Sampai Mati Kucintai
Dealova meremas erat handphone di tangannya. Sebuah komentar di media sosial terpajang, kalimat singkat yang menjadi penyebab giginya menggerutuk.
"Terlalu kurus itu juga ga sehat."
"Tahu apa dia tentang sehat?" gumamnya. "Kamu saja gemuk tak terurus."
Ia berdiri, berjalan menuju cermin setinggi ukuran tubuhnya. "Lihat aku, tidak ada yang salah. Semua sempurna. Bilang saja kalau kalian tak bisa mencapai tubuh ideal sepertiku."
Belakangan ini suasana hatinya sering kali memburuk karena banyak orang yang iri dan suka mengomentari segala hal tentangnya.
"Memang, ya. Semakin tinggi pohon, makin kencang juga angin yang menerpa." Ia mengulas gincu merah di bibirnya yang penuh, lalu menyunggingkan senyum dengan dagu terangkat.
Dealova meraih kunci mobil dan bergegas ke kampus, meskipun hari minggu, tapi ada satu matakuliah pengganti yang harus ia hadiri.
Jarak dari tempat kos ke kampusnya tidak begitu jauh, hanya perlu 15 menit perjalanan mengunakan kendaraan. Namun, anehnya sudah setengah jam berlalu ia tak kunjung sampai padahal melalui jalur yang sama dan tidak macet sedikit pun.
Matanya melirik jam tangan, dia sudah terlambat. "Aneh."
Mobilnya menepi dan berhenti. Ia mengirimkan pesan pada temannya, meminta untuk titip presensi. Akan tetapi, balasan yang ia dapat malah emoticon tertawa dan kalimat aneh.
"Apa sih, De."
Alisnya yang digambar simetris dan rapi itu nyaris bertaut. Ia mendecak sekali, lalu melanjutkan perjalanan. Syukurnya 5 menit kemudian akhirnya sampai di parkiran gedung fakultasnya.
Dealova bergegas menuju kelas. Ia mengintip dari balik jendela, mengamati situasi kelas yang cukup hening.
"Ah, sial. Kayaknya aku sendiri yang telat," gumamnya. Ia hendak beranjak untuk menuju pintu, tetapi terhenti kala matanya menangkap sosok yang begitu familier.
Ada seorang gadis yang duduk di samping teman dekatnya, Denis. Hal paling menarik perhatiannya adalah, gadis itu sangat mirip dengannya. Bahkan pakaian yang mereka kenakan saat ini sama.
"Dia ... aku?"
Dealova mengurungkan niat untuk masuk. Ia memilih duduk di taman samping fakultas sambil menunggu kelas usai. Tangannya sibuk dengan handphone, mengirim pesan singkat pada Denis.
"Kamu tau sekarang aku ada di mana?" ketiknya.
Tidak lama, datang balasan dari Denis, "Di sampingku, di mana lagi? Mending ngomong langsung, ngapain lewat chatt gini."
"Apa-apaan ini!" Dealova menggigit bibir bawahnya, ia harus memastikan siapa gadis yang sangat mirip dengannya itu.
Setelah matakuliahnya selesai, ia bergegas kembali ke kelas untuk bertemu gadis itu. Langkahnya terhenti saat mereka berhadapan langsung.
"Mirip banget," gumamnya ketika mereka sudah berdiri berhadapan.
"Hai, Dea." Gadis itu menyapa dan tersenyum. Akan tetapi, begitu Denis jalan mendekat, tangannya ditarik, bergegas menjauh menuju parkiran.
"Kamu siapa, hah? Kenapa kita mirip banget?" tanya Dealova, sedikit panik.
"Aku adalah kamu," jawab gadis itu tanpa menoleh. "Dealova Anggriani."
"Ga. Lepas!" Dealova menyentak tangannya agar terlepas. "mana mungkin. Kamu setan, ya?"
Gadis itu berbalik dan terkekeh kecil. "Kalau setan, ga mungkin bisa kamu pegang. Aku juga menapak tanah."
"Benar juga," Dealova berucap lirih. "Tapi kenapa bisa aku ada dua begini?"
"Kamu tahu kan kalau kita punya tujuh kembaran di dunia ini?!"
"Yah ... aku pernah mendengarnya. Tapi, bagaimana bisa semirip ini?" Dealova memutari tubuh gadis itu, mengamatinya dengan saksama. Di saat itu ia semakin tertegun, mereka sangat mirip, tidak ada bedanya bahkan letak tahi lalat di belakang telinga dan di jari manis pun sama.
Semakin lama Dealova mengamatinya, semakin ia terkagum. "Kita emang beneran cantik ya." Bibirnya menyunggingkan senyum.
Melihat langsung selain dari kaca, membuatnya semakin menyadari betapa cantiknya ia. Mata hijau karena turunan dari ayahnya yang merupakan orang Jerman. Kulitnya putih bersih mengikuti sang ibu yang keturuan Indonesia-Jepang. Tubuh tinggi semampai, langsing, hidung bangir. Semua sempurna.
"Menurutmu, apakah aku cantik?" tanya Dealova setelah beberapa detik hening.
"Iya. Kamu sangat cantik."
Senyum merekah sempurna ketika pujian itu dilayangkan. Ia melanjutkan, "kalau memang kita ini sama, berarti kamu juga akan tinggal di rumahku?"
"Benar. Tidak masalahkan?!"
Meskipun logikanya menolak, tapi Dealova hanya mengangguk. Seolah terpedaya pada senyum gadis cantik di hadapannya.
• • •
Tidak sedikit orang yang ingin membelah diri dan melakukan banyak tugas sekaligus, itu pula yang Dealova harapkan. Kedatangan dirinya yang lain, seolah mengabulkan keinginan tidak masuk akal itu, membuatnya dapat bersantai, sedangkan gadis yang diberinya nama Riani itu, pergi ke kampus menggantikannya.
Semua berjalan sempurna, ia yang anak tunggal, jadi merasa punya saudara kembar. Saling melindungi dan melengkapi, tidak pernah nyinyir dan sering memujinya. Namun, lambat laun, Dealova merasa ada yang aneh dengan dirinya.
Ketika melihat Riani pulang bersama Erik--teman sekelasnya--ada rasa ketidak-sukaan di hatinya. Riani bilang, Erik baru saja menyatakan perasaannya tapi belum ia jawan karena ingin menanyakan pendapat Dealova terlebih dahulu.
"Ga. Jangan. Aku tidak menyukainya. Kita terlalu sempurna untuknya," jawab Dealova cepat.
Sesekali Dealova yang melakukan aktivitas di luar, ia tidak mau Riani salah mendekati seseorang, tapi hari itu ketika ia pulang, Riani tidak ada di kosan.
Lama ia menunggu dengan cemas, hingga menjelang magrib Riani pulang diantar seorang lelaki yang tidak dikenal.
Amarah Dealova memuncak kala melihat Riani mengecup pipi lelaki itu sebelum melewati pagar.
"Siapa dia? Kenapa aku ga kenal?" tanya Dealova begitu Riani memasuki kamar.
Riani hanya tersenyum, "Dia Angga, aku kenal pas mengantar surat lamaran magang di kantor X."
"Kenapa aku ga tau?"
"Karena kamu tidak pernah bertanya." Riani menjawab santai dan tersenyum, mengabaikan wajah Dealova yang memerah menahan amarah.
"Kalian pacaran?"
"Iya. Sekarang kita sudah punya pacar." Riani tersenyum hangat.
Dealova menggigit ujung kuku ibu jarinya. Kegelisahan di hatinya begitu besar, hingga tidak tahu harus berbuat apa.
Beberapa hari berlalu, ia ikut mencoba mengenal Angga. Lelaki itu memang tampan dan baik, tapi ... Ia tidak suka saat melihat Riani bersama Angga.
"Mending putus aja," kata Dealova ketika mereka sedang bersiap untuk tidur.
Riani menoleh heran. "Kenapa? Apa yang salah dengan Angga?"
"Dia ...." Dealova tidak tahu harus menjawab apa, di saat kebingungan itu, pintu kamarnya diketuk dari luar. Disambut panggilan dari suara yang familier.
"Siapa?" tanya Dealova tanpa membuka pintu kamar.
"Aku. Dealova Anggriani."
Dealova berjengit, ia memandang Riani yang juga memasang raut bingung. Perlahan ia membuka pintu dan termangu saat melihat dirinya yang lain sedang berdiri di hadapannya.
Sekarang, ada tiga Dealova di kamar itu.
• • •
Seperti tersihir, Dealova membiarkan dirinya yang ke-3 ada di kamar itu. Logika yang terus menolak, ia abaikan lantaran tidak dapat menolak kehadiran sosok yang sangat mirip dengannya. Mengusir salah satu hanya membuatnya seperti mengusir diri sendiri. Ia tidak suka dirinya tampak direndahkan.
Beberapa minggu berlalu dengan mereka yang bergantian menjadi Dealova saat ke luar rumah. Hingga, malam itu Riani pulang terlambat dan diantar oleh Angga.
Dealova dan gadis ke-3 memandangi dari jendela.
"Aku tidak rela melihat diriku yang lain dimiliki oleh orang lain," kata gadis ke-3.
Dealova meliriknya. Sepertinya ia menemukan jawaban dari kegelisahan di hatinya sejak mereka berpacaran dengan Angga.
"Aku juga," gumam Dealova.
"Kita ada tiga. Bukankah tidak masalah jika saling memiliki? Hanya untuk kita sendiri?!" gadis ke-3 menambahkan.
"Benar. Kita bisa memiliki diri kita sendiri dalam artian yang sebenarnya."
Pintu kamar terbuka, gadis ke-3 menyambut Riani pulang dan dari arah dapur, Dealova ikut menghampiri. Ia memeluk Riani dengan erat, membuat gadis itu meronta meminta lepas.
Dealova melepaskannya tapi gadis itu merosot jatuh ke lantai dengan perut berdarah. Pisau yang menenteskan sisa darah Riani tergenggam di tangan Dealova, disertai senyuman, ia berkata, "Sekarang kau tidak akan bisa dimiliki orang lain."
Gadis ke-3 tersenyum lebar. Ia memeluk Dealova dan berbisik. "Aku juga. Aku juga mau menjadi milik kita seorang." Tangannya menggenggam tangan Dealova dan menekankan pisau ke perutnya sendiri.
Dua Dealova telah ia miliki untuk dirinya sendiri, memberi kepuasan di hatinya dan rasa gelisah itu lenyap, memberikan kelegaan.
Setelah terbunuhnya Raini dan gadis ke-3, dua hari kemudian datang satu lagi yang menyerupai. Dealova menyambutnya suka cita, memandanginya lama dengan tatapan kagum, lalu diakhiri dengan bersimbah darah. Begitu terus, hingga gadis ke-7 datang.
"Kita punya tujuh kembaran, maka kamu yang terakhir menemuiku." Dealova berucap seraya menyuguhkan secangkir teh pada gadis ke-7.
Gadis ke-7 tersenyum, lalu berkata, "Lantas, mana enam lainnya?"
"Mereka sedang sibuk masing-masing
" Dealova menjawab santai setelah meneguk tehnya. "Minumlah!"
"Kamu tahu, jika kita bertemu tujuh kembaran, maka itu artinya ajal telah dekat." Gadis ke-7 memandang lekat. Senyum masih terulas, membuatnya tampak sangat cantik dan Dealova tak akan bosan memandangnya.
"Apa aku akan mati?" tanya Dealova.
"Mungkin saja." Gadis ke-7 menaikkan bahu, kemudian ikut meneguk tehnya.
"Sayangnya itu tidak akan terjadi." Dealova berdiri mendekati tempat duduk gadis ke-7 yang sedang berkeringat dingin. Ia membelai pipinya dengan lembut. "Tidak akan ada yang mati, melainkan saling memiliki."
"Kamu-ukh ...." Gadis ke-tujuh muntah, lalu tertunduk ke meja dengan mulut berbusa.
"Sekarang hanya aku yang dapat memilikiku." Dealova tersenyum puas. "Jika memang hanya tujuh, berarti ini terakhir."
Ia berjalan menuju lemari pakaian dan membukanya. Terlihat di dalam sana terdapat tujuh dirinya yang tertumpuk bagai boneka tapi dalam kondisi terawat.
"Ini seperti koleksi." Suara seseorang membuat Dealova terlonjak, nyaris terjatuh.
Ia berbalik,, menghadap asal suara. Matanya membola saat ada seorang pria tinggi bermata hijau zambrud berdiri tegap di kamarnya.
"Bagaimaba kamu masuk?" Dealova sudah mengunci pintu kamarnya. "Kau siapa?"
"Sudah waktunya." Lelaki itu kembali berucap, seolah tidak peduli pada ekspresi ketakutan dan bingung di wajah Dealova. Ia menggenggam tangan gadis itu, tapi tidak ada sentuhan yang terasa, melainkan sakit yang tidak tertahan.
• • •
"Apakah aku mati karena telah bertemu tujuh kembaranku?" tanya Dealova sambil memandangi tubuhnya yang jatuh tertelungkup di depan lemari.
"Benar. Jika dia yang menjemputmu," jawab lelaki itu sambil menunjuk sosok hitam bertangan panjang yang merawap di atas dinding dekat lemari.
Tangan makhluk itu menggapai salah satu kepala kembaran Dealova di dalam lemari, lalu mencopotnya. Sontak Dealova memejamkan mata.
"Apa itu?" tanyanya dengan nada bergetar. Wajahnya langsung memucat.
Ia kembali membuka mata dan melihat beberapa kepala sudah melekat di tubuh makhluk itu.
"Semua kembaranmu adalah bagian dari tubuhnya. Dia akan menggodamu untuk semakin tersesat, lalu akhirnya memanen kepalamu juga." Lelaki itu menjawab santai. "Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum dia mengamuk!"
"Pergi ke mana?"
"Tentu saja akhirat. Kamu kan sudah mati."
Prompt: Kamu sangat mencintai dirimu. Tapi saat kamu ketemu sama diri kamu yang lain, bagaimana kamu mencintai kamu?
Jumkat: 1629 Kata
Hari/Tanggal: Senin/ 29 Januari 2024
... Entah apa yang sudah kubuat ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top