas landas.
Baiklah, mari berjuang!
Aku menyemangati diri sendiri tanpa tahu apa yang akan menimpaku nanti.
Memang, semuanya berjalan lancar pada awalnya. Hingga kejadian tak terduga datang.
Pesawat bergetar hebat, para penumpang panik dan berteriak histeris. Asap membumbung pekat di dalam kabin dan kulihat api berkobar dari sisi sayap kiri pesawat. Itu cukup dekat dengan tempatku duduk. Aku sangat sadar apa yang sedang terjadi saat ini. Panik tak akan menyelesaikan masalah dan tenang dalam diam pun tak akan membantu. Lantas, apa yang harus kulakukan?
Mungkin, pasrah akan keadaan lebih baik. Lagipula, terkadang aku memang berharap cepat mati. Haha, konyol sekali.
Namun, baru saja aku memikirkan tentang kematian, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Sebuah cahaya menyilaukan tiba-tiba muncul dan membutakan pandanganku. Telingaku berdenging tak keruan dan aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya selain pemandangan di sekitarku yang berubah menjadi serba putih.
Tubuhku pun mati rasa.
[BREAKING NEWS! ... terjadi kecelakaan pesawat xxxxx di sekitar wilayah xxxxxxx. Korban yang selamat masih belum ditemukan. Ratusan penumpang tewas dan masih belum dapat diidentifikasi. Sisanya, korban hilang dengan jumlah xx ... tim pencari beserta petugas gabungan masih ... xxx ....]
—biip!
Seulas senyuman tersungging janggal di antara pekatnya kegelapan. Kekehan mengerikan terdengar sesaat kemudian. Lalu, suaranya mengudara dengan bebas memecah keheningan.
***
❝ ᴘᴀɴɢɢᴜɴɢ ᴋᴇᴋᴇᴊᴀᴍᴀɴ ᴛᴀᴋᴅɪʀ ᴛᴇʟᴀʜ ᴅɪᴍᴜʟᴀɪ ❞
— つづく —
[A/N]
Heyoooo, selamat datang di fanfic KianXD
Hehe, sebelumnya, pertama-tama dan paling utama Kian ucapkan banyak terimakasih kepada sohib Kian yaitu ... aomashi, yeeee!
Karena dia adalah orang yang telah banyak mendukung dan memberi Kian banyak motivasi, hehe.
And, ya, dia adalah partner in crime Kian, gesss! Sama-sama bobrok bin sengklek, wkwk:v /abaikan
Jadi, secara ekslusif Kian dedikasikan chapter ini untuk bestie Kian itu /ekhem.
Aiyaaa, Kian juga ucapkan banyak terimakasih kepada para readers yang telah mampir dan baca cerita abal-abal Kian ini.
Makasih bangettt, yaaa!
So, jangan lupa untuk selalu mengingatkan Kian apabila ada salah pengetikan baik dalam KBBI maupun PUEBI-nya, ya!
Terakhir, yok, dukung Kian terus biar makin semangat updateXD
Hehehe.
Jadi,
Sekian and see you!!!
Salam hangat,
Kianana15
14 - 09 - 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top