Firework

Cerita kali ini dipersembahkan spesial untuk reinebiyu dan Inga Alaska••


✨✨🎇✨✨

"Bumi?" Sebuah pertanyaan tiba-tiba datang bersamaan dengan tepukan ringan di bahu, sejenak membuyarkan konsentrasinya. "Kau masih penasaran dengan tempat itu?"

Pemuda yang sibuk dengan layar transparan di depannya hanya bergumam sekali dan melanjutkan pencarian. Terdapat gambar seperti tata surya beserta titik koordinat yang menjadi fokusnya.

"Kurasa, yang kau alami hari itu hanya karena eror. Mana mungkin tiba-tiba kau memasuki server dari planet lain. Dan Bumi? Belum ada siapa pun yang pernah mendarat di sana."

Pemuda itu menghela napas kasar dan menyandarkan punggungnya. "Sampai jumpa di kelas besok, Dox," ujarnya seraya berdiri dan meninggalkan ruang yang dipenuhi monitor transparan yang berjejer.

"Onix!" Pemuda bernama Dox itu memanggilnya tapi tidak digubris. Dox menggeleng pelan, memandangi temannya yang sudah sebulan ini terobsesi pada planet lain bernama Bumi. "Lama-lama dia akan gila," gumamnya.

Onix menuruni tangga utama gedung kampusnya. Ia berdiri sejenak, memandang ke langit yang dilapisi kaca, di baliknya terlihat jelas ruang angkasa sebab tidak ada lapisan atmosfer yang membatasi. Matahari sudah terbenam, tetapi taburan bintang memberi penerangan lebih, membuat planet bernama B-055 tidak mengenal kegelapan total.

Pemuda tinggi berparas manis itu berdeham sekali dan melanjutkan perjalanan melewati pertokoan yang masih ramai dan orang yang berlalu lalang memenuhi trotoar. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit, ia sampai di depan gedung sepuluh lantai bercat putih.

Dia menaiki lift berbentuk tabung kaca transparan menuju lantai sembilan. Matanya menyorot tajam ke pemandangan penuh lampu, pun beberapa bintang jatuh yang menghantam langit berlapis kaca di atas sana. Sebuah pemandangan biasa yang bahkan tidak memberikan perubahan sedikit pun dari raut kakunya.

Suara lift berdenting sekali dan pintunya terbuka. "Selamat datang, Tuan Onix." Suara entah dari mana, langsung menggema ketika kakinya melangkah ke luar. Satu-satunya pintu yang ada di koridor terbuka secara otomatis.

Onix masuk tanpa mengatakan apa pun. Ruangan itu masih gelap sebelum akhirnya semua lampu hidup kala pintu sudah menutup dan terkunci dengan sendirinya. Ruangan mewah menyambutnya. Tempat itu begitu sunyi, tidak menampakkan kehidupan lain selain dirinya.

Sepanjang kakinya melangkah menuju kamar di lantai dua, terdapat banyak lukisan dari cat minyak dan akrilik yang tergantung berjejer memenuhi dinding. Tidak ada potret dirinya atau foto keluarga yang tergantung di apartemen itu.

Pintu kamar bercat cokelat tua terbuka sendiri, dan suara sambutan kembali terdengar, "Selamat datang, Tuan Onix. Selamat beristirahat."

"Keluarkan penyimpanan memori!" perintah Onix. Ia membuka jas panjang cokelat susu yang sedari tadi dikenakannya dan melempar asal ke ranjang. Ia menoleh pada lantai di tengah ruangan yang terbuka, lalu seperangkat monitor lengkap dengan kursi dan meja muncul.

Tangannya meraih benda berbentuk penutup telinga atau headphone berwarna hitam dan memakainya. Sebuah kacamata berbentuk hologram muncul menutupi matanya, lantas ia memejam, dan menyandarkan tubuh di kursi empuk berwarna biru tua.

"Memasuki server penyimpanan pribadi ... ID 0055-B2768 melakukan pemindahan data secara penuh."

Setelah pemberitahuan itu berakhir, Onix membuka mata. Tampilan kamar yang semula bernuansa putih abu-abu, berubah menjadi ruangan hitam persegi dipenuhi layar dan barisan data yang melayang melintas seperti ikan di dalam aquarium.

Sebuah layar mendekat dan terpampang di hadapannya. Seulas senyum terukir. Raut kaku berubah perlahan menjadi lebih rileks dan berbinar kala tampilan seorang gadis berambut hitam yang sedang tersenyum, terpajang di depan mata. Sebuah teks muncul bertuliskan, "Onix, Inga kangen."

"Gue juga," ucapan Onix langsung berubah menjadi teks dan terkirim. "Gimana hari ini? Lancar?" lanjutnya.

"Begitulah ...."

"Kenapa cemberut? Ada apa?" tanya Onix saat melihat emotikon sedih dikirim oleh gadis bernama Inga tersebut.

"Bentar lagi acara ini bakal kelar. Berarti Inga udah ga bisa ketemu Onix lagi."

Onix tersenyum manis dan perubahan pada rautnya disalin menjadi emotikon pada layar. "Gue bisa terus bersama lo. Mau?"

"Gampang banget bilangnya. Emang gimana caranya? Setelah penutupan besok, server ini akan ditutup selamanya."

"Bilang kalau lo mau, maka bakal gue kabulin!"

Setelah beberapa menit berlalu, Inga membalasnya dan berkata, "Mau. Inga mau sama Onix terus. Gimana caranya?"

"Bagus. Setelah penutupan, gue bakal bikinin server baru buat kita."

"Onix bisa?"

"Tentu saja."

"Onix ... kenapa kita ga ketemu di dunia nyata aja seperti yang lain?"

Onix terdiam begitu pertanyaan itu muncul. Ia duduk, menyandar, dan mengusap kasar wajahnya. Lama terdiam, ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. "Maaf, Inga. Kita ga bisa."

"Kenapa? Ga mau ketemu sama gue?" emotikon cemberut terpampang lagi.

"Kita berada di dunia yang berbeda. Sederhananya, gue tidak memiliki wujud."

"Maksudnya, Onix sejenis AI?"

"Begitulah." Tidak ada kebohongan dari ucapan pemuda itu. Meskipun ia memang memiliki kehidupan dan tubuh, bukan sekadar Artificial Intelligence, mereka tetap tidak akan pernah bisa bertemu secara langsung, sebab Inga berada di planet lain bernama Bumi.

Di planet B-055, tempat Onix tinggal, setiap data dan ingatan disimpan ke dalam sebuah server pribadi yang membuat semua orang dapat hidup abadi meski nantinya raga mereka telah mati. Dalam artian lain, mereka menciptakan AI diri sendiri dari data yang disimpan setiap harinya.

Ketika menyimpan data ke dalam database server, mereka seperti memasuki dunia virtual yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa perlu ke luar rumah dan bertemu langsung.

Namun, satu bulan yang lalu ketika Onix hendak mendatangi server pribadi Dox, ia malah muncul di tempat yang berbeda. Sebuah server yang dipenuhi orang-orang dan kehidupan yang tidak ia kenali.

Hampir sebulan ia menjelajahi tempat itu dan mengumpulkan bermacam informasi seperti, bahwa tempat yang didatanginya adalah sebuah server dari teknologi yang ada di planet lain bernama Bumi. Dari sana pula ia bertemu dengan Inga Alaska dalam sebuah ajang pencarian jodoh secara virtual.

Dia yang awalnya hanya ingin melihat-lihat, malah terpikat pada seorang gadis yang membuat hidupnya berwarna meski baru mengenal beberapa hari.

"Kenapa dari sekian banyak manusia asli, Inga malah jatuh cinta sama AI seperti Onix. Ini ... ga adil." Pesan dari Inga membuat fokusnya kembali tertuju pada layar.

"Maaf, Inga. Gue ga tahu kalau ternyata kenangan kita malah berbekas begitu dalam seperti ini," jawab Onix.

"Lo harus tanggung jawab!"

"Iya. Gue bakal tanggung jawab dan janji bakal bikin kembang api malam itu terus memercik sepanjang waktu."

"Inga mau peluk Onix."

Sekali lagi ia terdiam, tidak tahu harus melakukan apa untuk memenuhi keinginan dari gadis yang disayanginya. "Tutup mata lo dan bayangin kalau sekarang gue lagi meluk lo dengan erat!" perintahnya dengan nada pelan.

"Baik. Inga udah tutup mata," balasan segera datang. Berselang semenit kemudian, balasan lain muncul, "pelukan Onix hangat."

Pemuda itu tersenyum getir. Pada akhirnya hubungan mereka akan tetap menjadi semu. Rasa perih membuat dadanya berdenyut sakit ketika sadar telah membuat gadis yang dicintai harus mengkhayal hanya untuk merasakan pelukan darinya.

"Inga ... lo yakin mau terus melanjutkan ini?" tanyanya sekali lagi. Bukan karena tidak mau mewujudkan permintaan Inga, tapi ia tidak ingin membuat gadis itu semakin terikat dan bergantung pada hubungan yang tidak memiliki masa depan seperti mereka saat ini.

"Yakin. Sangat yakin. Inga mau sama Onix terus."

Jawaban cepat dan lugas dari sang gadis tak ayal membuatnya tersenyum lebar. "Tapi berjanjilah, ketika lo menemukan lelaki lain di dunia nyata yang mencintai lo, maka lepasin gue dan pilih dia!"

Sebuah emotikon menangis muncul, berderet beberapa buah, lalu berlanjut dengan teks, "Kenapa bilang kayak gitu. Onix ga mau sama Inga?"

"Tentu aja gue mau. Gua bakal selalu ada buat lo. Gue temenin sampai lo mendapatkan pasangan yang nyata dan bisa benar-benar meluk lo."

Emotikon menangis tidak henti dikirimkan oleh Inga, membuat Onix menghela napas. "Jangan nangis!" ujarnya dengan nada yang sedikit bergetar, "gue ga bisa hapus air mata lo, jadi jangan nangis, Inga!"

"Habisnya Onix bikin gue sedih. Jangan ngomong kayak gitu lagi!"

"Iya, maaf. Gue ga bakal bahas itu lagi tapi setelah lo mau menjanjikan satu hal itu!" jawab Onix cepat. Ia tidak mau Inga menyia-nyiakan hidupnya. Tidak apa baginya ditinggal dan hanya bisa menyaksikan gadis itu bahagia. "Lagi pula, kalau suatu saat lo kangen, datang aja ke server yang bakal gue bikinin nanti. Gue akan selalu ada."

Ya. Bahkan meski tubuhnya telah mati, data dan pikirannya akan selalu menunggu di sana sebagai perwujudan Onix yang dikenal Inga.

"Baiklah. Inga janji. Tapi tidak untuk waktu dekat ini."

"Iya, gue paham. Kalau gitu, sekarang tidurlah dan besok bakal gue undang ke server khususnya!"

"Ya ... malam, Onix."

"Malam, Inga. Gue cinta sama lo."

"Inga juga cinta sama Onix."

Delapan bulan telah berlalu, diwarnai hubungan semu yang terasa semakin erat. Rencana pada masa depan yang hanya akan terus menjadi wacana entah mengapa seperti penghiburan.

Rumah sepi yang selalu kosong, kini menjadi tempat paling menyenangkan untuknya, sebab di sana ia dapat bertemu dan berbincang dengan Inga.

"Inga, gue pulang," atau "Inga, selamat datang." Sebuah kalimat yang tidak pernah terucap setiap kali pulang, kini jadi sering disuarakan.

"Kau tidak ikut lagi?" tanya Dox saat melihat Onix bergegas memasukkan laptopnya ke dalam tas.

"Ga. Gue ada janji--maksudku tidak, aku ada janji lain."

Dox menghela napas, dia sudah tahu janji apa yang dimaksud temannya itu. Apa lagi kalau bukan bertemu dengan pacar virtualnya.

"Ga? Gue? Dia jadi sering mengatakan istilah aneh sekarang," celetuk seorang lagi yang sedari tadi berdiri di samping Dox.

"Kabarnya dia sedang sibuk berinteraksi dengan makhluk dari planet lain," bisik seorang gadis berambut hijau pendek yang ikut bergabung.

"Alien?"

"Bisa dikatakan begitu."

Dox tidak menanggapi obrolan di sampingnya. Ia hanya berpikir, apakah sebaiknya menyadarkan Onix kalau hubungan yang dijalaninya hanya sebagai pelarian dari dunia nyata, atau membiarkan temannya itu sebab perubahan baik yang terjadi pada Onix adalah dia jadi ekspresif dan lebih lembut kala berucap. Tidak seperti biasanya, kaku dan seperti orang yang sedang marah.

"Inga, lo sibuk? Mau pergi kencan?" tanya Onix ketika dia sudah memasuki server khusus tempat ia dan Inga bersama.

"Mau. Mau!" balas Inga dengan cepat.

"Mau ke mana?"

"Piknik. Sudah lama Onix ga ajak Inga piknik."

"Baiklah. Piknik." Onix tersenyum, sebuag ekspresi yang sangat mudah muncul kala bersama sang gadis.

Sebuah foto ia kirimkan pada Inga, pemandangan lapangan rumput yang menghadap ke danau luas. Pikirnya, pasti akan sangat menyenangkan jika mereka memang bisa bersama berada di tempat itu.

"Inga, tinggal di rumah gue aja gimana?" celetuk Onix tanpa pikir panjang.

"Ga boleh. Kita belum nikah."

Alis Onix terangkat, sebuah jawaban yang tidak pernah ia prediksi, muncul begitu saja--menikah.

"Kalau gitu, ayo nikah!"

"Tapi Onix belum lulus. Gimana mau nafkahin Inga nanti?"

Tawa kecil keluar dari celah bibir merah alami pemuda itu. "Bener juga. Tunggu kita lulus dulu."

Onix terdiam, tawanya memudar dan hanya menyisakan senyum tipis. Kembali ia berpikir, apakah semua ini adalah hal yang benar?

"Inga ga sabar nunggunya."

"Inga. Gue bakal tetap ada di sini, lo bisa datang kalau kangen. Tapi gue harap lo ga bakal pernah datang. Gue yakin, pasti akan ada Onix lain di luar sana buat lo. Jadi, jangan terus terjebak di sini dan lanjutin hidup lo. Lo berhak mendapat yang terbaik." Kata-kata itu terucap begitu saja. Saat melihatnya disalin ke dalam sebuah layar, Onix mengusap kasar wajahnya.

"Kok tiba-tiba jadi ngomong kayak gitu. Onix nyebelin! Jahat! Inga mau sama Onix terus!"

"Tapi gue ngerasa makin jahat kalau ga ngomong kayak gitu."

"Onix udah janji bakal nurutin semua yang Inga mau. Sekarang Inga mau Onix."

"Sial. Lo pinter banget bikin gue ga bisa berkata-kata."

"Onix ... jangan ngomong kayak gitu lagi!"

"Oke. Baik. Gue ga bakal bilang gitu lagi. Jadi, jangan nangis, Inga!"

Matanya terbuka. Server telah dinonaktifkan. Onix menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela, memandangi kota di malam hari yang penuh gemerlap lampu.

"Bumi, ya ...," lirihnya. Tangannya terulur, menyentuh kaca jendela dan sebuah layar hologram muncul.

Dering terdengar saat ia menekan ikon gagang telepon di layar di samping nama, Oxwill.

"Tumben menghubungiku," jawab suara yang muncul dari hologram tersebut.

"Tentang ekspedisi luar angkasa yang kau katakan dulu. Aku tertarik." Onix berucap cepat.

"Sungguh? Bagus. Tapi kenapa tiba-tiba?"

Alih-alih menjawab, Onix berkata, "Tapi syaratnya, aku yang akan menentukan tempat pertama yang akan kita datangi."

"Tidak masalah. Kau ingin ke mana?"

"Bumi."

✨✨🎇 E N D 🎇✨✨

Inga Alaska

Onix

.
.
.

Prompt Juni: Aku jatuh cinta dengan Alien (Cerpen minimal 500 kata)
Tanggal: 28 Juni 2023/ Rabu
Jumkat: 1974 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top