Amnesia Dadakan

Kehilangan memang sangat menyakitkan apalagi kehilangan orang yang kita sayang. Namun, dilupakan oleh seseorang yang telah kamu berikan separuh jiwamu padanya akan menjadi hal yang sama mengerikannya.

"Kenapa kamu selalu di sini?" tanyanya. Lelaki bermata biru itu menengadah, menatapku dari kursinya.

Ini menyedihkan. "Karena aku tinggal di sini," ujarku selembut mungkin.

"Lalu kenapa aku juga di sini?" tanyanya lagi.

Memilukan. "Sebab kamu juga tinggal di sini."

"Kita tinggal bersama?"

"Ya."

"Mana mungkin aku tinggal bersama orang asing."

Ini menyakitkan. Aku duduk di hadapannya, mengoleskan selai kacang ke roti yang baru selesai dipanggang. "Aku bukan orang asing. Kita adalah sepasang kekasih."

"Aneh."

Tanganku berhenti sesaat untuk memfokuskan diri padanya. "Maksudmu?"

"Lupakan." Dia berpaling dan meminum segelas susu yang sudah kuhidangkan sedari tadi. Hari ini adalah pagi kedua sejak Felix mengalami amnesia. Aku tidak tahu apa yang membuatnya melupakan semuanya, termasuk nama, masa lalu, serta aku.

Semua bermula saat kemarin pagi, ketika kami terbangun seperti biasa di ranjang yang sama. Felix memandang heran ke arahku, seolah berkata, 'kenapa ada orang asing di ranjangku?'. Namun, hal itu bukan sekadar pikiranku, dia memang mengatakannya. Kupikir dia bercanda atau sedang melakukan prank, tapi melihat ia bahkan bergegas keluar dari kamar dan bersiap pergi dari rumah, aku ikut panik.

"Jangan bercanda, Felix. Ini aku!"

"Aku tidak mengenalmu."

"Aku Wylan. Andywylan. Sekali lagi kamu mengatakan hal seperti itu, aku benar-benar akan membuatmu lupa, Tuan Felix!" sengitku. Leluconnya tidak lucu. Walau Felix memang payah membuat candaan, tapi kali itu adalah yang terburuk.

"Andywylan?" Bukannya berhenti, dia malah membuat jarak yang semakin jauh, seolah aku adalah perampok yang mencoba menodongnya dengan senjata. Kepalanya menggeleng pelan. "Aku tidak mengenalmu. Dan lagi, ini di mana?"

"Felix, aku memperingatkanmu."

Tidak ada jawaban selain tatapan penuh waspada dari lelaki 27 tahun itu dan aku mencapai batasnya. Aku turun dari ranjang, mendekatinya, dan apa yang terjadi? Dia keluar dari kamar, lalu menguncinya dari luar.

"FELIX!" teriakku seraya menggedor-gedor pintu. "Buka, Felix. Ini benar-benar tidak lucu!"

Hening. Dia mengurungku hampir seharian. Pintu kembali terbuka saat sudah menunjukkan pukul empat sore, itu pun karena aku yang memohon-mohon sambil menangis. Perutku lapar.

Meski dia sudah lebih tenang setelah makan malam, hubungan kami masih seperti orang asing. Dia selalu mengambil jarak, menatap dalam diam, dan sama sekali tidak terlihat nyaman atas kehadiranku.

Sekarang dia sudah lebih jinak dari sebelumnya. Rencananya pagi ini aku mau mengajaknya ke rumah sakit untuk memeriksa apa yang membuatnya hilang ingatan, atau apakah dia benar-benar tidak sedang mengerjaiku.

Tidak ada pembicaraan selama kami sarapan. Padahal biasanya selalu ada hal menyenangkan yang menjadi obrolan di pagi hari. Ini baru dua hari dan aku sudah sangat merindukan kebersamaan kami.

"Kamu mau membawaku ke mana?" tanyanya.

"Ke rumah sakit."

"Aku tidak sakit."

"Kamu hilang ingatan, Felix!"

"Apa benar namaku Felix?"

Tanganku yang sedang mencuci piring langsung terhenti. Aku menghela napas dan berbalik pergi, meninggalkannya untuk kembali ke kamar. Aku mengambil sebuah foto yang tertempel di dinding dan memperlihatkannya pada Felix.

"Ini ... aku dan kamu?" Felix membelai foto yang menampilkan sepasang remaja. Itu adalah foto kami saat masih kuliah, di bawah pohon maple kala musim gugur. Saat itu rambutku masih panjang, tidak seperti sekarang yang hanya sebahu.

"Ya. Itu kita."

Hening. Felix tidak mengatakan apa pun. Dia diam mengamati foto kami. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Selagi menunggu responnya, aku jadi melihat perubahan paling mencolok dari pria itu. Biasanya dia selalu memberikan tatapan berbinar, hangat, dan tidak pernah berpaling ketika kami sedang berbicara. Seolah ... dia selalu memujaku, tapi sekarang Felix memberikan tatapan asing yang jujur saja sangat melukai hati.

Setelah konsultasi dengan dokter, melakukan pemeriksaan ini-itu. Akhirnya aku mendapatkan hasil mutlak bahwa Felix memang hilang ingatan. Entah apa penyebabnya, tapi dokter menyarankan kami untuk ke psikiater sebab kemungkinan besar semua karena efek spikologisnya. Bisa saja akibat trauma atau sejenisnya. Selain itu aku juga disarankan untuk membantu Felix mengingat kebersamaan kami.

Maka dari itu, di sinilah kami sekarang. Aku membawanya ke taman kota tempat kami biasa duduk. Aku juga menceritakan semuanya; tentang pertemuan pertama kami lima tahun yang lalu. Felix adalah senior di kampusku, kami sudah saling mengenal karena sering bertemu di kantin fakultas. Setelah aku lulus tiga tahun yang lalu, Felix mendatangiku dan menyatakan perasaannya. Aku menerimanya dan sudah dua bulan ini kami memutuskan untuk tinggal bersama.

"Kamu ingat, aku pernah bertengkar dengan salah satu junior yang terus-terusan mengikutimu. Kemudian kamu datang, menggendongku, lalu lari karena tahu ada satpam yang mendekat." Aku tertawa saat menceritakannya.

"Lalu kita juga pernah mengadakan kumpul bersama di taman ini saat masih kuliah, tapi sialnya kita malah berakhir di kantor polisi karena beberapa junior mabuk dan merusak bangku taman," tambahku. Kalau diingat-ingat lagi, banyak sekali kenangan aneh di taman ini.

"Hm ... Andy?"

Aku langsung menoleh, agak terkejut karena akhirnya Felix memanggil namaku lagi. "Ya?"

"Entah mengapa, aku merasa kalau sebaiknya aku tidak perlu mengingat semua itu."

"Apa maksudmu?"

Felix tidak menjawab. Dia hanya diam, memandang ke depan entah sedang memikirkan apa. Namun, pernyataannya tadi menjadi pertanyaan besar bagiku. Kenapa dia tidak mau mengingat kebersamaan kami?

Hari demi hari berlalu, sesekali aku menemani Felix konsultasi ke psikiater, tapi tidak ada perubahan yang signifikan. Dia masih saja sama seperti pagi itu, walau jujur sekarang dia tidak sewaspada sebelumnya. Mungkin sudah menerima kaennyataan kalau kami tinggal bersama. Hanya saja, aku merasa begitu kesepian. Felix yang selalu tersenyum hangat sudah tidak ada. Dia lebih suka berdiam diri di kamar, murung, dan tidak melakukan apa-apa.

Rutinitas setiap hari sejak dia hilang ingatan adalah mengamati album foto atau menonton video kebersamaan kami. Sesekali, ada perubahan pada wajahnya, seolah dia mencoba mengingat sesuatu, tapi saat aku bertanya 'apa ada yang kamu ingat?' dia selalu menjawab datar, 'tidak' dan berlalu pergi.

Hari demi hari, minggu demi minggu, Felix masih saja terasa sangat jauh. Pikiranku dipenuhi tentangnya hingga tidak bisa fokus pada kerjaan. Ini sangat buruk. Sampai kapan kami akan seperti ini. Apa aku coba untuk pergi sementara waktu?

Bodoh.

Saat aku ada dan membantunya mengingat saja, tidak ada perubahan apalagi meninggalkan dia. Bisa-bisa semua tentangku akan menghilang secara permanen.

Sepulang dari psikiater, aku mengajaknya belanja bulanan. Dulu kami suka masak bersama, jadi belanja seperti ini sudah seperti kewajiban bahkan sebelum tinggal bersama. Aku memilih beberapa buah apel kesukaannya, tapi tiba-tiba terhenti karena dia berkata, "Bukannya kamu tidak suka apel?"

Lantas aku menoleh, air mata langsung menggenang tanpa bisa kuhentikan, membuat aku sulit untuk melihat wajah tampannya. "Kamu ... mengingatnya?"

Dia menggeleng pelan. "Entahlah, terlintas begitu saja."

Aku tersenyum, berusaha menahan air mata yang hendak mengalir bebas. Ini pertanda baik, berarti usahaku tidak sia-sia. Tidak apa, perlahan saja. Aku melanjutkan memilih belanjaan, sementara Felix setia mengikuti di belakang.

"Ah, maaf."

Aku terhuyung saat tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Untung saja Felix menahanku dari belakang.

"Maafkan saya." Seorang pria pirang bermata hujau zambrud membantu memungut bungkus camilan yang terlepas dari tanganku saat kami bertubrukan. Ia memberikannya dan tersenyum. "Saya sungguh minta maaf."

"Ti-tidak apa."

Aku menerima dan memasukkannya ke kereta. Ketika hendak melanjutkan perjalanan, ia mendekat dan berbisik, "Biarkan kenangan itu lenyap, buatlah kenangan yang baru!"

"Apa maksud-" Felix memotong ucapanku. Ia menarikku untuk bersembunyi ke belakang punggungnya, membiarkan pria pirang itu berlalu meninggalkan kami. Felix melotot dengan wajah tegang. Bibirnya pucat dan tangan yang menggenggam gagang kereta belanja bergetar. Aku panik, takut terjadi sesuatu padanya.

"Kamu kenapa?" tanyaku, khawatir. Namun, dia hanya menggeleng dan mengajak untuk segera pulang.

Entah apa yang terjadi siang itu. Sikap Felix jadi berubah. Dia yang awalnya sudah lebih dekat kini kembali terasa jauh. Dia menghindariku lagi. Namun, suatu malam dia memasuki kamarku. Aku pura-pura tertidur. Dia pun  berbisik, "Maafkan aku." Hanya itu kemudian keluar dan meninggalkanku sendirian penuh tanda tanya.

Dua minggu berlalu, seperti sebuah rutinitas aku menemaninya ke psikiater. Sebenarnya ini tidak berguna sebab mereka bilang tidak ada yang salah dengan mentalnya. Akan tetapi aku hanya ingin melakukan usaha apa saja agar Felix membaik. Usai konsultasi, aku kembali ke parkiran lebih dulu. Felix mengikuti di belakang. Namun, dia tidak kunjung datang. Aku menoleh, mencari keberadaannya, dan terperangah.

Felix melarikan diri.

Aku mengejarnya, menyebarangi jalan raya secepat yang aku bisa. "Felix!" panggilku, tapi dia tidak berhenti. Suara klakson terdengar nyaring. Aku tidak sempat menoleh ke asal suara karena Felix berhenti untuk berbalik. Suara teriakan terdengar, orang-orang menatap ngeri ke arahku, tidak terkecuali Felix.

"ANDY!" Dia berlari ke arahku. Akhirnya. Apakah Felix sudah mengingatku.

Waktu terasa berhenti. Tubuhku limbung dan terlentang, memaksaku menatap langit siang yang terik tanpa awan. Seseorang berdiri di samping, menunduk untuk melihatku. Dia pria pirang yang bertabrakan denganku tadi. Apa yang dilakukannya?

"Sayang sekali. Memang seharusnya tidak boleh seperti ini."

"Jangan. Jangan sentuh Andy!" Aku dapat mendengar suara Felix yang lantang. Akan tetapi, penglihatanku mulai kabur. Rasa kantuk menyerang, membuat mataku terasa berat. Felix, kamu di mana?

"Tidak. Andy bangunlah. Kumohon."

Entah apa yang terjadi, tubuhku terasa ringan. Lalu, aku melihat Felix yang sedang menangis. Anehnya, di pangkuan pria berambut silver itu juga ada aku yang terbaring bersimbah darah.

"Ini kedua kalinya aku mendatangimu." Pria pirang mengagetkanku. Dia berdiri di belakang dengan penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya, serba hitam. Hal paling aneh adalah sabit besar berkilat tajam yang digenggamnya. Dia tampak mengerikan, tapi untung saja wajahnya tampan dan enak untuk dilihat.

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Tidak penting siapa aku." Dia tersenyum, mendekat untuk berdiri di sampingku. Kami sama-sama menonton Felix yang sedang menangis di tengah jalan.

"Sebelumnya kamu sudah pernah mati sekali," ujar pria itu setelah lama hening. "Tapi dia memohon keajaiban agar kau dihidupkan kembali."

"Apa? Mana mungkin!" Mataku sukses melotot. Apa yang sedang pria itu bicarakan. Mana mungkin aku pernah mati. Aku tidak mengingatnya.

"Aku memberinya sebuah syarat. Kau akan hidup kembali tetapi masa hidupnya akan berkurang, menggantikan masa hidup tambahanmu. Selain itu, dia juga akan melupakan semua tentangmu bahkan tentang dirinya sendiri. Tapi ...," hening sejenak, pria asing itu melirikku. "Jika dia kembali mengingat tentangmu, maka semua keajaiban itu berakhir."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Jadi, alasan kenapa Felix hilang ingatan adalah ....

"Kalau begitu, mari kita pergi, Andywylan!"


Prompt:

Date: 27 February 2023
Word: 1630
Fantaser.

A/N:
Kesamaan nama pada cerita kali ini, adalah sebuah kesengajaan :v
Dipersembahkan khusus untuk emaknya Fantaser.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top