Mati Aku!

Berlibur ketika hati dan pikiran sedang kalut tidak selamanya dapat disebut healing seperti kata anak gaul Jakarta. Apalagi tempat yang kau pilih adalah berlayar di atas kapal pesiar. Terombang-ambing di lautan yang tidak ada apa-apa selain air dan segelintir penumpang, tidak akan menyembuhkan otak yang telah ambyar.

Aku berkeliling, mencari pengalih perhatian atau setidaknya tempat untuk menghibur diri. Akan tetapi hanya lelah dan kemuakkan yang datang. Penumpang di kapal ini menyebalkan. Menambah penyesalan.

"Hei, lihat-lihat kalau jalan!" hardikku pada wanita muda berambut merah jambu mencolok. Dia baru saja lari dan menabrak bahuku hingga terhuyung. Untung tidak tercebur ke laut.

Dia mengabaikanku. Orang sialan!

Dua anak laki-laki yang sejak lima menit lalu berlarian di sekitarku juga mengesalkan. "Menjauhlah anak nakal!"

Mereka mengabaikanku. Anak sialan!

Jika begini terus, bukannya terobati, aku malah jadi gila. Pergi ke mana pun salah, tapi mau tetap di kamar akan lebih berbahaya. Sebab bisa saja racun yang kubeli secara online minggu lalu tertenggak tanpa orang tahu.

Semua ini bermula dari kebodohanku yang percaya begitu saja pada orang-lebih tepatnya 'anjing'-berlabel 'sahabat'. Kuperkenalkan calon suamiku padanya dua bulan lalu. Sebulan kemudian mereka menikah lebih dulu di satu pelaminan.

Belum kering luka di hati, serbuan tagihan pinjol berbondong-meneror-dan pasangan jahanam itu menghilang dengan satu chatt terakhir, 'Maaf, Ra. Terpaksa pakai namamu untuk pinjaman. Kalau sudah ada uang, diganti.'

Diganti siapa? Setan?

Dan mana minta maaf atas pengkhianatan kalian? Setan!

Ah, sial. Aku selalu emosi jika mengingatnya.

Mereka berdua tahu kalau keluargaku baru saja bangkrut karena ayah terciduk KPK dan seminggu kemudian ibu melarikan diri bersama selingkuhannya. Gajiku sebagai pegawai kontrak di perusahaan swasta tidak akan dapat membayar hutang kalian yang 643 juta itu.

Kenapa tak sekalian pinjam 1 triliun? Hasilnya akan sama. Aku mampus!

Anjing saja tidak akan menggigit orang yang memberinya makan, tapi kenapa mereka berdua begitu, ya? Malang ... malang!

"Sudah selesai merenung?" tanya seorang pria di sampingku. Kami sama-sama berada di deck kala itu. Melihat lumba-lumba yang berlompatan mengiringi laju kapal.

Aku menoleh, agaknya terkejut, tidak menyangka diajak bicara. Kepalaku harus mendongak untuk melihat wajahnya; hidung bangir, mata hijau zambrud, parasnya tidak seperti orang Indonesia. Bule? Namun, terasa familier seperti pernah bertemu sebelumnya entah di mana.

"Jika sudah, mari kita akhiri!" tambahnya dengan suara bariton yang begitu merdu di telinga.

"Apa maksudmu? Kau siapa?"

Lelaki itu menghela napas, senyuman yang sedari tadi tergambar di wajahnya memudar, berganti muram. Tanpa mengatakan apa pun, dia melemparku dari atas kapal.

Ketika air laut membenamkan tubuh dan mata kami bertemu. Aku mengingat semuanya. Aku sudah mati sebelumnya!

Ya! Saat kapal baru berlayar, aku mengurung diri di kamar, meneguk sebotol racun. Dia--pria asing itu pun datang dan berkata, 'Ayo, kita pulang!'

Benar, kuhabiskan semua uang untuk naik kapal pesiar yang mahal ketimbang berakhir dengan organ yang dipreteli di pasar gelap. Mati di tempat mewah akan lebih mengolok mereka, bukan?

Padahal sungguh, semua itu hanya rencana cadangan.

"Harusnya kabur ke luar negeri saja!" jeritku kala air dingin berubah mendidih dan pria di atas sana menatap bengis dengan sabit besar di tangannya. Sial!

Senin, 5 Desember 2022
Prompt: Aku dilempar dari atas kapal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top