" selamat tinggal. "

Awan hitam menggumpal menjadi satu, rintik hujan membasahi seluruh kota secara serentak. Pejalan kaki masih saja padat di tengah kota 'tak menganggap hujan sebuah halangan untuk mereka pergi ke sebuah tempat.

Iris hitam bak elang itu menyapu pandangan ke sekitarnya, berharap tidak ada mobil ataupun sepeda motor yang melaju kencang hingga menciptakan cipratan--walau itu tentu tidak mungkin. Diliriknya sebuah payung transparan yang baru saja dibelinya karena kelalaiannya sendiri. Lupa untuk mengecek cuaca yang terdapat di ponsel pintarnya, malah lebih senang berkutat dengan dokumen yang kian hari menumpuk.

Wajah terlihat begitu kelelahan dengan kantung mata yang terlihat jelas. Setiap hari bekerja lembur tanpa adanya istirahat tentu membuatnya seperti ini. Ditambah lagi waktu tidur yang selalu berkurang setiap harinya.

Pikirannya berkelana beberapa saat, ia mengingat kata yang diucapkan temannya--Hanji tentang cafe yang berada di sekitar pusat kota, wanita tersebut berceloteh panjang-lebar tentang cafe tersebut hingga membuat Levi menguap bosan sekaligus kesal. Lebih baik ia menyelesaikan dokumen daripada mendengar wanita itu berceloteh setiap harinya.

Namun, mungkin kopi pada saat seperti ini 'tak apa. Toh, jarak apartemennya dari sini masih jauh, lebih baik ia meminum sesuatu daripada pulang dengan perut kosong. Lagipula cafe yang dibicarakan Hanji berada dalam jangkauan matanya. Tepat di depannya. Terlihat jelas beberapa pengunjung keluar masuk dari sana.

Pintu didorongnya membuat sebuah  lonceng berbunyi. Pandangannya beralih ke kursi kosong, pengunjung yang berada di sana sudah sedikit. Ia hanya memesan satu kopi hitam, 'tak jarang ia menjadi pusat perhatian karena penampilan serta wajahnya, tapi Levi tidak mempedulikannya. Toh, ia lebih baik menikmati kopinya daripada mendengar bisikan tidak jelas yang dilontarkan para wanita kepadanya.

Disesapnya kopi secara perlahan, bau kopi mengingatkannya tentang apartemen, ia jarang sekali keluar untuk meminum kopi. Lebih baik ia buat sendiri, hemat. Namun, entah kenapa hari ini ia sangat menginginkan mengunjungi suatu tempat entah itu cafe atau yang lain. Kakinya seperti mau berjalan walau wajahnya terlihat ingin beristirahat.

Iris hitam reflek melirik sudut cafe, pintu terbuka menampilkan seorang wanita, irisnya berkedut 'tak menyangka. Keduanya saling bertemu, bedanya jika Levi menatapnya dengan pandangan 'tak enak hati sang wanita menatapnya dengan wajah innocent.

Wanita itu mendekat ke arah sang surai hitam, surai (hair colour) itu terombang-ambing karena gravitasi. Dengan kedua kurva bibir ia lengkungkan wanita itu duduk di depan Levi. Levi melirik bosan, pikirannya sibuk bertanya kenapa wanita itu harus bertemu dengannya sekarang.

"Apa kabar Levi?"

"Baik."

Iris (E/c) mendelik ke arah Levi, kesal karena mendengar jawaban singkat dan tidak mengenakkan hati tersebut. Levi hanya diam, ia masih sedikit menyimpan rasa dendam pada wanita di depannya, dan sekarang dengan polosnya ia masih menampakkan wajahnya di depan Levi.

Wanita kejam mana yang menumpahkan satu botol cairan pembersih yang baru saja dibelinya dan itu adalah stok terakhir di tokonya. Pada akhirnya ia harus membeli produk yang lain. Ia tahu wanita ini begitu ceroboh, tapi kenapa ia tahu letak botol cairan pembersih yang sudah disimpannya di tempat yang aman. Apakah dia cenayang?

Levi khawatir, apakah wanita itu diam-diam menyelinap ke apartemennya dan mencari benda-benda pusaka yang selalu disimpan di tempat tertentu?

"Tunggu--kau masih marah kepadaku?"

Levi hanya diam, ia sibuk menghabiskan kopi yang dipesannya selagi sang wanita hendak memesan sebuah minuman.

"Hey! Itu sudah kuganti dengan yang baru, cih kau selalu kesal dengan hal tidak berguna."

Melirik kesal, sebuah decihan meluncur menandakan rasa kesal dalam dirinya. Itukah permintaan maaf yang ia dapat? Bahkan dirinya sama sekali tidak merasakan ketulusan yang didapat. Levi memutarkan bola matanya malas, sekarang ia bosan meladeni wanita yang di depannya, cukup diam dan biarkan dia berceloteh. Walau ia sangat tidak tahan.

Netra hitam masih melirik. Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal karena tidak begitu dipedulikan, rasa iba tentu jelas tidak ia dapatkan. Helaan napas keluar, sudah berapa kali ia menghadapi perempuan ini dan sudah berapa kali juga ia takluk kepadanya.

"Aku memaafkanmu."

Dalam sekejap mimik muka langsung berganti menjadi sebuah senyuman, "yang benar?"

"Iya, jangan diulangi lagi bodoh."

"Aku tidak bodoh, dasar pendek!"

Perempatan imajiner muncul, lihat? Baru saja ia memaafkan wanita itu dan sekarang ia langsung mengatainya pendek. Walau itu fakta. Wanita itu lebih tinggi 5 sentimeter darinya. Hanya 5 sentimeter.

Entah kenapa ia bisa tahan berada didekat makhluk hidup seperti ini.

"Oh Levi, boleh aku menginap di apartemenmu?"

Levi melirik, sungguh jarang sekali [Name] menginap di apartemennya kecuali ada masalah penting, dan sekarang ia ingin menginap, ada apa ini?

"Ada apa memangnya?"

"Kakakku berkunjung ke apartemenku! Dan jika dia menemukanku di sana habislah aku,"  jawabnya, ia menjatuhkan wajahnya di meja sambil menghela napas besar.

"Ho, Bukankah itu bagus? Dia bisa tahu jika adiknya ini sangatlah tidak bisa mengurus dirinya sendiri."

"Diam Levi! Aku sedang pusing," ia menggantungkan kalimatnya, "jadi boleh aku menginap? Hanya untuk dua sampai tiga hari!"

"Tidak, dalam satu hari pasti apartemenku menjadi berantakan,"

Levi mengingat saat pertama kali [Name] menginap di apartemennya, pada saat dirinya bekerja sedangkan [Name] hanya sendirian di apartemennya, dan setelah Levi pulang kerja, semua sudah berantakan.

Bungkus kemasan makanan dan minuman yang ada di mana-mana, televisi yang masih dalam posisi menyala, selimut yang entah kenapa ada di ruangan itu, oh jangan lupakan kekasihnya yang sedang tidur di kursi dengan penampilan berantakan. Levi langsung membangunkan [Name] dan menyuruhnya untuk membersihkan apartemennya itu.

Baru-baru ini juga ia sudah menumpahkan cairan pembersih ke lantai. [Name] jarang sekali bercerita tentang kakaknya kepada Levi, kadang Levi bertanya kepada gadis itu bagaimana kakaknya tersebut, tapi hanya dijawab 'menyebalkan' oleh [Name].

Kekasihnya ini sangatlah pemalas, bahkan membersihkan apartemennya sendiri pun tidak mau, jadi kadang Levi sendiri yang membersihkannya. Ia tidak tahu kenapa gadis itu sangat betah dalam lingkungan penuh kuman dan bakteri seperti itu. Kadang ia memperingatkannya untuk menjaga kebersihan, tapi hanya dibalas jawaban singkat.

Tentang kakaknya [Name], gadis itu jarang sekali menceritakan kepadanya, tapi jika kakaknya itu datang berkunjung disitulah peran Levi sangat berguna sebagai rumah kedua. Saat ditanya Levi kenapa dia kenapa dia selalu melarikan diri dari kakaknya, [Name] menceritakan betapa menyebalkan kakaknya itu. Ini sudah yang ketiga kalinya kakaknya berkunjung pada bulan ini. Padahal jarak rumah kakaknya dengan apartemen [Name] sangatlah jauh.

"Tidak akan kotor, aku janji."

"Benarkah itu? Kalau aku sampai menemukan sebuah noda pada barang-barangku...," Levi menyinggungkan senyum 'misteriusnya' pada [Name], "kuharap kau bersiap [Name]."

[Name] merinding mendengar pernyataan kekasihnya yang gila kebersihan iini sungguh ia sangat tidak ingin menjadi babunya dalam seminggu apalagi sampai selamanya--lain lagi ceritanya jika ia dijadikan pendamping hidup Levi (itu harapan [Name]) .

"S-siap kapten!"

🌟

Apartemen Levi sangat berbeda dengan apartemen yang ditinggali [Name] sampai saat ini, jauh--sangat jauh malah. Apartemen Levi sangat mewah, sedangkan [Name] hanya apartemen biasa, bahkan makan saja kadang meminta traktiran Levi. Pacar kaya mah bebas.

Sudah beberapa kali ia pergi ke apartemennya Levi, dan pemandangannya sama, tidak ada perubahan sedikitpun, saat masuk ke dalamnya disambut hamparan barang merek ternama yang berjejer rapi, maklum dia penerus perusahaan yang diwariskan olehnya. Dari pojok, sampai bawah kasur tidak ada debu yang tersisa, mungkin jika ada pemilihan apartemen terbersih Levi yang akan jadi juaranya tiap tahun.

Saat ia tidak bekerja, ia menjadi pengangguran dan saat itulah ia membersihkan ruangan di apartemennya--walaupun itu sudah ia bersihkan. Apartemennya didominasi oleh warna cream dan juga coklat yang membuat [Name] betah untuk segera terlelap di alam mimpi, jangan lupakan kulkasnya yang selalu menyediakan bahan makanan kelas atas, kadangkala ia juga disuruh membuatkan makanan.

"Hei Levi, bagaimana kalau aku menumpang di apartemenmu selamanya?" tanyamu yang semangat ke arah Levi.

"Tidak, kalau kau tinggal di sini kau akan membuatku bangkrut secepatnya," tolaknya.

"Oh kau mengerti pikiranku! Sasuga Levi-sama."

"Tch, diamlah."

[Name] mengempaskan dirinya ke sofa menikmati betapa empunya sofa Levi jika dibandingkan dengan sofa miliknya. Sedangkan Levi hanya menatapnya dengan pandangan 'kenapa aku berurusan dengan orang ini'.

Levi ikut duduk di samping gadis itu, membiarkan dirinya beristirahat sejenak setelah berkutat dengan pekerjaan sepanjang hari, napasnya ia buang kasar. Ia melirik ke arah [Name] wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya.

"Kau yakin menginap di sini?" tanya Levi membuka pembicaraan.

"Yakin, memangnya kenapa? Aku juga sudah pernah menginap di apartemenmu 'kan?"

"Entahlah, akhir-akhir ini kita jarang bertemu."

Iris mata [e/c] itu melirik ke arah Levi, dua garis bibir itu melengkung membentuk senyuman yang ditujukan untuknya. "Kenapa? Apa kau rindu denganku?"

Levi terdiam sesaat, "kalau iya bagaimana?" ucapnya.

[Name] tercekat, sungguh ia tidak merencanakan seorang Levi akan berkata seperti itu, biasanya ia akan mengelolanya disertai kata 'bodoh' di belakangnya--ya ciri khas seorang tsundere. Namun, sungguh keajaiban Levi berkata jujur.

[Name] tersenyum simpul mendengarnya, setelah itu terkekeh pelan, "kau tidak perlu merindukanku sebegitu dalamnya, fokus saja pada masa depanmu Levi."

"Kau masa depanku," tanggapnya cepat, aneh.

Tawa menggema di apartemennya, untung saja apartemen ini kedap suara, jika tidak, maka orang luar juga akan mendengar suara [Name] yang sangat nyaring ini. Levi yang ada di sampingnya itu menutup telinganya, meredam suara yang tercipta dari gadis itu.

Keheningan itu menyapa mereka lagi, "kau berkata seolah akan meninggalkanku [Name]," kata Levi.

Gadis itu hanya diam, ia menggantungkan perkataan Levi. Melihat [Name] yang diam, Levi menghela napas.

Levi berdiri dari tempat duduknya, "aku mau mengambil cemilan," katanya berlalu pergi meninggalkan gadis itu di ruang tengah.

"Bagaimana jika itu benar?"

🌟

Matahari mulai nampak, tapi hanya seorang gadis yang dengan malas menjalani hari, ia masih tertidur dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya, dengkuran halus masih keluar menandakan bahwa tidurnya itu sangat nyenyak.

Waktu malam hari memang ia habiskan untuk berdebat dengan Levi karena memperebutkan siapa yang akan tidur di mana, dan dimenangkan oleh [Name] karena kekasihnya itu mengalah dan langsung menuju sofa.

Iris hitam itu menatap kopi dengan gelas porselen di depannya, dirinya yang belum sadar seluruhnya itu langsung membuat kopi. Kegiatannya di pagi hari, menyeduh kafein dalam segelas dan dihabiskannya sambil melihat acara televisi.

Pandangannya itu terfokus ketika melihat sebuah smartphone milik [Name] yang tergeletak di meja. Puluhan missed call dari kakaknya terpampang jelas di sana. [Name] kemarin bahkan tidak menyentuh smartphonenya sedikitpun, ditambah lagi smartphonenya yang sedang dimode silent.

"Levi?"

[Name] menghampiri si surai hitam, kesadarannya masih belum sepenuhnya. Tidak kaget gadis itu menemukan Levi bangun pada pagi hari, bahkan ia menduga Levi tidak tidur di malam hari, hanya memejamkan matanya dalam keadaan sadar. Ia dengar cerita dari Hanji, Levi hanya membutuhkan 2 jam untuk tidur dan semuanya digunakannya untuk bekerja.

"Bagaimana nyenyak di kasurku yang empuk?" sarkas Levi.

[Name] tersenyum lebar, "tentu saja, terima kasih Levi."

Secangkir kopi telah tandas, diliriknya [Name] yang membuka kulkasnya dan mengambil sebuah roti yang ada di sana. Alis [Name] mengkerut saat di kulkas pemuda ini tidak ada apa-apa, hanya ada roti, selai dan juga susu.

"Kulkasmu kenapa bisa kosong?" tanya [Name].

"Hm? Oh, mungkin aku lupa untuk belanja bulanan," jawabnya sambil membersihkan cangkir tadi yang ia pakai menyeduh kopi.

"Kau bertahan hidup hanya dengan roti, selai, susu, dan kopi?" ia melirik Levi sesaat, "membosankan, bagaimana jika kita makan ke luar?"

Manik jelaga menatap [Name], ke luar memang pilihan yang tepat bagi [Name] jika ia ingin menguras dompet si surai hitam. Ditambah lagi kulkas Levi yang menurut [Name] kosong semakin memperjelas keadaaan.

"Tidak, kuyakin kau berencana menghabiskan uangku."

"Gotcha! Kau mengerti isi pikiranku."

Levi menatap kesal, ia sekarang ingin menendang [Name] untuk ke luar dari apartemennya sekarang, tapi tentu saja ia tidak bisa seperti itu. Gadis itu hanya tertawa renyah melihat Levi menatap dirinya kesal.

Levi mengambil roti dari tangan [Name], ia membagi roti tersebut untuk dirinya dan [Name].

"Selai," pinta Levi, [Name]pun membuka kulkas lagi dan memberikannya pada Levi.

Levi mengeoleskannya pada rotinya, setelah dikiranya cukup ia langsung memakannya. [Name] terdiam cukup lama sambil menatap Levi.

"Ada apa?"

"Bagaimana denganku?"

"Ha? Oleskan saja sendiri, lagipula aku bukan pembantumu."

'Cih, dasar tidak punya perasaan.'

🌟

"Terimakasih atas tumpangan dan makanannya."

Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman, surai (hair colour) itu terurai matanya menatap Levi yang berdiri di depan apartemen.

"Selamat tinggal Levi."

Dirinya berbalik meninggalkan sosok Levi di belakang yang menatap punggungnya.

"Kau tidak mau kuantar?" tanya
Levi.

Mendengar suara Levi, gadis itu berbalik matanya menyipit dengan senyuman membingkai di wajahnya, ia menggelengkan kepala. Berkata 'terima kasih' untuk Levi yang sudah menawarkan sebuah tumpangan untuknya.

Manik hitamnya menatap kepergian sang gadis yang telah tertelan oleh keramaian di jalan, hatinya sesak saat gadis tersebut meninggalkannya sendiri. Kenapa? Padahal gadis itu hanya berpamitan dan pulang ke apartemennya sendiri padahal. Namun, ia merasa seolah-olah akan ditinggal olehnya untuk selamanya.

Tangannya ia eratkan pada ponsel di tangannya, ia berdoa agar gadis tersebut bisa menemuinya setiap hari dengan senyum cerahnya.

Levi menghela napas kasar, dirinya berbalik menuju ke apartemennya untuk mengurusi dokumen yang kemarin menumpuk karena tidak ia kerjakan. Ia pikir ini sangat bagus untuk menghapus pikiran anehnya tentang kekasihnya tersebut. Dengan menenggelamkan diri dalam dokumen.

Tangannya mengenggam cangkir kopi, sudah beberapa jam ia mengerjakan dokumen dan hasilnya beberapa dokumen sudah selesai. Ia kadang melirik ke arah ponselnya yang ada di sebelahnya, mengecek apakah notofikasi dari gadis itu terpampang di layarnya. Namun, tidak ada.

Alis Levi bertautan melihat tidak ada kabarpun dari [Name] padahal ini sudah lama sejak gadis itu meninggalkan apartemennya, karena biasanya [Name] selalu mengabari Levi walau itu hanya ucapan selamat pagi atau sapaan.

Ia mencoba untuk berpkir positif, mungkin saja ia lupa mengabari atau batrainya sudah habis.

Ia menghela napas, badannya ia senderkan di kursi, tangannya memijit pangkal hidungnya. Dia sekarang bosan dan sangat ingin menemui [Name], ada apa dengannya sekarang?

Tangannya menggapai ponsel di sebelahnya, memanggil nomer [Name] berkali-kali, tapi nihil tidak ada balasan. Hanya ada suara operator sialan yang menjawabnya. Mungkinkah gadis itu masih saja mengaktifkan mode silent?

Ia beralih menelpon Hanji, mengecek apakah wanita itu mengetahui kabar dari [Name], tapi ia jawab dengan tidak. Sehingga, ia menelpon semua nomer di kontaknya yang mengetahui tentang dirinya dan [Name], tapi tidak satupun yang tahu kabarnya.

Pilihan terakhir jatuh pada kontak kakak [Name], sebenarnya Levi tidak mau menelponnya, tapi ini demi mencegah keresahannya sendiri. Kakak [Name] berulang-kali menjauhkannya dari gadis itu sehingga, kadang Levi menganggapnya sebagai ancaman.

Setelah kakak [Name] mengangkatnya dan bertanya-tanya soal gadis itu. Kakaknya hanya menjawabnya dengan dingin, dan berkata 'bahwa dia tidak perlu tahu tentang itu'.

Levi mendecakkan lidahnya kesal, ia hampir saja membanting ponselnya ke lantai.

Sejak hari itu keberadaan [Name] hilang dalam sekejap. Keluarganya seolah-olah menyembunyikan gadis tersebut dengan rapi. Bahkan, Levi sendiri tidak tahu di mana dia sekarang.

Ia frustasi karena itu, ia sudah mencari kemana-mana, tapi hasilnya nihil, ia sudah bertanya kepada semua teman [Name], tapi memang mereka semua tidak ada yang tahu keberadaanya bahkan gadis itu dinyatakan hilang.

Ia berkali-kali datang ke rumah [Name], tapi keluarganya tidak pernah mengizinkannya untuk masuk ke rumah atau melangkah ke pekarangan rumah tersebut.

Namun sekarang, dirinya telah berdiri di depan gerbang rumah tersebut. Ia melirik ke penjaga menyampaikan apakah dia diperbolehkan masuk atau tidak.

Hingga mereka mengatakan iya, gerbang itu terbuka. Levi tersenyum singkat, akhirnya ia bisa lebih dekat menuju [Name] sekarang, setelah berbulan-bulan ia tidak menemui kekasihnya itu... rasanya ia senang sekali. Ia bahkan mempercepat langkah kakinya agar sampai di pintu depan.

Pintu terbuka setelah ia menekan bel. Seorang pemuda dengan surai hitam itu meliriknya tajam, tangannya masih memegang kenop pintu.

"Kenapa kau kemari?" tanyanya.

"Aku mencari [Name]."

Mendengar Levi menyebut nama [Name], wajah pemuda itu menegang, Levi menatapnya bingung. Ia merasa ada sesuatu yang janggal.

"Kau yakin mau bertemu dengannya?"

"Memangnya apalagi tujuan saya ke sini?"

Pemuda tersebut masuk ke dalam, tangannya mengisyaratkan Levi untuk mengikutinya. Rumahnya mewah dengan berbagai hiasan serta pernak-pernik mahal, ia heran padahal apartemen yang ditinggali gadis itu sederhana.

Pemuda di depannya tersebut terhenti di dalam ruangan. Ia menoleh ke belakang, "masuklah!"

Levi mengangguk, ia membuka pintu tersebut.

Matanya terbelalak, tubuhnya lemas seketika. Air mata perlahan turun. Setelah sekian lama ia mencari dirinya, ia tidak tahu jika akan berakhir seperti ini.

Ia menyesal karena tidak mengetahui makna 'selamat tinggal' yang diucapkan gadis itu padanya, untuk yang terakhir kalinya.

Karena di dalam kamar tersebut, terdapat sebuah bingkai foto dengan sebuah dupa yang ada di depannya.

F  i  n.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top